jadi menikah kalau menikah sama dengan menikmati berkah?
si A menikah = Si A menikmati berkah
si A meikah lagi = Si A menikmati berkah lagi
si A kepingin dapat banyak berkah = si A menikah banyak
ayo menikah banyak......
ahahahahahah
tomy
--- In psikologi_transform
wrote:
>
> Lulu
>
> MENIKAH = Menikmati Berkah
!
>
> Nah, sapa yg gak seneng berkah?
>
> Jadi ya alasan itulah yg melatarbelakangi kenapa orang ingin
menikah!
>
>
>
> Heheheheeee
>
>
>
> _____
>
> From: psikologi_transform
> [mailto:psikologi_transform
> Sent: Tuesday, August 28, 2007 3:52 PM
> To: psikologi_transform
> syahputri; carierwomenfondatio
> Subject: Balasan: [psikologi_transfor
>
>
>
> ``Mengapa lebih banyak orang yang ingin menikah ketimbang yang
tidak?``
>
> ====
>
> mungkin untuk jawaban yang ini, kita harus melihat kembali diri
kita, dengan
> kata lain balikin lagi ama yang bersangkutan, dengan tidak melihat
> gendernya, dan dengan seribu alasan yang mendasarinya kenapa
memilih satu
> diantara dua pertanyaan itu ..
>
>
>
> kalo melihat dari kacamata agama, mungkin `tuhan menciptakan
manusia secara
> berpasang2an` kita akan terpicu untuk melihat kalo standard dari
kebahagiaan
> itu adalah pernikahan, tapi benerkah demikian ???
>
> kita jawab dari kacamata kita sendiri sebagai manuasia yang telah
memilih
> satu diantara dua pertanyaan itu...
>
> orang pasar turi sih pernah bilang... percuma uang banyak, akan
selalu
> menjadi yang paling rugi dan nelongso kalo gak menikah, la wong
ayam aja
> masih terus bertelur...!
>
>
>
> salam
>
> /Lu2
>
>
>
>
>
> Nana P <fe36smg@...
>
> http://serbaserbike
>
> Mengapa lebih banyak orang yang ingin menikah ketimbang yang tidak?
(masih
> merunut ke artikel yang sama `Istri yang Ingin Independen')
> Jawabannya adalah kultur patriarki yang mengagungkan perkawinan
masih lebih
> terkenal dibandingkan kacamata memahami diri sendirimisal
seseorang pun
> bisa menggapai kebahagiaan yang hakiki dengan hidup sendiri. Ayat
Alquran
> yang mengatakan bahwa Allah menciptakan makhluk hidup ini secara
berpasangan
> diinterpretasikan secara `apa adanya' tanpa melihat konteks mengapa
ayat
> tersebut turun semakin mengukuhkan pandangan bahwa melalui
perkawinan lah
> seseorang akan mencapai kebahagiaan yang hakiki di dunia ini. Juga
> mengartikannya secara sempit, bahwa berpasangan berarti semua
manusia
> diciptakan memiliki pasangan di dunia ini. (Bukankah banyak orang
yang
> keburu meninggal sebelum menikah?)
> Dalam tulisan ini aku ingin menuliskan tentang dua temanku yang
lain, yang
> bisa dikategorikan `menikah dalam usia yang terlambat', sekitar
pertengahan
> tiga puluh. Sebelum menikah, aku yakin mereka pun
terprovokasi `anggapan'
> bahwa perkawinan akan membawa mereka ke satu kehidupan yang
paripurna.
> Keduanya mengenakan jilbab, yang biasanya berkonotasi bahwa mereka
memahami
> ajaran agama lebih mendalam dibandingkan mereka yang telanjang
kepala. :)
> Aku mulai dari seseorang yang kuberi nick Lia di sini. Dia pernah
memiliki
> seorang pacar, sekitar sepuluh tahun yang lalu. Semenjak putus itu,
dia
> tidak pernah memiliki pacar lain, karena tetap berharap bahwa mantan
> pacarnya ini akan kembali kepadanya. Dulu dia kukenal sebagai
seseorang yang
> pro poligami. Mungkin dia benar-benar mencintai mantan pacarnya
yang telah
> menikahi perempuan lain itu (cinta sejati ataukah cinta buta?)
sehingga
> berkeyakinan bahwa dia tidak keberatan untuk menjadi istri kedua.
Sayang, si
> laki-laki ini benar-benar menghilang dari kehidupannya.
> Setelah berkawan akrab dengankulah kutengarai dia mulai berpikir
bahwa
> poligami merupakan salah satu kejahatan manusia tingkat tinggi.
FYI, ini
> bukan ideku, melainkan ide seorang kawan lain yang beragama Kristen
namun
> menikahi seorang laki-laki Muslim yang berdarah Arab. Mungkin juga
karena
> akhirnya Lia mulai bosan menunggu sang mantan pacar pujaan untuk
kembali
> kepadanya, untuk menjadikannya sebagai istri kedua.
> Aku mengenal Lia sebagai seorang perempuan yang (nampaknya)
menikmati
> kesendiriannya, sehingga tidak mudah terusik dengan pertanyaan-
pertanyaan
> jail orang sekitar, "Kapan kamu menikah?" ataupun gunjingan
orang, "Kasihan
> deh dia belum laku di usianya yang telah lebih 30 tahun." Namun
mungkin
> anggapanku ini salah tatkala satu hari aku mendengarnya berbicara
kepada
> seorang rekan kerja, "Eh, kenalin aja dia padaku." Tatkala rekan
kerjaku ini
> menawarkan seorang laki-laki yang sedang mencari calon istri.
> Singkat kata tak lama setelah rekan kerja ini memperkenalkan Lia
kepada
> laki-laki tersebut, dia berkata padaku bahwa mereka akan menikah.
GUBRAK.
> Apakah diam-diam ternyata Lia pun mengidap penyakit yang biasa
menghinggapi
> para lajang perempuan di sekitarkutidak pede dengan
kesendiriannya, dan
> termakan omongan orang bahwa perkawinan akan membawanya ke gerbang
> kebahagiaan? Dia bilang setelah shalat istikharah dia serasa
mendapatkan
> petunjuk dari Allah bahwa laki-laki itu dikirim oleh Allah untuk
menjadi
> pendamping hidupnya.
> (FYI, aku tipe orang yang percaya bahwa `petunjuk' semacam itu
merupakan
> refleksi apa yang sebenarnya kita inginkan dari alam bawah sadar.
Dalam alam
> bawah sadarnya, Lia mungkin ingin segera menikah. Dan keinginan ini
muncul
> dalam mimpinya, ataupun menguasai kesadarannya yang kemudian dia
baca
> sebagai petunjuk dari Allah.)
> Setelah menikah, dan mendapati ternyata suaminya menderita
schizophrenia
> yang akut, pernah masuk ke rumah sakit jiwa selama beberapa waktu,
Lia
> merasa marah kepada keluarga suami yang menutup-nutupi keadaan itu.
Namun
> tatkala dia ingin menceraikan suaminya, keluarga suami
mengatakan, "Tolong
> jangan ceraikan dia saat ini, tunggu sampai dia sembuh." Setelah Lia
> berkonsultasi dengan dokter yang pernah merawat suaminya, dia
mengetahui
> bahwa kemungkinan sembuh itu sangatlah kecil.
> Sekarang Lia tinggal di sebuah kota yang terletak di Jawa Timur,
(dia pindah
> kesana bulan April 2006, setelah mendapatkan pekerjaan yang mapan
disana)
> sedangkan suaminya tetap tinggal di Semarang. Lia telah mengubur
impiannya
> bahwa perkawinan akan membawanya ke satu kehidupan yang penuh
kebahagiaan.
> Temanku yang kedua, sebut saja namanya Uni. Berbeda dengan Lia yang
(dulu)
> nampak pede dengan kelajangannya, Uni selalu nampak ingin segera
menikah.
> `Kacamata" patriarki bahwa perkawinan akan membawa seorang
perempuan ke
> gerbang kebahagiaan membuatnya benar-benar ingin segera dipinang
oleh sang
> pangeran. Itulah sebabnya tatkala ada seorang laki-laki yang
> melamarnyameskipun berusia 9 tahun lebih muda, dan jenjang
pendidikan yang
> berada di bawahnyaUni segera menerimanya. Dia telah benar-benar
gerah
> dengan pertanyaan usil orang-orang sekitar, "Kapan kamu menikah?"
Dengan
> menikah, dia berharap bahwa dia akan segera
mengakhiri `penderitaannya'
> tudingan sebagai seseorang yang tidak diinginkan.
> Apa yang dia katakan tak lama setelah dia menikah? "Aku tertipu.
Kata orang
> menikah itu enaknya hanya 10%, sedangkan yang 90% uenak banget.
> Kenyataannya? Yang 90% itu adalah perjuangan dan harapan." Di saat
lain dia
> mengatakan, "Kata siapa pernikahan hanya membawa kebahagiaan?
beberapa
> waktu lalu dia mengatakan, "Masih mending tidak menikah, paling
kita cuma
> merasa terganggu saja tatkala orang dengan usilnya menanyakan kapan
kita
> menikah. It was not a big deal. Setelah menikah? Uh ... banyak
sekali
> permasalahan yang timbul." Hal ini lebih diperburuk lagi dengan
ucapan
> misoginis adiknya yang laki-laki, "Udahlah mbak, diterima saja.
Udah untung
> ada yang mau menikahimu!" ucapan yang bisa dikategorikan KDRT,
kekerasan
> secara psikis, karena hal ini bisa menyebabkan hilangnya
kepercayaan diri
> seseorang.
> Tatkala Uni setengah menggugat ibunya yang dulu terus menerus
menyuruhnya
> segera menikah, ibunya mengatakan, "Masak dulu Ibu menyuruhmu
begitu?" dia
> tidak mau mengakuinya.
> Hal ini jelas terlihat bahwa Uni menikah karena dia masih
menggunakan
> `kacamata' publik yang patriarki bahwa `menikah itu harus dan
perlu'.
> Tatkala dia mulai mencoba menggunakan `kacamata'nya sendiri untuk
melihat
> dan memahami diri sendiri, dia pun menyesal. Namun tatkala aku
bercerita
> tentang kasus Lia kepadanya, Uni mengatakan, "Aku masih lebih
beruntung."
> Akan bertahan berapa lama lagikah kacamata yang dipakai oleh kultur
> patriarki untuk menilai sebuah perkawinan di Indonesia ini? Masih
sangat
> lama kukira. Di negara-negara Barat dimana kesadaran kaum perempuan
akan
> kesetaraan diri mereka dengan kaum laki-laki yang jauh lebih tinggi
dari
> Indonesia pun, masyarakatnya masih tetap mengidolakan perkawinan.
> PT56 17.20 260807
>
>
>
> Minds are like parachutes, they only function when they are open.
>
> (Sir James Dewar)
> visit my blogs please, at the following sites
> http://afemaleguest
> http://afeministblo
> http://afemaleguest
>
> THANK YOU
> Best regards,
> Nana
>
>
> _____
>
>
> Fussy? Opinionated? Impossible to please? Perfect. Join
>
<http://us.rd.
oo_pan
> el_invite.asp?
>
>
>
>
>
> _____
>
> Bergabunglah dengan orang-orang yang berwawasan, di bidang Anda di
Yahoo!
>
<http://sg.rd.
/>
> Answers
>
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar