REVATHI, KISAHNYA MENGGUGAH
KESADARAN KITA
Opini
MAARIF Vol. 2, No. 5, Juli 2007
Suhadi Cholil
Pengajar Program Studi Agama dan Lintas
Budaya UGM dan aktivis Interfidei Yogyakarta
Kisah Revathi sayup-sayup sampai juga di
negeri kita, melalui perantaraan media massa
maupun kabar seorang kawan. Apa yang
dialami Revathi tak saja mendekatkan kembali
perasaan kita pada Malaysia. Tak saja
mengingatkan kita pada 'romantisme' kepulauan
Melayu yang pernah dibangun selama tujuh abad
(7-14 M) oleh Sriwijaya. Serbuan bangsa Eropa abad
16 membuat 'patahan' sejarah baru, setelah
sebelumnya Islam pada abad 10 datang, di
kepulauan Melayu. Ketika Portugis menginjakkan
kaki pertama tahun 1511 di Malaka.
Tak lama kemudian konflik antar koloni
memperparah 'patahan' sejarah tersebut. Traktat
Anglo-Dutch 1824 membagi kepulauan Melayu
menjadi dua: British Malaya (
kemerdekaan dan nasionalisme semakin
mempertegas jarak teritori keduanya, Indonesia
1945 dan Malaysia 1957. Meskipun patahan sejarah
tersebut mampu menandai perbedaan keduanya,
tapi 'sejarah ingatan' akan masa lalu sejak proses
Indianisasi, Islamisasi, sampai Kolonialisme tak
benar-benar memecah keduanya secara sempurna.
Revathi, jangan-jangan bukan hanya cermin
akumulasi masalah di Malaysia, tapi juga di
Bernama Revathi Massosai, 29
tahun, lahir di Malaysia dari
pasangan ayah-ibu beretnis India.
Sebelum Revathi lahir, ibu
kandungnya masuk Islam, menjadi
seorang muallaf. Namun dari kecil
Revathi lebih terbiasa dengan
tradisi Hindu, menjalankan ibadah
Hindu, dan mengaku beragama
Hindu. Sebab, Revathi lebih sering
diasuh oleh neneknya yang Hindu.
Hukum yang berlaku di negeri ini,
kalau orang tuanya beragama
Muslim secara otomatis anak-anak
yang dilahirkan juga Muslim. Kalau
orang tuanya pindah agama ke
Islam, anak dalam kuasanya pun
juga menjadi Islam. Demikianlah
apa yang terjadi pada Revathi, dalam
hukum pemerintah dia dipandang
sebagai Muslim. Ketika menginjak
dewasa, Revathi pun memegang KTP
Islam. Padahal di lubuk hatinya
yang terdalam, Revathi tak merasa
Muslim, tak memakai Jilbab, dan
tidak sholat. Maret 2004, Revathi
menikah dengan seorang Hindu,
bernama Suresh, menggunakan
tata cara pernikahan Hindu.
Di dalam konstitusi disebut
penduduk Melayu secara otomatis
juga Islam. Pada September 2001,
mantan Perdana Menteri, Mahathir
Mohamad, mendeklarasikan
Malaysia adalah Negara Islam.
Pernyataan Mahathir mendapatkan
kritik keras dari oposan politiknya,
Lim Kit Sing yang mengemukakan
sebenarnya dalam konstitusi,
Malaysia adalah negara sekuler
dimana Islam menjadi agama resmi
Negara. Saat itu Mahathir
menguasai lebih dari dua per tiga
koalisi kursi di Parlemen.
Gagasannya tentang Malaysia
sebagai negara Islam berjalan
mulus, masuk dalam amandemen
konstitusi. Selama ini Malaysia
menganut dualisme sistem
peradilan, yakni peradilan sekuler
yang hukumnya dihasilkan oleh
Parlemen; dan sistem peradilan
Syariah yang dikelola oleh otoritas
kerajaan-kerajaan.
Masalah yang menimpa Revathi
berawal ketika ia mengajukan diri
untuk bisa dicatat secara sipil
sebagai seorang Hindu, artinya di
atas kertas ia pindah agama. Pada
Januari 2006 dia pergi ke Jabatan
Agama Malaka, otoritas hukum
Syariah terdekat. Lalu dia
disarankan pergi ke Mahkamah
Syariah. Lembaga Syariah ini
dengan berpedoman pada hukum
jinayah Syariah mengeluarkan
keputusan Revathi dimasukkan ke
dalam Pusat Pemulihan Akhlaq di
Ulu Yam, Selangor, selama 100 hari.
Meskipun demikian Revathi tetap
bersikukuh, dia bukan Muslim.
Penguasa setempat memperpanjang
'karantina'-nya 80 hari. Revathi
mengaku juga dipaksa memakai
jilbab dan disediakan makan
dengan lauk sapi, sesuatu yang
dihindari dalam tradisi Hindu.
Pemerintah setempat membantah
paksaan tersebut. Kini, Mahkamah
Syariah juga menetapkan anak
Revathi, 19 bulan, dalam hak asuh
ibu Revathi yang beragama Islam,
bukan ibu Suresh yang Hindu.
Revathi sangat pilu dan tertekan
dengan keputusan itu, dipisahkan
dari anaknya.
Revathi bukan satu-satunya
kasus perpindahan agama yang
mencuat di Malaysia. Mahkamah
Agung (MA) pada Mei 2007 lalu
menolak kasus Lina Joy yang sejak
1997 ingin mengganti namanya,
bernama asli Azalina Jailani, dan
status agamanya dari Islam ke
Kristen. Menurut MA, yang
berwenang untuk hal itu adalah
Mahkamah Syariah. Keputusan
yang menimpa Lina Joy
mengundang demostrasi berbagai
pihak yang simpati, tapi tak lama
kemudian juga terdapat demonstrasi
tandingan dari kelompok Muslim
tertentu. Selain Revathi dan Lina
Joy, masih banyak kasus lain
perpindahan agama. Kebanyakan
mereka hanya berdiam diri,
menyembunyikan keyakinan
barunya. Karena kalau tidak, akan
dimasukkan pada Pusat Pemulihan
Akhlak seperti Revathi atau hijrah
ke Australia seperti Lina Joy.
Kita bisa berbangga, Indonesia
tak akan mengalami kisah-kisah
seperti itu. Benar memang, tapi
apakah benar kita tidak punya
kasus-kasus yang serupa meskipun
dengan tingkatan masalah yang
berbeda? Pemikiran dua sarjana
kolonial, Lodewijk C. Van den Berg
dan A.W.T Juynboll dipakai oleh
pemerintah kolonial Belanda untuk
menjustifikasi transformasi
Pengadilan Surambi yang dibangun
lama sejak Sultan Agung (1613-
1645) menjadi Priesterraden op Java
en Madura (Pengadilan Agama di
Jawa dan Madura). Setelah
kemerdekaan, dengan segera kita
menjiplak kebijakan kolonial
tentang dualisme peradilan, Islam
dan sekuler persis seperti di
Malaysia. Kita telah punya apa yang
disebut Mahkamah Islam Tinggi
sejak tahun 1946. Wajah segregasi
hukum di masa kolonial yang
tercermin dari kebijakan bias
rasisme Eropa-Kristen, kita warisi
mentah-mentah hanya dengan memake-
up-nya saja: tidak lagi Eropa
Kristen, tapi Muslim-non-Muslim.
Titik kulminasi segragasi kebijakan
sipil itu terjadi pada 1989 ketika
lahir UU Peradilan Agama.
Kalau saja di Malaysia kini ada
kasus-kasus yang dialami oleh
Revathi dan Lina Joy, pada tahun
1986 kita punya kasus Vony-
Andrian dan Jamal-Lidya, Muslim
yang menikah berbeda agama. Saat
itu pengadilan di Indonesia memang
bersikap lebih afirmatif. Tapi
imbasnya adalah konsolidasi
institusi keislaman dan hukum kita,
untuk membentengi dari politik
ketakutan konversi agama. Sejak
saat itu terjadi tafsir tunggal atas UU
Perkawinan 1974, larangan nikah
Muslim-non-Muslim. Kalau saja
mau mendengar apa yang terjadi di
masyarakat, kita sebenarnya dalam
kondisi yang tidak jauh dari
Malaysia. Sejak 1986,
kecenderungan orang Muslim yang
mau menikah beda agama harus
sembunyi-sembunyi, memanipulasi
data diri, berpindah agama sebentar
atau pergi ke luar negeri. Akhirnya
kita sekarang meski sadar, bahwa
kita tak hanya terpaut dengan
Malaysia melalui Siti Nurhaliza, tapi
juga melalui Revathi. []
Send instant messages to your online friends http://uk.messenger
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar