DAS KOPIkenTAL: PatanYali Factors B (PF-B)
Sebelum melanjutkan tulisan DAS KOPIkenTAL: TaiGigical Intellignece selanjutnya, berjudul Gelitikif Intelligence. Warkop Institute merasa perlu nimbrung sebagai obrolan warung kopi dalam rangka mengomentari Indonesia sebagai tuan rumah Konferensi COP ke 13.
Untuk itulah dalam DAS KOPIkenTAL kali ini menuliskan apa yang tersurat dalam PatanYali Factor B, yakni: Reinterpretasi Rahmatan Li´l alamien Sesuai Realita Aktual Secara Universal.
Dan untuk itu, bahan yang akan di ½gelitikin½ berikut ini mengambil beberapa kutipan dari tulisan berjudul, Teologi Ramah Lingkungan, oleh Yonky Karman. (Sumber: http://www.kompas.
Quote: Indonesia mendapat kehormatan menjadi tuan rumah Konferensi Ke-13 Para Pihak atau COP-13 dalam Konvensi Kerangka PBB tentang Perubahan Iklim. Sekaligus itu juga tantangan sejauh mana bangsa yang mengklaim diri religius mampu memberi kontribusi positif dari kekayaan tradisi keagamaannya. End of quote.
Kopitalisme: Sepertinya, setelah berbagai penelitian akademik dilakukan melalui berbagai standard ilmiah tersebut, dari kalimat diatas, yang ½ditantang½ kemudian adalah klaim ½kaum religius½... (sorry sebentar, saya numpang ngakak dulu... Hahahahaha!)
Sebelumnya komunitas religius di Amerika dalam hal ini kelompok Evangelist- juga telah dan sedang dalam debat panjang mengenai topik Global Warming, and apa yang mereka bisa lakukan. Lalu, 8 Februari 2006, dilaunchinglah apa yang disebut ECI (Evangelical Climate Initiative) Tertuliskan kemudian dalam From Climate Control to Population Control: Troubling Background on the ½Evangelical Climate Initiative½.
Bagaimana konteks so called- kaum religius di Indonesia, mensikapi hal tersebut, setelah kongres COP-13 berlalu, nantinyat? Apa langkah selanjutnya? Ataukah seperti biasannya- hanya ramai-ramai saat ada acara seremonialan? Sudahkah ada semacam ½grounding½ dan ½backgrounding½ yang bisa dijadikan pijakan oleh kaum religius tersebut, dalam mensikapi issue global warming ini, seperti halnya yang dilakukan oleh ECI, lebih dari setahun lalu?
Saya menyinggung dulu sedikit tentang Penerima Nobel Perdamaian, Al Gore.
Dalam sebuah artikel mengatakan bahwa Al Gore sebagai Penerima Nobel Perdamaian beberapa waktu lalu, mengatakan bahwa masalah Global Warming, adalah juga masalah spiritualisme. Jika ya, mengapa Al Gore, sepertinya cendrung mengenyampingkan bahwa GW tersebut adalah masalah politik-ekonomi, dan penguasaan sumber-sumber energy? Lalu, kok larinya ke aspek spiritualisme? Entah dari mana dan kapan pernyataan itu dikeluarkan, bukan point itu yang ingin saya jadikan masalah disini.
Saya melihatnya, bahwa, meskipun mekanisme yang di gunakan oleh IPCC dalam hitung-hitungan mengenai dampak Global Warning, menggunakan metoda saintifik, itu adalah satu aspek. Meminimalisir akibat buruk GW, terhadap bumi dan isinya adalah aspek yang lain. Dalam rangka meminimalisir tersebut terbitlah beberapa point dalam bentuk proposal, diantaranya adalah Gore´s 10 point plans, seperti yang diposting oleh David Roberts di Grist. (Pada point ke 7, ada disebutkan Raise CAFE standards.).
Dilain pihak, penelitian-peniliti
Demikianlah Al Gore, NOBEL, SCIENCE dan ART... Nema jo politike... No more politics... Golput!
Sekarang, di Indonesia, bagaimana hasil penelitian-peneliti
Mandulkah segala penelitian ilmiah tersebut? Buntu di jalur politik? Atau hanya berupa bagian dari profesi teliti-meneliti yang hasilnya akan mengisi rak-rak perpustakaan?
Selain itu, bagaimana akses masyarakat biasa dan lokal untuk hasil-hasil penelitian ilmiah tersebut? Karena kita tahu, kajian-kajian itu adalah berbahasa dan berstandard ilmiah dimana rakyat kecil sebagai komunitas yang langsung bersentuhan dengan lingkungan-alamnya sendiri, adalah masalah ½apa yg bisa saya makan hari ini½ tentunya waktu yg dia gunakan adalah bergulat untuk memenuhi kebutuhan rutin harian tersebut, takkan punya waktu untuk memahami bahasa dan standard ilmiah tersebut. Lalu? Apa wujud dari hasil penelitian-peneliti
Mengaharkan bahwa stagnasi itu diisi oleh move spiritualisme di Indonesia? Spiritualisme yang bagaimana?..
Karena, yang lebih memiliki potensi memberi kontribusi kedepan untuk masalah lingkungan, justru terletak pada kearifan lokal daerah masing-masing di Nusantara, yang ironisnya -entah itu dengan alasan nasionalisme, modernisme, professionalisme, agamisme- justru terkikis sampe tipis...
Quote: Klaim agama-agama monoteis, dunia milik Tuhan, tidak serta-merta membuat teologi lingkungan berkembang. Malah, model iman yang berkembang tidak peduli lingkungan. End of quote. (Teologi Ramah Lingkungan/Kompas/
Kopitalisme: Disinilah mengapa dalam Kopitalisme ada tertuliskan ½PatanYali Factor-B½ (PF-B) yakni: Reinterpretasi Rahmatan Li´l alamien Sesuai Realitas Aktual Secara Universal.
PF-B adalah salah satu point dari essay bertajuk "ReStart Indonesia" yang saya tuliskan tanpa background jurnalism, tetapi lebih pada penulisan gaya nobel... Ekh, maksud saya bergaya novel. (soale, cuman hobby baca NOVEL sih gua... Kalau ada hadiah NOBEL gara-gara baca novel, saya pasti masuk kategori, wakakakaka)
Eniwei, ½Restart Indonesia½ itu saya bagikan kepada 4 wartawan lokal kota Makassar, di cafe 'Gola Gong' jl. Boulevard, Panakkukang Mas, Makassar. Kepada empat reporter tersebut adalah 'Fajar', 'Berita Kota', 'Tribun Timur' dan 'RRI' ketika temu wicara soal ketidak realistisannya anggaran serah terima jabatan Walikota baru Makassar, pada April 2004. Tiga tahun lalu.
Reinterpretasi yang dimaksudkan tidak merujuk pada debat ayat, dogma dan doktrin yang menyangkut aqidah. Tetapi lebih pada berupa pertanyaan sederhana:
1. apakah Rahmatan Li´l alamien itu berupa visi? Atau klaim? Yang harus diterima secara taken for granted?
2. Mengapa Rahmatan Li´l AlAMien? Mengapa bukan Rahmatan Li´l MUSLIMien? Atau Rahmatan Li´l AKHIRATien?
Alasan Kopitalisme tiga tahun lalu tersebut mendorong PF-B, dalam hubungannya dengan topik lingkugan hidup dan kelestarian alam, adalah karena:
1. Secara saintifik, belum atau tidak ada hitungan yang fixed yang bisa diterapkan -baik secara hukum, maupun secara kultur- terhadap seseorang -individually- dalam rangka mencari, memiliki setiap privelej atau bahkan- kemewahan dalam menjalani hidupnya. Selama metoda kepemilikan itu, sah secara hukum, maka setiap orang berhak menikmati kekayaannya sendiri.
2. Penggunaan jaringan informasi hingga ke pelosok-pelosok desa dalam rangka awareness terhadap lingkungan dan alam, akan sangat efektif jika menggunakan pendekatan medium dan ikon keagamaan. Setidaknya, amatan tersebut pada konteks sosio-kultural masyarakat Sulsel.
Kendala-kendalanya bahwa pada point nomer 2 di atas, syahwat politik cendrung- pragmatis, adalah tantangan yang paling nyata. Selain itu, kearifan-kearifan lokal telah hampir habis terpupus. Dan the worst case- malah cendrung terkontaminasi virus Unfortunate Culture, hampir di berbagai aspek kehidupan, nastionaly dan locally.
Demikianlah El Kopitalista, NOVEL, CAFE dan ART... Nema jo politike... No more politics... Golput!
May FUN be with you
Tuhantu
http://warkop-
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar