Saint Valentine, throned aloft,
Thus little birds sing for your sake
(Geoffrey Chaucer, The Parliament of Fowls)
Bukan the Joker atau buku killing joke yang menjejakkan seringai tawa
di wajah mayat-mayat itu, tetapi babi-babi cupido terbang bersenapan
mesin.
Cinta hari ini bukan lagi seekor burung, malaikat kecil yang akan
mengusir prahara musim dingin dengan sinar mentarinya yang lembut. Ia
telah kehilangan kekuatan pembebasnya, kehilangan keluguannya,
kemurniannya, ketulusannya, dan berubah menjadi mesin pembunuh yang
siap menyantap tubuh kita. Dan tragisnya, babi-babi itu tetap terlihat
sebagai malaikat-malaikat kecil, sehingga kita tertawa di hadapan
elmaut yang dikirimkannya.
Inilah salah satu karya yang dipamerkan dalam Expired Date 1402 di
galeri Roemah Roepa, Kemang, yang ingin menelanjangi
kemunafikan-
kebasnya hubungan antar manusia dalam masyarakat urban, atau secara
lebih luas masyarakat kapitalis.
Babi-babi cupido itu, yang diusung oleh Unggul Kardjono itu bukanlah
sebuah satire yang orisinal, ia bahkan telah menjadi metafor mati dari
gerakan anti-Valentine, atau lebih tepatnya gerakan anti banalitas
valentine, yang di satu sisi menolak perayaan hari Valentine, namun di
sisi lain merupakan perwujudan hasrat-hasrat romantisisme terhadap
spirit Valentine atau cinta yang sejati yang telah hilang terkoyak
waktu, modernitas, konsumerisme, seperti yang disajikan oleh
lukisan-lukisan Ponk-Q dan foto hot-dog warna-warni karya Keke.
Dalam berbagai kebudayaan, babi merujuk pada sifat rakus, agresivitas,
atau kecenderungan memonopoli, yang dalam pemaknaan positifnya menjadi
simbol akan kekayaan atau kesejahteraan. Dalam bahasa kita sendiri
dikenal ungkapan "Membabi Buta" yang dalam pameran ini juga dipakai
dalam mural Uke dan Popo.
Babi cupido tidaklah sama dengan cinta buta si malaikat kecil yang
tertutup matanya. Cinta buta adalah kondisi ketika dirimu
mentransenden dan masuk secara total pada wajah telanjang liyan,
ketika dirimu menjadi anonim dan kau tak memerlukan syarat apapun atas
cintamu. Sedang babi-babi cupido itu justru kebalikannya, ia bersifat
totaliter, memberangus keliyanan liyan dan menjadikan liyan sebagai
alteregonya. Ia hidup dalam "Pintu Tertutup" Sartre, ketika liyan
tampak sebagai ancaman sehingga harus dikuasai. Cintanya adalah
cinta-kekuasaan dalam terminologi Erich Fromm, cinta berbalas, bukan
"tepuk sebelah tangan"istilah yang terlanjur berkonotasi negatif,
dimaknai sebagai sebuah kekalahan, yang tentunya merupakan derivasi
dari intensi cinta berbalas.
Tetapi kita harus mengakui bahwa ini bukanlah hal yang mudah.
Valentine, cinta, dan apapun dalam kehidupan kita, tak pernah
menampilkan diri sebagai sesuatu yang jelas dan terpilah, melainkan
sebuah keburaman, sebuah aporia (sebuah kontradiksi internal yang tak
dapat diperbaiki), hantu.
Karena keburaman itulah maka diperlukan kehati-hatian, bukan sekedar
hati, dalam memutuskan.
"Sebuah keputusan harus melampaui keburaman," kata Derrida.
Tanpa kehati-hatian, maka sebuah percintaan atau cinta suci menjadi
cinta berahi. "Valentine menjadi Fucklentine,
lain, yang menampilkan gambar Jhon-Yoko berlatarbelakang lukisan
Guernica Picasso, dengan tulisan WAR IS OVER besar-besar, serta
kutipan semboyan mereka: "Make love not war".
"Making love", sebuah ritual penyerahan, keikhlasan, dengan gampang
bisa terjerembab menjadi "making war", sebuah pertarungan kekuasaan.
Percintaan Wisrawa dan Sukesi adalah gambaran baik akan hal ini.
Bagaimana paduan cinta mereka, yang seharusnya mampu menjabar hakikat
Sastra Jendra Hayuningrat, tulisan indah peruwat dunia, justru jatuh
sebagai pesta nafsu dan akhirnya menciptakan kejahatan yang
direpresentasikan oleh klan Alengka.
Kelinci-kelinci Vonny memberikan cerminan akan kejatuhan ini.
Domestifikasi kelinci menjadi binatang peliharaan tak pelak lahir dari
kecintaan akan binatang tersebut, tetapi cinta itu justru dimainkan
dalam bangunan-bangunan kekuasaan, yang secara lahiriah adalah
domestifikasi itu sendiri, dan secara psikis adalah proyeksi-proyeksi
kita terhadap peliharaan tersebut, yang membuat kita menghapus
keliyanannya.
Kejatuhan ini juga bisa kita kecap dari karya-karya Hennny Purnama
Sari yang alih-alih menyuarakan keseimbangan, yin-yang, 69,
iblis-diva, mereka mengenakan jubah kebinalan, sehingga menjadi
banalitas yang dilawannya sendiri, menggantikan tata susila yang
dianggap sebagai kemunafikan dengan isusila yang ditakrif sebagai
kejujuran, kesejatian.
Atau bagaimana pameran ini hanya menjadi keping-keping puzzle yang
berserakan, tak mampu berdialog satu sama lain atau membentuk
konstruksi puzzle yang utuh.
Bahkan pembunuhan atau penguburan St. Valentine, pengadaluarsaan
tanggal 14/02 bisa jadi menyimpan dorongan-dorongan cinta-kekuasaan,
cinta berbalas. Penguburan atau pengadaluarsaan ini, bisa jadi
merupakan upaya merebut Valentine dari tangan publik, yang ketika
usaha-usaha itu tampak muskil, ketika cinta mereka pada Valentine yang
kini menjelma dalam tubuh publik sebagai perayaan hari Valentine
tertolak, maka satu-satunya cara adalah membunuh sang Valentine itu
sendiri, dan menguasainya di dinding-dinding galeri ini.
"Saya tidak membunuh mereka, saya justru membuat mereka abadi," jawab
Sumanto, ketika ia ditanya bagaimana sampai tega melakukan kanibalisme.
Usaha-usaha para perupa dalam pameran ini, mengingatkan pada film dari
von Trier, sutradara terkemuka Denmark, penggagas Dogme95.
Film itu berjudul The Idiots (1998). Bercerita tentang sekelompok anak
muda snob yang terinspirasi untuk mendapatkan kembali keidiotan asali
yang tersimpan dalam diri mereka. Mereka pun turun ke jalan,
bersola-tingkah sebagai idiot, hingga orang-orang di restauran, taman,
dan pabrik yang mereka kunjugi merasa takut dan mengambil jarak.
Gerombolan itu pergi ke sebuah rumah kosong milik paman salah seorang
dari mereka di daerah pinggiran. Menjadikan rumah itu sebagai "surga
purbawi" mereka. Lama-kelamaan tingkah mereka benar-benar sakit.
Mereka mengencingi mobil perwakilan dewan kota praja yang akan memberi
dana jika mereka mau pindah ke suatu tempat, menitikan liur saat
wawancara kerja, berlari telanjang di jalanan, gang bang, dan
sebagainya. Segala kesintingan itu membuat mereka merasa mencapai
kesenangan sejati. Hingga suatu saat salah seorang dari mereka
dijemput oleh orang tuanya, dan tak memiliki kekuatan untuk menolak.
Sebuah pertanyaan melabrak, "Seberapa jauh kita ingin mencecap
kesenangan itu?"
Pada akhirnya mereka gagal dalam melaksanakan perjalanan retour a la
nature itu, kecuali tokoh Karen, yang meskipun turut serta dalam
permainan tersebut, tetapi mengambil jarak dan tetap berdiri di atas
rasionalitas. Ia memilih bertindak sebagai pengamat, mereflesikan
semua teknik ganjil yang dipertontonkan dan sensasi-sensasi yang
diterimanya. Ketika seluruh anggota kelompok itu pulang ke rumah
masing-masig, kembali ke kehidupan normal mereka, Karen justru
mempraktekan keidiotan yang telah ia pelajari di hadapan keluarganya.
Ia berhasil menembus ketakutan utama kelompok tersebut, membayar lunas
harga sosial menjadi seorang idiot di hadapan orang-orang yang
dicintainya. Sesuatu yang tak mampu ditanggung teman-temannya.
Dalam pameran ini, posisi Karen mungkin bisa kita perbandingan dengan
instalasi karya Zeke, yang menampilkan rekaman playback sebuah lagu
"introvert" yang dinyanyikannya sendiri dengan sebuah patung pemusik
di depan sebuah organ, serta elemen visual lainnya. Atau karya-karya
'studi anatomi" Kamto. Karya-karya itu seakan `cuek' dengan agenda
pameran ini. Karya-karya itu bercerita tentang dirinya sendiri,
tubuh-tubuh itu sendiri atau instalasi pemusik itu sendiri sebagai
sebentuk penampilan atau seni visual. Tak ada yang lain. Kamto dan
Zake hilang bentuk di sana.
"Keidiotan seperti hipnotis atau ejakulasi; jika kau menginginkannya,
kau tak akan mendapatkannya. Sebaliknya jika kau tak menginginkannya,
maka kau akan mencapainya,
###
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar