Tentang Manusia dalam Bumi Manusia*
Vincent Christian Liong
Jakarta, 2 Oktober 2003
"Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan.
Duniaku bumi manusia dengan persoalannya."
Pengantar
Studi mengenai manusia telah menjadi studi yang tidak
ada habisnya. Ia terus menjadi topik yang menarik di
muka bumi. Sepanjang segala abad, manusia diajak untuk
bertanya mengenai siapakah dirinya. Filsafatlah yang
sering menjadi jembatan atas pertanyaan itu. Namun hal
ini pun tidak pernah memuaskan. Antara aliran satu
dengan yang lain seringkali tidak pernah melengkapi,
bahkan punya kecenderungan untuk saling mereduksi.
Manusia menurut Nietszche tidaklah sama dengan manusia
menurut Sartre atau Foucault, sebagai contoh. Meskipun
begitu, hal ini tidak berarti bahwa manusia tidak
pernah dapat dipahami.
Salah satu medium yang dapat memberikan alternatif
untuk memahami manusia adalah karya sastra. Mengapa
karya sastra? Secara de facto, tidak dapat dipungkiri
bahwa karya sastra merupakan dokumen sosial yang
bersifat historis. Ia berbicara tentang manusia dan
waktu. Tentu saja, perihal waktu demikian mengacu pada
masa lalu. Masa lalu yang bagaimana? Apa hubungan
antara masa lalu dengan kehidupan manusia sekarang?
Apakah karya sastra mampu memberikan perspektif yang
lebih jelas tentang gerak manusia dan waktu?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, dalam tulisan
kecil ini, saya menyajikan beberapa panorama yang
berhubungan dengan eksistensi manusia melalui Bumi
Manusia karya Pramoedya Ananta Toer.
1. Minke: Figur Si Manusia Bumi
Cerita si manusia bumi diawali dengan perkenalannya
kepada kita para pembaca dengan,
"Orang memanggil aku: Minke!"(2002:
Kata Minke(dibaca Mingke) merupakan plesetan dari kata
monkey yang berarti monyet. Di awal cerita ini, tokoh
Minke telah dipersamakan dengan arti monyet, dan ia
menganggapnya sebagai suatu kewajaran. Minke sebagai
seorang berdarah jawa, berkulit cokelat yang
bersekolah di sekolah dengan guru dan murid yang
berkulit putih. Bahkan, untuk menatap wajah seorang
bule Jawa pun ia belum berani. Menggunakan atau
belajar ilmu dan tehknologi barat pun ia merasakannya
sebagai sebuah kelainan, menyalahi wujud sebagai orang
Jawa. Hingga pada suatu saat ia pun berinisiatif
mencatatnya sebagai hal-hal baru yang menarik hati.
Begitulah, berpikir seperti monyet yang menonton
manusia. Ironis dan sangat menyakitkan memang. Dari
sini, tampak ketidakpuasan dan keputusasaan yang telah
ditanamkan penjajah pada pri-Bumi di Bumi nya sendiri,
Bumi Manusia.
Pemandangan di Bumi Manusia dalam kacamata Minke yang
masih merasa monkey diawali dari berbagai peristiwa.
Minke mulai membuka diri, untuk mulai berdamai dengan
lingkungan yang baru mulai ia tonton. Karena ini Bumi
Manusia, tentu saja pemandangan itu terdiri dari
struktur manusia, baik komunitas maupun individu.
Dalam proses membuat kesimpulan mengenai sebuah
manusia, Minke sebagai seorang manusia memiliki
kesempatan untuk menyimpulkannya melalui beberapa
tahap.
Tahap Pertama, saya sebut sebagai konsep Sinecdoce
totem pro parte, Sinecdoce pars pro toto.(Sebagian
melambangkan keseluruhan, keseluruhan melambangkan
sebagian) yang saya lihat ada di diri seorang Minke di
bagian awal cerita. Tahap ini sangat penting dalam
memandang bagaimana Minke mengenal identitasnya. Sama
seperti manusia pada umumnya, tahap ini dilalui Minke
ketika pertama kali ia berada di lingkungan sekolah
yang mayoritas, atau bahkan keseluruhan dari populasi
adalah kelompok yang sama yaitu bangsa Eropa,
sedangkan ia sendiri adalah seorang Jawa, ia sendiri
dan kesepian. Sehingga jika terjadi suatu konflik
kecil saja, seorang Minke sebagai seorang individu
akan menyamaratakan semuanya dalam persepsinya bahwa
semuanya adalah sama. Trauma kesendirian ini akan
melekat terus selama ia merasa sendirian.
Ketika trauma kesendirian itu telah melekat dalam diri
Minke, event apapun yang memungkinkan terjadinya
keadaan kesendirian itu akan dianggapnya sebagai suatu
hal yang akan menindasnya. Seperti kalimat yang ada di
pikiran Minke, ketika pertama kali mengunjungi rumah
tuan Mallema,"
Sekarang aku semakin mengerti: memang sudah jadi
maksudnya untuk menghinakan aku di rumah orang. Dan
sekarang aku hanya dapat mengunggu meledaknya
pengusiran."(
Bukan hanya sampai di situ. Ketika Minke pertama kali
bertemu dengan Annelies, anak Herman Mallema. Saat itu
Minke masih belum berani menatap wajah Annelies hanya
karena Annelies yang berkulit putih, halus dan
berwajah Eropa. Yang ada di kepalanya hanya,
"Tidakkah dia jijik padaku sudah tanpa nama keluarga
dan pribumi pula?"(2002:14)
Dalam kepalanya Minke sudah menyamaratakan bahwa semua
orang Eropa akan merendahkannya. Pada bagian ini dapat
dikatakan bahwa sebagai seorang individu, ia belum
menyadari Bumi Manusia sebagai kumpulan yang terdiri
dari individu-individu yang memiliki perbedaan satu
sama lain.
Tahap Kedua lebih mengacu pada proses pencarian jati
diri Minke sebagai seorang pribadi. Ini yang paling
seru! Sebagian besar halaman dari buku ini mengangkat
proses pencarian jati diri Minke, bukan kesimpulan,
bukan pula ending dari perjalanan itu. Disadari atau
tidak, dalam tahap ini seorang Minke mengalami
bagaimana ia mudah menjadi kagum pada satu hal baru.
Setelah itu, kekaguman itu dapat pindah ke hal lain.
Ia selalu berpikir untuk mencoba-coba untuk mengenal
dunia yang ia hadapi dan sekaligus mencari identitas
sebenarnya. Di dalam proses ini beruntunglah Minke
karena memiliki orang-orang yang mendukungnya,
membuatnya memiliki konsep yang benar untuk dapat
berhasil, sehingga ia tidak mudah pasang dan surut
terlalu ekstrim pada konsep yang ia buat sendiri.
Semua mengarah pada peningkatan kemampuannya untuk
menghargai orang berdasarkan individu itu sendiri.
Meskipun demikian, di buku ini belum diceritakan
hingga tuntas akhir dari perjalanan mencari jati diri
yang dilakukan Minke.
2. Bumi Manusia: Sebuah Narasi Pribadi Kolektif
Perasaan merasa dibutuhkan tampaknya menjadi
manipulasi manusia pada umumnya. Minke secara khusus
pun perlu untuk merasa dibutuhkan agar ia dapat
menjalankan kehidupannya dengan optimis. Sebut saja
Annelies berperan sebagai seorang kekasih yang amat
membutuhkannya, yang akan sakit jika tidak bersamanya,
yang bersedia mendengarkan dongengnya atau mungkin
hanya sekedar berpura-pura mendengar untuk membuatnya
senang. Peran Nyai Ontosoroh sebagai mama angkat yang
melebihi peran ibunya sendiri. Juffrouw Magda Peters
yang suka memberikan pujian akan tulisannya,
satu-satunya teman yang tidak menjauhinya ketika ia
dijauhi. Jean Marais mantan serdadu yang cacat dan
kini tekun melukis bersama puterinya May, yang
mengharapkan kunjungannya untuk bertamu ke rumah
mereka.
Pengalaman orang lain yang diadopsi menjadi pengalaman
sendiri sehingga membangun konsep yang benar mengenai
manusia dan manusia lain. Yang ia dapat dari Annelies
saat mempekenalkannya akan hubungan manusia dan
binatang peliharaan, seperti kuda misalnya. Annelies
sempat mengatakan,
"Kau harus berterimakasih pada segala yang memberimu
kehidupan, kata Mama, sekalipun dia hanya seekor
kuda."(2002: 32).
Sketsa karya Jean Marais yang melukiskan seorang
serdadu kompeni sedang menginjakan kaki pada perut
seorang pejuang Aceh. Serdadu itu menyorongkan bayonet
pada korbannya. Hendak membunuh dan hendak
dibunuh.(bdk.
pelacur Jepang masa itu untuk mengumpulkan uang di
negeri orang dan akan pulang untuk menikahi kekasihnya
Nakatani.(bdk. 2002:188). Yang tidak kalah penting
cerita Nyai Ontosoroh mengenai bagaimana Herman
Mallema dengan sabar mengubah Nyai Ontosoroh hingga
menjadi Nyai yang berpendidikan tanpa melalui bangku
sekolah.
Pengalamannya bersama the others membuat Minke
menyadari bahwa problem setiap manusia itu sama. Ia
tidak lagi menjadi orang Jawa yang gumunan atas
teknologi Eropa. Di Bumi Manusia, juga ada Annelies
yang bercita-cita menjadi bangsa ibunya, kaum
bumiputera. Robert Mallema yang ingin menjadi bangsa
Eropa murni, bukan Indo. Maurits Mallema yang dendam
pada keluarga ibu tirinya, karena merasa ditelantarkan
ayahnya. Iri pada keluarga bumiputera yang
dipandangnya rendah.(bdk. 2002: 373, 384). Semua itu
membuat cara berpikir Minke menjadi matang untuk
ukuran jaman itu.
Apa yang dipaparkan ini adalah bentuk yang saya sebut
sebagai Narasi Pribadi Kolektif. Narasi ini menjadi
bentuk pengalaman pribadi yang dipergunakan sebagai
pertemuan dari pengalaman bersama. Dengan begitu,
pengalaman-pengalam
tanpa harus melalui semua pengalaman itu dalam
hidupnya sendiri. Hal ini menjadi alasan mengapa Minke
tidak perlu mengalami semua peristiwa yang dialami
orang-orang di luar dirinya. Melalui
pertemuan-pertemuan
singgah dalam hidupnya, ia justru diisi sehingga
eksistensinya semakin berisi. Bahkan hal ini pun tidak
terjadi secara sepihak saja. Kita tahu bahwa Annelies
pun misalnya, memiliki harapan akan masa depan melalui
pertemuannya dengan Minke. Kedua-duanya saling mengisi
dan menjadi sebuah narasi yang tidak dapat terbelah
begitu saja.
3. Refleksi Bumi Manusia dan Pertanyaan tentang
Manusia
Kepada saya, Bumi Manusia berbicara tentang sebuah
ajakan untuk menjadi Minke. Bagaimanakah dalam dunia
Minke kita dapat menjawab pertanyaan-pertanya
Bumi Manusia yang sesungguhnya. Hal demikian dapat
dipahami karena bagaimanapun juga karya sastra yang
bersifat fiktif selalu menjadi nyata ketika proses
kehidupan mulai direnungkan. Tentu saja dalam hal ini
akan berbeda cara mengapresiasikannya antara pribadi
satu dengan yang lain. Pertanyaan terbesar dari sang
Bumi Manusia yang dapat saya tangkap adalah,
"Bagaimanakah hubungan antara Manusia dan Manusia lain
yang sama-sama anak Bumi ketika salah satu dari mereka
harus disudutkan oleh batas-batas yang seringkali
tidak dapat ditoleransi oleh kemanusiaan itu sendiri?"
Bukankah, telah disabdakan bahwa pada dasarnya setiap
manusia ingin menjadi baik dan semakin baik?. Apabila
dalam perannya seseorang merasa bersalah, ia
benar-benar berniat kembali melakukan hal baik, diberi
kesempatan, dan belum tentu ia menjadi baik. Namun,
bila seseorang berpikir bahwa dirinya mempunyai konsep
sendiri untuk menjadi baik, beri ia kesempatan. Yang
ada hanya kemungkinan keberhasilan yang lebih. Tetapi
tidak ada yang tahu apakah ia akan berhasil.
Setelah mendapatkan konsep yang benar, hal berikutnya
yang dibutuhkan manusia adalah faktor lingkungan.
Setiap manusia hanya berharap lingkungannya bersedia
menerima perubahannya secara perlahan. Tidak ada
manusia yang sengaja menyembunyikan perbuatannya.
Seperti saat kita malu, tidak ingin orang lain tahu
masalah keluarga kita. Setiap manusia hanya melindungi
dirinya sendiri dengan tidak mengatakannya kepada
orang lain. Pertanyaan bagi kita? "Apakah kita akan
mentoleransi batas-batas kebenaran yang dimiliki orang
lain?" Sebuah arti yang sama dengan berpikir positif
bahwa dalam diri orang lain juga ada kemungkinan bahwa
ia akan mentoleransi batas-batas kebenaran kita.
Mungkinkah di Bumi Manusia saat ini,"Masa depan
alternatiflah yang telah menjadi sejarah sebenarnya."
Apakah masa depan merupakan sebuah jalan cerita yang
dimana selalu terdapat jalan cerita alternatif, yang
sebenarnya adalah sejarah yang sesungguhnya? Apakah
sejarah sesungguhnya yang lebih baik, impian akan baik
yang kita buang sendiri?
Ketika kita memperkirakan sebuah penilaian mengenai
benar atau salah, bukankah yang diuji sebenarnya
adalah bagimana cara pandang kita terhadap batas-batas
kebenaran orang lain. Pertanyaan yang terus
timbul,"Mungkin saja dalam tindakan yang dilakukan
orang lain tersebut, batas-batas kita akan dilecehkan,
dilanggar." Pertanyaan ini menghantui kita dan
menghasilkan jawaban,"Pasti" di dalam kepala kita.
Ketika mencapai posisi demikian, lupalah kita bahwa
komposisi pikiran di Bumi Manusia itu sama, di dalam
diri orang yang kita anggap sebagai musuh kita, orang
tersebut pun akan berpikir,"Apakah dia akan menghargai
batas-batas yang saya anut, atau ia akan melanggar,
menghancurkannya.
memahami dan mentoleransi batas-batas di luar dirinya.
Dengan cara seperti itu ia menjadi tidak eksklusif. Ia
membuka dirinya pada dunia. Ini juga berarti bahwa ia
mau menerima segala konsekuensi atas eksistensi
dirinya dan menghargai eksistensi yang lain.
Memang, ada istilah,"Menyerang adalah pertahanan
terbaik" ini memang berlaku di semua mahkluk di Bumi
Manusia, tetapi bukankah kitalah sebenarnya yang
melanggar batas-batas orang lain, kitalah yang menjadi
penjahat yang melakukan kejahatan di diri orang lain.
Sekarang, bagaimanakah jika kita mencoba berpikir
sebagai pihak yang melakukan kejahatan? Dalam proses
melakukan sesuatu selalu proses yang sama yang berawal
dari konflik di dalam diri si manusia, lahirnya niat,
lalu perencanaan (baik jangka panjang maupun jangka
pendek), lalu ada moment sebelum melakukan hal yang
dapat dianggap kejahatan tersebut, sampai akhirnya
event dimana kejahatan tersebut terjadi. Bukankah
dalam setiap bagian proses mulai dari konflik di
dalam dirinya sendiri, niat, perencanaan, hingga
moment sebelum terjadi, manusia selalu memiliki
pilihan untuk memilih?
Kembali ke saat kita mengkhayalkan sebuah kemungkinan
yang dapat saja merugikan kita di masa mendatang. Kita
melakukan sebuah tindakan pencegahan. Bisa saja ada
kemungkinan bahwa kejahatan itu terjadi karena
kejahatan baru yang sebenarnya kita lakukan untuk
melindungi diri kita. Dimana tanpa adanya tindakan
pencegahan yang kita lakukan, kejahatan yang merugikan
kita sebenarnya tidak perlu terjadi. Siapa tahu masa
depan yang sebenarnya adalah apa yang kita impikan
saat ini. Masa depan yang menjadi tempat bagi manusia
untuk tidak sulit berbuat baik.
Mari bertoleransi, sebagai Sang Manusia di Bumi
Manusia. Tak peduli, baik menang atau kalah dalam
sejarah yang memiliki daya menggilas, melindas. Paling
tidak kita telah mampu bertahan untuk tetap menolak
pada penggusuran batas-batas yang kita anut. Bukankah
kemenangan yang sesungguhnya adalah kemenangan untuk
mengalahkan kekalahan kita sendiri? Rendah hati,
mengatasi ketakutan, ketidakpuasan, kesombongan untuk
tidak menang seperti Minke yang merasa dirinya bukan
monyet.. Selamat menjadi Minke.
Jakarta, 2 Oktober 2003
Vincent C. Liong
* Tulisan ini pernah memenangkan Juara 1 Lomba Analisa
Karya Sastra Tingkat SMU Pekan Bahasa , 28 Oktober
2003 di Sekolah Pelita Harapan mewakili The Gandhi
Memorial International School, Ancol - Jakarta.
* Tulisan ini telah dibukukan di buku:
Judul buku : Pramoedya Ananta Toer dan Manifestasi
Karya Sastra
Copyright @ Pramoedya Institute 2004 Cetakan I,
Juni 2004
Penerbit : Malka (Kerjasama Pramoedya Institute &
Penerbit Malka)
Editor : Daniel Mahendra
Halaman : 1 10.
* Tulisan ini pernah dipublikasikan di majalah SINERGI
INDONESIA.
Send instant messages to your online friends http://au.messenger
Earn your degree in as few as 2 years - Advance your career with an AS, BS, MS degree - College-Finder.net.
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar