Dari: agung hertanto <agungeka@yahoo.
Cerita Zen banyak sekali. Cerita Zen untuk praktisi
Zen biasanya sulit dimengerti, bahkan perlu belasan
tahun atau puluhan tahun untuk dimengerti oleh
praktisi tersebut. Tetapi ada pula cerita Zen menarik
untuk kita renungkan, untuk kita resapi dan menjadi
bahan dialog hidup kita. Berikut adalah cerita Zen
yang saya kutip dari pengalaman penulis terkenal di
dunia, Paul Coelho. Cerita terakhir saya dapat dari
sumber lain. Semuanya terjemahan bebas.
salam
1) Cermin dan Raga. (pengalaman Paul Coelho pribadi)
Pada masa masa saya berlatih meditasi Zen, ada saat
saat tertentu Pelatih Zen pergi ke salah satu sudut
Dojo/Zendo (tempat praktisi Zen berlatih meditasi)
mengambil tongkat bambu. Setiap praktisi Zen yang
kesulitan dalam bermeditasi (misalnya karena ngantuk)
diminta mengatupkan kedua tangannya dalam posisi puja;
pelatih tersebut kemudian datang ke murid tersebut dan
memukul murid tersebut dengan tongkat itu, tiga kali
pada masing masing pundak atau punggung murid
tersebut. (Pelatih itu kemudian membungkuk sebagai
tanda terima kasih ke murid yang habis dipukul, karena
dia diijinkan untuk mendorong murid tersebut makin
mendalami meditasi Zen).
Pada hari pertama, saya pikir tradisi ini sangat
absurd dan kedaluarsa. Belakangan, saya mengerti bahwa
latihan semacam ini perlu supaya praktisi mengalami
secara jasmani/ragawi arti penderitaan spiritual,
supaya kita bisa melihat dengan jelas keburukan yang
diakibatkannya. Dalam perjalanan saya ke Santiago,
saya belajar suatu bentuk latihan; menanamkan kuku
telunjuk saya dalam dalam ke ibujari jika pikiran
negatip muncul.
Kita baru melihat konsekwensi buruk dari pikiran
negatip jauh belakangan, tetapi dengan mewujudkannya
secara ragawi/badani lewat rasa sakit kita akan
lebih pagian menyadari akibat buruk dan sekaligus
menghindari pikiran buruk tadi.
2) Kucing dan Meditasi (Paul Coleho)
Seorang Resi Zen yang memimpin kuil Mayu-Kagi,
mempunyai seekor kucing kesayangannya. Selama
meditasi, bersama para bikkhu yang lain, dia selalu
membawa kucing itu duduk disampingnya.
Suatu hari, Resi tersebut didapati meninggal, maklum
usianya yang sudah lanjut. Murid yang paling senior,
sebagai tradisi, mengambil alih posisinya.
"Bagiamana dengan kucing itu, apa yang harus kita
kerjakan dengan kucing itu?" Tanya Bikkhu yang lain.
Sebagai rasa hormat ke guru mereka, Resi yang baru ini
memutuskan kucing itu diijinkan mendampingi dia dalam
meditasi maupun kelas pengajaran Zen Buddhis. Beberapa
bikkhu dan murid dari monastri/padepokan lain yang
berkunjung ke padepokan ini, melihat ada seekor kucing
yang turut dalam berolah meditasi. Cerita pun menyebar
kemana-mana. Tahun demi tahun berlalu. Kucing itupun
mati. Tetapi pengikut padepokan itu sudah terbiasa
dengan kehadiran kucing dalam meditasi mereka,
sehingga mereka mencari kucing baru untuk mendampingi
kelas meditasi mereka. Sementara itu
padepokan-padepokan lain, mulai mencari kucing supaya
menemani duduk di kelas meditasi mereka. Timbul
kepercayaan, bahwa kucinglah yang membuat Mayu Kagi
terkenal dan sangat dalam kwalitas ajarannya. Mereka
lupa bahwa Resi Mayu Kagi sebenarnya guru yang bijak
dan mumpuni.
Setelah satu generasi lewat, muncullah tulisan
akademik yang mengupas pentingnya kucing dalam
meditasi. Seorang professor universitas mengembangkan
thesis dan theori, yang diterima oleh semua komunitas
akademisi, tentang pentingnya kucing dalam meditasi
dan untuk melenyapkan energi negatip. Akhirnya selama
satu abad, kucing menjadi bagian utama meditasi Zen di
wilayah itu.
Suatu hari seorang Resi Zen baru yang alergi bulu
kucing memutuskan untuk menyingkirkan kucing dari
ruang meditasi. Setiap orang dan bhikku protest, "itu
namanya tidak mengikuti tingkah laku Resi Mayu-Kagi".
"Syirik!" Kata yang lain. Tetapi dia tetap memaksakan,
dan karena dia Resi Zen yang mumpuni setiap muridnya
di padepokan itu memperoleh kemajuan, meskipun tanpa
ada kucing.
Lama kelamaan monastri/padepokan lain yang perlu
ide-ide segar dan mulai kewalahan memelihara kucing
dan menjelaskan teori perkucingan ikut menyingkirkan
kucing dari kelas meditasi mereka. Setelah satu abad,
thesis thesis akademik baru muncul. Judulnya sangat
meyakinkan, "Keampuhan Teknik Meditasi Baru Tanpa
Kucing", atau "Harmonisasi Jagad Zen Dengan Kekuatan
Batin Tanpa Pengaruh Feline (Kucing)".
Satu abad kemudian lewat, dan kucing sudah tidak lagi
berkeliaran di ruang meditasi di padepokan padepokan
wilayah itu. Perlu 200 tahun untuk menyingkirkan
kucing dari ruang meditasi, dan meletakkan tradisi
yang sebenarnya, karena selama itu tidak pernah ada
orang yang berani menanyakan mengapa kucing menemani
meditasi.
Seorang penulis yang membaca cerita ini menulis di
buku hariannya:
'Berapa banyak diantara kita, di dalam hidup kita ini,
berani bertanya: mengapa saya harus bersikap begini
begitu? Seberapa jauh kita telah terbiasa menggunakan
"kucing kucing" di dalam kehidupan kita sehingga kita
tidak mempunyai keberanian mempertanyakan apalagi
melenyapkan "kucing kucing" tadi, karena kita telah
diajari bahwa "kucing kucing" itu sangat penting
supaya semua berjalan dengan mulus'?
3) Raja dan Resi
Seorang raja yang juga akademisi pergi menuju ke
tempat seorang Fakir (Resi Zen) bertapa. Resi Zen
tersebut bertapa di atas puncak pohon. Sang raja
bertanya, "Apakah inti sari ajaran Buddha?" Karena
raja tersebut berpengetahuan luas maka dia
mengharapkan ajaran panjang-lebar. Sang Resi menjawab,
"Berbuatlah yang baik, hindari yang jahat. Murnikan
batinmu". Mendengar jawaban semudah itu, sang Raja dan
Akademisi itu protes, "Kalau begitu saja sih mudah,
bahkan anak umur lima tahun pun mengerti!". Jawab sang
Resi, "Ya betul, tetapi kita yang sudah uzur berusia
80-tahun pun tidak bisa MELAKUKAN nya". Sang Raja pun,
mengerti dan sujud kepada Resi tersebut.
************
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar