Audifax sebelum berkhianat
http://groups.
--- In psikologi_transform
<audivacx@yahoo.
V, ABJECT
OLEH:
AUDIFAX
Peneliti di IISA-Surabaya, Penulis buku "Mite Harry Potter"(2005,
Jalasutra)
V adalah Mitos. Dalam mitos selalu terkandung dua pengertian yang
seringkali membuat ambigu, di satu sisi adalah cerita isapan jempol,
di sisi lain adalah cerita yang menyampaikan pesan di dalamnya. Jadi,
dalam V ada pilihan, antara menerimanya sebagai isapan jempol atau
bisa melihat makna yang dibawa dari pertemuan dengannya. Masing-masing
pilihan itu mengimplikasikan dua hal berbeda, pilihan pertama, isapan
jempol, adalah bentuk pengabaian, penolakan akan makna. Orang akan
menjauh layaknya orang menjauh dari jurang, karena jika terhisap
sesuatu yang sifatnya isapan jempol itu sama saja jatuh ke dalam
jurang ketertipuan, sebaliknya mereka yang melihat V membawa pesan
tertentu, akan melampaui V itu dan menggapai makna di seberang sana.
Pilihan kedua ini mengimplikasikan pelampauan. Penolakan berarti
menjauh, pelampauan berarti mendekat, membutuhkannya untuk dilampaui,
karena hanya dengan melampaui V maka bisa sampai ke sesuatu di
seberang sana. Dan jalan satu-satunya
adalah dengan melampaui V itu, jadi V adalah jalan.
Ambiguitas seperti ini, mengingatkan saya pada apa yang sempat
dikemukakan Julia Kristeva sebagai Abject. Dalam definisinya, Abject
adalah sesuatu yang ditolak, membuat jijik, membuat anda
memuntahkannya, tapi ia juga penting, terutama pelampauan atasnya.
Abject adalah sesuatu yang menjijikkan yang juga sekaligus juga
menarik. Abject, bukan Subject, bukan pula Object, tetapi berada di
ambang keduanya. Sesuatu yang men-subject berarti menyatu dengan saya,
sesuatu yang meng-object berarti berjarak dengan saya. Secara garis
besar, Abject bisa digambarkan sebagai sesuatu yang ditolak, tapi juga
dinikmati atau menimbulkan sensasi tertentu.
Aquarini Prabasmoro dalam pengantar Kumpulan Cerpen "Kembang Kertas"
menjelaskan bahwa Peminggiran, pengeluaran abjek adalah
peminggiran/
kelangsungan hidup subjek. Pada dasarnya semua cairan tubuh adalah
abject. Perempuan, dalam banyak sisi kehidupannya adalah abject.
Ketika seorang ibu melahirkan, ia adalah abject bagi si bayi. Si bayi
harus meng-abject ibu agar bisa memeroleh kasih sayangnya dan
melangsungkan hidupnya. Semua cairan dalam tubuh adalah abject pada
saat ia dikeluarkan, saat manusia meng-abject. Kotoran manusia, air
seni, keringat, sperma, darah menstruasi adalah abject ketika ia
berada pada ambang, antara ia masih menjadi bagian tubuh dan ketika
saat yang sama tubuh memisahkannya dari diri dan semuanya itu perlu
dikeluarkan agar kelangsungan hidup tetap terjaga. Ketika meng-abject
itu semua, sebenarnya manusia juga merasakan kenikmatan atau menikmati
sesuatu dari abject. Kelegaan ketika mengeluarkan air
seni, kotoran dan sebagainya, jadi walau itu semua kemudian
terlampaui dan kemudian menjadi objek, tapi ia sempat menjadi suatu
ambang yang membawa "sensasi sesuatu" pada manusia.
Nah, itulah abject yang dalam tulisan saya kali ini saya kaitkan
dengan "V". Ia bukan object, bukan pula subject, karena kemitosannya.
Permasalahan yang saya angkat di sini bukan apakah menerimanya
(menjadikan subjek, tak berjarak) atau menolaknya (menjadikan objek,
berjarak), itu terserah anda. Tapi pemosisiannya sebagai abject itulah
yang menarik. Ia menjadi ditolak, sekaligus diperlukan. Dengan
meng-abject, maka ada suatu sensasi pengalaman, sensasi ketika
melampauinya dalam tulisan-tulisan berangkai.
Tulisan ini, merupakan suatu kelabatan di benak saya mengenai
beberapa hal menarik yang muncul secara sinkronik, pertama: diskusi
mengenai Syech Siti Jenar di milis Psikologi Transformatif yang oleh
Leonardo Rimba dijelaskan sebagai ambiguitas V; kedua: Saya sempat
membuka sebuah buku Jacques Derrida, di bagian pengantar yang ditulis
Gayatri Chakravorti Spivak, tepat di halaman yang saya buka acak itu,
tertera penjelasan mengenai Pharmakon (yang menjadi akar kata
Pharmacy, atau Farmasi), yang menjelaskan bahwa Pharmakon adalah
ambang antara Obat dan Racun. Ketiga: Fenomena menarik dari apa yang
saya tulis dalam tulisan: "Psikolog Anak dan Perlindungan Anak",
Keempat: Tanggapan Vincent Liong terhadap "Psikolog anak dan
Perlindungan Anak", Kelima tanggapan Leonardo Rimba terhadap "Psikolog
anak dan Perlindungan Anak", Keenam: Saat saya menuliskan ini, saya
membaca sebuah buku menarik dari Aquarini Priyatna Prabasmoro yang
berjudul "Kajian Budaya Feminis-Tubuh, Sastra, dan
Budaya Pop" yang dalam salah satu babnya mengisahkan pengalamannya
mengandung dan melahirkan.
V, ABJECT, LOVE
Posisi V sebagai abject, membuat ia berada pada ambang. Ia bukan
Utara, Selatan, Timur, atau Barat; bukan pula Angin, Api, Air atau
Tanah. Ia adalah persimpangan jalan bagi pelampauan keempat unsur atau
arah. Oleh karena itu, posisinya bukan sebagai tempat perhentian dari
salah satu unsur itu, tapi pelampauan atau jalan. Ia akan menjadi
jalan bagi Tanah tapi menjadi jalan bagi tanah. Ibarat kartu The
Lovers, Dialah yang akan menjadi jalan bagi Air, Api, Angin dan Tanah
untuk perjumpaan lain yang bagi masing-masing unsur tersebut.
V adalah abject, mitos yang selalu mengajak orang melampauinya.
Ibarat palung, tak semua orang mau dan mampu melampauinya, sebagian
memilih meninggalkannya, sebagian lagi mungkin malah terperosok ke
dalamnya. Untuk lebih jauh memahami V adalah abject, mungkin bisa
dibantu dua data berikut:
Tabloid Nyata Edisi 1825 IV Juni 2006
SETO MULYADI: TINDAKAN TAMARA SANGAT TIDAK BENAR
Selaku Ketua Komnas Perlindungan Anak, Seto Mulyadi menyesalkan
sikap Tamara. Menurutnya, tindakan Tamara tidak dibenarkan.
"Status Rafly kan masih suami secara sah. Tindakan Tamara
mempersulit Rafly itu sangat tidak benar," ungkapnya saat ditemui di
kantornya, Rabu (14/6) lalu.
Selain itu, sebagai anak yang masih berkembang, Rassya membutuhkan
sosok ayah, baik sebagai figur maupun pelindung.
Oleh karena itu, Kak Seto menghimbau agar menyelesaikan masalah ini
secara damai. Dan sebaiknya mengutamakan kepentingan anak.
Jika dalam proses selanjutnya Komnas PA menilai terdapat pelanggaran
dan membahayakan anak, Kak Seto tak segan-segan menindaknya.
"Tamara dapat terkena pasal 13, 14, 26 UU Perlindungan Anak dengan
ancaman hukuman 3 bulan sampai 6 bulan kurungan, " tegasnya.
Senada Kak Seto, Arist Merdeka Sirait menilai bahwa selama ini idak
ada itikad baik dari Tamara untuk menyelesaikan masalah Rassya.
Padahal menurutnya, Komnas PA telah mengupayakan agar Tamara dan Rafly
menyelesaikan masalah mereka secara kekeluargaan.
"Ternyata telah terjadi pelanggaran, Tamara menutup akses Rafly
untuk dapat bertemu anaknya," terang Arist.
Yang bisa dilihat "logika"-nya ketika Kita coba bandingkan dengan
data (sumber: http://www.gatra.
Tamara pun gerah. Akhir pekan lalu, bersama Otto, wanita blasteran
Sunda-Polandia ini memberikan keterangan pers. Sambil berlinang air
mata, Tamara mengungkapkan sisi lain maupun dampak buruk dari sepak
terjang Rafly beserta Komnas PA terhadapnya. Berikut petikankan
wawancaranya:
Bagaimana perasaan Anda saat ini?
Apa perasaan saya? Kalau saya melihat media, (judulnya Red) "Tamara
Menculik Anak", "Tamara akan Dikenakan Pasal 12", dan lain-lain.
Gimana perasaan Rasya? Di mana letak keadilan lembaga ini (Komnas PA
--Red)?
Apa tanggapan Anda dengan keberadaan Komnas PA?
Saya sebenarnya cukup senang bahwa di negara ini ada suatu lembaga
khusus untuk anak. Karena memang, isu tentang anak-anak terlantar,
anak-anak korban gempa, dan anak-anak jalanan, atau anak-anak yang
tidak cukup biaya utk sekolah, bisa tertampung.
Secara khusus, bagaimana komentar Anda dengan adanya Kak Seto di
Komnas PA?
Saya kagum dengan Kak Seto. Saya sangat kagum dengan
program-programnya sewaktu sejak saya masih kecil.
Cuma, yang tidak masuk akal, bagaimana seorang ibu sudah melahirkan 14
jam, mengandung anak itu selama 9 bulan, kerja banting tulang, syuting
dari pagi sampai malam untuk menafkahi anak itu, tiba-tiba dituntut
mau dipenjara! Menggunakan publik, menggunakan media untuk membuat
opini negatif terhadap hidup ini.
Apa dia (Komnas PA --Red) itu adalah solusi terbaik. Kita penjarain
aja ibu dari anak ini.
Kemasukakalan, itulah yang kemudian saya pertanyakan dalam tulisan
saya "Psikolog Anak dan Perlindungan Anak", sebagai berikut:
Apa yang menarik? Yang menarik adalah ketika seorang psikolog anak
senior, mewakili sebuah lembaga "Perlindungan Anak" tapi justru
melibatkan diri dalam suatu peristiwa yang saya ragu kalau beliau ini
benar-benar membela anak (dalam kasus Tamara-Rafly ini, yaitu Rasya).
Kenapa? Karena jelas data yang dijadikan acuan adalah bukan data dari
si anak, tapi asumsi-asumsi berdasar laporan, dalam hal ini Rafly.
Mari sekarang kita coba lihat dari sisi anak. Rekan-rekan di milis
Psikologi Transformatif dan beberapa milis lain, kan sudah sering
membaca mengenai "Logika Empati" yang secara rutin diposting Vincent
(Vincent sendiri saya harap juga berpendapat ya, karena selain ia yang
lagi getol dengan logika empati, konon dia ingin juga jadi psikolog
anak). Saya tidak melihat si anak terlindungi, terutama secara psikis.
Justru si anak, Rasya, selain sudah mengalami sebuah peristiwa berat
yang membawa kekecewaan (Semua anak yang orangtuanya bercerai akan
mengalami ini, ga ada teorinya, cukup empati saja), kini dia harus
menghadapi situasi psikologis lain, yang meliputi: "tuntutan yang bisa
berkonsekuensi membawa ibunya masuk penjara". Jika anda adalah seorang
anak, bagaimana perasaan anda jika banyak orang mengetahui ibu anda
adalah narapidana? Are you proud, or what? Bagaimana kira-kira
perkembangan anda jika berada di posisi Rasya, bocah kecil itu? Saya
bukan pakar psikologi anak,
tapi dari peristiwa-peristiwa itu, ada sebuah rentetetan peristiwa
traumatis yang tak akan hilang sepanjang hidup Rasya. (Tidak usah
berbelit dengan teori juga, bukan hal yang bisa dilupakan, jika di
usia anak anda mengalami peristiwa seperti dialami Rasya). Jadi,
terlepas dari segala perdebatan kebenaran hal yang sudah pasti ada
adalah trauma pada si anak itu sendiri akibat segala kegenitan
"membela anak" ini.
Saya tidak tertarik dengan gosip-gosip selebriti, maupun segala
pernak-pernik di dalamnya seperti perceraian, dsb. Tapi, di sini, saya
sebagai orang yang juga sempat belajar psikologi, mencoba
mempertanyakan peran sosok Seto Mulyadi di sini. Mungkin ini bisa jadi
pembelajaran buat saya dan siapapun yang kebetulan baca tulisan ini
(berikut tanggapannya jika ada yang menanggapi), mengingat kesenioran
Seto Mulyadi di bidang psikologi anak, mungkin ada dalil "psikologi"
yang canggih, atau teori terbaru, termutakhir atau apalah, mengenai
perkembangan anak dalam situasi seperti Rasya, yang jelas tak dikuasai
saya yang bukan pakar psikologi anak. Jadi, saya pengen belajar. Siapa
saja, mungkin yang punya alamat e-mail Seto Mulyadi, mungkin bisa
minta tolong diforward juga tulisan sederhana saya ini.
Saya juga minta tanggapan teman-teman dan mengundang siapapun juga
untuk mendiskusikan fenomena ini di milis Psikologi Transformatif.
Kalau kebetulan Kak Seto juga berminat ikutan diskusi di milis
Psikologi Transformatif, mungkin kita bisa belajar bersama juga dengan
beliau. Mungkin, ada suatu "Jurus Psikologi Perkembangan Anak" yang
canggih di sini (misalnya dengan memenjarakan ibunya), yang bisa
menjelaskan bagaimana "mekanisme perlindungan psikologis" terhadap
anak yang tengah berada dalam peristiwa seperti Rasya.
Atau, mungkin justru kita tak perlu banyak teori melainkan cukup
mencoba berempati untuk melihat dari sisi Rasya? Pertanyaan lain lagi
yang mengganggu saya: dari semua pernyataan yang selalu diembeli "demi
Rasya", pernahkah Rasya-nya sendiri ditanya maunya apa? Benarkah yang
diembeli "demi Rasya" itu memang yang diingini Rasya? Terutama
pernahkah psikolog anak dan pelindung anak ini juga bertanya dan
mencari data dari si anak itu sendiri?
Ah,
tak tahulah. Saya sepertinya memang terlalu naif untuk urusan
psikologi, ilmu yang katanya understanding human being itu. Bagaimana
peran seorang psikolog pada fenomena humanitas seperti Rafly-Tamara
dan Rasya anak mereka? Mungkin ada yang mau menanggapi? Atau ada yang
mau memberi penjelasan pada saya berkaitan dengan
pertanyaan-pertanya
Apa yang saya coba bahas di sini adalah, bagaimana Kita seringkali
sudah tak bisa berempati lagi. Kemasukakalan, hanya ditinjau dari
seberapa ia memenuhi kaidah hukum. Kita terpaku pada tatanan-tatanan,
demi ini-demi itu, yang tidak selaras antara apa yang diomongkan
dengan substansi. Ini karena, logika yang dipakai empirik semata,
hanya hukum, tatanan, dan melupakan [logika] empati. Apa yang bersifat
tatanan, hukum[an] adalah sesuatu yang berasal dari sebuah sistem yang
bersifat patriarkal. Dalam psikoanalisa Lacan, ini dijelaskan sebagai
alam tatanan simbolik yang mencerabut manusia masuk ke dalamnya.
Tatanan ini, membuat sesuatu yang bersifat matriarkal (misteri, cinta,
empati, pemeliharaan, kreasi), berada dalam posisi antara hadir dan
tidak hadir. Ia selalu ada sebagai sebuah kerinduan dalam diri
manusia, tapi selalu juga dibayangi hukuman Kastrasi.
Maka, iapun hadir dalam sesuatu yang berada di ambang, seperti
Abject, seperti simbol "V" atau Cawan. Tulisan mengenai V, Abject ini,
mencoba mengingatkan kembali akan keber-Ada-an sisi empatik dalam
kehidupan manusia. V adalah sebuah ambiguitas yang penting bagi
manusia, ia hadir untuk mengajak kembali manusia merasakan sisi
kemanusiaanya. V akan selalu hadir sebagai ambiguitas, karena dalam
ambiguitasnya itulah ia bisa menyampaikan pesan. Ia tak bisa dipegang
dalam sebuah definisi, pemahaman atasnya justru harus dilakukan dengan
melampauinya. V akan selalu hadir dalam ambiguitas dan oleh karenanya
menjadi abject, seperti V dalam tulisan ini, yang bisa anda kaitkan
dengan apa saja yang memiliki karakter serupa: Cawan, Vincent Liong,
Vagina, Holy Grail, atau apa saja.
© Audifax 25 Juni 2006
------------
Sneak preview the all-new Yahoo.com. It's not radically different.
Just radically better.
--- End forwarded message ---
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar