Rekan sepadepokan, berikut ini adalah ´dialog´ perjapri dengan ´Nalaratih´ tentang tulisan ½Menakar Ke-Indonesia-
Nalaratih, wrote:
kirain...sepasang sendal jepitnya berwarna merah dan putih...tahunya
biru dan kuning...nambah warna pelangi Indonesia??? hehehe
always fun,
Nala
Tuhantu´s reply:
--- In psikologi_transform
>
>
>
>
> Aku adalah dua bersaudara, dan oleh Majikanku, aku disebut sebagai Daeng
> Gau, saudaraku disebut sebagai Daeng. Kuneng.
>
>
>
> ½Kuneng dan Gau akan kita bawa kali ini, setelahnya kita tak lagi
> memerlukan mereka...½ Kata majikanku suatu malam penuh bintang.
>
>
>
> ½Akan dibawa kemana kita kali ini, kak?½ Tanya Kuneng padaku.
>
>
>
> ½Tak taulah dik, yang saya dengar semalam bahwa ini perjalanan kita
> yang terakhir kalinya. Majikan kita sudah tidak akan memakai tubuh kita
> yang sudah lecet-lecet ini, dik.½ Jawabku, kala itu saya dan adikku
> telah berada dalam kendaraan.
>
>
>
> Dalam sebuah ruangan pengap, tubuhku dan tubuh adikku berhimpitan dengan
> berbagai jenis hunian yang ada dalam ruangan gelap dan terus bergoyang
> kesana kemari akibat laju kendaraan yang meliuk-liuk.
>
>
>
> Sampai suatu ketika, terdengar suara majikanku kembali berbicara dengan
> pasangannya, ½ Kita akan nginap semalam di Desa Moni, terletak di
> kaki Gunung Kelimutu. Besok paginya baru kita hiking menuju puncak
> gunung dengan danau tiga warna itu.½
>
>
>
> Majikanku sangat gemar melakukan perjalanan ke pelosok-pelosok daerah,
> desa-desa, gunung-gunung, sambil memanfaatkan tubuhku dan tubuh adikku.
> Dan perjalanan kali ini, menurutnya adalah sebuah perjalanan untuk yang
> terakhir kalinya bagiku dan adikku.
>
>
>
> Beberapa waktu lalu, kami berdua diajak berkunjung ke sebuah kawasan
> hutan tetumbuhan Anggrek liar, bernama Banchea, dimana tubuh saya dan
> adikku dipakai sepuas-puasnya oleh Majikanku selama berjam-jam, sejak
> dari desa Pendolo hingga ke Banchea itu. Dan ketika sampai pada hutan
> tersebut, ternyata Majikanku hanya mengaso selama kurang dari 30 menit,
> karena kelihatannya agak kecewa karena hutan tersebut saat itu tidak
> sesuai dengan apa yang diharapkannya. Hanya sedikit tanaman Anggrek liar
> yang nampak, selebihnya adalah tetumbuhan nanas liar. Padahal dari desa
> Pendolo, untuk mencapai hutan Banchea itu dilakukan dengan berjalan kaki
> selama lebih dari lima jam, karena tak ada kendaraan umum, maupun jalan
> umum.
>
>
>
> ½Seandainya kita berangkat agak subuh, akan ada waktu untuk sekedar
> bermain-main di danau yang bening ini. Sayangya kita berangkat agak
> siangan, sehingga sekarang saat sampai, sudah menjelang gelap. Jadi kita
> pulang saja, supaya kita sampai di Pendolo sebelum tengah malam.½
> Demikian kudengar majikanku memberi penjelasan.
>
>
>
> Besoknya, majikanku sepertinya belum juga punya rasa letih, dia
> merencanakan sebuah perjalanan dengan menggunakan perahu nelayan untuk
> mengarungi Danau Poso. Saya dan adikku tak pernah istirahat guna
> memenuhi kebutuhan majikanku dalam perjalanan yang sangat melelahkan
> itu.
>
>
>
> ½Saya pengen merasakan makanan khas Tentena, kamu pernah?½ Tanya
> pasangan majikanku.
>
>
>
> ½Belut? Belum pernah tuh, ayuk kita coba... Mau? Namanya Sugili...
> ½ Jawab majikanku antusias.
>
>
>
> Itulah salah satu kenangan saya dan majikanku dalam sebuah perjalanan
> yang membuat tubuhku dan tubuh adikku letih dan penuh lecet-lecet karena
> dipakai tanpa ampun.
>
>
>
> Demikian pula kali ini, tubuhku dan tubuh adikku ditempatkan secara
> berdesakan dalam sebuah ´persembunyian´ yang pengap dan gelap,
> sekali lagi kami berdua harus siap tubuh kami dipakai oleh majikanku
> dalam perjalanannya, kali ini.
>
>
>
> Seperti perjalanan-perjalan
> adikku sangat letih penuh dengan lecet-lecet, bahkan kudengar adikku
> mengeluh bahwa dia tak lagi sanggup menahan letih dan lecet-lecet
> ditubuhnya.
>
>
>
> ½Sabarlah dik, ini adalah perjalanan kita yang terakhir, kudengar
> mereka semalam untuk tidak lagi menggunakan jasa tubuh kita...
> Sabarlah.½ Kataku menghibur.
>
>
>
> Desa Moni sangatlah dingin, kuperhatikan majikanku tertidur dengan
> selimut berlapis-lapis, salah satu selimutnya adalah kain ikat motif
> Flores, dan kepalanya terbungkus kain handuk kering untuk melindungi
> lubang telinganya dari tusukan hawa dingin yang menyengat.
>
>
>
> Subuh hari, terdengar majikanku sudah berkemas dan tentu saja tubuh saya
> telah dipakainya, demikian pula tubuh adikku. Sepanjang perjalanan yang
> berliuk-liuk kunikmati pemandangan yang sangat indah dan luar biasa.
> Meskipun tubuh kami sangat letih dan semakin lecet akibat
> perjalanan-perjalan
> keindahan berbagai tempat yang pernah dikunjungi oleh majikanku.
>
>
>
> Saya teringat beberapa tahun lalu kira-kira 2 tahun sebelum perjalanan
> ke Kelimutu ini, di atas sebuah gunung, yang namanya Tangkuban Perahu,
> terdengar percakapan pasangan majikanku kepadanya.
>
>
>
> ½Akh, betapa luas alam ini, saya merasa begitu kecil...
> Insignificant!
> sedemikian sangat insignificant, saya seperti merasa tak ada yang
> bergelayut punggung saya untuk memberi segala penghakiman.
> berarti bahwa saya bisa melakukan apa saja, akibat dari perasaan tak ada
> yg menghakimi, ini... Karena apapun yang kita lakukan akan mempunyai
> implikasi pada lingkungan dan orang lain... Tetapi, kamu tahukan sejak
> kecil saya dibesarkan dalam doktrin ½guilty½.... Segala sesuatu
> selalu terhantui rasa bersalah dan penghakiman yang sangat ketat...
> Disini saya rasakan semacam relief yang susah saya jelaskan dengan
> kata-kata...½ Nada suara itu terdengar demikian takjub atas fenomena
> alam di situ, di Tangkuban Perahu.
>
>
>
> Kini, dalam perjalanan kali ini di lereng gunung Kelimutu, saya dan
> adikku merasakan benar bahwa bahwa perjalanan kami -saya dan adikku-
> saat ini adalah yang terakhir kalinya.
>
>
>
> Saat ini, saya dan adikku telah lama terbuang, tubuhku tidak lagi utuh.
> Sementara adikku sudah tak tahu lagi dimana keberadaannya. Kondisi
> sekitarku, dimana aku kini berada sangat busuk dan kotor. Yah, setelah
> terseret arus sungai yang panjangnya tak lagi bisa aku ingat, sebagian
> tubuhku terdampar dionggokan sampah. Di sana-sini lalat mendengung
> beterbangan, bahkan di ujung kiri bagian atas, ada tempat belatung
> menggeliat menghancurkan sisa-sisa daging dan tulang busuk, tak jauh
> dari diriku.
>
>
>
> Kata-kata yang sempat terngiang ditelingaku dan terus menggema hingga
> saat ini adalah...
>
> ½ Gau dan Kuneng akan saya abadikan dalam bingkai ini, karena mereka
> telah melakukan perjalanan yang sangat jauh dan mengunjungi tempat
> tempat yang bagi orang Indonesia saja barangkali belum pernah
> mengunjunginya. Gau dan Kuneng belum tentu kalah dari mereka yang
> mulutnya sampai berbusa-busa menyebut kata ½Nasionalisme½ demi
> lubang kantong dan lubang perut mereka sendiri, demi status-simbol dan
> institusi mereka sendiri.... Kuneng dan Gau bahkan belum tentu kalah
> oleh sebagian besar orang Indonesia lainnya... ½
>
>
>
> Demikianlah tubuhku dan tubuh adikku dilem dalam sebuah bingkai berkaca,
> dan bingkai itu digantung di tembok dinding ruang tengah rumah kontrakan
> mereka yang sangat sederhana.
>
>
>
> Namun sejak majikanku pergi, kami -saya dan adikku- sudah tak lagi punya
> pegangan. Seandainya kami menjual diri di trotoar kaki limapun, tak
> mungkin ada yang akan membeli tubuh letih dan lecet milik kami.
>
>
>
> Jika kalian kebetulan mengenal siapa pemilikku itu, sampaikan salam
> rindu saya padanya di Hari Kemerdekaan ke-62, 17 Agustus, tahun ini.
> Apakah dia masih mengingat rasa bangga yang sama bertahun-tahun lalu,
> ketika memajang tubuhku dan adikku disebuah bingkai dengan tulisan ½
> The True Travellers of Indonesia½ di bingkai milikku dan adikku?
>
>
>
> Mungkinkah dia masih sudi mengingat getaran kebanggaannya itu, jika dia
> tahu bahwa saya kini tak lebih dari sepotong sampah tercampakkan dan
> tidak bernilai apapun? Bahkan tak ada yang sudi menggunakan tubuh saya
> lagi, sekalipun itu adalah pemilik sepasang kaki kumuh rakyat miskin di
> kampung pembuangan sampah ini, yang saban hari mengais sampah di
> sekitarku. Kaki-kaki kumuh yang saban hari disuapi kata-kata
> ½Merdeka!½ tanpa tahu merasakan apa makna kata itu.
>
>
>
> Sampaikan salamku, jika kalian pernah tahu siapa pemilikku itu, dan
> tolong sampaikan dimana dia saat ini. Saya Gau dan Adikku Kuneng, adalah
> sepasang sendal jepit, yang berwarna biru dan kuning...
>
>
>
> May FUN be with you
>
>
>
> Tuhantu
>
> http://hole-
>
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar