Lhah itu yang di gambar foto kompas yang saya kirim ada gereja ortodoks di bagdad
Salam,
Anwar
From:
Sent: Thursday, December 27, 2007 10:39 AM
To:
Subject: [psikologi_transfor
mana ada? wong semuanya ikut syariat Islam, jadi departemen
penerangan, departemen luar negeri, departemen pendidikan semuanya
dalam satu atap masuk syariat Islam, hehehe
makanya disana gak ada sertifikat halal, wong yang gak halal sudah
out...
salam,
goen
--- In psikologi_transform
<aharyono@..
>
>
>
> Di Irak ada MUI (Majlis Ulama Irak) gak ya? ....he.he
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
> Salam,
>
> Anwar
>
>
>
> _____
>
> From: psikologi_transform
> [mailto:psikologi_transform
hendrik bakrie
> Sent: Thursday, December 27, 2007 9:42 AM
> To: psikologi_transform
> Subject: [psikologi_transfor
bersama...
>
>
>
>
> Mitos-Mitos tentang Perayaan Natal Bersama
>
>
> <http://hidayatullah
option=com_content&
> =1&page=0&Itemid=
>
>
> <http://hidayatullah
option=com_content&
> 4&itemid=60> Kirim halaman ini melalui E-mail
>
>
>
>
> Rabu, 26 Desember 2007
>
>
> Untuk tujuan 'kerukunan beragama' lahirnya mitos-mitos "idul fitri
berama",
> "doa bersama" atau "
bentuk
> 'munafik'
>
> (Kritik terhadap Pendapat Prof. Dr. Din Syamsuddin)
>
> Oleh: Adian Husaini *
>
> Image <http://hidayatullah
20bersama.jpg> Pada
> tang! gal 25 Desember 2007, saat sedang berada di
menerima b
> anyak SMS yang bernada prihatin, bahwa Prof. Dr. Din Syamsuddin,
selaku
> Ketua Umum PP Muhammadiyah, akan menghadiri acara Perayaan Natal
Bersama
> (PNB) pada 27 Desember 2007. Selama di Palembang, saya tidak
sempat mengecek
> kebenaran berita itu. Barulah pada Rabu (26 Desember 2007) pagi
ini, saya
> sempat mengecek berita tersebut. Setelah menerima sebuah SMS
tentang duduk
> cerita rencana kehadiran Din Syamsuddin dalam acara PNB tersebut,
saya
> kemudian merasa perlu menulis artikel seputar PNB ini, untuk
mengoreksi
> beberapa logika Din Syamsuddin. Sekitar tiga tahun lalu, pada 24
Desember
> 2004, saat tinggal di
Akhir Pekan
> ke-83, dengan judul yang sama dengan artikel ini.
>
> Bagi saya pribadi, pernyataan dan pemikiran Din Syamsuddin tentang
PNB
> memang agak mengejutkan. Artikel ini sama sekali tidak bermaksud
meragukan
> keimanan Din Syamsuddin sebagai seorang Muslim. Saya kenal beliau
sangat
> lama, dan sampai detik saya menulis artikel ini, saya masih
percaya akan
> komitmen yang tinggi Din Syamsuddin sebagai seorang Muslim.
Sekarang, saya
> juga duduk sebagai pengurus Majelis Tabligh PP Muhammadiyah dan di
pengurus
> MUI Pusat. Tentu saya sebenarnya tidak ingin tulisan ini dibaca
secara
> terbuka.
>
> Akan tetapi, karena Din Syamsuddin sudah mempublikasikan
pemikirannya secara
> luas dan terbuka, maka menjadi kewajiban saya untuk menjawab
logika-logika
> Din Syamsuddin secara terbuka pula. Sebab, ini sudah menyangkut
urusan
> Islam, bukan hanya urusan Muhammadiyah atau MUI. Juga, logika
seperti ini,
> sudah sering dikemukakan oleh berbagai pihak. Jadi, ini adalah
bagian dari
> kewajiban untuk melakukan taushiyah antar sesama Muslim. Dan ini
sangat
> penting, karena kekeliruan pemikiran seorang pemimpin agama -
apalagi yang
> bergelar
sebagai rujukan
> kebenaran. Rasulullah saw bersabda bahwa "Mimmaa akhaafu 'alaa
ummatiy
> zallatu 'aalimin wa jidaalu munaafiqin fil Quraani." (Termasuk
diantara
> perkara yang aku khawatirkan menimpa umatku adalah tergelincirnya
orang alim
> (dalam kesalahan) dan silat lidahnya orang munafik tentang Al-
Quran." (HR
> Thabrani dan Ibn Hibban). Saya berpendapat, bahwa dalam soal PNB
ini, Pak
> Din Syamsuddin sedang tergelincir pemikirannya, dan mudah-mudahan
bersedia
> meluruskannya kembali.
>
> Situs www.detik.com, (24/12/2007 15:32 WIB), menulis berita
berjudul "Din
> Tidak Larang Hadiri Perayaan &Ucapkan Selamat Natal". Ditulis
dalam berita
> ini: "Bagi Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, menghadiri
seremonial
> Natal tidak seharusnya dihindari. Demikian pula dengan memberikan
ucapan
> selamat
fatwa MUI
> sejak zaman Buya adalah larangan menghadiri upacara
berdimensi
> ibadah dan keyakinan karena itu wilayah keyakinan masing-masing.
Tetapi yang
> berbentuk seremoni tidak seharusnya terhindari," kata Din.
>
> Hal ini disampaikan Din usai menerima kunjungan panitia Perayaan
Natal
> Nasional 2007 di kantor PP Muhammadiyah, Jalan Menteng Raya,
Jakarta Pusat,
> Senin (24/12/2007)
> Nasional yang akan digelar pada 27 Desember 2007 mendatang.
>
> Juga diberitakan detik.com, bahwa dalam kesempatan itu, Ketua Umum
Panitia
> Perayaan Natal Nasional, Mari Elka Pangestu mengharapkan Din hadir
dalam
> acara tersebut. "Kita berharap perayaan
permasalahan
> yang dihadapi bangsa ini. Kita juga sudah menyampaikan berbagai
bantu! an ke
> berbagai daerah seperti sembako di NTT dan penanaman 50 ribu pohon
di
> Cipularang," ujarnya, seperti dikutip detik.com.
>
> Sebenarnya, di dalam Muhammadiyah sendiri, masalah "Perayaan Natal
Bersama"
> dan soal "Mengucapkan Selamat Natal" sudah selesai dibahas. Di
dalam buku
> Tanya Jawab Agama Jilid II, oleh Tim PP Muhammadiyah Majlis
Tarjih, yang
> diterbitkan oleh Suara Muhammadiyah (1991), hal. 238-240, sudah
diterangkan,
> bahwa hukum menghadiri PNB adalah Haram. Muhammadiyah dalam hal
ini juga
> mengacu kepada fatwa MUI.
>
> Adapun soal "Mengucapkan Selamat Hari Natal" dapat digolongkan
sebagai
> perbuatan yang syubhat dan bisa terjerumus kepada haram, sehingga
> Muhammadiyah menganjurkan agar perbuatan ini tidak dilakukan.
>
> Fatwa yang Digugat
>
> Secara umum, kita akan mengupas logika yang menganjurkan perlunya
PNB dalam
> paparan berikut ini. Seperti dikutip dalam berita itu, Mari Elka
Pangestu
> berharap, Din Syamsuddin akan hadir dalam acara PNB, dan dia pun
berharap,
> perayaan
ini. Kita
> maklum, selama ini tidak mudah mengajak tokoh Islam untuk hadir
dalam PNB,
> karena terganjal oleh Fatwa MUI tentang PNB. Karena itulah, sejak
> diterbitakannya fatwa MUI tentang PNB, tahun 1981, fatwa itu sudah
menuai
> kritik yang tiada habis-habisnya.
terbuka dan ada
> juga yang tidak setuju secara diam-diam.
>
> Karena itu, kita perlu menelaah masalah PNB ini secara mendasar.
Ketika
> fatwa itu dikeluarkan, saya sedang duduk di bangku kelas 1 SMA di
> Bojonegoro. Saya mengikuti perdebatan tentang fatwa itu dari
kampung saya,
> Desa Kuncen-Padangan-
yang
> dilanggan ayah saya (almarhum, seorang guru SD yang juga Pengurus
> Muhammadiyah Padangan). Dari majalah ini, hampir tidak pernah saya
lewatkan
> membaca rubrik Dari Hati ke Hati asuhan Buya Hamka.
>
> Seperti kita ketahui, Hamka kemudian memilih untuk mengundurkan
diri sebagai
> ketua MUI, ketimbang menarik kembali peredaran fatwa itu,
sebagaimana
> diminta oleh Menteri Agama ketika itu Alamsyah R. Perwiranegara.
Saya masih
> ingat, saya menitikkan air mata, ketika membaca tulisan Hamka
tentang
> pengunduran dirinya sebagai Ketua Umum MUI. Ketika itu, saya
berpikiran,
> "Beginilah seharusnya seorang ulama: luas ilmunya dan kokoh
pendiriannya!
> Di kalangan Muhamamdiy! ah sediri, Hamka sangat dihormati,
sehingga namanya
> diabadikan menjadi sebuah
Hamka, di
>
artikel yang
> mencoba 'memelintir' pendapat-pendapat Hamka, sehingga seolah-olah
Hamka
> adalah seorang penganut paham Pluralisme Agama.
>
> Maka, saya senantiasa merasa amat sangat sedih dan pilu, ketika
ada diantara
> orang-orang Muhammadiyah atau MUI sendiri yang kemudian menggugat
atau
> menyalahpahami fatwa ini. Jika gugatan atau kesalahpahaman
terhadap fatwa
> PNB itu datang dari kaum liberal atau non-Muslim, masih bisa
dipahami.
> Terakhir, misalnya, Luthfi Asyaukanie, yang menyebut dirinya
sebagai
> 'Koordinator Jaringan Islam Liberal', dalam artikelnya yang
berjudul "Sikap
> Negara terhadap Aliran Sesat" (Koran Tempo, 22 Desember 2007),
menulis:
> "Majelis Ulama Indonesia berkali-kali meresahkan masyarakat dengan
> fatwa-fatwa mereka (fatwa menghadiri perayaan
>
> Jadi, fatwa PNB ini oleh kaum liberal senantiasa diposisikan
sebagai fatwa
> yang meresahkan masyarakat. Dan seperti biasa, menjelang perayaan
Hari
>
menggugat fatwa
> MUI tentang "haramnya seorang Muslim hadir dalam Perayaan Natal
Bersama."
>
menghadiri
> PNB adalah orang yang tidak toleran, eksklusif, tidak menyadari
pluralisme,
> tidak menghargai multikulturalisme, tidak mau berta'aruf, dan
sebagainya.
> Padahal orang Islam disuruh melakukan ta'aruf (QS 49:13). Banyak
yang
> kemudian berdebat tentang "boleh dan tidaknya" menghadiri PNB,
tanpa
> menyadari, bahwa sebenarnya telah banyak diciptakan mitos-mitos
seputar apa
> yang disebut PNB itu sendiri.
>
> Marilah kita telaah mitos-mitos tersebut:
>
> PERTAMA, mitos bahwa PNB adalah keharusan. Mitos ini seperti sudah
begitu
> berurat berakar, bahwa PNB adalah enak dan perlu. Padahal, bisa
> dipertanyakan, dalam tataran kenegaraan, apa memang perlu diadakan
PNB?
> Untuk apa? Jika PNB perlu, bahkan dilakukan pada skala nasional dan
> dijadikan acara resmi kenegaraan - yang mengharuskan Presiden
menghadirinya
> -- maka perlukah juga diadakan WB (Waisak Bersama), NB (Nyepi
Bersama), IFB
> (Idul Fithri Bersama), IAB (Idul Adha Bersama), MNB (Maulid Nabi
Bersama),
> IMB (Isra' Mi'raj Bersama), IB (Imlek Bersama). Jika semua itu
dilakukan,
> mungkin demi alasan efisiensi dan pluralisme beragama, akan ada
yang usul,
> sebaiknya semua umat beragama merayakan HRB (Hari Raya Bersama),
yang
> menggabungkan hari raya semua agama menjadi satu. Di situ
diperingati
> bersama kelahiran Tuhan Yesus, peringatan kelahiran Nabi Muhammad
saw, dan
> kelahiran dewa-dewa tertentu, dan sebagainya.
>
> Keharusan PNB sebenarnya adalah sebuah mitos, khususnya
kata "Bersama". Jika
> kaum Kristen merayakan
agama
> lain? Ketika itu mereka memperingati kelahiran Tuhan Yesus, maka
mengapa
> mesti mendorong-dorong umat agama lain untuk mendengarkan cerita
tentang
> Yesus dalam versi Kristen? Mengapa doktrin tentang Yesus sebagai
juru
> selamat umat manusia itu tidak diyakini diantara pemeluk Kristen
sendiri?
>
> Di sebuah negeri Muslim terbesar di dunia, seperti
wacana tentang
> perlunya PNB adalah sebuah 'keanehan'. Kita tidak pernah mendengar
bahwa
> kaum Kristen di AS, Inggris,
mendiskusikan
> tentang perlunya dilaksanakan IFB (Idul Fithri Bersama), agar
mereka disebut
> toleran. Bahkan, mereka tidak merasa perlu menetapkan Idul Fithri
atau Idul
> Adha sebagai hari libur nasional. Padahal, di Inggris, Kanada, dan
>
hari libur
> nasional. Selain Natal, hari Paskah diberikan libur sampai dua
hari (Easter
> Sunday dan Esater Monday). Di Kanada dan Perancis, Hari Natal juga
libur dua
> hari. Hari libur nasional di AS meliputi, New Year's Day (1
Januari), Martin
> Luther King Jr Birthday (17 Januari), Washingotn's Birthday (21
Februari),
> Memorial Day (30 Mei), Flag Day (14 Juni), Independence Day (4
Juli), Labour
> Day (5 September), Columbus Day (10 Oktober), Veterans Day (11
November),
> Thanksgiving'
>
> KEDUA, mitos bahwa PNB bertujuan membina kerukunan umat beragama.
Mitos ini
> begitu kuat dikampanyekan, bahwa salah satu cara membina kerukunan
antar
> umat beragama adalah dengan menghadiri PNB, sehingga orang yang
menolak
> untuk menghadiri PNB dipersepsikan sebagai orang yang tidak
toleran dan
> tidak mau rukun. Padahal, dalam PNB biasanya dilakukan berbagai
acara yang
> menegaskan keyakinan umat Kristen terhadap Yesus, bahwa Yesus
adalah anak
> Allah yang tunggal, juru selamat umat manusia, yang wafat di kayu
salib
> untuk menebus dosa umat manusia. Kalau mau selamat, manusia
diharuskan
> percaya kepada doktrin itu. (Yohanes, 14:16). Dalam dokumen
Konstitusi
> Dogmatik tentang Gereja (Lumen Gentium, 14) yang disahkan pada 21
November
> 1964, dalam Konsili Vatikan II, disebutkan: "Karena satu-satunya
Perantara
> dan jalan keselamatan adalah Kristus, yang hadir di antara kita di
dalam
> Tubuhnya yaitu Gereja... Oleh karenanya tidak dapat diselamatkan
orang-orang
> itu, yang walaupun tahu bahwa Gereja Katolik didirikan oleh Allah
dengan
> perantaraan Yesus Kristus, sebagai sesuatu yang diperlukan, toh
tidak mau
> masuk ke dalamnya atau tidak mau bertahan di dalamnya." (Terjemah
oleh Dr.
> J. Riberu, Dokpen MAWI, 1983).
>
> Sementara itu, dalam Islam, kepercayaan bahwa Yesus adalah Tuhan
atau anak
> Tuhan dipandang sebagai satu kekeliruan yang amat sangat serius --
satu
> kepercayaan yang dikritik keras oleh Al-Quran. (QS 5:72-73, 157;
19:89-91,
> dsb). Dalam
punya
> anak, adalah satu "Kejahatan besar" (syaian iddan). Dan Allah
berfirman
> dalam Al-Quran: "Hampir-hampir langit runtuh dan bumi terbelah
serta
> gunung-gunung hancur. Bahwasanya mereka mengklaim bahwa al-Rahman
itu
> mempunyai anak." (QS 19:90-91).
>
> Prof. Hamka menyebut tradisi Perayaan Hari Besar Agama Bersama
semacam itu
> bukan menyuburkan kerukunan umat beragama atau membangun
toleransi, tetapi
> menyuburkan kemunafikan. Di akhir tahun 1960-an, Hamka menulis
tentang
> usulan perlunya diadakan perayaan
karena
> waktunya berdekatan:
>
> "Si orang Islam diharuskan dengan penuh khusyu' bahwa Tuhan Allah
beranak,
> dan Yesus Kristus ialah Allah. Sebagaimana tadi orang-orang
Kristen disuruh
> mendengar tentang Nabi Muhammad saw dengan tenang, padahal mereka
diajarkan
> oleh pendetanya bahwa Nabi Muhammad bukanlah nabi, melainkan
penjahat. Dan
> Al-Quran bukanlah kitab suci melainkan buku karangan Muhammad
saja. Kedua
> belah pihak, baik orang Kristen yang disuruh tafakur mendengarkan
Al-Quran,
> atau orang Islam yang disuruh mendengarkan bahwa Tuhan Allah itu
ialah satu
> ditambah dua sama dengan satu, semuanya disuruh mendengarkan hal-
hal yang
> tidak mereka percayai dan tidak dapat mereka terima. Pada
hakekatnya mereka
> itu tidak ada yang toleransi. Mereka kedua belah pihak hanya
menekan
> perasaan, mendengarkan ucapan-ucapan yang dimuntahkan oleh telinga
mereka.
> Jiwa, raga, hati, sanubari, dan otak, tidak bisa menerima. Kalau
keterangan
> orang Islam bahwa Nabi Muhammad saw adalah Nabi akhir zaman,
penutup
> sekalian Rasul. Jiwa raga orang Kristen akan mengatakan bahwa
keterangan
> orang Islam ini harus ditolak, sebab kalau diterima kita tidak
Kristen lagi.
> Dalam hal kepercayaan tidak ada toleransi. Sementara sang pastor
dan pendeta
> menerangkan bahwa dosa waris Nabi Adam, ditebus oleh Yesus Kristus
di atas
> kayu palang, dan manusia ini dilahirkan dalam dosa, dan jalan
selamat hanya
> percaya dan cinta dalam Yesus."
>
> Demikian kutipan tulisan Prof. Hamka yang ia beri
judul: "Toleransi,
> Sekulerisme, atau Sinkretisme.
Hati,
> (
>
> KETIGA, mitos bahwa dalam PNB orang Muslim hanya menghadiri acara
> non-ritual dan bukan acara ritual. Dalam ungkapan Din
Syamsuddin: "Saya
> pribadi berpendapat fatwa MUI sejak zaman Buya adalah larangan
menghadiri
> upacara
wilayah
> keyakinan masing-masing. Tetapi yang berbentuk seremoni tidak
seharusnya
> terhindari."
>
> Kita patut bertanya, apa kriteria untuk menentukan bahwa suatu
kegiatan
> dalam perayaan
adalah "seremoni". Sebab,
> sebagaimana disebutkan oleh Prof. Huston Smith, "Christianity, is
basically
> a historical religion. It is founded not in abstract principles,
but in
> concrete events, actual historical happenings. (Lihat, Huston
Smith, The
> World's Religions, (New York: Harper CollinsPubliser, 1991). Agama
Kristen
> tidak memiliki sistem ibadah yang bersifat "revealed" yang sama
untuk semua
> Kristen sebagaimana dalam Islam. Karena itulah, setiap sekte atau
Gereja
> memiliki tata cara ibadah yang 'khas', yang berbeda satu dengan
lainnya.
> Setiap Gereja, pada setiap zaman, dan setiap tempat, dalam membuat
kreasi
> sendiri dalam "ibadah". Karena itu, dalam konsep Kristen, tidak
mudah untuk
> menentukan, mana yang ibadah atau ritual, dan mana yang non-ritual
atau yang
> seremoni. Misalnya, acara-acara KKR di berbagai hotel atau
lapangan, apakah
> dikategorikan sebagai ibadah aau seremoni?
>
> Konsep kenabian (prophecy) dalam agama Kristen berbeda dengan
konsep
> kenabian dan konsep uswah sebagaimana konsep kenabian Islam. Umat
Islam
> memiliki tata cara ibadah yang satu, karena ada contohnya yang
jelas, yaitu
> sunnah Nabi Muhammad saw. Ke mana pun umat Islam pergi dan dimana
pun,
> kapanpun, orang Islam shalat dengan cara yang sama. Umat Islam
takbir,
> ruku', sujud, dengan cara yang sama. Bahkan, sejumlah aliran yang
disebut
> "sesat" dalam Islam masih memiliki ibadah yang sama. Dalam Islam
sistem
> ibadah tidak berubah, sudah sempurna sejak awal, di zaman Nabi
Muhammad saw.
> (QS 5:3). Karena itu, bagi umat Islam, mudah menentukan, mana yang
ritual
> dan mana yang non-ritual. Shalat Idul Fithri adalah ritual, tetapi
kunjungan
> ke rumah-rumah setelah shalat Id adalah tradisi, non-ritual.
Karena itulah,
> dalam fatwa MUI tentang PNB yang dikeluarkan tanggal 7 Maret 1981
disebutkan
> bahwa "Perayaan Natal bagi orang-orang Kristen adalah merupakan
ibadah."
>
> Untuk menjernihkan masalah "ibadah" dan "seremoni" dalam
bagus juga
> kita tengok sejarah peringatan
memisahkan
> antara yang ibadah dan yang seremoni. Sebab, tradisi ini tidak
muncul di
> zaman Yesus dan tidak pernah diperintahkan oleh Yesus. Maka,
bagaimana bisa
> ditentukan, mana yang ibadah dan mana yang seremoni? Remi Silado,
seorang
> budayawan Kristen, menulis kolom di majalah Gatra, edisi 27
Desember 2003.
> Judulnya "Gatal di Natal". Beberapa kutipan kolomnya kita petik di
sini:
>
> (1) "Sebab, memang tradisi pesta ceria
gandrung
> dinyanyikan bahasa kereseh-reseh Inggris, belum lagi terlembaga.
Sapaan
>
Maesse,
> artinya "misa Kristus"-- baru terlembaga pada abad ke-16, dan
perayaannya
> bukan pada 25 Desember, melainkan 6 Januari."
>
> (2) "Dengan gambaran ini, keramaian
tahun Masehi
> memang berkaitan dengan leluri Barat, istiadat kafir, atau tradisi
pagan,
> yang tidak berhubungan dengan Yesus sendiri sebagai sosok
> historis-antropolog
Daud, yang
> merupakan bangsa tangan pertama yang mengenal monoteisme absolut
lewat
> Yehwah."
>
> (3) Saking gempitanya pesta
saat ini,
> karuan nilai-nilai rohaninya tergeser dan kemudian yang menonjol
adalah
> kecenderungan-
Manado orang
> mengatakan "makang riki puru polote en minung riki mabo" (makan
sampai pecah
> perut dan minum sampai mabuk).
>
> (4) "Demikianlah, soal
pengaruh Barat,
> dan persisnya Barat yang kafir, yang dirayakan dengan keliru."
>
> Yang jelas-jelas tidak ritual adalah menghadirkan tokoh Santa
Claus, karena
> ini adalah tokoh fiktif yang kehadirannya dalam peringatan
banyak
> dikritik oleh kalangan Kristen. Sebuah situs Kristen
(www.sabda.org)
> menulis satu artikel berjudul: "Merayakan Natal dengan Sinterklas:
Boleh
> atau Tidak?" Dikatakan, "Dalam artikelnya yang berjudul The Origin
of Santa
> Claus and the Christian Response to Him (Asal-usul Sinterklas dan
Tanggapan
> Orang Kristen Terhadapnya)
bahwa tokoh
> Sinterklas lebih merupakan hasil polesan cerita legenda dan mitos
yang
> kemudian diperkuat serta dimanfaatkan pula oleh para pelaku bisnis.
> Sinterklas yang kita kenal saat ini diduga berasal dari cerita
kehidupan
> seorang pastor dari
beredar
> (tidak ditunjang oleh catatan sejarah yang bisa dipercaya)
mengatakan bahwa
> Nicholas dikenal sebagai ! pastor yang melakukan banyak perbuatan
baik
> dengan menolong orang-orang yang membutuhkan. Setelah kematiannya,
dia
> dinobatkan sebagai "orang suci" oleh gereja Katolik, dengan nama
Santo
> Nicholas. Nilai-nilai yang ditanamkan oleh Sinterklas sebenarnya
tidak
> sesuai dengan ajaran iman Kristen. Akhirnya, sebagai guru Sekolah
Minggu
> kita harus menyadari bahwa hal terpenting yang harus kita
perhatikan adalah
> menjadikan Kristus sebagai berita utama dalam merayakan
> adalah Yesus."
>
> Karena itu, kita bertanya, bagaimana seandainya seorang Prof. Dr.
Din
> Syamsuddin mengenakan busana ala Santa Claus, dengan alasan itu
bukan
> termasuk ibadah? Tentulah, sulit diterima. Dan kita yakin, Pak Din
> Syamsuddin sendiri, tentu tidak akan bersedia melakukan tindakan
tersebut.
>
> KEEMPAT, mitos bahwa tidak ada unsur misi Kristen dalam PNB.
Melihat PNB
> hanya dari sisi kerukunan dan toleransi tidaklah tepat. Sebab,
dalam PNB
> unsur misi Kristen juga perlu dijelaskan secara jujur. PNB adalah
salah satu
> media yang baik untuk menyebarkan misi Kristen, agar umat manusia
mengenal
> doktrin kepercayaan Kristen, bahwa dengan mempercayai Tuhan Yesus
sebagai
> juru selamat, manusia akan selamat. Sebab, misi Kristen adalah
tugas penting
> dari setiap individu dan Gereja Kristen.
>
> Dalam dokumen Konstitusi Dogmatik tentang Gereja (Lumen Gentium,
1) juga
> disebutkan: "Christ is the Light of nations. Because this is so,
t! his
> Sacred Synod gathered together in the Holy Spirit eagerly desires,
by
> proclaiming the Gospel to every creature, to bring the light of
Christ to
> all men, a light brightly visible on the countenance of the
Church."
> (Terjemahan oleh Dr. J. Riberu adalah: "Terang bangsa-bangsa
adalah Kristus.
> Karena itu Konsili Suci ini, yang berhimpun dalam Roh Kudus, ingin
sekali
> mewartakan Injil kepada segala makhluk (bdk Mk 16:15) dan
menerangi semua
> manusia dengan cahaya Kristus, yang terpantul pada wajah Gereja).
>
> Dokumen Konsili Vatikan II, Ad Gentes, juga menugaskan, agar semua
manusia
> harus dijadikan sasaran misi. Ad gentes juga menugaskan agar misi
Kristen
> tetap dijalankan dan semua manusia harus dibaptis. Disebutkan,
bahwa Gereja
> telah mendapatkan tugas suci untuk menjadi "sakramen universal
penyelamatan
> umat manusia (the universal sacrament of salvation), dan untuk
memaklumkan
> Injil kepada seluruh manusia (to proclaim the gospel to all men).
Juga
> ditegaskan, semua manusia harus dikonversi kepada Tuhan Yesus,
mengenal
> Tuhan Yesus melalui misi Kristen, dan semua manusia harus
disatukan dalam
> Yesus dengan pembaptisan. (Therefore, all must be converted to
Him, made
> known by the Church's preaching, and all must be incorporated into
Him by
> baptism and into the Church which is His body).
>
> Tentu adalah hal yang normal, bahwa kaum Kristen ingin menyebarkan
agamanya,
> dan memandang penyebaran misi Kristen sebagai tugas suci mereka.
Namun,
> alangkah baiknya, jika hal itu dikatakan secara terus-terang, bahwa
> acara-acara seperti PNB memang merupakan bagian dari penyebaran
misi
> Kristen. Paus Yohanes Paulus II, dalam Ensiklik-nya, Redemptor
Hominis,
> (dikeluarkan 4 Maret 1979) menyatakan, bahwa Gereja berkeinginan
agar setiap
> orang dapat menemukan Kristus (The church wishes to serve this
single end:
> that each person may be able to find Christ, so that Christ may
walk with
> each one the path of life).
>
> Lebih jauh lagi ditegaskan dalam Dekrit Dominus Jesus: "The Lord
Jesus,
> before ascending into heaven, commanded his disciples to proclaim
the Gospel
> to the whole world and to baptize all nations: "Go into the whole
world and
> proclaim the Gospel to every creature. He who believes and is
baptized will
> be saved; he who does not believe will be condemned. (Mk 16:15-
16); "All
> power in heaven and on earth has been given to me. Go therefore
and teach
> all nations, baptizing them in the name of the Father, and of the
Son, and
> of the Holy Spirit, teaching them to observe all that I have
commanded you.
> And behold, I am with you always, until the end of the world?(Mt
28:18-20;
> cf. Lk 24:46-48; Jn 17:18,20,21; Acts 1:8).
>
> Sebagai Muslim, kita menghormati keyakinan dan tugas misi kaum
Kristen
> tersebut. Karena itu adalah keyakinan mereka. Paus Yohanes Paulus
II pun
> maklum akan perbedaan mendasar antara Kristen dengan Islam. Dalam
sebuah
> wawancara, Paus mengatakan, bahwa Islam bukan agama penyelamatan.
(Islam is
> not a religion of redemption). Dalam Islam, kata Paus, tidak ada
ruang untuk
> Salib dan Kebangkitan Yesus (. in Islam, there is no room for the
Cross and
> the Resurrection)
>
> Lebih jauh Paus menyatakan: "Jesus is mentioned, but only as a
prophet who
> prepares for the last prophet, Muhammad. There is also mention of
Mary, His
> Virgin Mother, but the tragedy of redemption is completely
absent." "For
> this reason," Paus menyimpulkan, "not only the theology but also
the
> anthropology of Islam is very distant from Christianity.
jauh
> tentang pernyataan Paus Yohanes Paulus II, lihat Vittorio Messori
(ed.),
> Crossing The Threshold of Hope by His Holiness John Paul II, (
York
> Alfred A. Knopf, 1994).
>
> Imbauan
>
> Dengan memahami hakekat
bersedia
> menghormati fatwa Majelis Ulama Indonesia yang melarang umat Islam
untuk
> menghadiri PNB. MUI sama sekali tidak melarang kaum Kristen
merayakan
> Fatwa itu adalah untuk internal umat Islam, dan sama sekali tidak
merugikan
> pemeluk Kristen. Fatwa itu dimaksudkan untuk menjaga kemurnian
aqidah Islam
> dan menghormati pemeluk Kristen dalam merayakan Hari
Mestinya, kaum
> non-Muslim menghormati keyakinan umat Islam ini, sebagaimana
difatwakan oleh
> MUI. Fatwa itu dikeluarkan Komisi Fatwa MUI pada 7 Maret 1981,
yang isinya
> antara lain menyatakan: (1) Mengikuti upacara
umat Islam
> hukumnya haram (2) agar umat Islam tidak terjerumus kepada syubhat
dan
> larangan Allah SWT, dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-
kegiatan
> Natal.
>
> Karena itu, kita menyesalkan jika kalangan Kristen banyak
mengkritik fatwa
> tersebut. Menganggap fatwa MUI tentang PNB itu tidak sejalan
dengan semangat
> kerukunan umat beragama, adalah penilaian yang berlebihan dan tidak
> mengormati keyakinan masing-masing agama. Lebih ajaib lagi, jika
ada yang
> mengaku Muslim ikut-ikutan meributkan fatwa ini, seolah-olah
merupakan
> musibah besar bagi bangsa
internal kaum
> Kristen saja.
>
> Kaum yang mengaku liberal ini seringkali aneh jalan pikirannya.
Mereka
> mengaku liberal dan katanya punya misi untuk menanamkan pluralisme
dan
> menghormati perbedaan. Tapi, mereka sendiri bersikap otoriter dan
tidak
> mengormati pendapat dan fatwa MUI soal Natal Bersama. Harusnya
mereka
> menghormati fatwa tersebut dan tidak mencaci maki serta menuduh
fatwa itu
> meresahkan masarakat, dan sebagainya. Jika mereka sudah "kebelet"
mau
> menghadiri PNB, ya silakan saja. Itu urusan mereka. Tidak perlu
> berteriak-teriak memaki-maki MUI. Dalam soal PNB ini, MUI hanya
menyatakan,
> bahwa itu hukumnya haram. MUI tidak meminta polisi membubarkan PNB
atau
> tidak meminta orang-orang yang hadir dalam PNB itu ditangkapi. MUI
hanya
> berpendapat, tapi sudah dicaci maki. Karena itu, MUI juga tidak
akan memaksa
> kaum liberal untuk mengikuti fatwa MUI. Jika mereka berpendapat
bahwa
> menghadiri PNB adalah jalan untuk menggapai Ridho Ilahi dan halalan
> thayyiban, ya itu urusan mereka. Toh, nanti di akhirat tanggung
jawabnya
> juga masing-masing. Wa laa taziru waaziratun wizra ukhraa.
>
> Dalam pandangan Islam, masalah peringatan Hari Besar Agama,
sebenarnya sudah
> diberi contoh dan penjelasan yang jelas oleh Rasulullah saw, dan
dicontohkan
> oleh para sahabat Rasul yang mulia. Sebaiknya hal ini dikaji
secara ilmiah
> dari sudut ketentuan-ketentuan Islam. Untuk berijtihad, memutuskan
mana yang
> halal dan mana yang haram, memerlukan kehati-hatian, dan
menghindari
> kesembronoan. Sebab, tanggung jawab di hadapan Allah, sangatlah
berat. Untuk
> masalah hukum-hukum seputar Hari Raya, misalnya, bisa dibaca
Kitab "Iqtidha'
> as-Shirat al-Mustaqim Mukhalifata Ashhabil Jahim", karya Syaikhul
Islam Ibnu
> Taimiyah).
>
> Sejak awal mula, Islam sadar akan makna pluralitas dan kerukunan
umat
> beragama. Islam hadir dengan mengakui hak hidup dan beragama bagi
umat
> beragama lain, disaat kaum Kristen Eropa menyerukan membunuh
kaum "heresy"
> karena berbeda agama. Karen Armstrong memuji tindakan Umar bin
Khatab dalam
> memberikan perlindungan dan kebebasan beragama kepada kaum Kristen
di
>
> tanpa pengrusakan dan pembantaian manusia, bahkan menandatangani
perjanjian
> 'Iliya' dengan pemimpin Kristen Jerusalem. Secara tegas Armstrong
memuji
> sikap Umar bin Khatab dan ketinggian sikap Islam dalam menaklukkan
>
> mencatat:
>
> "Umar juga mengekspresikan sikap ideal kasih sayang dari penganut
(agama)
> monoteistik, dibandingkan dengan semua penakluk
dengan
> kemungkinan perkecualian pada Raja Daud. Ia memimpin satu
penaklukan yang
> sangat damai dan tanpa tetesan darah, yang
> menyaksikannya sepanjang sejarahnya yang panjang dan sering
tragis. Saat
> ketika kaum Kristen menyerah, tidak ada pembunuhan di
ada
> penghancuran properti, tidak ada pembakaran simbol-simbol agama
lain, tidak
> ada pengusiran atyau pengambialihan, dan tidak ada usaha untuk
memaksa
> penduduk
penduduk yang
> ditaklukkan dari Kota Jarusalem itu dijadikan sebagai tanda
integritas
> kekuatan monoteistik, maka Islam telah memulainya untuk masa yang
panjang di
>
Histo ry
> of
Publishers,
> 1997).
>
> Namun, kita bisa menyimak, dalam kitab Iqtidha' as-Shirat al-
Mustaqim
> digambarkan, bagaimana ketegasan Umar bin Khatab dalam soal
perayaan Hari
> Besar kaum Yahudi dan Kristen. Beliau meminta kaum Muslim untuk
menjauhi
> Hari Besar agama mereka. Umar r.a. sama sekali tidak menganjurkan
kaum
> Muslim untuk berboncong-bondong merayakan Natal Bersama.
>
> Peringatan Hari Raya Keagamaan, sebaiknya tetap dipertahankan
sebagai hal
> yang eksklusif milik masing-masing umat beragama. Biarkanlah
masing-masing
> pemeluk agama meyakini keyakinan agamanya, tanpa dipaksa untuk
menjadi
> munafik, dengan mencampuradukkan urusan perayaan Hari Raya. Masih
banyak
> cara dan jalan untuk membangun sikap untuk saling mengenal dan
bekerjasama
> antar umat beragama, seperti bersama-sama melawan kezaliman global
yang
> menindas umat manusia saat ini. Dan untuk itu tidak perlu
menciptakan
> mitos-mitos yang menyesatkan, bahwa jika orang Islam mau
menghadiri Perayaan
> Natal Bersama, atau orang Kristen mau menghadiri perayaan Idul
Fithri
> Bersama, maka
>
> Kita berharap, masing-masing agama bersedia menghormati keyakinan
> masing-masing dan tidak memaksa - secara halus atau terang-
terangan - untuk
> melakukan suatu tindakan yang melanggar ajaran agamanya masing-
masing. Tentu
> amat sangat tidak bijaksana, jika umat Islam juga mendesak pemeluk
Kristen
> atau non-Muslim lainnya untuk menghadiri perayaan Idul Fithri.
Karena itu,
> kita juga berharap, terutama kepada para tokoh dan cendekiawan
dari kalangan
> Muslim, agar lebih berhati-hati dalam bersikap dan mengeluarkan
pendapat.
> Wallahu a'lam. [Depok, 26 Desember 2007/ <http://hidayatullah
> www.hidayatullah.
>
> Penulis adalah Wakil Ketua Komisi Kerukunan Umat Beragama MUI
Pusat
>
>
>
> _____
>
> Never miss a thing. Make Yahoo
> <http://us.rd.
homepage.
>
Earn your degree in as few as 2 years - Advance your career with an AS, BS, MS degree - College-Finder.net.
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar