untung ayam tidak menyunyu...
coba kalo harus menyunyu kasian deh, anak ayam akan susah nyari nyunyu
terhalang oleh bulu-bulu.
kalau ntar menikah lulu dipanggil: Bulu, kalau non_sisca: Buca
Kalau ratih: Bublis hahahahaha..
[hendrik kambuh lagi]
--- In psikologi_transform
<non_sisca@.
>
>
> hihihihi...kalo gak bertelur, ayam nya gak bisa nyeberang jalan, Lu,
> keberataaaaaan telur.
>
>
>
> --- In psikologi_transform
> wrote:
> >
> > ``Mengapa lebih banyak orang yang ingin menikah ketimbang yang
> tidak?``
> > ====
> > mungkin untuk jawaban yang ini, kita harus melihat kembali diri
> kita, dengan kata lain balikin lagi ama yang bersangkutan, dengan
> tidak melihat gendernya, dan dengan seribu alasan yang mendasarinya
> kenapa memilih satu diantara dua pertanyaan itu ..
> >
> > kalo melihat dari kacamata agama, mungkin `tuhan menciptakan
> manusia secara berpasang2an` kita akan terpicu untuk melihat kalo
> standard dari kebahagiaan itu adalah pernikahan, tapi benerkah
> demikian ???
> > kita jawab dari kacamata kita sendiri sebagai manuasia yang telah
> memilih satu diantara dua pertanyaan itu...
> > orang pasar turi sih pernah bilang... percuma uang banyak, akan
> selalu menjadi yang paling rugi dan nelongso kalo gak menikah, la
> wong ayam aja masih terus bertelur...!
> >
> > salam
> > /Lu2
> >
> >
> >
> > Nana P <fe36smg@> wrote:
> >
> http://serbaserbike
> >
> > Mengapa lebih banyak orang yang ingin menikah ketimbang yang tidak?
> (masih merunut ke artikel yang sama Â`Istri yang Ingin IndependenÂ')
> > Jawabannya adalah kultur patriarki yang mengagungkan perkawinan
> masih lebih terkenal dibandingkan kacamata memahami diri sendiriÂ
> misal seseorang pun bisa menggapai kebahagiaan yang hakiki dengan
> hidup sendiri. Ayat Alquran yang mengatakan bahwa Allah menciptakan
> makhluk hidup ini secara berpasangan diinterpretasikan secara Â`apa
> adanyaÂ' tanpa melihat konteks mengapa ayat tersebut turun semakin
> mengukuhkan pandangan bahwa melalui perkawinan lah seseorang akan
> mencapai kebahagiaan yang hakiki di dunia ini. Juga mengartikannya
> secara sempit, bahwa berpasangan berarti semua manusia diciptakan
> memiliki pasangan di dunia ini. (Bukankah banyak orang yang keburu
> meninggal sebelum menikah?)
> > Dalam tulisan ini aku ingin menuliskan tentang dua temanku yang
> lain, yang bisa dikategorikan Â`menikah dalam usia yang terlambatÂ',
> sekitar pertengahan tiga puluh. Sebelum menikah, aku yakin mereka pun
> terprovokasi Â`anggapanÂ' bahwa perkawinan akan membawa mereka ke
> satu kehidupan yang paripurna. Keduanya mengenakan jilbab, yang
> biasanya berkonotasi bahwa mereka memahami ajaran agama lebih
> mendalam dibandingkan mereka yang telanjang kepala. :)
> > Aku mulai dari seseorang yang kuberi nick Lia di sini. Dia pernah
> memiliki seorang pacar, sekitar sepuluh tahun yang lalu. Semenjak
> putus itu, dia tidak pernah memiliki pacar lain, karena tetap
> berharap bahwa mantan pacarnya ini akan kembali kepadanya. Dulu dia
> kukenal sebagai seseorang yang pro poligami. Mungkin dia benar-benar
> mencintai mantan pacarnya yang telah menikahi perempuan lain itu
> (cinta sejati ataukah cinta buta?) sehingga berkeyakinan bahwa dia
> tidak keberatan untuk menjadi istri kedua. Sayang, si laki-laki ini
> benar-benar menghilang dari kehidupannya.
> > Setelah berkawan akrab dengankulah kutengarai dia mulai berpikir
> bahwa poligami merupakan salah satu kejahatan manusia tingkat tinggi.
> FYI, ini bukan ideku, melainkan ide seorang kawan lain yang beragama
> Kristen namun menikahi seorang laki-laki Muslim yang berdarah Arab.
> Mungkin juga karena akhirnya Lia mulai bosan menunggu sang mantan
> pacar pujaan untuk kembali kepadanya, untuk menjadikannya sebagai
> istri kedua.
> > Aku mengenal Lia sebagai seorang perempuan yang (nampaknya)
> menikmati kesendiriannya, sehingga tidak mudah terusik dengan
> pertanyaan-pertanya
> ataupun gunjingan orang, Â"Kasihan deh dia belum laku di usianya yang
> telah lebih 30 tahun.Â" Namun mungkin anggapanku ini salah tatkala
> satu hari aku mendengarnya berbicara kepada seorang rekan kerja,
> Â"Eh, kenalin aja dia padaku.Â" Tatkala rekan kerjaku ini menawarkan
> seorang laki-laki yang sedang mencari calon istri.
> > Singkat kata tak lama setelah rekan kerja ini memperkenalkan Lia
> kepada laki-laki tersebut, dia berkata padaku bahwa mereka akan
> menikah. GUBRAK. Apakah diam-diam ternyata Lia pun mengidap penyakit
> yang biasa menghinggapi para lajang perempuan di sekitarkuÂtidak
> pede dengan kesendiriannya, dan termakan omongan orang bahwa
> perkawinan akan membawanya ke gerbang kebahagiaan? Dia bilang setelah
> shalat istikharah dia serasa mendapatkan petunjuk dari Allah bahwa
> laki-laki itu dikirim oleh Allah untuk menjadi pendamping hidupnya.
> > (FYI, aku tipe orang yang percaya bahwa Â`petunjukÂ' semacam itu
> merupakan refleksi apa yang sebenarnya kita inginkan dari alam bawah
> sadar. Dalam alam bawah sadarnya, Lia mungkin ingin segera menikah.
> Dan keinginan ini muncul dalam mimpinya, ataupun menguasai
> kesadarannya yang kemudian dia baca sebagai petunjuk dari Allah.)
> > Setelah menikah, dan mendapati ternyata suaminya menderita
> schizophrenia yang akut, pernah masuk ke rumah sakit jiwa selama
> beberapa waktu, Lia merasa marah kepada keluarga suami yang menutup-
> nutupi keadaan itu. Namun tatkala dia ingin menceraikan suaminya,
> keluarga suami mengatakan, Â"Tolong jangan ceraikan dia saat ini,
> tunggu sampai dia sembuh.Â" Setelah Lia berkonsultasi dengan dokter
> yang pernah merawat suaminya, dia mengetahui bahwa kemungkinan sembuh
> itu sangatlah kecil.
> > Sekarang Lia tinggal di sebuah kota yang terletak di Jawa Timur,
> (dia pindah kesana bulan April 2006, setelah mendapatkan pekerjaan
> yang mapan disana) sedangkan suaminya tetap tinggal di Semarang. Lia
> telah mengubur impiannya bahwa perkawinan akan membawanya ke satu
> kehidupan yang penuh kebahagiaan.
> > Temanku yang kedua, sebut saja namanya Uni. Berbeda dengan Lia yang
> (dulu) nampak pede dengan kelajangannya, Uni selalu nampak ingin
> segera menikah. Â`KacamataÂ" patriarki bahwa perkawinan akan membawa
> seorang perempuan ke gerbang kebahagiaan membuatnya benar-benar ingin
> segera dipinang oleh sang pangeran. Itulah sebabnya tatkala ada
> seorang laki-laki yang melamarnyaÂmeskipun berusia 9 tahun lebih
> muda, dan jenjang pendidikan yang berada di bawahnyaÂUni segera
> menerimanya. Dia telah benar-benar gerah dengan pertanyaan usil orang-
> orang sekitar, Â"Kapan kamu menikah?Â" Dengan menikah, dia berharap
> bahwa dia akan segera mengakhiri Â`penderitaannyaÂ
> seseorang yang tidak diinginkan.
> > Apa yang dia katakan tak lama setelah dia menikah? Â"Aku tertipu.
> Kata orang menikah itu enaknya hanya 10%, sedangkan yang 90% uenak
> banget. Kenyataannya? Yang 90% itu adalah perjuangan dan harapan.Â"
> Di saat lain dia mengatakan, Â"Kata siapa pernikahan hanya membawa
> kebahagiaan?Â
> tidak menikah, paling kita cuma merasa terganggu saja tatkala orang
> dengan usilnya menanyakan kapan kita menikah. It was not a big deal.
> Setelah menikah? Uh ... banyak sekali permasalahan yang timbul.Â" Hal
> ini lebih diperburuk lagi dengan ucapan misoginis adiknya yang laki-
> laki, Â"Udahlah mbak, diterima saja. Udah untung ada yang mau
> menikahimu!Â" ucapan yang bisa dikategorikan KDRT, kekerasan secara
> psikis, karena hal ini bisa menyebabkan hilangnya kepercayaan diri
> seseorang.
> > Tatkala Uni setengah menggugat ibunya yang dulu terus menerus
> menyuruhnya segera menikah, ibunya mengatakan, Â"Masak dulu Ibu
> menyuruhmu begitu?Â" dia tidak mau mengakuinya.
> > Hal ini jelas terlihat bahwa Uni menikah karena dia masih
> menggunakan Â`kacamataÂ' publik yang patriarki bahwa Â`menikah itu
> harus dan perluÂ'. Tatkala dia mulai mencoba menggunakan
> Â`kacamataÂ'nya sendiri untuk melihat dan memahami diri sendiri, dia
> pun menyesal. Namun tatkala aku bercerita tentang kasus Lia
> kepadanya, Uni mengatakan, Â"Aku masih lebih beruntung.Â"
> > Akan bertahan berapa lama lagikah kacamata yang dipakai oleh kultur
> patriarki untuk menilai sebuah perkawinan di Indonesia ini? Masih
> sangat lama kukira. Di negara-negara Barat dimana kesadaran kaum
> perempuan akan kesetaraan diri mereka dengan kaum laki-laki yang jauh
> lebih tinggi dari Indonesia pun, masyarakatnya masih tetap
> mengidolakan perkawinan.
> > PT56 17.20 260807
> >
> >
> > Minds are like parachutes, they only function when they are open.
> > (Sir James Dewar)
> > visit my blogs please, at the following sites
> > http://afemaleguest
> > http://afeministblo
> > http://afemaleguest
> >
> > THANK YOU
> > Best regards,
> > Nana
> >
> >
> > ------------
> > Fussy? Opinionated? Impossible to please? Perfect. Join Yahoo!'s
> user panel and lay it on us.
> >
> >
> >
> >
> > ------------
> > Bergabunglah dengan orang-orang yang berwawasan, di bidang Anda di
> Yahoo! Answers
> >
>
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar