ada beda tipis antara terlalu pintar, terlalu goblok dan terlalu gila...
tipisssssssssssssssssss..... .... sekali!
------------
Semua Anak Pintar :
Sebuah tinjauan tentang Multiple Intelligences
Di susun oleh Ratih Andjayani Ibrahim, Psikolog
Anak itu Berharga
Bagi orangtuanya anak itu penting. Ia sangat berharga. Ia sangat istimewa. Dan saya yakin, semua orangtua yang normal juga akan memiliki penghayatan yang demikian terhadap anak-anaknya. Intinya, bagi orangtua, anak adalah harta yang tak ternilai lantaran luar biasa berharganya. Karenanya, saya juga yakin bahwa setiap orangtua mengidamkan masa depan yang sangat baik untuk anak-anaknya. Tidak hanya mengidamkan tetapi juga berusaha keras agar bisa mengakomodasi segala kebutuhan untuk membuat anak mampu tumbuh secara optimal, sebagai individu yang hebat dan happy [1]. Dan hal ini, adalah sesuatu yang hingga saat ini saya yakini tentang relasi antara orangtua – anak.
Bahkan ada seorang ahli pendidikan, John Gray Ph.D yang bilang bahwa "Anak-anak berasal dari Surga". Dan saya sangat setuju dengan pendapatnya! Anda pasti ingat bagaimana Anda dipenuhi sukacita yang sangat ketika mengetahui diri Anda atau pasangan Anda hamil. Dan memang betul, banyak orang yang percaya bahwa kehadiran anak-anak akan menggenapi kebahagiaan dalam sebuah keluarga. Dengan menjadi orangtua, pada dasarnya kita sebuah kehormatan besar, langsung dari Tuhan sendiri. Bagaimana tidak, jika berarti kita jadi terlibat secara langsung dalam karya penciptaan Allah? Jadi bayangkan betapa berharganya seorang anak. Ia dikirim langsung dari surga!
Memesan Anak Kepada Tuhan
Meski demikian, sekarang saya mengajak kita semua kembali ke masa awal sebelum anak-anak kita hadir. Coba ingat-ingat, pernahkah dulu kita berdoa, meminta diberi anak dengan kriteria tertentu? Ingin anak yang sehat, yang pintar, yang hebat, yang cakep, yang keren..... ingin anak lelaki, ingin anak perempuan, dst, dst.... Nah, kita memesan anak kepada Tuhan! Saya yakin, pesanan kita pasti yang bagus-bagus.
Percayalah, Tuhan pasti tidak akan becanda untuk hal sepenting ini. Karenanya, saya juga yakin Tuhan tidak salah kirim. Masalahnya adalah cukup mampukah kita menerima si anak, dan memahami segala keistimewaan yang ia miliki.?
Successful Parents
Siapa sih yang tidak ingin berhasil dalam menjalankan perannya sebagai orangtua? Siapa yang tidak ingin punya anak-anak yang sehat, normal, dan pintar? Dan untuk itu orangtua juga ingin bisa membimbing anak-anaknya agar bisa tumbuh menjadi anak yang hebat. Untuk itu pula, maka biasanya para orangtua akan mengupayakan dengan sekuat tenaga agar bisa mengakomodasi segala harapan-harapan luhur bagi anaknya. Sayangnya, acapkali harapan-harapan yang baik tersebut kemudian berubah menjadi ambisi. Apalagi ketika kita mulai membandingkan anak kita dengan anak-anak lainnya. Bukan tidak mungkin ego kita jadi terusik. Lalu tanpa sadar kita mulai memasang standard tinggi untuk menjadikan anak kita menjadi "hebat" sesuai dengan versi yang kita punya, tanpa sungguh-sungguh mampu memahami keunikan dan kapasitas si anak. Hal ini bisa memicu frustrasi baik di anak maupun orangtuanya.
Pertanyaannya sekarang, a pakah anak kita memang pintar? Apakah anak kita hebat? Ya! Saya menjawab : YA !!! Semua anak pintar. Semua anak cerdas . Semua anak hebat. Tergantung apa definisi kita tentang hebat, cerdas dan pintar itu sendiri. Lalu kalau anak saya pintar, kenapa dia mentok di sana sini? Apa yang salah? Di mana yang keliru? Bagaimana menyikapinya?
"Dosa "kita sebagai orangtua sebagaimana yang saya katakan sebelumnya adalah, kita sering tidak mampu memahami bahwa tidak ada satupun anak yang sama persis dengan anak lainnya. Ketika membandingkan anak kita dengan anak-anak lainnya, ego kita terusik. Kita ingin anak kita seperti anak lain. Kita ingin anak kita bisa lebih hebat dari anak yang lain. Misalnya, ketika anak-anak di sekitar kita beramai-ramai les biola, karena konon baik untuk mengoptimalkan kecerdasan, kita juga memaksa anak kita untuk ikut les biola. Dan lalu kita memaksa dia untuk berlatih biola supaya kalau bisa anak kita lebih mahir bermain biola dibandingkan teman-temannya. Atau, misalnya karena saat ini les bahasa Mandarin sedang jadi trend, anak kita pun kita ikutkan les bahasa Mandarin. Padahal tak satupun anggota di rumah yang berbahasa Mandarin. Belum lagi les-les yang lain-lain. Padahal, belum tentu segala kegiatan yang kita "paksakan" kepada anak itu cocok untuk anak.
Setiap kali kita membaca buku tentang parenting, bertemu dengan para pakar perkembangan dan psikolog, biasanya kita diingatkan, bahwa setiap anak itu unik, istimewa dan berharga. Karena memang masing-masing anak memiliki karakteristiknya sendiri, bakatnya sendiri, keistimewaannya sendiri. Dan dalam hal ini peran orangtua dalam pendidikan anak adalah luar biasa penting. Di sekolah, peran tersebut diwakilkan kepada kepala sekolah – sebagai orangtua dari sebuah keluarga bernama sekolah, dan kepada guru – sebagai orangtua keluarga di kelas. James Stetson. [2], mengatakan tentang orangtua yang berhasil sebagai berikut : "Successful Parents realize that children grow up not when they can take care of themselves but when they can take care of others and want to." Jadi, coba bayangkan betapa sebuah penyelenggaraan pendidikan bagi anak-anak kita bukanlah sebuah proses yang main-main. Ada sebuah tanggung jawab yang sangat besar di situ. Tidak hanya untuk si anak sendirian, melainkan untuk semua anak lainnya. Untuk seluruh bangsa dan masa depannya.
Nah sekarang apa yang perlu kita lakukan bersama anak kita? Agar metode belajar – learning [3] yang kita selenggarakan bagi anak sesuai? Sehingga proses belajarnya bagi anak menjadi efektif? Dan agar efek dari belajar terjadi akan menguat?
Mengidentifikasi Kecerdasan dan Bakat Anak
Menjadi orangtua jelas bukan sebuah profesi yang mudah. Kita tidak pernah berskolah secara khusus untuk menjadi orangtua yang hebat. Kita belajar menjadi orangtua yang sebaik mungkin bisa kita upayakan dari seluruh pengalaman hidup kita, termasuk dari kesalahan-kesalahan yang kita lakukan. Namun saya sungguh percaya, bahwa pada dasarnya setiap orangtua sayang pada anaknya. Sehingga, jika dalam prakteknya "tanpa sengaja" terjadi kesalah-kesalahan dalam mengekspresikannya, saya yakin hal ini bukan lantaran si orangtua kurang mengasihi anaknya. Melainkan karena mungkin ia masih kurang mampu mengenali anaknya, untuk kemudian memahami si anak, lalu menemukan cara yang paling pas untuk bekerja bersama si anak.
Saya katakan, bekerja bersama anak. Perhatikan kata : bersama anak. Sebuah pendidikan untuk anak tidak akan bisa berhasil, tanpa kerja sama dari anak. Untuk bisa berhasil sebagai orangtua kita harus mampu bekerja bersama anak. Dan untuk itu, selain kasih sayang, penghargaan dan penerimaan terhadap anak, kita juga perlu memahami sang anak, dengan segala kapasitas yang dimilikinya, karakter, bakat, potensi serta kecerdasannya.
Cara yang paling umum dilakukan adalah orangtua membawa anaknya ke dokter anak, untuk mengenali segala yang berkaitan dengan perkembangan fisiologis anak. Lalu ke psikolog., untuk menggali segala potensi yang dimiliki anak, baik kecerdasan, minat, bakat dan karakteristik kepribadian anak. Dan yang terutama biasa diminta orangtua kepada psikolog adalah tes IQ. Mengapa? Karena tes IQ itu penting. Mengapa penting? Karena diminta oleh sekolah. Karena orangtua ingin tahu, agar bisa mengarahkan anak secara lebih tepat. Supaya bisa mengantisipasi keberhasilan maupun kegagalan anak di sekolah. Pokoknya IQ itu penting sekali.
Ketika ditanya tentang apakah IQ? Maka secara umum IQ bisa dikatakan sebagai sebuah ukuran kecerdasan, kecepatan kita dalam berfikir, intellectual skill. [4]
Sebetulnya Kecerdasan itu Tunggal atau Majemuk – lebih dari satu?
Pertanyaannya sekarang, adalah sebetulnya kecerdasan itu tunggal atau lebih dari satu sih? Jika hanya satu, mengapa ada berbagai aspek lain yang menonjol pada anak kita dan tidak pada anak lainnya? Apakah itu bukan manifestasi dari kecerdasan juga?
Sampai saat ini masih sangat banyak dari kita yang mengira kecerdasan hanya ada satu. Yaitu kecerdasan inteletual. Kecerdasan intelektual, adalah kecerdasan yang terutama dibutuhkan di bangku sekolah. Kecerdasan yang ini akan diukur dan biasanya diberi nilai selama seorang anak mengenyam pendidikan di sekolah. Berdasarkan nilai yang diperoleh ia akan mendapatkan "label" sebagai anak yang pintar atau bukan. Dan biasanya, ada nilai dari mata pelajaran tertentu yang dipercaya bahwa secara signifikan ia berkorelasi dengan kecerdasan anak. Salah satunya adalah matematika. Yang terjadi kemudian adalah, kita jadi over postioning terhadap mata pelajaran yang satu ini. Bahkan kemudian juga terhadap mata pelajaran lain yang bersinggungan dengan matematika, yaitu fisika dan kimia. Kebetulan ketiganya merupakan mata pelajaran utama dalam kelompok bidang ilmu eksakta. Oleh karena itu kita kemudian mengira anak-anak yang mampu menggeluti bidang ilmu ini adalah anak-anak yang superior, lebih cerdas ketimbang anak-anak lainnya.
Masalahnya sekarang, mana ada sih orangtua yang tidak kepingin anaknya termasuk kelompok anak-anak cerdas, anak-anak hebat itu.Mengapa? Karena alam bawah sadar kita percaya bahwa yang kuat yang menang. Yang superior akan lebih unggul. Yang lebih unggul akan lebih berhasil dalam hidup. Karenanya apa yang kemudian dilakukan? Masuk bidang eksakta lalu dijadikan tujuan. Kalau perlu anak dipaksa, dimotivasi, diberi les habis-habisan agar bisa jago dalam matematika, dan/atau masuk jurusan IPA.
Adalah Howard Gardner yang kemudian membuka mata dunia, termasuk kita, bahwa ternyata kecerdasan tidak bersifat tunggal. Kecerdasan ada beraneka ragam. Dan setiap orang, juga anak, memiliki karakteristik kecerdasannya sendiri-sendiri. Kecerdasan pada setiap orang bersifat sangat subyektif, dengan kekuatannya sendiri-sendiri, pun variasinya sendiri-sendiri.
Siapakah Howard Garner [5]?
I want my children to understand the world, but not just because the world is fascinating and the human mind is curious. I want them to understand it so that they will be positioned to make it a better place. Knowledge is not the same as morality, but we need to understand if we are to avoid past mistakes and move in productive directions. An important part of that understanding is knowing who we are and what we can do... Ultimately, we must synthesize our understandings for ourselves. The performance of understanding that try matters are the ones we carry out as human beings in an imperfect world which we can affect for good or for ill . (Howard Gardner 1999: 180-181)
Apakah yang dimaksud dengan "Multiple Intelligences"
Pada mulanya Gardner mengindentifikasi kecerdasan kedalam 7 kecerdasan utama, yaitu :
1. Verbal/ Linguistic
2. Logical/Mathematica
3. Visual/Spatial
4. Bodily/Kinesthetic
5. Musical
6. Interpesonal
7. Intrapersonal
Linguistic intelligence - melibatkan kepekaan terhadap spoken language dan written language, kemampuan untuk mempelajari bahasa-bahasa, dan kapasitas untuk menggunakan bahasa demi mencapai tujuan-tujuan tertentu. Termasuk juga kemampuan untuk secara efektif menggunakan bahasa untuk mengekspresikan dirinya secara rhetorically atau poetically; dan menggunakan bahasa sebagai sarana untuk mengingat informasi. Writers - penulis, poets, lawyers dan speakers adalah yang oleh Gardner dinilai memiliki kecerdasan linguistik yang tinggi.
Logical-mathematica
Musical intelligence - melibatkan ketrampilan yang dibutuhkan untuk tampil dalam sebuah pertunjukan, komposisi, dan apresiasi terhadap pola-pola musikal. involves skill in the performance, composition, and appreciation of musical patterns. Termasuk di dalamnya kapasitas untuk mengenali dan membuat komposisi musik dari pitches, tones, dan rhythms – irama. Menurut Howard Gardner musical intelligence secara struktural bersejajar dengan linguistic intelligence.
Bodily-kinesthetic intelligence - membutuhkan potensi untuk menggunakan seluruh atau sebagian dari tubuh untuk mengatasi masalah - to solve problems. Yang merupakan bodily-kinesthetic intelligence merupakan kemampuan untuk menggunakan kemampuan mental untuk mengkoordinasikan gerakan-gerakan tubuh. Dalam hal ini Gardner melihat bahwa aktivitas mental dan fisik ternyata saling berhubungan.
Spatial intelligence - melibatkan potensi untuk mengenali dan menggunakan pola ruang dalam lingkup ruang yang luas maupun yang terbatas.
Interpersonal intelligence - memperhitungkan kapasitas yang dimiliki untuk memahami intensi, motivasi, hasrat dari orang lain. Empati. Ia memungkinkan orang untuk bisa bekerja secara efektif dengan orang lain. Pendidik – educators, salespeople, religious , political leaders dan counsellors adalah mereka yang membutuhkan a well-developed interpersonal intelligence .
Intrapersonal intelligence - membutuhkan kapasitas untuk bisa memahami diri sendiri, untuk menghayati dan menghargai perasaan, ketakutan, harapan dan motivasi diri sendiri. Menurut Howard, Intrapersonal intelligence melibatkan kemampuan untuk secara efektif bekerja dengan diri sendiri, dan sanggup mengatur diri sendiri.
Di luar 7 kecerdasan yang dijelaskan di atas, ternyata masih ada bentuk-bentuk kecerdasan tambahan lainnya, yang saling berkaitan dan mendukung terbentuknya kecerdasan yang lainnya, yaitu :
- naturalistic intelligences
- spiritual intelligences
- existential intelligences
- moral intelligences
Naturalistic intelligences memungkinkan manusia untuk mengenali, membuat kategori – pengelompokkan, dan menggambarkan beraneka macam keistimewaan yang ada di lingkungannya. Kecerdasan ini menggabungkan antara gambaran tentang kemampuan dasar manusia dengan karakter-karakter peran dalam berbagai nilai budaya .
Bagaimana cara mengidentifikasi kecerdasan yang ada pada saya?
Setelah lebih memahami betapa berbedanya kecerdasan yang kita punya, bahwa setiap orang memiliki perbedaan individual yang sangat unik, kita jadi ingin tahu bagaimana mengidentifikasinya bukan? Ada beberapa cara yang bisa dilakukan. Diantaranya adalah mengobservasi diri sendiri secara lebih cermat. Kita juga bisa meminta masukan dari orang lain yang bisa dipercaya. Selain itu kita bisa mencoba menjawab beberapa kuis [6] sederhana yang bertujuan mengukur multiple intelligences kita. Pertanyaan selanjutnya adalah seberapa jujur kita mengamati diri kita sendiri dan dalam menjawab pertanyaan-pertanya
Nah, hal yang sama juga terjadi pada anak kita. Tentu semakin muda usia anak akan semakin sulit bagi dia untuk menjawab pertanyaan-pertanya
Mengapa penting untuk bisa mendeteksi kecerdasan anak sejak dini adalah agar, mudah-mudahan kita bisa pas dalam membantu anak mengembangkan dirinya secara lebih sesuai dengan karakteristik yang ia miliki, dan tentunya juga lebih optimal.
Setelah teridentifikasi, lalu apa?
Sangat penting kita sadari bahwa mengenali MI itu bukan tujuan. MI adalah sarana untuk mengenal anak dan seluruh kapasitas potensinya secara lebih baik. Setelah memperoleh hasilnya, kita akanmelihat variasi-variasi kecerdasan yang ada pada anak. Pertanyaan sekarang, adalah apa yang bisa saya lakukan untuk membantu anak berkembang?
Menurut Gardner ada hal-hal yang dibutuhkan untuk membantu mengembangkan MI pada anak-anak kita, sebagai berikut :
1. Culture: support for diverse learners and hard work. Acting on a value system which maintains that diverse students can learn and succeed, that learning is exciting, and that hard work by teachers is necessary.
2. Readiness: awareness-building for implementing MI. Building staff awareness of MI and of the different ways that students learn.
3. Tool: MI is a means to foster high quality work. Using MI as a tool to promote high quality student work rather than using the theory as an end in and of itself.
4. Collaboration: informal and formal exchanges. Sharing ideas and constructive suggestions by the staff in formal and informal exchanges.
5. Choice: meaningful curriculum and assessment options. Embedding curriculum and assessment in activities that are valued both by students and the wider culture.
6. Arts. Employing the arts to develop children's skills and understanding within and across disciplines.
Bagaimana cara menyelenggarakannya
Nah, untuk hal yang terakhir ini, adalah tugas kita untuk bersama-sama, juga bersama anak, untuk menemukannya.
-o0o-
[1] Steve Biddulph,1998, The Secret of Happy Children, Harper Collins Publishers
[2] A School Principal and Author, in Andrew Mullins, 2005. Parenting for Character. Equipping Your Child for Life.
[3] Norman A. Sprinthall, Richard C. Sprinthall, 1990. Educational Psychology – A Development Approach. 5th edition. Mac Graw-Hill Publishing Company.
Learning referring to a process that leads to a relative permanent change in behavior resulting from past experience. Thus such activities as acquiring physical skills, memorizing poems, acquiring attitudes and prejudices or even tics and mannerisms are all examples of learning. Learning may be conscious or unconscious, adaptive or maladaptive, overt or covert. Although the learning process is typically measured on the basis of a change in performance, most psychologists agree that an accompanying change occurs within the nervous system. Though there are a great many theories and explanations concerning learning, there is general agreement regarding its definition.
[4] Ken Russell & Philip Carter, 1999. Test Your IQ, Foulsham The Publishing House.
IQ is the abbreviation for Intelligence Quotient. The dictionary definition of quotient is 'the number of times one quantity is contained within another'. The definition of intelligence is 'intellectual skill', 'mental brightness', quick of mind'.
When measuring the IQ of a child, the child would attempt an intelligence test which had been given to thousands of children, and the results correlated so that the average score had been assessed for each age group.
[5] Lihat dalam "Short Biography of Howard Gardner"
[6] Lihat "Self Quiz"
Earn your degree in as few as 2 years - Advance your career with an AS, BS, MS degree - College-Finder.net.
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar