Masukannya sangat bagus dan saya berusaha akan lakukan sesuatu yang membuat keduanya bahagia.
Saya akan berusaha tukar pikiran dengan ibuku sebagai ibu yang sangat kusayang karena saya adalah anak tunggal,
dan tidak mungkin ibu saya tinggal di rumah keponakannya atau di rumah anak tirinya.
Satu hal yang membuat istri agak tertekan karena selama ini semua yang dia lakukan kurang mendapat dukungan penuh dariku dan dari ibuku.
Permasalahannya adalah hal2 yang dilakukan oleh istriku kadang kurang mendidik anak2 atau terlalu memanjakan anak2nya.
Dari tambahan informasi ini, mungkin bisa diberikan masukan lagi, sehingga saya bisa lebih memahaminya dan bisa melaksanakannya.
Saya tidak ingin membuat keutuhan keluargaku menjadi berantakan, karena keutuhan keluargaku adalah bagian dari tujuan hidupku.
From:
Sent: Wednesday,
To:
Subject: [psikologi_transfor
Pak Zein yth,
Ikut memberi pendapat ya, Pak. Setelah mencermati potongan2 informasi yang Bapak berikan melalui dialog dengan beberapa teman di milis ini, saya sepakat dengan saran yang sudah diberikan teman2 lainnya; baik Pak Manneke, Info Seimbang, maupun Mas Anwar Haryono. Memang masalahnya terlihat gamblang, dengan solusi yang sebenarnya jelas, namun yang menjadi penghalang tampaknya [maaf] adalah ketidaksiapan Bapak sendiri untuk menerima kenyataan :)
Jadi saya hanya ingin memformulasikan ulang apa yang sudah disinggung oleh kawan-kawan lainnya, melalui sebuah saran jangka pendek dan sebuah saran jangka panjang :)
SARAN JANGKA PENDEK :
Untuk jangka pendeknya, saya menyarankan agar Anda meyakinkan ibu Anda mengenai perlunya keterlibatan pembantu yang lebih banyak, seperti yang diinginkan istri Anda.
Pertimbangan saya adalah: semua manusia memiliki kebutuhan untuk berkarya, untuk menjadi bangga, untuk punya "masterpiece"
Keadaan ini diperparah dengan adanya ibu Anda di rumah yang sama, seorang "pesaing" karena sama-sama ibu rumah tangga juga. Dengan keadaan seperti ini (kurangnya kebebasan berkarya dan adanya pesaing), sangat wajar jika istri Anda menjadi tertekan dan kurang bahagia. Dan keadaan tertekan/kurang bahagia itu sering kali muncul dalam bentuk gangguan fisik; yang paling sederhana adalah cepat lelah, yang lebih gawat lagi adalah menimbulkan penyakit2 tertentu.
Dengan adanya pembantu, mudah2an istri Anda lebih leluasa mengembangkan kebutuhannya untuk berkarya dan menjadi bangga. Semoga hidupnya menjadi lebih bermakna, lebih bahagia, dan tentu akan membuat fungsi dirinya sebagi seorang ibu/istri/menantu lebih optimal.
Keberatan ibu Anda bahwa cucu2nya akan diasuh pembantu sebenarnya merupakan keberatan minor; sesuatu yang bisa dibicarakan baik2. Toh, pembantu itu dilibatkan untuk membantu urusan rumah tangga, bukan mengambil alih tugas ibu rumah tangga.
SARAN JANGKA PANJANG:
Saran jangka panjang saya sama dengan usulan Pak Manneke yang ekstrim dan sudah disinggung oleh Info Seimbang juga: pisahkan (secara fisik) ibu dan istri Anda. Adalah sangat tidak sehat menyatukan ibu dan menantu perempuan dalam satu rumah tangga, apalagi ini sudah usia perkawinan Anda yang ke-10 :)
Maaf, menurut saya Anda perlu mengubah cara pandang Anda tentang "keterikatan"
Saya tidak tahu usia Anda, namun dengan 10 thn perkawinan, saya duga Anda dan istri Anda berada dalam tahap usia Dewasa Pertengahan (sekitar 35 - 45 thn), sementara ibu Anda mungkin berada di tahap usia Dewasa Akhir (sekitar 60 - 75 thn). Nah.. Anda perlu mengingat bahwa dalam tiap tahap perkembangannya, seorang manusia punya tugas2/harapan/
Secara sosial, beberapa tugas perkembangan Dewasa Pertengahan (Anda & istri Anda) adalah menjaga dan menguatkan hubungan perkawinan (dimana Anda & istri sudah harus menjadi partner yang solid) dan memanajemeni rumah tangga secara otonom (menjadi penentu utama tentang bagaimana Anda & istri mengatur rumah tangga Anda berdua, termasuk cara mengasuh anak dan mendelegasikan tugas rumah tangga). Terus terang, masuknya unsur ibu Anda secara fisik dalam rumah tangga Anda adalah faktor yang cukup mengganggu. Apalagi ketika Anda menempatkan ibu Anda sebagai figur yang sama kuat dengan istri Anda dalam menentukan jalannya rumah tangga. Ini dapat membuat istri Anda tertekan dan tidak bahagia, karena hak dan wewenangnya sebagai "ratu" rumah tangga terpaksa dibagi dengan orang lain. Dengan mempertahankan keterikatan fisik tinggal dalam rumah yang sama, secara tidak langsung Anda sedang [maaf] menghancurkan istri Anda sebagai seorang individu.
Sebaliknya, dalam usia Dewasa Akhir, beberapa tugas perkembangan yang sepantasnya mulai dilakukan oleh ibu Anda adalah: "mundur" dari peran aktif sebagai pengatur rumah tangga. Perannya sekarang lebih sebagai "pemberi saran", tapi bukan pengambil keputusan lagi. Dengan menempatkan ibu Anda sebagai pelaku aktif, secara tidak langsung Anda sedang menghalangi perkembangan ibu Anda. Jadi, secara tidak langsung pula, Anda sedang [maaf] menghancurkan ibu Anda sebagai seorang individu.
Mohon maaf, Pak, sejauh yang saya lihat dari potongan2 informasi yang Bapak berikan, tampaknya justru sikap dan pandangan Bapak tentang "keterikatan" ini yang menjadi pangkal masalah. Adalah suatu hal yang wajar jika ibu mertua dan menantu perempuan bersaing, apalagi jika keduanya punya area of expertise yang sama (dalam hal ini: kegiatan rumah tangga). Adalah hal yang wajar juga jika terjadi kesenjangan persepsi tentang pola pengaturan rumah tangga antara generasi tua yang lebih tradisional dengan generasi muda yang lebih progresif. Namun semua ini baru menjadi masalah besar ketika keduanya "dipaksa" berada dalam lingkup yang sama, apalagi dalam waktu bertahun2, dan kepala rumah tangganya tidak bisa tegas mengatur mana yang harus berperan sebagai advisor/executor/
Seperti sudah disinggung oleh Mas Anwar, individu2 dalam keluarga itu bukan seikat lidi. Masing2 punya kebutuhan yang berbeda, sehingga memaksakan mereka menjadi satu SECARA FISIK SAJA, bisa jadi merupakan paradoks yang menghasilkan keterpecahan ikatan emosional. Karena dengan menyatukan mereka SECARA FISIK SAJA, secara tidak langsung Anda tengah menghalangi kodrat masing2 :) Yang harus Anda perhatikan adalah ikatan emosional mereka, yang justru baru terjalin jika masing2 pihak menjadi bahagia dan tumbuh dengan seharusnya.
Jadi janganlah terlalu harafiah mengartikan "Bersatu Kita Teguh, Bercerai Kita Runtuh" seperti seikat sapu lidi :) Karena dalam kasus Anda, saya melihatnya sebagai: seikat sapu lidi yang sedang digunakan untuk menyapu sekam :) Masing2 lidi tetap terikat secara fisik dengan lidi lainnya, namun juga perlahan2 hancur dimakan api karena digunakan untuk menyapu sisa bara - sesuatu yang jelas2 bertentangan dengan kodratnya sebagai "kayu".
Mohon maaf jika saran dan ucapan saya terdengar pedas dan/atau tidak sesuai dengan apa yang ingin Bapak dengar. Ohya, beberapa rujukan tentang tugas perkembangan dapat Anda baca berikut ini:
- http://home.
earthlink. net/~andyda/ psych/develop/ dtaskst.html - http://www.freudian
slip.co.uk/ havighurst- developmental- tasks.php
Salam,
> _____
>
> From:
> [mailto:
> Sent: Tuesday,
> To:
> Subject: RE: [psikologi_transfor
>
>
>
> Keterikatan antara saya dengan ibu, istri dan anak adalah satu ikatan yang
> tidak ingin saya lepas satu2.
>
> Apabila salah satunya ada yang lepas, maka persatuan akan bubar dan akan
> mengakibatkan rumah tangga porak poranda,
>
> ini sudah bisa saya prediksi sebelumnya.
>
> Saya sebagai kepala rumah tangga ingin keutuhan rumah tangga tetap langgeng,
> semuanya merasakan kebahagiaan bersama.
>
> Ibarat sapu lidi, apabila ada beberapa lidi yang patah, maka akan
> mengakibatkan lidi lain patah karena berpengaruh pada
>
> tekanan dan gesekan masing2 lidi yang dipakai.
>
> Tapi aku sedang berpikir bagaimana caranya lidi2 yang dipakai tadi tetap
> selalu utuh.
>
> Mungkin ada kawan2 lain yang bisa memberikan solusinya.
>
> Permasalahan ini sangat rumit dan perlu pemikiran yang jernih dalam
> mengatasinya.
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar