Re-narasi Pengalaman Muslim-Barat
oleh Audifax
Surabaya, Jawa Timur—Hubungan Muslim-Barat masih menyimpan api dalam
sekam, meski berbagai upaya menjembatani kedua peradaban tersebut
telah dilakukan. Sejak peristiwa 9/11, mata kedua belah pihak semakin
nyalang menatap satu sama lain. Lihat saja berbagai demonstrasi dan
kekerasan yang merespon pidato Paus, atau pelarangan jilbab di
Perancis. Tampaknya ada semacam sensitivitas yang akan terus
berlangsung selama akarnya tidak ditemukan dan diselesaikan, dan
potensi disharmoni akan terus membayang, seberapa keras pun jembatan
itu dibangun.
Akar 'polemik' hubungan Muslim-Barat terletak pada alam bawah sadar
kolektif. Sesuatu di alam bawah sadar bersifat laten, namun memiliki
kekuatan untuk menguasai kesadaran. Carl Jung, psikoanalitis
terkemuka, menjelaskan mengenai shadow, yaitu lapisan terdalam dari
kepribadian yang berisi sejumlah unsur psikis personal dan kolektif.
Unsur-unsur itu relatif otonom dan bisa mempengaruhi tingkah laku
aktual.
Shadow inilah yang membayangi hubungan Muslim-Barat. Elemen-elemen
shadow berasal dari peristiwa masa lalu yang membekaskan luka di kedua
belah pihak. Perang Salib di Abad Pertengahan misalnya, telah
menorehkan luka dalam alam bawah sadar kolektif Muslim maupun Barat.
Peristiwa 9/11 juga memiliki potensi yang sama. Luka-luka itu
"membekas" dalam institusi-institusi sosio-kultural Muslim maupun
Barat, mendekam dalam ingatan kolektif.
Bekas-bekas itu memperkuat stereotipe-stereoti
sebagian orang Barat berkata, "Muslim adalah musuh bagi demokrasi,
perempuan, homoseksual, dan agama lainnya," sementara sebagian Muslim
mengatakan, "Barat hanya ingin mendominasi kita dan membusukan Islam."
Persepsi-persepsi seperti itu menciptakan tembok-tembok di antara
individu maupun kelompok, serta menghalangi persentuhan dengan liyan.
Itulah mengapa, meski persetujuan perdamaian ditandatangani dan
pernyataan publik akan kehendak baik dan kolaborasi telah dibuat,
kontak yang jenuin antara Muslim dan mereka yang di Barat tetap
dibutuhkan. Bagaimanapun, luka-luka abadi itu menciptakan fiksi bahwa
si orang asing itu mengancam dan menakutkan, akibatnya sebagian orang
tertipu oleh shadow yang bersemayam di alam bawah sadar kolektif, yang
membisikan pada mereka bahwa orang-orang Barat itu kafir atau bahwa
kaum Muslim menyebarkan doktrin dengan pedang. Stereotipe-stereoti
ini melahirkan rasa takut dan mengikis kesempatan menciptakan hubungan
harmonis.
Re-narasi, sebuah teknik psikoanalisis untuk menanggulangi masa
silam, berusaha mengatasi trauma luka-luka historis, mendekonstruksi
narasi-narasi yang menggaungkan kecurigaan dan prasangka.
Re-narasi mentransformasikan cara orang melihat peristiwa-peristiwa
traumatik, dari sesuatu yang mengancam dan pribadi sifatnya ke sesuatu
yang netral dan objektif. Ketika peristiwa-peristiwa traumatik itu
dipandang dari kacamata ini, kesedihan, luka, goresan, dan air mata
menjadi superficial, mereka ternetralkan.
Kingdom of Heaven(2005)
re-narasi luka tak tersembuhkan dalam hubungan Muslim-Barat. Disadur
secara bebas dari kehidupan Balian dari Ibelin, seorang bangsawan
penting di kerajaan salib Jerusalem, pada Abad 12, film itu
menyuguhkan bagaimana umat Muslim, Kristen, dan Yahudi dapat hidup
bersama — sepanjang fanatisme dilemparkan ke laut. Film ini mendorong
penonton untuk melangkaui soal "siapa benar dan siapa salah".
Hal ini ditunjukan oleh perkataan Balian: "The wall? The Mosque? The
Sepulchre? Who has claim? No one has claim. All have claim! We defend
this city not to protect these stones, but the people living within
these walls." Dialog tersebut memotret perang tidak sebagai bagian
identitas religius, namun sebagai perlindungan terhadap kaum lemah,
menjaga perdamaian, dan kemanusiaan. Kingdom of Heaven merubah luka
itu, menyapu shadow dari alam bawah sadar, meruntuhkan dinding-dinding
yang menghalangi kekariban tulus dengan liyan.
The Hijabi Monologues adalah contoh lain dari re-narasi. Pementasan
dua mahasiswa S-1 University of Chicago ini membangun sebuah ruang
tempat perempuan Muslim Amerika dapat menebarkan kisah-kisah pribadi
mereka dengan kata-kataa mereka sendiri. Melalui kekuatan re-narasi,
seluruh klaim ditentang dan generalisasi dilawan. Para pendengarnya
dibukakan pintu untuk berbagi pengalaman-pengalam
memperkaya pemahamannya akan kehidupan parempuan-perempuan itu,
melepaskan penilaian-penilaian dangkal berdasarkan penampilan mereka.
Melalui re-narasi, pengamalaman traumatik lebih bisa direlakan,
sehingga manusia bukan seperti pejalan yang selalu terhenti di tugu
peringatan. Menerima masa lalu tak harus berarti melupakan
peristiwa-peristiwa traumatik, tetapi rela dan ikhlas atas apa yang
telah terjadi. Dalam kerelaan ini terdapat pemaafan tak bersyarat bagi
liyan, sebab ia bukanlah barter finansial atau fisik.
Re-narasi dapat dilakukan melalui medium apa saja: fotografi, seni
rupa, teater, tari, sastra, komedi situasi, bahkan berita. Hanya
dengan dongeng yang jujur, mau mendengarkan dan memahami, shadow yang
terkunci dalam ruang bawah tanah kesadaran Muslim maupun
Barat—termasuk orang-orang Barat yang Muslim—terbebaskan. Hanya dengan
begitulah upaya penjembatanan dan perdamaian dapat kita harapkan
keberhasilannya.
###
* Psikolog, penulis buku Penulis buku "Mite Harry Potter" (2005) dan
"Imagining Lara Croft" (2006). Artikel ini disebarluaskan oleh Kantor
Berita Common Ground (CGNews) dan dapat dibaca di
www.commongroundnew
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar