Kamis, 03 Januari 2008

Trs: Bls: Bls: [psikologi_transformatif] Psikologi 'amoral' dan Psikologi moral



----- Pesan Diteruskan ----
Dari: Jusuf Sutanto <jusuf_sw@yahoo.co.id>
Kepada: psikologi_transformatif@yahoogroups.com
Terkirim: Kamis, 3 Januari, 2008 10:30:55
Topik: Bls: Bls: [psikologi_transformatif] Psikologi 'amoral' dan Psikologi moral

Pak Audifax,
Saya menemukan pandangan Konfusius " supaya setiap orang terus belajar menjadi manusia sampai mati " seperti dirumuskan oleh Prof. Tu Weiming sbb:
  • Learning to be human
  • Learning for the sake of the self
  • Self is not as isolated atom
  • Self is not as single, separate individuality
  • Self as a being in relationship
  • Self develops continuously
  • Ever-expanding process
  • Ever - growing network of human relatedness
  • A truly self realization
Open Ended Conclusion yang selalu menerima dengan terbuka masukan darimana saja sehingga akan menghasilkan  manusia yang terus semakin jembar pikiran dan hatinya. Pandangan ini sebenarnya adalah basis ilmu psikologi !
Setelah itu baru boleh belajar psikologi experimental seperti Freud, Pavlov,  Konrad Lorenz dsb.

Ini sejalan dengan pandangan Fuad Hassan tentang manusia yang sedang terus dalam proses menjadi, meski suatu saat berhenti di suatu tempat untuk waktu yang cukup lama. Itu tidak berarti dia sdh boleh berhenti menemukan dirinya sendiri.
Puncaknya adalah munculnya kesadaran akan 'kami dan kita' atau unity in diversity.
Lalu neurosis, bukan soal pembekakan neuron, tapi adalah sociosis !
Berbeda dengan pandangan yang mencari pengikut lalu berusaha mengkrangkeng bahwa yang tidak bergabung dengan kami, adalah bukan kami.

Kalau psikologi mau mengikuti jalur Konfusius, maka pasarnya menjadi tak terbatas dan tidak perlu minta ijin praktek !
Di universitas sendiri terbuka pasar yang amat luas ! Mengapa ? karena di fakultas yang lain hanya diutamakan IQ dan IP saja.
Padahal untuk masuk dunia kerja diperlukan kematangan pribadi dan kemampuan bersosialisasi !

Salam,
JS
----- Pesan Asli ----
Dari: audifax - <audivacx@yahoo.com>
Kepada: psikologi_transformatif@yahoogroups.com
Terkirim: Kamis, 3 Januari, 2008 7:49:54
Topik: Re: Bls: [psikologi_transformatif] Psikologi 'amoral' dan Psikologi moral

Berbicara moral, berarti berbicara mengenai 'logos' atau 'telos'. Suatu titik absolut yang menjangkarkan segala sesuatu. Pertanyaannya: Adakah hal itu?
 
Seperti dikatakan Pak Jusuf, ketika kita menatap langit, maka apa yang kita temui adalah hamparan tak bertepi. Saya setuju dengan itu. Juga setuju dengan ketakterbatasan masa lalu dan masa depan. Di belakang dan di depan kita terhampar ketakterbatasan.
 
Di sinilah 'logos' atau 'telos' menjadi tak mungkin. Adanya harus dipahami dalam koridor ketakmungkinannya. Begitu pula ketika kita mengaitkannya dengan psikologi.
 
Ada begitu banyak penjelasan mengenai Psike, tapi tak satupun yang bicara mengenai psike sesungguhnya. Semua hanya narasi yang coba diletakkan untuk 'mengkerangkeng' psike dalam paradigma tertentu. Karena psike itu sendiri juga merupakan hamparan tak terbatas seperti kita menatap langit
Tentu saja kita tak mungkin memahami sesuatu tanpa menggunakan paradigma. Masalahnya di sini bukan menggunakan paradigma atau tidak, tapi bagaimana menyadari ketakmungkinan paradigma itu menjelaskan Psike. Selalu ada 'Liyan' yang akan menyelip di situ. Di sinilah perlunya sebuah 'Psikologi Liyan' ketika kita hendak membicarakan Psikologi sebagai moral atau amoral.
 
Salam,
 
Audifax

Jusuf Sutanto <jusuf_sw@yahoo. co.id> wrote:
Pak Anwar Haryono,

Kalau kita menatap ke langit dan melihat betapa luas dan tak bertepinya jagad raya yang terus bergerak tanpa berhenti sekejappun, pernahkah anda menyadari bahwa observatorium untuk mengamatinya dan bumi tempat didirikannya menjadi satu dengan obyek yang diamati dan sedang ikut menari bersama.
Lalu kita bertanya dari mana dan kapan ini terjadi dan  kemana dan sampai  kapan akan pergi.
Jawabannya adalah dari the beginningless past menuju endless future !
Inilah awal dari kesadaran bahwa yang tetap adalah semuanya berubah terus menerus siang dan malam.
Tapi apakah hanya pengulangan saja ? Bukan !
Karena musim semi tahun ini berbeda dengan tahun lalu dan tahun depan.
Kalau begitu apa artinya hidup ? karena ketika dilahirkan, itulah awal dari suatu saat kita akan mati ; ketika menandatangani akte perkawinan atau akad nikah, itulah awal dari perpisahan karena suatu saaat salah satu akan mati dulu.

Dalam buku Kearifan Timur dalam Etos Kerja dan Seni Memimpin, saya menjelaskan bahwa justeru karena itu maka momen sekarang dan di sini ' here and now ' menjadi sangat penting dan indah untuk dijalani.
Kisah Sufi menanam korma dan bhiksu cilik Ikkyu menggambarkan betapa mereka faham betul soal ini.
Bukankah ini semua adalah akar dari akarnya depressi ???

Ilmu psikologi termasuk baru, usianya saja belum sampe 100 tahun.
Misalnya Freud (1856-1939) belum sempat memikirkan hal ini.
Seperti One Eyed Monster, merasa dirinya paling benar !
Dalam buku itu saya sengaja menuliskan nama-nama ilmuwan sesuai tahun kegiatannya, untuk menunjukkan suasana pemikiran yang hidup ketika suatu wacana dilontarkan.
====
Siddharta (seorang pangeran) merasakan adanya ketidak beresan ketika menyaksikan orang menjadi tua, sakit dan mati (suatu kejadian yang lumrah) kok hrs menderita ? Lalu meninggalkan istana, pergi mencari jawabannya.
Dia menemukan akar masalah yang ada dalam diri manusia itu sendiri.
Lao Tzu menganjurkan supaya " perjalanan ribuan kilometer, dimulai dengan langkah pertama ".
Konfusius mengatakan kalau semua itu terkait spt jaringan, maka janganlah berbuat sesuatu pada orang lain yang kamu tidak mau orang lain melakukannya padamu !
Inilah moral yang diajarkan oleh mereka, di dalam 'biji sudah ada pohon ', bukan moral dalam arti yang dikaitkan dengan perintah dari sesuatu yang berada di luar dirinya (yang membuat Freud dan para ilmuwan umumnya keberatan).
====
Pertanyaan fundamental ini sebaiknya sdh diajarkan semenjak S1 (sbg sistem berpikir, bukan agama / kepercayaan) karena kalau sdh terlanjur mendapatkan gelar (biasanya lalu malas belajar) dan pikirannya diduduki oleh standar2 yang ditetapkan oleh lembaga tertentu, maka susah sekali untuk diajak merefleksikannya kembali.
Seperti orang yang memiliki sepatu dan ketika ketemu kaki yang lbh besar, maka kakinya yang diserut spy pas ; atau kalau kekecilan ya diganjel meski jalannya ketoplak2 kurang nyaman.
Pikiran yang wataknya mempunyai kemampuan berkembang telah direduksi menjadi sepatu !
=====
Adalah memang watak orang bijak zaman dahulu yang tidak mau memaksakan nasehatnya spy dituruti, tapi membiarkan orang mengalaminya sendiri. Kalau tidak percaya bahwa api itu panas, ya silahkan pegang sendiri.
Inilah yang sedang terjadi sekarang ini !
Masalahnya saya rasa sdh demikian gamblang, yang tinggal hanyalah apakah cukup rendah hati untuk mengakui bahwa ' di atas langit masih ada langit ' ? Daripada lari ke hypnotis, meramal pakai kartu dsb !

Salam,
JS




----- Pesan Asli ----
Dari: Anwar Haryono <aharyono@klaras. co.id>
Kepada: psikologi_transform atif@yahoogroups .com
Terkirim: Rabu, 2 Januari, 2008 7:23:31
Topik: RE: [psikologi_transfor matif] Psikologi 'amoral' dan Psikologi moral

Salam P. Yusuf,
 
1. Masalah karyawan bank, tidak hanya customer relation…setahu saya memang tidak dipatok standard penguasaan ketrampilan tertentu…saya pikir tidak ada diferensiasi antara yang latar belakang pendidikan perbankan atau tidak…bahkan di posisi2 kunci
=====
JS :
Ini disebabkan mrk sdh punya sistem dan procedure yang baku  shg lbh memilih orang yang mudah diajar dan mau berkomunikasi ketimbang yang ngeyel dgn modal IQ dan IP
 
2. masalah pergantian era Parmenides ke promotheus, bukankah ini juga konsekuensi dari tarian kosmik…gerak bolak balik antara 2 kutub…tidak ada yang salah, hanya masing2 ada masanya sendiri-sendiri…cmiiw, sebagaimana era "yang" bergeser ke era "yin" sekarang pak? Kalau begitu, menurut bapak positioning apa yang bisa kita mainkan selain hanya mengalir dalam tarian ini?
 
Salam
Anwar
 

From: psikologi_transform atif@yahoogroups .com [mailto: psikologi_transform atif@yahoogroups .com ] On Behalf Of Jusuf Sutanto
Sent: Wednesday, January 02, 2008 5:03 PM
To: psikologi_transform atif@yahoogroups .com
Subject: Bls: [psikologi_transfor matif] Psikologi 'amoral' dan Psikologi moral
 
Pandangan saya dikuatkan juga oleh pengalaman praktis juga :
Suatu hari saya pergi ke bank swasta asing dan seperti biasanya saya bertemu dengan bagian customer relation dulu yang sudah lama saya kenal. Karena menunggu waktu cukup lama, saya iseng2 bertanya : ' Anda lulusan dari PT mana ? '.
Saya surprise ternyata dari Akademi Perhotelan.
Bagaimana bisa dia bersaing dengan lulusan dari jurusan yang berkaitan dengan perbankan ?
Dia sendiri tidak tahu, tapi sejauh yang saya kenal, dia mempunyai kepribadian yang menarik, terbuka, trampil berkomunikasi, mau belajar..... .sehingga akhirnya saya mengambil kesimpulan :
bagi perbankan yang pasti sdh punya sistem training yang mantap, adalah lbh mudah mengupgrade orang baik supaya memahami hal teknis yang berkaitan dengan pekerjaannya, daripada mengkoreksi orang dengan IQ dan IP tinggi tapi kepribadiannya mentah yang sdh bisa diramalkan akan menjadi part of the problem dalam Tim Work.
Jadi tidak ada kaitannya dengan moral dalam arti yang kita mengerti sehari-hari.
Bahwa segala sesuatu di alam semesta ini merupakan jejaring, itu adalah fakta.
Lihatlah bagaimana galaxies yang saling terkait dan bersama menari ; lihatlah dunia sub-atomic, ecological cluster dsb.

Di Yunani zaman pre-Socratic juga ada dua cara pandang :
Promotheus (semuanya berubah terus menerus yang kemudian ternyata paralel dengan globalisasi yang sekarang terjadi) dan Parmenides (ada sesuatu yang tetap dan tak berubah) yang kemudian diikuti oleh Democritus dengan konsep atom (artinya a-tomos, tidak bisa dipecah lagi).
Pada era Pencerahan abad 18, memang Parmenides yang tampil, tapi sekarang Promotheus mulai unjuk gigi !
Buddha, Konfusius, Lao Tzu, Mpu Tantular sudah melenggang tanpa masalah jauh sebelum Pencerahan abad 18
 
Salam,
JS
----- Pesan Asli ----
Dari: Woli Kertajiwa <wolikertajiwa@ yahoo.com>
Kepada: psikologi_transform atif@yahoogroups .com
Terkirim: Rabu, 2 Januari, 2008 4:12:25
Topik: [psikologi_transfor matif] Psikologi 'amoral' dan Psikologi moral
Sudah sejak lama psikologi dicurigai oleh kaum 'moralis' / agamawan dan sebagai ilmu yang kurang bermoral dan kurang ajar pada agama. Sebagai misal, Freud sebagai tokoh terkemuka Psikologi tidak beragama bahkan cenderung mengejek.
 
Selanjutnya ada yang berusaha memadukan agama dengan Psikologi: (a) ada yang dalam tataran praktis-terapan, misalnya Psikoterapi Pastoral, (b) ada yang berusaha meruntuhkan bangunan atau mengganti fondasi Psikologi mainstream dalam tataran Psychology as a Science dengan mengajukan Psikologi baru yang 'relijius, bermoral, beretika' .
 
Di milis ini, teman saya Pak Jusuf Sutanto, mencoba menawarkan 'paradigma baru' dalam psikologi yang berlandaskan moral interkoneksi umat manusia dalam jejaring semesta. Paradigma yang bermula dari pandangan hidup timur (khususnya Cina- Jepang- India ) yang kemudian disofistikasi oleh Fritjof Capra dalm 'the web of life'. Sederhananya : psikologi jangan dimulai dengan bicara soal ego dan kepuasan diri, tapi  harus dimulai dengan kesadaran universal interkoneksi antar umat manusia termasuk alam. 
 
Klik URLs berikut dan anda akan lihat beberapa kisah mengenai hal-hal yang  dikemukakan diatas :
 
Sementara itu Psikologi mainstream sudah hidup dalam jurnal-jurnal ilmiah psikologi, dalam penelitian-peneliti an ilmiah kuantitatif dan kualitatif bidang psikologi, dalam Fakultas-fakultas Psikologi seluruh dunia yang terus menerus meningkatkan mutu (termasuk daya jualnya). Dan juga dalam kode etik dan lembaran negara (hukum-hukum) yang mengatur Psikologi, Ahli Psikologi, dan Psikolog.
 
Ilmiah sendiri sudah punya standar yang diakui secara internasional, dengan metodologi keilmuan yang terstruktur.   
 
Apakah Psikologi sebagai ilmu bebas nilai ? Psikologi mainstream mengusahakan hal itu. Patokannya adalah semata-mata standar ilmiah, bukan moral atau nilai-nilai tertentu.
 
Apakah benar-benar bebas nilai ? tentu akan ada yang 'arguing' gak mungkin Psikologi dan ilmu-ilmu sosial lainnya benar-benar bebas nilai. Kalaupun argumentasi ini benar, bukan berarti akan boleh-boleh saja 'memasukkan aspek moral / nilai-nilai  / ideologi tertentu'  sesuai pesanan moral pihak tertentu...komunita s ilmuwan Psikologi tentunya akan mempertanyakan , ya kan ? Jangan-jangan nanti psikologi jadi ilmu yang amat provinsialisme, bahkan primordial.. .
 
Mana yang akan jadi paradigma :  Psikologi 'amoral' atau Psikologi 'moral' ?
Silahkan member milis ini menjawab.
  
Happy New Year 2008.
WK
Send instant messages to your online friends http://uk.messenger .yahoo.com
 
 

Bergabunglah dengan orang-orang yang berwawasan, di bidang Anda di Yahoo! Answers



Bergabunglah dengan orang-orang yang berwawasan, di bidang Anda di Yahoo! Answers


Never miss a thing. Make Yahoo your homepage.




Bergabunglah dengan orang-orang yang berwawasan, di bidang Anda di Yahoo! Answers



Bergabunglah dengan orang-orang yang berwawasan, di bidang Anda di Yahoo! Answers

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Be a career mentor

for undergrads.

Y! Messenger

Files to share?

Send up to 1GB of

files in an IM.

Wellness Spot

on Yahoo! Groups

A resource for living

the Curves lifestyle.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar: