Indonesia Termasuk dalam 38 Negara Terkorup di Dunia ETC
HARIAN ANALISA
Edisi Kamis, 27 September 2007
Indonesia Termasuk dalam 38 Negara Terkorup di Dunia
Jakarta, (Analisa)
Transparency International (TI) Indonesia di Jakarta, Rabu,
menyatakan Indonesia termasuk dalam 38 negara yang dipresepsikan
terkorup di dunia.
Pernyataan itu muncul dalam Peluncuran Indeks Presepsi Korupsi 2007
oleh koalisi global Transparency International.
Ketua Dewan Pengurus TI Indonesia, Todung Mulya Lubis mengatakan
Indonesia berada di urutan 143 dengan nilai 2,3. Selain Indonesia,
urutan 143 juga ditempati Togo, Rusia, dan Gambia.
Nilai maksimal 9,4 diperoleh Selandia Baru, Finlandia, dan Denmark.
Ketiga negara itu dipresepsikan sebagai negara bersih dari korupsi.
"Kami menggunakan angka dari 0 sampai 10. Nilai 10 berarti paling
baik, sedangkan 0 berarti paling korup," kata Todung.
Sementara itu, Indonesia menjadi negara yang relatif paling bebas
korupsi dari 38 negara terkorup di dunia. Dari 38 negara itu,
Myanmar dan Somalia menjadi negara terkorup dengan nilai 1,4.
Ke-37 negara terkorup itu adalah Indonesia, Rusia, Togo, Gambia,
Angola, Guinea-Bissau, Nigeria, Azerbaijan, Belarus, Republik Kongo,
Cote d Ivoire, Ekuador, Kazakhstan.
Selain itu Kenya, Kyrgyzstan, Liberia, Siera Leone, Tajikistan,
Zimbabwe, Bangladesh, Kamboja, Republik Afrika Tengah, Papua Nugini,
Turkmenistan, Venezuela, Republik Demokratik Kongo.
Kemudian Equatorial Guinea, Guinea, Laos, Afganistan, Chad, Sudan,
Tonga, Uzbekistan, Haiti, Irak, Myanmar, dan Somalia.
Todung mengatakan survei dilakukan di 180 negara dengan responden
sebagian besar adalah kalangan pebisnis.
Menurut Todung, responden sangat mengerti perilaku korupsi di segala
tingkatan. Praktik korupsi itu sering mereka temukan dalam proses
perizinan dan operasional bisnis mereka.
"Responden sangat mengetahui perilaku korupsi baik di daerah maupun
pusat belum berubah," kata Todung.
Dengan kata lain, para responden mempresepsikan keparahan korupsi di
beberapa negara yang disurvei, termasuk Indonesia.
Indeks Presepsi Korupsi TI juga didasarkan pada sedikitnya 13 survei
yang dilakukan 11 lembaga internasional.
Ke-13 survei itu adalah Country Performance Assessment Ratings by
the ADB, Country Policy and Institutional Assessment by the AFDB,
Bertelsmann Transformation Index, Country Policy and Institutional
Assessment by tha IDA and IBRD.
Kemudian Economist Intelligence Unit, Freedom House, Nations in
Transit, Global Insights, World Competitiveness Report of the
Insitute for Management Development, Merchant International Group,
Political and Economic Risk Consultancy, United Nations Economic
Commission for Africa, dan Global Competitiveness Report of the
World Economic Forum.
Indonesia adalah negara yang paling sering menjadi objek survei dan
11 dari 13 survei internasional itu dilakukan di Indonesia.
============
http://jawapos.
Kamis, 27 Sept 2007,
Indonesia Terkorup Nomor 36
Survei Transparency International
JAKARTA - Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia masih harus lebih
digiatkan. Dalam survei terbaru lembaga Transparency International
(TI), Indonesia masih duduk di ranking 143 dari 179 negara di dunia
dalam upaya pemberantasan korupsi. Dengan peringkat itu, Indonesia
berada di nomor 36 sebagai negara dengan pemberantasan korupsi
terlemah di dunia.
Dalam hasil survei yang dirilis kemarin, disebutkan kepercayaan
publik atas pemberantasan korupsi di Indonesia cenderung menurun.
Indonesia mengantongi skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2,3. Angka
tersebut turun dari IPK 2,4 pada 2006.
Ketua Dewan Pengurus TI Indonesia Todung Mulya Lubis menjelaskan,
IPK merefleksikan pandangan pelaku bisnis dan pengamat dari seluruh
dunia, termasuk para ahli yang menjadi penduduk pada negara yang
dievaluasi. IPK terentang dari skala 0, yang berarti sangat korup,
hingga 10 yang berarti sangat bersih.
"Turunnya skor IPK Indonesia menunjukkan jika negara dipersepsikan
publik mengalami kemunduran dalam pemberantasan korupsi," ujar
Todung dalam jumpa pers di Jakarta kemarin. Di peringkat 143,
Indonesia sejajar dengan Gambia, Rusia, dan Togo. Bahkan, kalah dari
Timor Leste dengan IPK 2,6.
Angka indeks persepsi Indonesia itu jauh dibanding Malaysia yang
besarnya 5,1 dan Singapura 9,3. Di kawasan Asia Selatan dan
Tenggara, posisi Indonesia hanya lebih baik dibanding Bangladesh,
Kamboja, Myanmar, Laos, dan Papua Nugini.
Posisi teratas penanganan korupsi ditempati Denmark, Finlandia, dan
New Zealand. Tiga negara itu memiliki nilai 9,4. Sedangkan posisi
terbawah ditempati Myanmar dan Somalia dengan angka 1,4.
Menurut Todung, publik Indonesia sudah cerdas melihat apakah
pemerintahnya benar-benar sudah melakukan pemberantasan korupsi
secara menyeluruh atau hanya kosmetik. "Nurdin Halid, ECW Neloe, dan
Syaukani telah ditangkap, tapi masih banyak yang imun. Soeharto,
Tommy Soeharto, dan kasus KPU misalnya yang tidak juga diselesaikan
hingga kini," tambahnya.
Tumpukan kasus kakap itulah yang membuat publik Indonesia
mempersepsikan bahwa pemerintah belum serius dalam memberantas
korupsi. Pemerintah masih tebang pilih. "Jangan menyepelekan memori
kolektif orang. Apa yang dilakukan SBY dalam memberantas korupsi
tidak akan membuat rakyat terkesima untuk (bisa dipilih) pada 2009,"
lanjutnya.
Ketua KPK Taufiequrrachman Ruki yang hadir dalam kesempatan tersebut
mengaku, penurunan skor itu jelas membuatnya kecewa ketika dia dan
KPK bekerja keras memberantas korupsi. Tapi, mantan Kapolwil Malang
itu mengaku tidak marah dengan hasil tersebut. "Ini cermin besar
untuk introspeksi,
sering merasa kesepian dalam pemberantasan korupsi.
Bagi Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofyan
Wanandi, IPK tersebut bukan sekadar persepsi, tapi fakta. Sebagai
pengusaha dirinya tahu betul buruknya birokrasi di Indonesia. "Kalau
dulu yang dilayani hanya Soeharto, kini ada pemerintah pusat,
pemerintah daerah, dan DPR," ujarnya.(naz)
27/09/07 00:31
Irawady Joenoes Ditetapkan sebagai Tersangka Penerima Suap
Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
menetapkan anggota Komisi Yudisial (KY) Irawady Joenoes sebagai
tersangka penerima suap.
Kuasa hukum Irawady, Firman Wijaya, di Gedung KPK, Jakarta, Rabu,
mengatakan Irawady dijerat dengan pasal 5 ayat 1 dan pasal 11 UU No
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Namun, Firman tidak mengetahui status Freddy Santoso yang turut
ditangkap bersama Irawady.
"Itu pemeriksaannya lain, saya tidak tahu," ujarnya.
Hingga Rabu tengah malam, Irawady belum keluar dari Gedung KPK.
Meski dua mobil tahanan KPK telah disiapkan di depan Gedung KPK,
belum ada tanda-tanda Irawady dan Freddy dibawa ke rumah tahanan.
Firman mengatakan saat ini sedang dilakukan pemeriksaan keaslian
uang dolar yang ditemukan di kantong pakaian Irawady.
Ia kembali menegaskan bahwa Irawady saat ditangkap KPK sedang
menjalankan tugas dari KY untuk meneliti proses pengadaan tanah
Gedung KY.
"Itu ada surat tugasnya," katanya.
Untuk itu, Firman meminta agar KY segera melakukan klarifikasi atas
pernyataannya bahwa tidak mengetahui tindakan Irawady.
Menurut penuturan Irawady, Firman mengatakan uang yang diberi oleh
Ferry dimaksudkan untuk diserahkan ke tim pengadaan tanah di KY.
"Uang itu rencananya akan dibawa ke KY untuk membuktikan bahwa
penyelewengan yang diinvestigasi selama ini ternyata benar," katanya.
(*)
============
* Korupsi Kejahatan Peradaban
Berdayakan Hakim di Pengadilan Tipikor
KOMPAS, Kamis, 27 September 2007
Status korupsi di Indonesia yang dijadikan sebagai kejahatan luar
biasa atau extraordinary crime perlu ditingkatkan menjadi kejahatan
melawan kemanusiaan dan peradaban. Peningkatan status ini diharapkan
mampu menyadarkan dan menggerakkan seluruh elemen bangsa untuk
melawan korupsi.
Demikian diungkapkan Ketua Komisi Yudisial (KY) Busyro Muqqodas saat
peluncuran Lembaga Bantuan Hukum Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah di
Jakarta, Rabu (26/9). Korupsi dinilai merusak seluruh sendi
kehidupan bangsa, menghancurkan moral masyarakat, dan menimbulkan
kemiskinan absolut. Korupsi juga menghambat upaya bangsa untuk
meningkatkan peradaban guna bersaing dengan bangsa lain.
"Korupsi bukan hanya memorak-porandakan perekonomian bangsa, tetapi
juga turut merusak moral masyarakat," ungkap Busyro. Sayangnya,
elite justru mengajarkan kepada rakyat untuk melakukan korupsi.
Kondisi ini jelas terlihat dalam proses pemilu dan pemilihan kepala
daerah. Rakyat dipaksa menerima suap dari elite agar memilih mereka.
Busyro menambahkan, korupsi terjadi hampir di semua lembaga negara,
baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Jika elemen negara
sulit memberantas korupsi, seluruh elemen masyarakat harus bergerak.
Namun, menggerakkan masyarakat sipil ini sulit. Kelompok agama
sebagai bagian masyarakat sipil terfragmentasi.
Secara terpisah, Ketua Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas
Paramadina Yudi Latif mengkhawatirkan peningkatan status korupsi
menjadi kejahatan melawan kemanusiaan dan peradaban hanya simbol,
tanpa pernah menyentuh upaya riil pemberantasan korupsi sendiri.
Agar berhasil, pemberantasan korupsi harus dilakukan melalui kontrol
horizontal antara sesama lembaga negara dan kontrol vertikal melalui
pengawasan dan tekanan masyarakat madani terhadap lembaga negara.
Pemberantasan korupsi juga harus melibatkan kontrol eksternal di
luar lembaga negara dan kelompok masyarakat madani. Pemberian
bantuan asing harus mensyaratkan bebas korupsi, baik dari lembaga
pemberi maupun penerima bantuan.
"Pemberantasan korupsi tidak cukup dengan simbol, tetapi perlu upaya
yang konsisten, koheren, dan bersinergi," kata Yudi.
Peran masyarakat madani seperti ormas dan lembaga swadaya
masyarakat, diakui Yudi, berat. Ketidakmampuan kekuatan negara dan
pasar dalam memberantas korupsi membuat kelompok ini harus
menanggung semua beban masyarakat. Mereka akhirnya terjebak
nepotisme dan larut dalam kultur yang korup.
"Ormas keagamaan harus kembali ke semangat awal pendiriannya sebagai
organisasi yang berjuang membela kepentingan rakyat, tidak terjebak
dalam urusan rutin dan teologis semata, tetapi harus lebih membumi
sesuai dengan kebutuhan masyarakat," ujarnya.
Berdayakan hakim
Terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengadilan Khusus Tindak
Pidana Korupsi (Tipikor), Wakil Ketua Pengadilan Negeri Simalungun,
Sumatera Utara, Binsar Gultom, berharap ada pemberdayaan hakim.
Hakim yang memiliki keahlian diangkat menjadi hakim khusus.
"Sekarang banyak hakim yang berpendidikan strata dua atau strata
tiga (S-2/S-3). Mereka ini seharusnya lebih diberdayakan menjadi
hakim khusus. Kalau tak ada kasus korupsi, mereka bisa menjalankan
tugas sebagai hakim untuk perkara lain," kata Binsar, Rabu.
Jika hakim khusus diangkat dari kalangan ahli dan bertugas bila ada
perkara, kata Binsar, tak akan efektif dan butuh biaya besar. "Jika
hakim khusus seperti ini, seperti dosen terbang. Mereka juga tidak
akan fokus karena masih harus menjalankan tugasnya yang lain," papar
dia lagi.
Untuk memilih hakim khusus Pengadilan Tipikor dari kalangan hakim,
lanjut Binsar, Mahkamah Agung (MA) bisa bekerja sama dengan Komisi
Yudisial (KY). "Jika jumlah hakim yang dipromosikan menjadi hakim
khusus kurang, bisa saja hakim ditambah pengetahuannya,
Binsar juga menandaskan, semestinya Pengadilan Tipikor dilekatkan
dengan pengadilan negeri di kabupaten/kota sehingga tidak
membutuhkan biaya yang tinggi. (mzw/tra)
Sumber: Kompas - Kamis, 27 September 2007
============
HARIAN ANALISA
Edisi Kamis, 27 September 2007
Pemerintah RI Nyatakan Keinginan Berpartisipasi dalam StAR
New York, (Analisa)
Pemerintah Indonesia menyatakan keinginan untuk berpartisipasi dalam
inisiatif StAR/Stolen Asset Recovery guna lebih memperkuat
kemampuannya melaksanakan ketentuan Bab V Konvensi PBB mengenai
pemberantasan korupsi (United Nations Convention Against
Corruption/UNCAC) 2003 mengenai pengembalian aset, khususnya dalam
hal melacak, membekukan dan mengembalikan aset yang berada di luar
wilayah yuridiksinya.
Hal tersebut dikemukakan dalam suatu pertemuan dwipihak antara
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Bank Dunia Robert B
Zoellick di sela-sela sidang umum ke-62 PBB, di New York, Selasa
sore waktu setempat atau dini hari waktu Indonesia.
Dalam pernyataan bersama yang dikeluarkan kedua belah pihak,
disebutkan kedua belah pihak menggarisbawahi StAR sebagai sebuah
program unik dan inovatif yang memungkinkan negara berkembang dan
negara maju mendapatkan manfaat dalam konteks implementasi UNCAC
2003.
Disebutkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir Indonesia telah
mengambil langkah-langkah penting dan mendasar dalam upaya
memberantas korupsi.
Oleh karena itu, sebagai negara pihak dari Konvensi UNCAC 2003 dan
tuan rumah penyelenggaraan pertemuan ke-2 negara-negara pihak dari
UNCAC 2003 di Bali, 28 Januari-1 Febuari 2008, Indonesia menyatakan
keinginan untuk berpartisipasi dalam inisiatif StAR.
Sebagai tindak lanjut maka misi bersama Bank Dunia dan UNODC akan
berkunjung ke Indonesia guna mengembangkan lebih lanjut program
bantuan teknis spesifik di bawah inisiatif StAR.
Kedua pemimpin juga mendesak negara-negara maju untuk mengambil
langkah-langkah yang diperlukan guna memastikan bahwa pusat-pusat
keuangan dunia tidak menjadi tempat penyimpanan dana hasil korupsi
yang dilarikan dari negara berkembang.
Dalam pertemuan yang berlangsung sekitar 30 menit itu kedua belah
pihak juga bertekad melakukan kerja sama dalam bentuk suatu strategi
baru kemitraan negara untuk mendukung pencapaian prioritas-prioritas
pembangunan Indonesia di tahun-tahun mendatang.
Hal itu berlaku khususnya di bidang pengentasan kemiskinan,
reformasi pemerintahan, keberlanjutan lingkungan, investasi
pembangunan infrastruktur dan pengembangan sektor swasta.
Secara umum, pertemuan itu membahas berbagai isu yang menjadi
kepentingan bersama, termasuk kemitraan strategis Bank Dunia di
Indonesia, inisiatif StAR yang baru diluncurkan bersama oleh kantor
PBB untuk masalah obat terlarang dan kriminal (United Nations Office
on Drugs and Crima) dan Bank Dunia serta peran kepemimpinan
Indonesia di bidang lingkungan dan perubahan iklim.
Sementara beberapa hari terakhir di Indonesia marak berkembang pro-
kontra mengenai inisiatif StAR yang menempatkan mantan presiden
kedua RI Soeharto di peringkat pertama mantan penguasa yang
melakukan pencurian aset negara terbesar.
Sejumlah pihak mendukung upaya baik yang diusulkan oleh Bank Dunia
namun tidak sedikit juga yang mempertanyakan maksud dibalik semua
keputusan yang terkesan mendadak itu. (Ant)
============
SBY Tak Singgung Korupsi Soeharto
Saat Bertemu Presiden Bank Dunia
Jawapos - Kamis, 27 September 2007
Laporan Rohman Budijanto
Dari New York, AS
NEW YORK - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak menanyakan kasus
Soeharto saat menerima kunjungan kehormatan Presiden Bank Dunia
Robert B. Zoellick di Markas Besar PBB pada Selasa siang (hampir
tengah malam WIB).
"Presiden (SBY) tidak menanyakannya,
Sudjadnan Parnohadiningrat tentang mengapa kasus Soeharto tidak
dibahas. Sudjadnan bersama Menko Kesra Aburizal Bakrie, Menseskab
Sudi Silalahi, serta anggota penasihat presiden Emil Salim ikut
mendampingi presiden saat bertemu Zoellick.
Pembahasan kedua pejabat, kata Sudjadnan, terfokus pada upaya
penguatan kemampuan untuk menindak korupsi. Januari mendatang akan
diadakan konvensi antikorupsi di Jakarta.
Dalam konvensi yang direncanakan diikuti pihak-pihak yang terlibat
dalam pemberantasan korupsi itu, akan dibahas data-data Bank Dunia
soal korupsi. Tak hanya data dari Indonesia, tapi juga negara-negara
lain.
Sudjadnan menilai Bank Dunia bertujuan baik dalam melansir data-data
Stolen Assets Recovery (StAR). Yakni, agar kemampuan Indonesia dalam
mengembalikan aset-aset yang dicuri para pemimpin korup itu
meningkat.
Seperti diberitakan, dalam daftar yang dirilis Bank Dunia pada 17
September lalu itu, mantan Presiden Soeharto menempati urutan
teratas dalam jumlah aset yang diduga dicurinya. Selebihnya, para
diktator lain berada di bawahnya, termasuk Marcos.
Dalam pertemuan dengan SBY itu, Bank Dunia mengharapkan Indonesia
mendapatkan manfaat dari United Nations Convention of Anti
Corruption (UNCAC) 2003. Yakni, kemampuan pengejaran, pembekuan, dan
pengembalian aset. PBB akan mengirimkan tim ke Jakarta untuk
kepentingan tersebut.
Terpisah, Menlu Nur Hassan Wirajuda menjawab alasan SBY tidak
menanyakan kasus Soeharto secara spesifik. Dia menyebut, selama ini
kita terlalu menekankan bahwa inisiatif Bank Dunia melansir STaR
itu, sepertinya, Bank Dunia akan mengejar kasus korupsi kasus per
kasus.
Menlu menyatakan sudah meminta perwakilan Bank Dunia di Jakarta
untuk menjelaskan duduk perkara maksud inisiatif itu. "Sebab, kalau
tidak, itu akan menimbulkan harapan yang tidak realistis," jelas
Menlu.
Dia menyatakan, Bank Dunia tidak bermaksud menyelesaikan kasus
tersebut satu per satu. Tapi, lembaga itu akan meningkatkan
kemampuan negara-negara berkembang, atas usahanya sendiri,
mengembalikan aset-aset negara yang dicuri.
Selain itu, tambah Menlu, negara-negara maju yang menikmati manfaat
atas dilarikannya aset-aset tersebut diharapkan untuk
membantu. "Sebab, ada negara yang tenang-tenang saja (menerima aset
curian, Red)," katanya.
Menlu tak menyebut negara itu, tapi saat ini Indonesia sedang
bersitegang dengan Singapura soal ekstradisi para koruptor Indonesia
di sana. (roy)
============
KOMPAS. Kamis, 27 September 2007
Kerja Sama Internasional
RI-Bank Dunia Bentuk Kemitraan
New York, Kompas - Pemerintah Indonesia dan Bank Dunia
bertekad melakukan kerja sama dengan membentuk satu strategi baru
kemitraan negara. Strategi itu bertujuan mendukung pencapaian atas
prioritas yang dicanangkan dalam pembangunan Indonesia pada tahun-
tahun mendatang.
Hal itu tertuang dalam pernyataan bersama Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono dan Presiden Bank Dunia Robert Zoellick, Selasa
(25/9) di New York, AS. Keduanya berbicara mengenai kerja sama
Pemerintah Indonesia dan Bank Dunia.
Kerja sama itu menekankan pemberantasan kemiskinan, reformasi
birokrasi, lingkungan, investasi bidang infrastruktur, dan
pembangunan sektor swasta.
Keduanya juga menyinggung soal Prakarsa Pengembalian Aset yang
Dicuri atau Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative. Digarisbawahi
bahwa StAR merupakan program inovatif dan unik. Hal ini memungkinkan
negara maju dan berkembang mendapatkan manfaat. StAR dijalankan
sesuai dengan konteks pelaksanaan Konvensi Antikorupsi PBB (UNCAC)
yang diluncurkan tahun 2003.
Indonesia sudah menyampaikan keinginan untuk ikut serta dalam
prakarsa StAR. Keikutsertaan ini memperkuat kapasitas negara
melaksanakan ketentuan dalam Pasal 5 UNCAC.
Pasal yang dimaksud terkait dengan pelacakan, pembekuan dan
pengembalian aset, yang berasal dari satu negara tetapi disimpan di
luar yurisdiksi negara itu.
Berkunjung ke Indonesia
Pernyataan bersama Presiden Yudhoyono dan Zoellick juga
menyinggung soal misi bersama Bank Dunia dan Badan Antiobat Bius dan
Kejahatan PBB (UNODC). Misi ini akan berkunjung ke Indonesia untuk
lebih jauh mengembangkan program-program bantuan teknis yang
spesifik di bawah prakarsa StAR.
Kedua pemimpin juga mendesak negara-negara maju untuk
melakukan tindakan yang diperlukan untuk memastikan bahwa pusat-
pusat keuangan dunia tidak menjadi "surga" penyimpanan uang hasil
korupsi dari negara berkembang.
"Dalam tahun-tahun terakhir, Indonesia telah mengambil langkah
signifikan dalam pemberantasan korupsi. Ini dilakukan sebagai negara
yang meratifikasi Konvensi UNCAC 2003 dan juga sebagai tuan rumah
penyelenggara pertemuan negara-negara yang meratifikasi UNCAC di
Bali, 28 Januari-1 Februari 2008," demikian lanjutan dari isi
pernyataan bersama itu.
Presiden Yudhoyono dan Zoellick juga menyinggung soal
pertemuan perubahan iklim di Bali bulan Desember 2007.
Dikatakan, dalam mempersiapkan konferensi Bali, Indonesia
telah mengambil berbagai inisiatif penting untuk mengurangi emisi
dan penggundulan hutan. "Bank Dunia menjanjikan bantuan teknis dan
dukungan keuangan bagi inisiatif-inisiatif tersebut. Ini adalah
bagian dari dukungan yang lebih luas terhadap agenda pembangunan di
Indonesia," demikian pernyataan itu.
Pada Selasa malam atau Rabu pagi waktu Indonesia, Presiden
juga bicara di depan masyarakat Indonesia yang tinggal di AS.
Pertemuan berlangsung di Gedung Konsulat Jenderal RI di New York.
Presiden Yudhoyono mengatakan, martabat Indonesia saat ini di mata
dunia telah dipulihkan setelah teraniaya pada tahun 1999 dan tahun
2000.
"Terus terang dalam Sidang Umum PBB kali ini, peran yang
diberikan kepada negara kita, kepada saya yang mewakili saudara
semua, cukup terhormat," katanya. (OKI)
============
KORAN TEMPO, Kamis, 27 September 2007
Nasional
Pemerintah Dinilai Belum Serius Berantas Korupsi "Dengan
dipermalukan seperti ini, diharapkan aparat birokrasi malu."
JAKARTA -- Pemberantasan korupsi di Indonesia dinilai masih
belum serius. Berdasarkan survei Transparency International
Indonesia, indeks persepsi korupsi di Indonesia menurun dari 2,4
pada 2006 menjadi 2,3 pada tahun ini.
"Persepsi publik terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia belum
berubah," kata Ketua Dewan Pengurus Transparency International
Indonesia Todung Mulya Lubis di Jakarta kemarin.
Transparency International menyurvei 180 negara. Hasil survei
terhadap Indonesia diperoleh dari hasil 14 polling berbeda dan dari
12 lembaga independen. Pengusaha dan pengamat menjadi responden
survei. Tahun lalu Indonesia berada di peringkat tiga terbawah dari
163 negara yang disurvei.
Indonesia berada di posisi 143 bersama Gambia, Togo, dan Rusia.
Angka maksimal indeks adalah 10. Semakin tinggi angka indeks, negara
tersebut semakin bersih dari korupsi.
Angka indeks persepsi Indonesia ini jauh dari indeks Malaysia (5,1)
dan Singapura (9,3). Di Asia Tenggara, Indonesia lebih baik
dibanding Bangladesh, Kamboja, Myanmar, Laos, dan Papua Nugini.
Posisi teratas ditempati Denmark, Finlandia, dan New Zealand. Ketiga
negara itu memiliki indeks persepsi 9,4. Adapun posisi terbawah
ditempati Myanmar dan Somalia (1,4).
Todung menilai masyarakat indonesia menganggap pemerintah tak
konsisten dalam memberantas korupsi. Publik menilai ...
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar