--- In psikologi_transform
> Ketika sebuah kapal psikologi perlahan-lahan tenggelam karena banyak
> bocor, orang psikologi sibuk membuang airnya ke luar tetapi tidak ada
> keinginan atau perasaan mampu untuk mentambal lubang-lubangnya.
> Namanya juga minder :)
>
harez:
Menurut "jurus"nya Mas leo, untuk memahami tulisan Vincent tersebut di atas, harus dibalik
Sumber: http://groups.
Apakah tulisan Vincent Liong tersebut dibacanya:
> Ketika sebuah kapal kompati perlahan-lahan tenggelam karena banyak
> bocor, orang kompati sibuk membuang airnya ke luar tetapi tidak ada
> keinginan atau perasaan mampu untuk mentambal lubang-lubangnya.
> Namanya juga minder :)
Benarkah begitu membacanya Mas Leo ? :)
Apakah Kapal Kompati Perlahan-lahan Tenggelam ?
salam,
harez
--- In psikologi_transform
>
> Mbak Istiani,
>
> "kill and destroy Kim Il Sen" masih tema yang sangat signifikan bagi
> oknum-oknum tertentu lulusan psikologi di Psikologi Transformatif yang
> berusaha membasmi kompatiologi dengan segala cara dan pengorbanan.
>
> Kalau ada sebuah menara gading yang keropos dan tidak tinggi, lalu ada
> menara gading baru yang meski lebih muda umurnya beresiko akan sedikit
> lebih tinggi. Daripada yang lama menjadi tampak tidak tinggi, lebih
> baik yang baru dihalangi menjadi tinggi.
>
> Orang-orang Psikologi ini tidak ada inisatif memperbaiki nasib diri
> sendiri karena malas, yang penting jangan satupun orang lain bisa
> lebih sukses. Jadi sama-sama sial saja.
>
> Ketika sebuah kapal psikologi perlahan-lahan tenggelam karena banyak
> bocor, orang psikologi sibuk membuang airnya ke luar tetapi tidak ada
> keinginan atau perasaan mampu untuk mentambal lubang-lubangnya.
> Namanya juga minder :)
>
> Ttd,
> Vincent Liong
> Jakarta, Senin, 22 Oktober 2007
>
>
>
> Email sebelumnya..
> http://tech.
> --- In Komunikasi_Empati@
> Istiani istiani_c@..
>
> Dengan membaca berita di bawah ini...
> masihkah perlu "mbenerin" VCL ??!!
> masihkah perlu "kill and destroy Kim Il Sen" ??!!
>
> atau sebenarnya "perang" ini hanya sebuah gambaran
> dari ketidakmampuan diri sendiri atas kondisi yang
> ada....dan ketidakmampuan "mbenerin" profesi
> sendiri???..
>
> selamat membaca....
>
> salam,
> Istiani
>
>
> ------------
> Kompas, Senin, 22 Oktober 2007
>
> Rekrutmen Komisi
> Biaya Mahal, Panitia Seleksi Amatiran
>
> Jakarta, Kompas - Panitia Seleksi yang dibentuk untuk menjaring
> calon-calon anggota komisioner, termasuk hakim agung, ternyata bekerja
> secara amatiran. Akibatnya, biaya rekrutmen miliaran rupiah bisa
> dibilang terbuang sia-sia. Kritik ini disampaikan anggota Komisi III
> DPR Benny K Harman, praktisi hukum Todung Mulya Lubis dan aktivis hak
> asasi manusia Amirruddin Al Rahab, di Jakarta, Minggu (21/10).
> Sejumlah kontroversi muncul, di antaranya tertangkap tangannya anggota
> Komisi Yudisial Irawady Joenoes, polemik soal calon anggota KPU
> Syamsulbahri dan Theofillus Waimuri, serta polemik soal terpilihnya
> Achmad Ali sebagai calon hakim agung dari Komisi Yudisial. Sejumlah
> nama yang dihasilkan Panitia Seleksi Komisi Pemberantasan Korupsi
> (KPK), juga ditolak para aktivis antikorupsi, antara lain nama
> Antasari Azhar. "Bagaimana bisa mendapatkan hasil yang baik, kalau
> Panitia Seleksi bekerja amatiran, setengah hati. Mereka
> mensubkontrakkan pekerjaan ke konsultan psikologi, tidak berupaya
> menginvestigasi calon," kata Amirruddin. Padahal kalau dilihat dari
> biaya yang dikeluarkan bukanlah angka yang sedikit, rata-rata bernilai
> miliaran rupiah, kecuali Komnas HAM sekitar Rp 400 juta dan Komisi
> Penyiaran Indonesia Rp 120 juta. Amirruddin merujuk kinerja sejumlah
> panitia seleksi, seperti pansel KPU yang diketuai Ridlwan Nasir yang
> menggunakan konsultan psikologi Sarlito Wirawan, pansel KPK yang
> dipimpin Men-PAN Taufieq Effendi yang memakai konsultan PT Dunamis;
> Komisi Yudisial saat merekrut calon hakim agung memakai konsultan
> Psikologi dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (PPSDM). "Bagaimana
> mereka bisa bekerja maksimal, kalau mereka datang ke Jakarta saja baru
> menjelang proses fit and proper test. dan kebanyakan adalah
> orang-orang yang tidak punya waktu," tegas Amirruddin. Benny K Harman
> menilai, metode seleksi yang digunakan Pansel kebanyakan "normatif"
> sehingga tidak dapat digunakan untuk menilai kelayakan menjadi
> pejabat negara. Metode seperti itu juga tidak menjamin lahirnya
> pejabat yang berintegritas. Todung Mulya Lubis, praktisi hukum,
> menyoroti independensi anggota Pansel. "Banyak yang beranggapan hasil
> Pansel tidak bebas kepentingan pihak-pihak yang bermain melalui
> anggota Pansel. Misalnya, orang yang menjadi calon pada pemilu bisa
> lolos jadi calon anggota KPU," ujarnya. Ia juga menyoroti adanya
> pengkaplingan yang terjadi di Pansel KPK. "Sudah ada kapling untuk
> polisi, jaksa," ujarnya. Seleksi di DPR juga tak jauh beda. Menurut
> Todung, DPR tidak memilih calon yang betul-betul handal dan
> berintegritas. (VIN/ANA)
>
> --- End forwarded message ---
>
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar