TANRI ABENG: Manajemen, Kunci Keberhasilan Memakmurkan Bangsa
Oleh : Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, M.A.
25-Okt-2007, 22:27:45 WIB - [www.kabarindonesia
KabarIndonesia - Terlahir dengan nama Tanri Abeng, dari sebuah
keluarga miskin di sebuah desa di Pulau Selayar, Propinsi Sulawesi
Selatan, 65 tahun silam. Menyadari keadaan ekonomi keluarga yang
kurang beruntung, sejak usia belia ia bertekad untuk belajar dan
bekerja keras jika ingin menggapai cita-cita yang diinginkan. Semasa
pendidikannya, misalnya, Tanri bersekolah sambil berusaha mencari
uang untuk menunjang kebutuhan hidup sehari-hari di antaranya dengan
memberi les, menggandakan catatan-catatan sekolah/kuliah, dan lain-
lain.
Kegigihan dan ketekunan pantang menyerah tersebut kemudian membawa
berbagai keberhasilan baik dalam pendidikan maupun perjalanan
karirnya. Lelaki berkumis klimis ini beberapa waktu kemudian
terpilih sebagai peserta program pertukaran pelajar American Field
Service. Setelah menamatkan SMA-nya, ia meneruskan kuliah pada
Fakultas Ekonomi Universitas Hasanudin, di Makassar. Saat itu, ia
kuliah sambil bekerja paruh waktu di perusahaan eksportir dan
menjadi guru bahasa Inggris di sebuah SMA. Berkat keuletannya dalam
belajar, menjelang tamat kuliah, Tanri memperoleh beasiswa untuk
melanjutkan studi ke jenjang pasca-sarjana, Master of Business
Administration (MBA) di State University, New York, Amerika Serikat.
Perjalanan karirnya dimulai sejak Tanri Abeng bergabung dengan
perusahaan multi-nasional, PT. Union Carbide Indonesia, tidak berapa
lama setelah lulus dan menggondol gelar MBA. Tugasnya saat itu
diawali dari management trainee di Amerika Serikat, dan dalam waktu
singkat, di usianya yang ke-29 tahun, Tanri telah menduduki jabatan
direktur keuangan dan Corporate Secretary di perusahaan itu.
Kecerdasan dan keteguhannya dalam bekerja keras, sekali lagi
menunjukkan hasil yang gemilang bagi perusahaan tempatnya bekerja.
Terbukti, hanya beberapa tahun kemudian ia dialihtugaskan ke
Singapura dan bertanggungjawab atas pemasaran di Asia, Afrika, dan
Eropa.
Walaupun karir dan penghidupannya sangat bagus di Union Carbide,
bahkan ditawarkan untuk menjadi presiden direktur di perusahaan ini
dengan gaji dan fasilitas yang sangat memuaskan, Tanri Abeng lebih
memilih meninggalkan pekerjaan lamanya dan bergabung dengan PT.
Perusahaan Bir Indonesia (PT. PBI) di tahun 1979. Keinginannya untuk
mencoba tantangan baru yang lebih keras dan sulit rupanya menjadi
pendorong utama bagi Tanri menerima tawaran untuk mengelola PT. PBI.
Ia ingin membuktikan dirinya sebagai seorang manajer yang baik dan
handal. Hasilnya? Tangan dingin pria berbintang pisces ini dalam
waktu singkat mampu membawa sukses bagi perusahaan tersebut dan
berkembang menjadi PT. Multi Bintang Indonesia (PT. MBI), dan
mengangkat perusahaan multi-nasional ini menjadi bintang yang
merajai pasar minuman di Indonesia.
Kesuksesan Tanri Abeng di MBI menarik perhatian Aburizal Bakrie,
yang kemudian menawarkannya untuk menahkodai kelompok usaha Bakrie
Brothers. Kemampuan dan kehandalannya dalam mengelola sebuah
kelompok perusahaan terbuktikan selama menjadi Chief Executive
Officer (CEO) dari Bakrie Brothers. Betapa tidak, hanya dalam waktu
setahun Tanri, yang beristrikan Farida Nasution, mampu meningkatkan
keuntungan kelompok perusahaan tersebut hingga 30 persen. Dari
rententan berbagai keberhasilan itulah kemudian Tanri Abeng dijuluki
sebagai "Manajer Satu Milyard".
Seperti lazimnya, kisah sukses seperti ini pasti akan mengundang
perhatian yang lebih luas dan dari kalangan yang lebih besar atau
berpengaruh. Demikian juga, berita tentang kehandalan manajerial
Tanri Abeng suatu ketika sampai juga ke telinga Suharto ketika ia
masih menjadi presiden republik ini. Kepala negara zaman orde baru
itu kemudian memintanya menjadi Menteri Negara Pendayagunaan BUMN
(Badan Usaha Milik Negara), sebuah kementrian baru di pemerintahan
Indonesia, pada Kabinet Pembangunan VII di tahun 1997. Pada jabatan
baru ini, Tanri mendapat tantangan kerja yang tidak tanggung-
tanggung, ia harus mengelola 164 BUMN dengan sekitar 1.300 anak
perusahaan, yang total nilanya mencapai angka Rp. 500 triliun. Suatu
tugas yang amat berat, namun Tanri pantang mengeluh. "Selain
merupakan sesuatu yang berat, tugas itu merupakan suatu kehormatan
luar biasa karena saya termasuk dalam kabinet penuh tantangan,"
demikian pernyataannya suatu ketika kepada media massa. Jabatan
Menteri BUMN ini tetap berlanjut diembannya hingga kepada
kepemimpinan mantan Presiden BJ Habibie yang menggantikan Suharto
yang lengser oleh gerakan reformasi di tahun 1998. Posisi tersebut
berakhir ketika pemerintahan beralih ke presiden Abdurrahman Wahid
pada pemilu 1999.
Menilik keberhasilan demi keberhasilan yang dicapai oleh pria
langsing nan ramah ini, banyak orang ingin mendengar apa komentar
Tanri sendiri atas penilaian kesuksesan tersebut. Juga tentang
pandangan-pandangan
dari kemelut bangsa kita. Ia kemudian menjelaskan kiat sukses dan
beberapa pemikirannya kepada Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, M.A. dari
KabarIndonesia dalam sebuah wawancara khusus di Jakarta beberapa
waktu lalu, sebagai berikut:
KabarIndonesia (KI): Di setiap sukses, pasti ada perjuangan dan kiat-
kiat dalam mencapai sukses itu. Di mana letak rahasia keberhasilan
Anda?
Tanri Abeng (TA): Sukses itu relatif. Dan penilaian sukses sebaiknya
datangnya dari luar. Jika orang luar mengatakan saya sukses, ya,
saya berterima kasih. Setidaknya ada dua perspektif dalam hidup ini
yang saya jadikan falsafah hidup. Pertama, saya tidak harus kaya
tetapi hidup berkecukupan. Kedua, dengan banyak teman tidak ada
musuh. Itu saja.
Dalam perspektif ini, untuk bisa mendapat banyak teman kita harus
bisa berkontribusi dalam hidup ini, yang harus dilakukan melalui apa
yang saya sebut pendekatan profesional. Artinya, saya harus memiliki
kedalaman ilmu di mana saya berkiprah. Jadi, kalau saya berbisnis,
saya harus memiliki ilmu berbisnis. Saya memulai karir saya di
perusahaan internasional di bidang accounting, maka saya harus
mendalami ilmu accounting. Selanjutnya, saya bergerak ke bidang
pemasaran, saya harus mendalami ilmu pemasaran dengan sangat
mendalam. Setelah saya jadi pemimpin, saya harus menguasai apa itu
kepemimpinan, baik secara teoritis maupun praktisnya, science-nya
apa dan juga seni kepemimpinan. Tidak semua orang yang memiliki ilmu
kepemimpinan secara teori dapat memimpin dengan baik, karena tidak
memasukan unsur seni memimpin itu. Perpaduan antara ilmu memimpin
dan seni kepemimpinan tersebut berusaha saya pelajari secara
mendalam melalui proses waktu.
Satu hal yang penting juga, bahwa yang namanya ilmu harus selalu
terakumulasi dari waktu ke waktu. Jadi apa yang saya pelajari, saya
praktekkan 40 tahun yang lalu tatkala saya memulai karir saya tidak
pernah hilang. Selama 40 tahun itu saya akumulasikan ilmu dan
ketrampilan saya, sehingga makin lama saya makin memiliki yang biasa
saya namakan dalam terminologi kepemimpinan, yakni wisdom atau
kearifan. Akumulasi dari ilmu dan ketrampilan, membuat saya makin
hari makin memiliki kompetensi. Tapi pada waktu bersamaan saya
merasa perlu terus belajar.
40 tahun terakumulasi, baik ilmu dan ketrampilan, semua itu akhirnya
menjadi kekayaan saya, tetapi dengan itupun saya masih merasa perlu
belajar, maka setiap saat saya terus belajar. Berhadapan dengan
Anda, ada yang saya pelajari. People's power melalui media
elektronik, misalnya; saya sebelumnya hanya pernah dengar, tapi
secara praktis saya tidak tahu how it works, bagaimana sistim itu
bisa bekerja. Profesionalisme itu identik dengan apa yang saya
namakan optimisme. Bila ini sudah menjadi chemistry atau darah kita,
menurut saya kita tidak akan pernah ditinggal oleh zaman, dan kapan
pun itu, kita akan tetap berguna bagi bangsa dan masyarakat.
Saat ini saya membuka dan mengelola institusi pendidikan, itu bukan
apa-apa. Saya ingin mengembalikan apa yang saya akumulasikan itu
kepada masyarakat, kepada generasi muda, kepada manajer muda,
sehingga yang namanya manajer satu milyar itu hilang tetapi ada
penggantinya jutaan orang lain. Itu yang saya mau, maka saya
membentuk Profesi Manajemen Tanri Abeng and Associates.
Satu hal yang amat penting juga, dalam hidup ini seseorang harus
memiliki nilai. Dan nilai saya itu adalah integritas. Bagi saya,
integritas atau integrity itu tidak bisa ditawar. There is nothing
to say, "You can buy me to replace you." Integritas itu dalam dua
hal. Pertama, integritas dalam hal profesi saya sendiri. Jadi, jika
saya sebagai pengusaha, saya harus menjadi pengusaha yang baik. Saya
diberi kepercayaan oleh presiden, tugas itu saya laksanakan dengan
tidak mungkin saya akan menyeleweng. Dan integrity inilah yang
membangun basis bagi apa yang saya namakan trust. Kalau trust sudah
kita bangun, kita akan dapat bekerjasama dengan siapa pun. Anda
tidak akan mungkin bermitra dengan saya kalau Anda tidak trust, Anda
tidak percaya. Trust tidak datang dengan sendirinya. Anda pasti
menyelidiki siapa saya. Kalau tidak, untuk apa Anda di sini? Itu
karena saya sudah membangun integritas sejak saya berkiprah di dunia
nyata. Itu adalah modal saya yang kedua.
Dengan dua modal inilah saya membangun kredibilitas. Hidup ini
sebenarnya sederhana saja. Kita makan juga tiga kali sehari. Punya
satu mobil sudah cukup, saya tidak pernah punya mobil lebih dari
satu walau pun saya bisa beli beberapa mobil, karena tidak perlu.
Buat apa punya dua-tiga mobil kalau memang tidak diperlukan. Jadi
kembali lagi kepada falsafah hidup, berkecukupan, tidak perlu mewah.
Tidak perlu mimpi jadi kaya, perbanyak teman, tidak ada musuh,
berbuat sesuatu. That's all. Ini baru bisa terwujud jika ada dua
aset tadi, yakni akumulasi dari knowledge dan skill, dan yang kedua
adalah integrity.
KI: Nasehat apa yang Anda dapat berikan kepada generasi penerus?
TA: Saya kira kita semua sudah paham bahwa dunia yang sedang berubah
ini perlu kita manage dengan baik. Kita sesungguhnya memiliki sumber
daya alam yang kaya. Kita juga memiliki sumber daya manusia yang
potensial dan berkualitas tinggi. Jaman Pak Habibie, begitu banyak
insinyur-insinyur yang dikirim belajar ke luar negeri. Banyak sekali
orang-orang Indonesia yang luar biasa, memiliki ilmu dan ketrampilan
yang handal. Orang-orang ini dan kegiatan pembangunan bangsa belum
ter-manage dengan semestinya. Sehingga yang terjadi adalah masing-
masing berjalan sendiri-sendiri. Akibatnya, kekayaan alam kita yang
melimpah tidak seimbang dengan sumber daya manusia yang kita miliki.
Oleh karena itu, kepada generasi muda saya menyarankan atau
mengusulkan agar mereka itu merubah paradigma dari melihat kekayaan
alam itu sebagai gedung mewah, mobil mewah, rumah mewah, kepada
keilmuan, ilmu me-manage sumber-sumber daya yang ada. Dalam
manajemen, kita perlu menempatkan orang yang sesuai ilmu yang
dimiliknya dengan tugas dan tanggung jawab yang akan diembannya.
Tidak seperti dalam berkawan, atau dalam keluarga. Karena dia adik
kita maka kita jadikan dia direktur. Ini tidak bisa lagi begitu,
harus ditata dengan baik. Yang memiliki ketrampilan harus
diberdayakan. Kita banyak memiliki orang pintar, tapi tidak
terbedayakan. Nah, intinya adalah kita perlu pengimplementasian apa
yang saya sebut management. Kita harus merobah cara pandang terhadap
kekayaan alam itu dari benda-benda alam dan kemewahan kepada
intelektualitas. Setiap orang harus belajar apa itu manajemen.
Karena hanya menejemen sajalah yang bisa menciptakan nilai tambah.
Jutaan orang pintar tapi tidak di-manage, tidak akan terjadi proses
nilai tambah. Sering saya katakan bahwa sebenarnya tidak ada negara
yang miskin, yang ada adalah negara yang tidak termanajemeni dengan
baik.
KI: Dalam buku Anda yang populer berjudul 'Dari Meja Tanri Abeng:
Managing atau Chaos' dijelaskan detail apa yang telah dicapai dalam
Reformasi Gelombang Pertama, disamping itu walaupun sudah ada rambu-
rambu bagi pembenahan dan penyehatan BUMN, namun fakta menunjukkan
bahwa kinerja BUMN tetap saja buruk. Menurut pendapat Anda bagaimana
caranya agar BUMN mampu tampil sebagai lembaga bisnis yang tangguh
dan efisien, serta bersaing pada pasar global?
TA: Ini salah satu persoalan manajemen pemberdayaan BUMN yang keluar
dari rel-nya. Saya sudah membuat perencanaan dan mengusulkan dalam
konsep saya, Indonesia Inc., bahwa untuk menangani BUMN perlu
dibentuk yang namanya holding company. Yang melaksanakan hal ini
sekarang adalah Malaysia, yakni dengan dibentuknya Holding Khazanah.
Saat ini orang-orang lagi ramai membicarakan rencana pembentukan
holding company ini seperti di Malaysia; padahal orang nomor 1 di
Holding Khazanah itu ke saya dulu untuk bertanya soal ini. Dia
sendiri yang mengatakan bahwa orang pertama yang saya minta
konsultasi ialah Pak Tanri Abeng, itu Datok Asman. Kedua, dia bilang
saya baca bukunya Pak Tanri karena ada di situ yang namanya
holdingisasi.
Tapi ketika di Indonesia, implementasi kacau dan tidak jalan. Karena
leadership dan management tidak jalan. Setelah jamannya saya, semua
master plan sudah saya buat. Saya tidak ngomong saja, ada di buku,
24 jilid. 24 jilid untuk 150 BUMN ada di kantor saya, sampai
detailnya. Jadi saya tidak ngomong saja. It is there.
Reformasi gelombang kedua, saya diganti Laksamana (Laksamana
Sukardi, Meneg BUMN di Kabinet Abdurrahman Wahid red), kemudian
diganti Rossi Munir, habis itu masuk lagi Laksamana, lalu masuk lagi
yang namanya Sugiharto. Dan dalam 2 bulan terakhir ini masuk Sofyan
Djalil (Meneg BUMN kabinet Indonesia Bersatu, hasil reshuffle awal
Juli lalu red). Jadi selama kurang lebih 7 tahun, apa yang saya
buat sejak tahun 1999 yang lalu tidak pernah terimplementasikan
sampai sekarang.
Barulah akhir-akhir ini, oleh Sofyan Djalil, yang mengerti konsep
itu. Dia adalah kolega saya dan salah seorang staf saya dulu, dia
akan push. Dalam hal konsep kita menang, tapi ketika tiba pada
tataran implementasi kita kalah, karena kita tidak mengerti
manajemen. Dalam implementasi, kita harus menggunakan platform
manajemen. Saya kasih contoh, konversi minyak tanah ke LPG. Semua
perhitungan ke-ekonomi-an sampai kepada benefit to the consumer itu
tidak diragukan lagi. Angkanya jelas, 23 triliun yang bisa dihemat,
misalnya, oleh pemerintah. Tapi kenapa gak jalan? Tatkala ini
diimplementasikan semua jadi kacau. Kita memiliki perencanaan tidak
jalan, organisasi tidak jelas, eksekusi tidak tahu siapa yang in-
charge, lalu yang namanya review juga tidak bisa jalan. This is pure
an indiscipline of management.
Kembali kepada master plan, road-map BUMN yang sudah saya buat
dengan teman-teman, tidak jalan sampai sekarang. Baru akan mulai
dijalankan lagi. Itu karena kepemimpinan manajemen atau management
leadership tidak bisa menggerakkan implementasi dari konsep yang ada
itu. Tidak di-manage dengan baik, sehingga yang terjadi adalah
konsep ini dikeluarkan dari rel-nya oleh kepentingan politik, dan
terlalu banyak pendekatan birokrasi. Padahal ini adalah bisnis. How
can you run a business dengan pendekatan birokrasi. Kalau Anda itu
monopoli, yes, tapi kan dunia tidak lagi seperti itu. Maka saya
kembali mengatakan bahwa the only way BUMN ini kembali bisa berjaya
kalau semua elit bangsa ini sepakat; eksekutif dan legislatif
sepakat bahwa BUMN harus terbebas dari hal-hal politis dan
birokrasi, yang istilah saya adalah depolitisasi dan
debirokratisasi. That's it! Dan itu saya tulis.
Di mana-mana saya bicara, kalau 7 orang direksi itu datang dari
kekuatan politik yang berbeda dan Anda disuruh memimpin, apa tidak
kacau. Masing-masing kepentingannya yang menonjol. Belum lagi
kriteria kompetensi tadi, kriteria profesionalnya bagaimana? Kalau
kekuatan politik yang berkuasa, kriteria profesionalisme yang saya
gambarkan tadi, yaitu knowledge-nya, skill-nya, integritasnya, apa
bisa dijamin? We have these problems. Dan bagi saya, ini problem
yang bisa di-solve, kita hanya membutuhkan komitmen manusia. It can
be solved. Malaysia bisa, Singapore bisa, dan India juga bisa.
Bahkan China juga bisa, masa' kita nggak bisa? What's wrong with us?
KI: Benarkah menurut Anda bila pemerintah diatur seperti perusahaan?
Negara di-manage seperti perusahaan?
TA: In several relations, yes. Anthony Jay mengatakan bahwa state
and corporation are exactly the same, dalam satu hal: mobilisasi
daripada seluruh resources yang ada. Dan itu manajemen. To mobilize
all the resources secara efektif, negara dan korporasi are exactly
the same. Yang berbeda adalah politiknya. Maka politik memang harus
di atas. Politik yang harus menentukan, ini kita sepakat bahwa harus
demikian. Jadi, memang prinsipnya harus sama. Ada prinsip dari
perspektif manajemen. Politik sebenarnya harus mendukung dari
mobilisasi dari resources ini. Jadi, konsep management resources
allocation sama antara korporasi dan negara.
Tapi, kekuatan politik harus bisa mengatakan: 'oke, mobilisasi ini
kita terima seperti ini,' begitu. BUMN sebagai resources negara,
misalnya, kalau kita harus mobilisasi, kita harus kembali kepada
prinsip korporasi karena itu adalah business entity. Maka kekuatan
politik harus mengatakan: 'ini harus korporat caranya, jangan
birokrasi.' Jadi, in a way state and corporation are the same,
management resources. Tapi di atas semuanya itu harus ada kekuatan
politik yang meng-endorse bahwa there is the way to do it. DPR
sebagai bagian dari negara harus bisa di-manage, sayangnya DPR kita
gak bisa diatur. Dan di sinilah sebenarnya fungsi kontrol dari
masyarakat. Persoalannya kemudian bagaimana kontrol masyarakat itu
bisa berjalan sementara tingkat pendidikan dan kesejahteraan mereka
sangat memprihatinkan.
Kalau mau melihat negara yang diatur seperti lembaga bisnis, lihat
saja Singapore. The whole government is exactly managed seperti
corporation, exactly! Maka Singapore itu, apa pun yang menentukan
adalah keuntungan ekonomi. Bagi Singapore, Anda bisa ngomong apa
saja, tentang ekstradisi dan sebagainya, tapi lihat variabelnya dulu
yang menjadi barometernya. Misalnya, oke soal ekstradisi, mereka
akan berpikir apa dampaknya ini terhadap ekonomi saya? Itu dulu yang
dia pikir dan pertimbangkan. Dan memang buat mereka itu suatu
keharusan, sebab bagaimana mereka bisa bertahan; bagaimana Israel
bisa bertahan? They have nothing; what do they have? Minyak gak ada,
sawit gak ada, tambang gak ada. Tapi mereka negara kaya. Bagaimana
pun juga, pola pikir bisnis harus masuk dalam pengelolaan sebuah
negara.
KI: Anda juga sekarang banyak berkecimpung dalam bidang penerbitan,
antara lain majalah Forbes dan majalah Globe. Hal apa yang mendorong
Anda untuk menggeluti bidang penerbitan?
TA: Itu adalah bahagian dari kecintaan saya terhadap pembelajaran.
Saya anggap apa yang diterbitkan itu adalah bahagian daripada
pengetahuan, informasi dan pengayaan wawasan. Itu sejalan dengan
kegiatan yang saya geluti dalam 5 tahun terakhir, yaitu pendidikan.
Saya memiliki 2 institusi pendidikan. Satu namanya Executive Center
for Global Leadership (ECGL), untuk mendidik tenaga-tenaga eksekutif
supaya ilmunya mendekati orang-orang yang bergerak di tingkat
global. Yang kedua adalah Pusat Pembelajaran Profesi Manajemen. Saya
sudah berkesimpulan bahwa banyak sekali elit bangsa ini yang tidak
mengerti manajemen. Sedangkan saya sudah menciptakan rumus bahwa
hanya manajemen yang bisa menciptakan nilai tambah.
Saya sudah hidup berkecukupan. Jadi apa lagi yang bisa saya lakukan.
Pendidikan dan media, itu adalah bahagian yang bisa saya kembalikan
kepada bangsa ini. Saya ingin apa yang ada pada saya bisa
termanfaatkan oleh orang banyak. Salah satu cara untuk
menyebarluaskan pendidikan adalah melalui penerbitan, seperti
magazine. Jika Anda menawarkan kerjasama dalam bidang media online
KabarIndonesia, itu amat menarik bagi saya. Karena saya menilai itu
adalah termasuk salah satu cara pendidikan yang efektif.
KI: Apakah Anda merencanakan untuk terjun di dalam kancah politik
lagi dalam Pemilu yang akan datang, misalnya turut mencalonkan diri
sebagai Capres atau Wacapres?
TA: Kalau itu nggak-lah. Politik sebenarnya bukan domain saya. Dan
saya hanya perlu mengerti sedikit supaya bisa membantu siapa yang
saya anggap memang pantas untuk menjadi pemimpin politik bangsa.
Tapi saya tidak akan masuk di arena itu sendiri, karena itu bukan
spesialisasi saya. Skill saya gak di situ.
KI: Kalau menjadi penasehat, bagaimana Pak?
TA: Bolehlah, kalau menjadi penasehat bolehlah. Tapi untuk terjun
sendiri ke dunia politik tidaklah. Hingga kini saya masih memikirkan
di mana saya harus bertengger dalam konstelasi kehidupan berbangsa
dan bernegara sesuai dengan keahlian saya. Tapi yang jelas, tidak di
dunia politik.
Itulah Tanri Abeng, seorang manajer Indonesia yang sukses sepanjang
hidupnya. Pada kehidupan kesehariannya kini, ia masih dipenuhi oleh
kesibukan mengurus lembaga-lembaga pendidikan dan memberikan kuliah
umum di berbagai universitas tentang ilmu manajemen dan betapa
pentingnya bidang ilmu ini dikuasai oleh semua kalangan. Semoga dari
tangannya akan lahir manajer-manajer muda yang memiliki kehandalan
dan integritas seperti sang "Guru Manajemen Indonesia".
BIODATA SINGKAT TANRI ABENG
Nama Lengkap : Tanri Abeng, SE, MBA
Tempat Lahir : Selayar, Sulawesi Selatan
Tanggal Lahir : 7 Maret 1942
Pendidikan :
- Penerima beasiswa "American Field Service"
- Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin, Makassar
- Program Master of Business Administrasion, University of New York,
Buffalo
Karir :
- PT Union Carbide Indonesia
- Presdir PT Perusahaan Bir Indonesia (sekarang PT Multi Bintang
Indonesia)
- Presdir Grup Bakrie
- Meneg Pendayagunaan BUMN Kabinet Pembangunan VII
- Meneg Pendayagunaan BUMN Kabinet Reformasi
Blog: http://www.pewarta-
Alamat ratron (surat elektronik): redaksi@kabarindone
Berita besar hari ini...!!! Kunjungi segera:
www.kabarindonesia.
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar