> asyk tulisannya di balas.....Mmmmmm
> mas Goen.....tar lagi aq dapat no Telephon nich :)
> (Tulisan q yang miring yang mbak......)
Waduh.. saya nulis sekalimat, jawabannya sekian kalimat :) Dapat telepon? Dari siapa ;)?
> yup...setuju banget di sini memang letak beda pendapat kita....kalau Mbak perhatikan tulisan mbak, mbak menekankan si pemandang (manusia) dan mbak lompat ke logika.....Mmmmm. ratusan tahun lalu pendapat (yang ekstrim lho) ini di sebut dengan relativisme.
Gitu ya? Saya menekankan si pemandang lantas lompat ke logika? Nggak tahu juga ya.. kata orang saya memang suka lompat2, walaupun saya nggak merasa lompat2.. :) Uhmm.. pada dasarnya sih saya nggak mengkotak2an, ini ngomong tentang manusia, ini ngomong tentang logika.. buat saya semua terintegrasi aja. Mungkin itu yang membuat orang bilang saya sering lompat2, karena sering menghubungkan satu dan lain hal yang [menurut orang2] sebenernya nggak ada hubungannya/nggak ada hubungan langsungnya.
Well.. soal salah dan benar.. sebenarnya maksud saya gini: manusia itu kan sebenarnya sebuah rangkaian pengalamannya. Rangkaian pengalamannya dari lahir hingga mati. Rangkaian pengalamannya sejak subscribe ke milis ini hingga entah kapan. Naah.. dalam rangkaian itu, pasti akan timbul citra/asosiasi tertentu. Seperti si Hendrik Bakrie ini.. citra/asosiasinya sudah terbentuk. Saya yakin kalau sekarang kita bikin tes kecil2an, orang semilis ditanya apa yang terlintas di kepalanya kalau mendengar nama Hendrik Bakrie, kemungkinan Top of Mind Free Association-nya terdiri dari:
- Tukang bikin ribut
- Tukang hasut
- Ngejelekin agama orang lain
- Fanatik
Yang mana memang bisa dikatakan benar, mengingat tingkah polahnya Hendrik selama ini.
Cumaaa... memang saya melihat ada yang "berbeda" dari forwardan (baca: tulisan orang) yang kali ini dikirimkan oleh Hendrik. Tidak seperti kebanyakan artikel yang lain, yang sekali ini [menurut saya] nggak rasis :). Dengan demikian, ketika reaksinya orang2 (dalam hal ini Mas As As & Mas Wendi) sama seperti reaksi2 orang terhadap artikelnya Hendrik yang rasis, saya jadi mempertanyakan: sebenarnya sudah dibaca artikelnya atau belum? Atau orang hanya melihat keyword Hendrik Bakrie, lompat ke asosiasi seperti di atas, dan maka memutuskan bahwa artikel itu harus diganyang?
Itu yang saya katakan prejudice, karena seolah2 jika seseorang sudah terbukti buruk, maka tidak akan pernah menghasilkan apa yang tidak buruk :)
*Salam tempel: terima kasih buat Mas As As atas klarifikasinya. Kalau ditempatkan pada konteks yang Mas jelaskan, memang menjadi lebih jelas bahwa yang Mas komentari bukan artikel itu, tapi pembicaraan terdahulu. Saya baca juga yang terdahulu.. dan menurut saya sih sanggahan Mas As As, dalam konteks tersebut, klop. Menjadi aneh, seperti saya katakan kemarin, karena sanggahan tersebut muncul sebagai balasan atas artikel terakhir :)*
> mungkin lebih jelas kalau saya katakan begini, kebenaran atau kesalahan itu enggak tergantung dengan logikanya mbak atau hubungannya dengan mbak (mbak = baca= manusia). yang salah adalah salah! dan yang benar adalah benar! tidak mungkin yang salah sekaligus yang benar ato setengah setengah. seperti yang ada tidak mungkin sekaligus yang tiada.
Bukan masalah logika, sebenarnya :) Tapi masalah bahwa sesuatu tidak pernah sepenuhnya salah, dan tidak pernah sepenuhnya benar :). Menurut saya, yang ada memang sekaligus tiada :) Kecuali kalau kita mau menempatkan segala sesuatunya dalam logika biner 0101 :)
Begini, Mas Tomy. Kalau ada seseorang membunuh, salah atau tidak? Membunuh itu salah, pastinya. Tapi.. jika si A membunuh karena menginginkan jam tangan Rolex milik si B, sementara si C membunuh karena hampir dianiaya si D, apakah bisa kita katakan A & C sama2 salah? Kalau menurut saya, ada kadar "benar" yang lebih banyak pada si C daripada si A :). Dua2nya mungkin memang mendapatkan hukuman, tapi.. alangkah tidak tepatnya, menurut saya, jika si C dan si A dihukum sama berat hanya karena dia membunuh. Menafikan sisi "benar" pada si C.
Itu saja yang selalu saya hindari :)
> so....kalau begitu apa guna manusia dan logikanya? ya gunanya untuk mengungkapkan kebenaran dan kesalahan dalam terang akal budinya! tapi bukan penentu sesuatu itu benar atau salah. kesalahan dan kebenaran sedikitpun tidak tergantung dengan si pengungkap.
Agree! Buat saya, logika itu adalah tool, sementara conscience (=kata hati, atau istilahnya simbah Goen: hati nurani ;)) adalah pedoman kita. Atau kalau pakai bahasa saya: conscience itu kompasnya, sementara logika itu GPS-nya :)
Oleh karena itu, yang paling saya takuti adalah jika kompas saya mati :). Pernah dibayangkan jika GPS-nya hanya berisi koordinat tanpa jelas itu lintang utara/selatan, atau bujur timur/barat? Bukannya sampai ke lokasi, malah nyasar :)
Dan dalam rangka supaya kompas saya tidak mati, saya mencoba untuk selalu melakukan tera ulang pada kompas saya. Kalau kompas saya bilang utara, saya coba lagi lihat matahari.. benar ke utara atau enggak. Jangan sampai kita ngikutin kompas, ternyata kompas kita udah nggak bener.
Apa yang bisa mematikan kompas kita? Menurut saya, ya prejudice salah satunya. Merasa nggak perlu lagi melihat isinya jika kita sudah tahu siapa yang ngomong :)
> jadi persoalan bukan soal warna itu hanya hitam atau putih karena memang banyak warna lain, sedikit putih, abu abu, kuning dst. tapi putih dan hitam juga ada. jangan karena ada banyak warna lain selain putih dan hitam mbak merelativisir warna putih dan hitam dan mengatakan segala sesuatu tidak ada yang putih absolut dan hitam absolut. yang putih adalah putih, karena dalam dirinya adalah putih.
Saya tidak merelativisirkan warna putih dan warna hitam. Saya hanya melihat "pure evil" dan "pure angel" itu jumlah sedikit banget. Yang lebih banyak adalah campuran keduanya :) Dan yang lebih penting adalah bagaimana memanfaatkan sisi putih kita untuk menguasai sisi hitam :) Tidak perlu mengubahnya menjadi purely white (karena itu juga susah, bagi kita sebagai manusia biasa)
yup saya setuju kalau prejudice membuat kita tidak menggunakan akal dan pemikiran kita dengan baik dan "kemungkinan" salah besar. tapi jangan salah, prejudice juga kadang benar.....kenapa karena memang yang benar itu adalah benar. contoh. kalau ada orang mengatakan matahari, kita langsung berpikir panas! dan memang matahari itu panas....walaupun memang panas =matahari....so kebenaran itu tidak tergantung prejudice atau enggak...
Agree. Prejudice kita kadang bisa benar. Kan nggak ada yang sepenuhnya buruk atau sepenuhnya baik di dunia itu, itu kata saya tadi ;) Dan itu termasuk juga prejudice :)
Cuma, kata kuncinya ada di tulisan Mas Tomy sendiri: saya setuju kalau prejudice membuat kita tidak menggunakan akal dan pemikiran kita dengan baik Prejudice, memang tidak selalu salah. Tapi.. kalau kita tahu bahwa hal itu bisa membuat kita tidak menggunakan akal dengan baik, sementara akal diperlukan untuk menterjemahkan conscience kita, lantas.. kenapa tidak kita hindari prejudice itu :)?
BTW, kalau contohnya Mas Tomy tentang panas = matahari, itu mah bukan prejudice, atuh! Tapi sensasi motorik :) Beda cluster deh kayaknya :)
kebenaran itu ga tergantung si pembicaranya.....percaya deh....:)
Hehehe.. jadi sebenarnya masalah kita apa ya? Dari awal saya nyemplung ke thread yang ini karena prinsip ini toh? Bahwa kebenaran itu tidak tergantung pada si pembicaranya ;). Oleh karena itu saya bilang bahwa apa yang di-forward-kan oleh seorang Hendrik Bakrie pun bisa merupakan sebuah kebenaran :)
Salam tempel buat Nala: hehehehe.. Jeng Nala, kayaknya dakyu mengenali gayamu deh di email terakhir. Kebetulan mirip, atau situ adalah kloningan "si itu"? HAHAHAHA..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar