CERDIG 130308
KENANGAN YANG TAK TERLUPAKAN
Oleh Tri Ramidjo
Hari itu hari minggu. Ya, hari Minggu yang tidak berbeda dengan hari-hari Minggu lainnya. Walaupun hari itu aku tidak masuk sekolah, pagi-pagi sekali aku sudah bangun.
Sudah menjadi kebiasaan di rumah kami semuanya di waktu subuh sudah bangun dan salat subuh. Seperti biasa aku segera mengambil sapu lidi dan setelah lantai rumah dikiprati dengan air supaya debu lantai tidak berterbangan kumulai menyapu dengan sapu lidi yang baru saja kubuat kemarin.
Ya, kemarin ketika ayahku pulang dari warung oom Tambi, ayahku membawa blarak (daun kelapa). Katanya blarak itu diambil dari pohon kelapa tanaman ayahku ketika baru datang di Digul dan setelah 10 tahun ditanam pohon kelapa itu tumbuh tinggi dan berbuah dan daun blaraknya sudah bisa dimanfaatkan untuk bikin ketupat dan tulang daunnya atau lidinya bisa dibuat sapu.
Aku senang menyapu dengan sapu baru hasil buatanku sendiri. Tetapi simpai sapu itu ayahku yang membuat. Ayahku pintar meraut rotan, merajut jala, mengasah gunting, mengasah gergaji, membikin rumah, perahu dan segala macam pekerjaan tukang dan rumah tangga biasa dengan terampil dikerjakannya. Juga pekerjaan tulis menulis. Huruf-huruf yag ditulis ayahku apakah itu huruf latin, huruf Arab alifbata, huruf Jawa honocoroko, semuanya dapat ditulisnya dengan huruf-huruf yang indah dan mudah dibaca, tidak seperti tulisan cakar ayam.
Aku masih ingat ketika aku berbohong, tidak pergi mengaji tetapi pergi memancing di kali Dgul bersama teman-temanku. Ikan kakap yang digoreng ibuku itu gurih sekali dan ayahku juga ikut menikmati. Tapi setelah makan malam waktu itu, ketika ayahku bertanya, mancingnya sesudah mengaji atau sebelum mengaji, langsung kujawab "sesudah mengaji".
Ayahku ketika itu langsung berdiri dan mengambil buku tulis dan pinsil baru yang langsung diberikannya kepadaku. Aku disuruh meniru tulisan ayahku di buku tulis itu. Tulisan contoh ayahku itu sangat indah dan bunyinya juga tak kalah indah dengan tulisan ayahku. Apa bunyinya? "Saya anak jujur, saya tidak pernah bohong".
Ya, aku berbohong mengatakan pergi mancing sesudah mengaji. Padahal aku tidak pergi mengaji dan menyembunyikan Juzama di semak-semak. Dasar anak nakal dan dihukum, disuruh menulis mencontoh tulisan ayahku. Kalau mengingat betapa bijaksananya ayahku tidak seperti si Kamisan yang didera dengan rotan oleh ayahnya oom Kasan, aku merasakan bahwa ayahku pak Ramidjo adalah ayah yang punya rasa penuh kasih sayang dan sangat bijaksana. Ya, ayahku memang seorang kiyahi yang patut disebut kiyahi.
Kembali ke pekerjaanku menyapu yang belum selesai. Tadi lantai sudah kuciprati air agar debu tidak berterbangan dan aku mulai menyapu bukan?
Kenapa lantai harus kuciprati air, bukan dipel sesudah disapu?
Ya, lantai rumah kami di Digul semua rumah lantainya adalah tanah biasa yang dipadatkan, bukan seperti lantai rumah-rumah di Jakarta yang semen, tegel atau granit.
Selesai menyapu bersama abangku Darsono, aku pergi mandi di belik oom Isa yang tidak begitu jauh dari rumah kami. Belik itu airnya sangat bening kincling dan sangat segar untuk mandi pagi. Pulang dari mandi kami sarapan bersama.
Biasa makan ender-ender dari sagu dan minum teh hangat dengan menggigit gula merah. Kami tidak mampu membeli gula pasir, sebab ayahku statusnya adalah natura yang setiap bulan hanya menerima catu berupa beras, kacang hijau, garam, ikan asin, gula merah dan entah apa lagi. Ayahku memang termasuk GANKO (keras kepala bahasa Jepang) dan tidak mau bekerjasama dengan pemerintah kolonial Belanda.
Hari itu udara cerah. Langit kelihtan sangat tinggi dan kebiru-biruan warnnya. Sungguh indah. Aku berfikir alangkah baiknya kalau hari ini bermain layangan. Aku berniat untuk mengajak temanku Rusdi anaknya oom Smingun untuk membuat layangan hari itu. Rusdi adalah teman bermainku yang paling punya duit karena punya ayam peliharaan yang cukup banyak dan seringkali menjual telur ayamnya ke warung oom Tambi.
Baru saja aku melamun untuk membuat layangan ayahku memaggilku. "But, Ribut, hari ini bapak mau ajak jalan-jalan. Balurlah tubuhmu dengan minyak kelapa dan minyak tanah supaya tidak digigiti nyamuk." Kata ayahku.
Ribut adalah nama panggilanku waktu kecil. Kenapa aku dipanggil Ribut bukan Tri, kan namaku Trikoyo. Ya, karena aku waktu bayi berada di zaman keadaan ribut-ribut. Aku lahir 27 Februari 1926 dan belum genap berumur setahun tanggal 12 November 1926 terjadi pergolakan besar pemberontkan rakyat Indonesia melawan penjajah kolonial Belanda. Begitulh, maka aku dipanggil Ribut.
Aku berjalan beriringn dengan ayahku, melewati rumah oom Kadirun, oom Djoyo Tugimin (ahli musik), oom Sulaiman dari Tegal (meninggal di Australia), kemudian membelok ke arah utara melewati rumah oom Isa yang beliknya sangat bening airnya, terus menuruni dan menaiki jurang melewati rumah oom Amin Kosasih dan ibu Rayah dan terus menuju lapangan sepak bola.
Di lapangan sepak bola inilah kami anak-anak kampong B sering berolah raga. Menurut penglihatnku waktu kecil, lapangan sepak bola ini sangat luas dan aku dan teman-temanku sering bermain layangan di lapangan ini. Tentu saja sangat luas sebab lapangan sepak bola ini adalah lapangan ukuran bermain bola untuk orang dewasa.
Berdua dengan ayahku kami berjalan ke arah goalpal (gawang) sebelah barat. Di luar gawang itu ada jalan kecil, jalan setapak yang membujur ke arah utara. Kiri kanan jalan itu masih mnerupakan semak-semak. Entah apa nama pohon tumbuh-tumbuhan sekitar situ, aku tak tahu namanya. Mungkin itulah yang disebut pohon perdu.
Nyamuk mengiang-ngiang di telinga, tapi tidak menggigit karena seluruh tubuhku sudah dilumuri minyak tanah bercampur minyak kelapa.
Setelah berjalan sejenak sampailah kami di daerah pemakaman. Di sebelah kanan jalan kulihat nisan berjajar Terus terang aku agak takut melewati nisan=nisan itu. Aku takut kalau penghuninya bangkit dan bertanya. "Hai Ribut, mau ke mana?"
Dan tentunya yang bertanya itu jerangkong dan dengan wajah yang menakutkan tanpa kulit dan daging.
Tapi rasa takut iutu kutekan. Aku sering melihat gambar jerangkong di buku tentang ilmu hewan dan manusia atau ilmu hayat, dan teringat gambar-gambar tengkorakj itu aku makin merasa takut, seakan-akan tengkorak-tegkorakd
Tak lama kemudian sampailah kami di makam paling ujung di sebelah utara. Di atas makam itu ada rumah kecil beratap seng.
Ayahku memegang tangan kiriku mengajakku berteduh di bawah rumah kecil itu.
Ayahku bertanya : "Kamu takut, ya. Kok tanganmu dingin sekali. Gak usah takut. Apa yang ditakuti. Semua yang dimakamkan adalah teman-teman akrab dan orang baik-baik. Tidak ada yang menjadi setan. Di sebelah sana ada makam oom Madasim yang meninggal karena di kelewang serdadu Belanda. Gak usah takut."
Aku diam saja sebab sebenarnya aku memang takut. Aku takut honghik. (honghik artinya hantu atau setan sebutan penduduk asli orang kaya-kaya)
Setelah berada di dalam rumah kecil makam itu ayahku menceritakan tentang makam itu.
"Ini makam oom Ali Archam. Oom Ali Archam ini adalah sending pertama yang dikirim pertama kali ke Digul dan kita sending kedua yang berangkat dengan kapal perang 'kruiser Java'. Oom Ali Archam ini adalah pemimpin gerakan melawan pemerintah kolonial Belanda."
"Lihat, apa ini?" Ayahku menunjuk symbol terbuat dari seng yang digunting yang berada di atas nisan makam oom Ali Archam.
"Palu Arit", jawabku.
"Ya, Palu Arit. Kamu tahu artinya palu-arit?" Kemudian ayahku meneruskan.
"Palu adalah lambang atau symbol kaum buruh dan arit adalah symbul kaum tani. Nah, oom Ali Archam ini adalah pemimpin dari kaum buruh dan kaum tani.
Yang kita makan tiap hari adalah nasi dan nasi adalah hasil kerja dari kaum tani yang menanam padi di sawah.
Di sini, di Digul ini, tidak ada sawah jadi kamu tidak bisa melihat bagaimana beratnya pekerjaan kaum tani yang bergulat dengan Lumpur mencangkul dan membajak sawah kemudian menanam padi. Tidak perduli di waktu hujan lebat atau di waktu panas terik matahari kaum tani bekerja terus menghasilkan padi yang kemudian padinya djemur, ditumbuk menjadi beras dan berasnya ditanak menjadi nasi kemudian kita makan nasi itu.
Nasi yang kita makan tiap hari itu adalah hasil jerih payah kaum tani yang orang biasanya memandang rendah kaum tani yang jasanya begtu besar.
Banyak orang yang memandang rendah kepada kaum tani apalagi orang-orang kaya yang punya banyak uang.
Orang-orang kaya biasanya membanggakan uangnya yang banyak dan menganggap uang adalah segalanya." Ayahku berhenti meneplak nyamuk yang hinggap di mukanya.
Botol kecil berisi minyak tanah yang bercampur minyak kayu putih dan minyak kelapa dikeluarkan dari saku lalu dilumurinya lengan dan mukanya.
"Kamu tidak digigiti nyamuk?" Tanya ayahku.
"Tidak. Tadi di rumah sudah kulumuri minyak." Jawabku.
"Hati-hati, jangan sampai digigiti nyamuk. Nyamuk di sini, nyamuk malaria anophilus. Kalau sampai opname di rumah sakit lagi kamu ketinggalan pelajaran sekolah. Baik, dengar baik-baik ya, bapak lanjutkan." Kata ayahku.
"Orang-orang kaya yang punya banyak uang selalu memandang rendah rakyat biasa kaum tani dan kaum pekerja. Kalau tidak ada kaum tani, tidak akan ada beras dan nasi. Dan kalau tidak ada kaum buruh tidak mungkin tidak ada pakaian yang kita pakai. Kaum buruh yang menenun bahan baju di pabrik dan kaum buruh menggunakan mesin tenun yang juga dibuat oleh kaum buruh.
Coba bayangkan, pacul yang bapak pakai mencangkul menanam singkong kemarin siapa yang bikin? Juga kaum buruh. Cangkul itu dibuat dari besi 'kan? Besinya juga dari hasil kerja kaum buruh yang bekerja di tambang-tambang besi di bawah tanah menambang bijih-bijih besi.
Coba, apa kamu masih ingat lagu enam jam kerja? Coba nyanyikan." Kata ayahku.
Aku mulai menyanyi :
Enam jam sudah sampai lama, enam jam setiap hari.
Enam jam memeras tenaga, buat mencari rezeki.
Di tanah yang berhawa panas, enam jam sudahlah sampai.
Tidak suka kita diperas, lebih dari lama lagi.
Enam enam enam jam sehari.
Rebutlah hai kaum kerja,
Rebutlah enam jam kerja.
Hai tukang tambang yang bekerja, Dalam bumi tak lihat cahaya.
Kaum tani kerja di sawah. N'layan kerja di lautan.
Tapi si tuan lintah daratan, Menghisap kita semua.
Proletariat s'luruh dunia, Harus bersiap bersatu.
Hancurkanlah kapitalis kejam
Buruh tani pasti menang.
Proletariat pasti menang.
Ayahku tersenyum mendengarkan aku menyanyi lalu melanjutkan.
"Nah, dalam nyanyian itu jelas 'kan, kaum buruh, kaum tani, buruh tambang, nelayan penangkap ikan semuanya dihisap, diperas keringat dan darahnya yang mengalir untuk menggendutkan perut si kapitalis? Siapakah si kapitalis itu? Tidak lain Ialah pengusaha-pengusaha besar pemilik pabrik-pabrik. Siapa si lintah darat?
Tuan-tuan tanah, tukang ngijon yang memeras kaum tani. Nanti kamu harus belajar lebih banyak. Kamu juga harus belajar ngaji Qur'an yang baik. Di dalam Alqur'an Surat ke 6 AL AN'AAM ayat 145 disebutkan, bahwa memakan darah yang mengalir haram hukumnya.
Mana ada orang yang mau makan atau minum darah yang mengalir 'kan? Tentu saja itu sangat menjijikkan. Tapi pengusaha-pengusaha besar kaum kapitais mempekerjakan beratus-ratus kaum buruh dan kaum buruh itu darahnya mengalir 'kan.
Sebab kalau darahnya tidak mengalir si buruh pasti sudah mati dan tidak bisa bekerja. Nah, hasil kerja kaum buruh itulah yang dimakan oleh si kaptalis. Itulah yang disebut memakan darah yang mengalir.
Nanti kamu akan belajar apa yang disebut meerwarde teorie atau teori nilai lebih, Nanti belajar dari abangmu mas No. Dia sudah banyak belajar tentang hukum gerak dialektika dll.
Masmu Darsono banyak belajar dari oom Waworuntu, oom Daniel dan oom Wentuk. Tapi masmu malas salat dan malas mengaji. Bapak kurang suka itu.
Kamu harus tetap rajin salat dan mengaji. Semua ilmu yang ada di dunia ini kalau bisa kita pelajari semua supaya kita bisa menjadi orang yang benar-benar mempunyai ilmu yang cukup.
Di dunia ini tidak ada orang yang pintar, sebab setiap orang mempunyai keterbatasan. Dan juga setiap orang punya mempunyai kelebihan atau kepintaran sendiri-sendiri. Si A bisa memanjat pohon kelapa tapi si B tiudak bisa, jadi si A lebih pintar dari si B dalam hal memanjat poihon kelapa. Tapi si B pintar berenang dan bisa berenang menyeberangi sungai Digul yang lebarnya 500 meter itu sedang si A tidak bisa. Jadi si B lebih pintar dari si A dalam hal berenang .
Nah, karena itu kita tidak boleh memakai kata "bodoh" mengatai orang lain. Semua orang pintar tidak ada yang bodoh, Jadi peribahasa yang kamu hafalkan kemarin "zo dom als een ezel bodoh seperti keledai -, tidak usah dipakai dan dihafalkan. Cukup diingat, bahwa itu peribahasa Belanda.
Nah mari kita membaca do'a sebelum pulang. Ayahku membaca do'a dan aku meng-amini saja.
Setelah itu kami pulang menyusuri jalan setapak dan mampir di belik oom Isa untuk mandi. Tentu saja mandi tanpa memakai sabun.
Tapi sebelum selesai mandi oom Isa juga turun ke belik untuk mandi dan berwudu. Oom Isa membawa sabun mandi LUX dan kami mandi memakai sabun LUX oom Isa.
Harum bau sabun itu dan aku merasa sangat puas. Aku tidak pernah mandi memakai sabun LUX yang harganya tidak begitu mahal tapi tidak terbeli oleh ayahku yang kerjanya hanya menangkap ikan di Sungai Digul.
Sesampainya di rumah aku segera mengikuti ayahku salat zhuhur bersama dan kemudian makan siang.
Si Tupon anjing kami menunggu di bawah meja mengharapkan lemparan tulang ikan.
Ibuku memanggil Tupon anjing kami, kasuari si Riri, burung kakatua si Yakob dan kucing kami si Telon. Mereka diberi makan di kuali atau wajan rombeng.
Hewan peliharaan itu dengan rukun makan bersama tidak berebut.
Alangkah damainya negeri ini jika manusia-mausia Indonesia bisa meniru pekerti hewan peliharaan kami.
Tentu tidak ada korupsi dan sikut-sikutan. Ya, hewan saja yang hanya mempunyai instink dan tidak berotak seperti manusia bisa hidup rukun dan damai, mengapa manusia tidak?
Soalnya membuat manusia satu hati, satu fikiran dan satu tujuan memang bukan soal yang mudah. Tapi itu pasti bisa. Mari kita coba bersama.
Cerpenku yang tak pernah selesai.
Tangerang, Kamis Kliwon 14 Maret 2008.
Never miss a thing. Make Yahoo your homepage.
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar