Pak Manneke,
Setahu saya, yang pakai embel-embel "Psi" (Psikolog) itu jamannya
waktu masih program profesi
Kalau sudah sekolah S-2 terus tidak diembel-embeli master sepertinya
sulit ada yang mau Pak..hehehe.
Kalau saya tidak salah, program profesi S-2, yang hanya bisa diikuti
oleh mereka yang S-1 nya psikologi, lulusannya bergelar M. Psi
(Master Psikologi)
Sedangkan S-2 Psikologi yang bisa diikuti oleh S-1 non psikologi,
diberi gelar M.Si (Master Science).
Bener begitu ya Juneman?
--- In psikologi_transform
>
> Audi dan Juneman,
>
> Setahu saya, untuk gelar S2 Profesi Psikologi, tidak dipakai embel-
embel
> Magister, melainkan singkatan Psi (saja) di belakang nama lulusan.
Jadi,
> misalnya, Hendrik Bakrie, Psi. Yang pakai embel-embel Magister itu
adalah
> lulusan S2 bidang ilmu psikologi non-profesi. Singkatannya kalo tak
salah M.
> Psi.
>
> manneke
>
> Quoting Juneman <juneman@...
>
> > Bung Audifax dan Pak Manneke,
> >
> > pertama-tama, sebagai tambahan wacana mengenai hal ini, saya
sertakan artikel
> > berikut:
> > "Pendidikan Keadvokatan dan Permasalahan yang Dihadapi" oleh
Saudara
> > Muchammad Zaidun (Pembantu Dekan bidang Akademik Fakultas Hukum
Universitas
> > Airlangga).
> > http:// hukumonline.
> > (artikel terlampir di bawah)
> >
> > Saya kutip dua paragraf berikut ini:
> >
> >
> > "Untuk Indonesia ada kecenderungan program profesi yang
terintegrasi dengan
> > program magister profesi (strata-2) lebih diminati. Sebab, selain
yang
> > bersangkutan memperoleh pengetahuan yang terkait dengan
kompetensi dan
> > ketrampilan profesi, mereka juga memperoleh dasar-dasar teori
yang lebih
> > memperkuat dasar kemampuan teori di bidang profesinya. Selain
itu, yang
> > tidak dapat disangkal, mereka juga sangat senang memperoleh
tambahan gelar
> > strata-2 sebagai magister profesi.
> >
> > Ini adalah merupakan suatu kenyataan yang sulit dihindari antara
> > kecenderungan peningkatan kualitas profesi dan tuntutan
kebanggaan memperoleh
> > ijazah magister (profesi). Sebagai respon terhadap kenyataan
yang telah
> > dikemukakan di atas, maka sudah sepatutnya pendidikan tinggi
hukum bersama
> > asosiasi profesi hukum mengantisipasi kebutuhan tersebut sekaligus
> > mengupayakan peningkatan kualitas professional lawyer yang
semakin menjadi
> > tuntutan masyarakat, melalui penyelenggaraan suatu program
magister hukum
> > (profesi)."
> >
> >
> > Jadi, menurut artikel di atas, "keanehan" yang dirasakan Audi
(dan juga saya)
> > agak terjawab oleh tulisan Pak Zaidun di atas. Memang aneh,
tetapi nyata:
> > Mengapa perlu embel-embel "Magister" di samping "Profesi", maka
jawabnya
> > menurut Zaidun ternyata adalah "tuntutan kebanggaan, kesenangan
memperoleh
> > tambahan gelar Strata-2 sebagai Magister Profesi". Ya, kalau
memang benar
> > dangkal begini, sih, nampaknya sulit ya mempersoalkan secara
serius ontologi
> > dan epistemologi suatu "Magister Profesi"?
> >
> > Saya sepakat dengan Audi. Seorang Master belumlah seorang
Profesional. Namun,
> > seorang Profesional sudah barang tentu Master dalam bidangnya.
> >
> > Saya lalu teringat dengan salah satu ungkapan filsuf Prof.Dr.Franz
> > Magnis-Suseno, kira-kira begini: bahwa Profesionalisme tidak
mungkin terpisah
> > dari kepribadian, yang dapat diparkir dalam garasi apabila kita
pulang dari
> > tempat kerja ke rumah kita, dan baru kita bawa lagi apabila ke
tempat
> > pekerjaan. Jadi Profesionalisme itu terkait sekali dengan
wakat/karakter.
> >
> > Nah, dalam suatu ungkapan Jawa, kita diingatkan perbedaan "Watak"
dengan
> > "Watuk" (Jawa: batuk). Kalau watak susah berubah, kalau batuk di
Komix saja,
> > sembuh. Implikasi buat pertanyaan lebih lanjut: Bagaimana mungkin
membentuk
> > Watak dalam 1,5 - 2 tahun dan setelah itu disertifikasi?
> >
> > Maka, mungkin saja seorang alumnus Magister Profesi banyak (tidak
semua) yang
> > telah terperangkap dengan ilusi "Saya seorang Psikolog
Profesional"
> > Ilusionis-nya tidak lain adalah para dosen dan sistem perguruan
tingginya.
> > Selanjutnya.
> >
> > Baru saja hari Minggu saya kemarin berdiskusi dengan seorang
rekan senior di
> > HIMPSI DKI Jakarta (kebetulan kami sama-sama terlibat dalam
Kepengurusan)
> > menanggapi email saya yang saya kasih judul, "Dinamika Pengakuan
Kedudukan
> > Ahli Psikologi dalam Lembaran Pemerintah". Ia mengakui bahwa ia
sering
> > menemukan bahwa Psikolog kita banyak yang tidak mengikuti
perkembangan sistem
> > di luar Psikologi, sehingga kalau sudah berbenturan dengan suatu
situasi,
> > baru kebingungan. "Itu yang bikin kesel," katanya.
> >
> > Itu hanya sebuah contoh kasus, yang menurut saya, sebuah contoh
nyata
> > Ketidakprofesionala
lebih dari
> > sekadar Master. Seorang Profesional mampu mempertimbangkan semua
faktor yang
> > relevan, dalam hal mana faktor2 tersebut mungkin tidak
spesialistik bidang
> > profesinya. "Mastery" saja tidak mungkin memadai untuk pendekatan
> > multidisiplin semacam itu.
> >
> > Di atas semua itu, saya masih optimistis program Magister Profesi
Psikolog
> > terus-menerus melakukan pembenahan dalam dirinya. Semoga.
> >
> >
> > Salam,
> > Juneman
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> > ---
> > Pak Manneke dan Juneman,
> >
> > Setahu saya, kalau program profesinya sendiri sudah cukup lama
ada.
> > Yang baru muncul sekitar 2003-an (kalau enggak salah) adalah
> > penggabungan program profesi itu dengan S-2.
> >
> > Sebelum ini program profesi psikologi diberikan terpisah. Mirip
> > lulusan hukum yang mesti ambil notariat kalau mau praktek. Atau
> > lulusan farmasi yang mesti ambil apoteker.
> >
> > (Eh, ngomong-ngomong, program notariat dan apoteker juga digabung
> > jadi S-2 seperti di psikologi enggak ya?)
> >
> > Dari saya sendiri melihat penggabungan antara profesi dan master
ini
> > agak aneh. Kenapa? Karena sebelum digabung dengan profesi, master
> > psikologi rata-rata selesai 1,5 sampai 2 tahun. Begitu pula
> > pendidikan profesi, sama, selesainya sekitar 1,5 sampai 2 tahun.
> >
> > Lha ini setelah digabung kok bisa selesainya tetap 1,5 sampai 2
tahun?
> >
> > Padahal, secara esensi, apa yang disebut "mastery"
dan "profession"
> > itu berbeda. Mastery lebih pada penguasaan, sedangkan proffession
> > lebih merujuk pada profesionalisme atau perilaku profesional.
> >
> > Itu hal pertama yang saya lihat "aneh". Satu-satunya kemungkinan
> > menjalankan penggabungan profesi dan mastery dalam jangka waktu
tetap
> > 1,5 sampai 2 tahun adalah setengah profesional dan setengan
> > menguasai. Jadi mau dibilang menguasai bener ya enggak, mau
dibilang
> > profesional bener juga enggak.
> >
> > Belum lagi kejanggalan yang banyak saya temukan dalam materi
> > kuliahnya. Salah satunya tentang tesis mereka.
> >
> > Dalam tesis anak-anak program S-2 profesi, diharuskan adanya
> > treatment. Neliti apa aja harus bisa dibuat treatment. Seolah
kalau
> > bisa mentreatment orang adalah ukuran sebuah profesionalisme (atau
> > juga sekaligus ukuran penguasaan/mastery psikologi?).
> >
> > Lalu saya pernah menemukan salah satu contoh tesis. Ada anak
profesi
> > yang meneliti dengan judul (kurang lebih) "Hubungan jenis
musik 'X'
> > (aku lupa, pokoknya salah satu jenis musik klasik karya komponis
> > terkenal setara Beethoven, Vivaldi, etc) dengan kesuksesan".
> > Bayangkan, bisa begitu saja muncul "Hubungan jenis musik 'X'
dengan
> > kesuksesan".
> >
> > Lalu bayangkan si anak membuat surat ijin penelitian ke perusahaan
> > anda. Datang menemui HRD anda atau pimpinan anda, minta diijinkan
> > penelitian di tempat anda. Seolah-olah tempat anda ada masalah
dengan
> > kesuksesan. Dan tiba-tiba saja karyawan di perusahaan itu
> > di"treatment" dengan musik klasik.
> >
> > Kenapa ini terjadi? Karena fokusnya pada treatment. Bukan pada ada
> > masalah apa dan mau dibuatkan solusi macam apa (yang bisa saja
bukan
> > treatment).
> >
> > Jadi menurut saya, ketimbang bingung profesi psikologi tercatat
atau
> > tidak, mungkin lebih tepat jika dipikirkan dulu esensi profesi dan
> > mastery itu apa.
> >
> > Ada pendapat lain?
> >
> >
> >
> > Salam,
> >
> > Audifax
> >
> >
> >
> >
> > ---
> > Pendidikan Keadvokatan dan Permasalahan yang Dihadapi(*)
> > Muchammad Zaidun(**)
> > [29/10/04]
> >
> > `Peningkatan keahlian advokat membutuhkan suatu proses pendidikan
dengan
> > kurikulum yang spesifik, bersertifikasi profesi, akreditasi
pendidikan
> > profesi, dan pemberian lisensi khusus oleh asosiasi profesi'
> >
> > Ketentuan Pasal 2 ayat(2) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003
tentang Advokat
> > menyatakan: "yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana
yang berlatar
> > belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan
khusus
> > profesi advokat yang dilaksanakan oleh organisasi advokat".
> >
> > Sementara itu berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat(3), Pasal 21
ayat(1) dan
> > ayat(2) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional,
> > disimpulkan bahwa penyelenggaraan pendidikan profesi
diselenggarakan oleh
> > perguruan tinggi, karena perguruan tinggi berdasarkan undang-
undang tersebut
> > berhak menyelenggarakan program pendidikan tinggi dan dapat
memberikan gelar
> > akademik, profesi maupun vokasi. Bahkan dalam undang-undang
tersebut
> > ditegaskan bahwa selain perguruan tinggi, dilarang memberikan
gelar akademik,
> > profesi atau vokasi.
> >
> > Ini berarti untuk menyelenggarakan pendidikan profesi advokat
harus ada
> > kerjasama antara perguruan tinggi dengan organisasi profesi
advokat. Dengan
> > kata lain organisasi advokat maupun perguruan tinggi hukum,
masing-masing
> > tidak dapat menyelenggarakan sendiri program pendidikan tersebut,
tetapi
> > harus bekerjasama. Selain itu permasalahan substansial lainnya
adalah belum
> > ditetapkan kurikulum baku untuk pendidikan tersebut dan masih
menghadapi pula
> > kendala tentang tersedianya tenaga pengajar yang profesional
terutama di
> > daerah-daerah.
> >
> > Persoalan lain yang dihadapi adalah belum ditetapkan pula
kriteria dan syarat
> > pemagangan dan kantor-kantor advokat yang ditetapkan memenuhi
syarat untuk
> > tempat pemagangan bagi para calon anggota advokat.
> >
> > Permasalahan-
pendidikan khusus
> > profesi advokat yang harus segera dipecahkan. Sebab, para lulusan
pendidikan
> > hukum saat ini cukup banyak yang ingin memasuki dunia profesi
advokat.
> > Permasalahan pendidikan khusus profesi advokat sebetulnya
merupakan masalah
> > bersama antara organisasi profesi advokat dan pendidikan tinggi
hukum karena
> > input awal dari para calon advokat adalah mereka yang telah
melalui jenjang
> > pendidikan strata-1 di pendidikan tinggi hukum.
> >
> > Yang menjadi sorotan saat ini adalah pendidikan strata-1 pada
pendidikan
> > tinggi hukum dianggap masih memiliki kelemahan dalam kemahiran dan
> > ketrampilan hukum (competence and skill). Oleh sebab itu, kalau
tidak ada
> > komunikasi yang intens antara dunia profesi advokat dengan
pendidikan tinggi
> > hukum, maka masing-masing pihak dikhawatirkan kurang memahami
tentang kondisi
> > dan kebutuhan masing-masing dalam mengantisipasi penyiapan
pendidikan khusus
> > profesi advokat.
> >
> > Dipandang perlu untuk menetapkan secara lebih spesifik output
kualitas yang
> > diharapkan dari dunia profesi advokat berkaitan dengan pendidikan
khusus
> > profesi advokat tersebut, dan sekaligus dipahami lebih dalam
tentang kondisi
> > kualitas lulusan strata-1 pendidikan tinggi hukum. Dengan
demikian dapat
> > ditentukan kualitas lulusan pendidikan khusus profesi advokat yang
> > diharapkan, dan tingkat kekurangan berkaitan dengan kompetensi dan
> > ketrampilan pendidikan strata-1 tersebut. Kekurangannya kemudian
harus diisi
> > dengan pendidikan khusus profesi hukum (advokat), agar kelak
lulusan
> > pendidikan khusus profesi advokat tersebut dapat sesuai dengan
standar
> > kualitas profesi hukum (advokat) yang diharapkan.
> >
> > Kondisi yang demikian ini harus menjadi perhatian utama bagi
kedua belah
> > pihak. Apabila kondisi seperti ini tidak dapat dipahami secara
baik, maka
> > besar kemungkinan upaya pendidikan khusus profesi advokat tidak
akan dapat
> > memenuhi tujuan yang diharapkan. Kekhawatiran yang demikian ini
cukup
> > beralasan karena bisa terjadi apa yang merupakan concern
pendidikan tinggi
> > hukum belum tentu cocok dengan kebutuhan riil dunia profesi
advokat.
> >
> > Pada dasarnya pendidikan keadvokatan merupakan pendidikan
profesi, baik
> > karena faktor tujuan, misi pendidikannya, kenyataan sejarah
profesi hukum di
> > dunia internasional, maupun karena ketentuan perundang-undangan
yang
> > menyangkut pendidikan profesi, baik berdasarkan Undang-Undang No.
20 Tahun
> > 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional maupun berdasarkan
ketentuan
> > Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
> >
> > Sebagai suatu pendidikan profesional, tentu lebih baik
mengedepankan aspek
> > kompetensi (competence) dan keterampilan (skill). Tetapi harus
diingat bahwa
> > kompetensi dan ketrampilan di sini adalah based on
knowledge/science, dan
> > bukan merupakan keterampilan teknis semata-mata sebagaimana dalam
konsep
> > pendidikan vokasional.
> >
> > Di beberapa negara ada kecenderungan pendidikan profesi tersebut
dipadukan
> > dengan pendidikan akademik. Dengan perpaduan sedemikian rupa
menjadikan
> > pendidikan profesi tersebut mempunyai dasar akademik yang kuat
serta memiliki
> > kemahiran yang profesional.
> >
> > Ada pula beberapa negara yang memadukan antara pendidikan
magister dengan
> > pendidikan profesi. Dan untuk Indonesia hal ini bisa dilihat dari
model
> > pendidikan yang terintegrasi antara akademik dan profesi yang
dikembangkan
> > oleh Program Magister Kesehatan Masyarakat (Public Health) dan
Program
> > Magister Psikologi, yang mempunyai program magister (profesi).
> >
> > Sebagai contoh dalam Program Magister Psikologi, kurikulum
dirancang oleh
> > Fakultas Psikologi bersama dengan Asosiasi Psikolog Indonesia.
Peserta
> > program magister psikologi pada akhir masa studi (setelah lulus)
memperoleh
> > ijazah dengan gelar Magister Psikologi (bersifat profesi bukan
sains), dan
> > memperoleh sertifikat dari Asosiasi Psikolog Indonesia dengan
sebutan
> > Psikolog.
> >
> > ***
> >
> > Untuk Indonesia ada kecenderungan program profesi yang
terintegrasi dengan
> > program magister profesi (strata-2) lebih diminati. Sebab, selain
yang
> > bersangkutan memperoleh pengetahuan yang terkait dengan
kompetensi dan
> > ketrampilan profesi, mereka juga memperoleh dasar-dasar teori
yang lebih
> > memperkuat dasar kemampuan teori di bidang profesinya. Selain
itu, yang
> > tidak dapat disangkal, mereka juga sangat senang memperoleh
tambahan gelar
> > strata-2 sebagai magister profesi.
> >
> > Ini adalah merupakan suatu kenyataan yang sulit dihindari antara
> > kecenderungan peningkatan kualitas profesi dan tuntutan
kebanggaan memperoleh
> > ijazah magister (profesi). Sebagai respon terhadap kenyataan
yang telah
> > dikemukakan di atas, maka sudah sepatutnya pendidikan tinggi
hukum bersama
> > asosiasi profesi hukum mengantisipasi kebutuhan tersebut sekaligus
> > mengupayakan peningkatan kualitas professional lawyer yang
semakin menjadi
> > tuntutan masyarakat, melalui penyelenggaraan suatu program
magister hukum
> > (profesi).
> >
> > Kalau kita cermati lebih jauh dunia profesi hukum, khususnya
profesi advokat
> > memiliki dua jenjang keahlian yang spesifik. Pertama, adalah para
advokat
> > yang memiliki keahlian profesi yang masih bersifat umum dan dalam
praktik
> > mereka menangani perkara (khususnya litigasi) tanpa keharusan
memiliki
> > keterampilan khusus dalam bidang hukum tertentu yang ditetapkan
oleh
> > organisasi profesi, tetapi cukup dengan kemampuan hukum yang
bersifat umum.
> >
> > Kedua, adalah para advokat (dan juga para konsultan hukum) oleh
asosiasi
> > profesi diwajibkan memiliki keahlian yang spesifik dalam hal
menangani
> > masalah-masalah hukum tertentu. Misalnya bidang hukum pasar
modal harus
> > memiliki sertifikat keahlian di bidang hukum pasar modal. Di
masa lalu
> > mereka yang memperoleh sertifikat keahlian melalui pendidikan
(kursus) dan
> > ujian, serta memperoleh lisensi dari Bapepam adalah para advokat
maupun yang
> > bukan advokat.
> >
> > Contoh selanjutnya adalah bidang HAKI, mensyaratkan harus
memiliki sertifikat
> > di bidang keahlian HAKI dan terdaftar di Dirjen HAKI. Kemudian
bidang
> > kepailitan mensyaratkan harus memiliki sertifikat di bidang
keahlian hukum
> > kepailitan dan tercatat sebagai anggota asosiasi advokat di bidang
> > kepailitan.
> >
> > Berdasarkan kondisi dan fakta tersebut, maka jelas dunia profesi
hukum pada
> > waktunya tidak hanya memiliki para advokat yang memiliki keahlian
yang
> > bersifat umum (general), tetapi sudah mengarah pada keahlian yang
lebih
> > spesifik. Peningkatan keahlian advokat yang spesifik tersebut
membutuhkan
> > suatu proses pendidikan dengan kurikulum yang spesifik,
bersertifikasi
> > profesi, akreditasi pendidikan profesi, dan pemberian lisensi
khusus oleh
> > asosiasi profesi. Kenyataan tersebut mengharuskan dunia
pendidikan hukum dan
> > asosiasi profesi hukum, khususnya advokat, dapat mengantisipasi
dan merespon
> > hal tersebut dengan bekerjasama merancang suatu model pendidikan
profesi yang
> > sesuai dengan tuntutan kebutuhan keahlian.
> >
> > Kerjasama ini tentu harus diwujudkan dalam bentuk mengembangkan
suatu model
> > pendidikan profesi dalam dua jenjang, yaitu jenjang profesi umum
(general)
> > dan jenjang profesi khusus (keahlian khusus). Program pendidikan
profesi
> > tersebut seyogianya dipikirkan menjadi program yang terintegrasi
di antara
> > program pendidikan profesi umum, profesi khusus dan program
magister
> > (profesi). Hal ini agar para peserta program memperoleh manfaat
ganda dengan
> > menyandang gelar magister (profesi) bidang hukum dan menyandang
sebutan
> > advokat (umum), maupun advokat dengan keahlian khusus dalam
bidang hukum
> > tertentu setelah mereka lulus dalam program pendidikan tersebut.
> >
> > Konsekuensi dari model pendidikan profesi yang terintegrasi
dengan magister
> > hukum (profesi) tersebut, maka harus disiapkan suatu kurikulum
yang sesuai
> > dengan tuntutan kebutuhan jasa profesi hukum dan sekaligus
memenuhi
> > norma-norma standar yang sesuai dengan syarat-syarat program
magister hukum
> > (profesi) dan bukan merupakan program magister hukum yang
bersifat sains atau
> > sering disebut dengan magister ilmu hukum
> >
> > Langkah berikutnya adalah menyiapkan suatu model pembelajaran
yang sesuai
> > dengan tuntutan kebutuhan dunia profesi hukum termasuk sarana dan
prasarana,
> > serta tak kalah pentingnya adalah para dosen/pengajar. Semua
persyaratan dan
> > kebutuhan proses pembelajaran tersebut agar sesuai dengan
kepentingan
> > professional lawyers dan standar mutu pendidikan tinggi hukum,
maka hal
> > tersebut harus dipikirkan bersama secara bersungguh-sungguh oleh
dunia
> > pendidikan tinggi hukum dengan asosiasi profesi hukum, khususnya
asosiasi
> > advokat.
> >
> > Hanya melalui kerjasama yang saling menguatkan tersebut, maka
masalah
> > pendidikan profesi advokat dalam rangka peningkatan kualitas
profesional
> > advokat dapat dicapai. Oleh karena itu sudah seharusnya mulai
dirintis
> > adanya forum bersama antara fakultas hukum dengan asosiasi
profesi hukum,
> > agar selalu dapat saling menyapa dan memberikan masukan demi
kepentingan
> > pendidikan tinggi hukum dan profesi hukum, sebagaimana yang
terjadi di
> > Amerika Serikat antara School of Law Associatin dengan American
Bar
> > Association yang setiap tahun menyelenggarakan forum pertemuan
bersama dengan
> > mengangkat topik-topik aktual sebagai agenda acara tahunan.
> >
> > *Disampaikan pada Diskusi Panel "Reformasi Pendidikan Hukum di
Indonesia", di
> > Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 28 Oktober 2004
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
>
Earn your degree in as few as 2 years - Advance your career with an AS, BS, MS degree - College-Finder.net.
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar