RITUALISASI HARI RAYA KEAGAMAAN
Oleh: Nanang Ibrahim
“Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan.” (QS, As Syuraa 26:183.)
Idul Fitri atau lebaran di Indonesia selalu diikuti dengan tradisi mudik-pulang kampung. Selain mudik, Idul Fitri di Indonesia diperingati sebagai waktu untuk halal bi halal. Kedua tradisi ini merupakan hal berbeda dan sulit ditemukan di belahan dunia lain. Pun, beberapa tradisi keagamaan dan juga model rumah ibadat, termasuk masjid yang memiliki corak tidak lagi Arabia sentris. Tradisi adalah hasil karya peradaban sebagai perwujudan corak budaya zamannya, maka apapun itu harus kita akui dan kita pelajari untuk diambil manfaatnya.
Seperti sudah dimengerti oleh masyarakat umum, Indonesia adalah negara dengan mayoritas masyarakatnya adalah Umat Islam sekitar 90 %. Nah, dengan jumlah yang begitu besar tentunya memiliki nilai ekonomi, sosial dan politik yang begitu besar pula. Namun di perayaan hari raya agama lain, seperti Hindu, Budha dan Nasrani juga tidak kalah semarak dengan berbagai ritualnya. Lalu apa makna dari sejumlah tradisi yang terkandung dalam “ritual” agama tersebut?
Ritualisasi sejumlah perayaan hari keagamaan telah menjebak umat pengikut agama tersebut pada wilayah syariat (hukum formal) tanpa menyentuh/mendalami dan memahami hakikat dari ajaran agama tersebut. Bentuk ritualisasi mudik dan halal bi halal dilegalkan (secara tidak langsung) oleh negara dengan segala kepentingan dari kekuasaaan. Ini bisa dibuktikan dengan pemberian secara khusus libur panjang nasional secara bersama. Di Indonesia formalitas atas ritual tersebut sangat terasa dengan pemberian cuti bersama yang panjang dan semua hari raya keagamaan dijadikan hari libur nasional.
Sejumlah ritual keagamaan terjebak pada nilai syariat saja, karena dijadikan simbol pengakuan bahwa Rakyat Indonesia beragama. Ini disebabkan oleh teror orde baru akan stigma komunis yang atheis. Stigmatisasi dengan ukuran simbol-simbol agama dan dibakukan dengan bentuk “ritualnya.” Kita akan temukan orang bilang malu nggak bisa beli baju baru, nggak bisa mudik, nggak bisa beli kue lebaran, nggak bisa terlibat dalam ritual dalam rumah ibadat dengan sepatu-sendal dan baju yang lama. Sebaliknya, mereka tidak malu bila anaknya tidak sekolah, tidak mau mengaku akan kemiskinannya karena upahnya murah atau sulit kerja, mereka malu mengaku kalau sebagai tenaga kerja migran yang gagal.
Sejumlah ritualisasi hari raya keagamaan tersebut diperparah oleh pemuka agamanya dengan mengajarkan hanya pada tataran permukaannya, seperti hanya mengingat tanggal-tanggal kejadian dan sepotong peristiwanya. Umat tidak diajarkan akan hakikat kejadian-kejadian tersebut, seperti kutipan ayat pembuka tulisan ini (jarang bahkan tidak pernah disampaikan dalam dakwah). Tidak pernah diajarkan sejarah semua agama dengan benar yang bertujuan merubah keadaan ekonomi, sosial masyarakat waktu itu yang tertindas oleh kekuasaan tirani. Tidak disampaikan bagaimana semua agama mengajarkan keadilan, kebenaran, anti penghisapan. Tidak diajarkan bagaimana mencintai, menjaga dan merawat hubungan dengan alam (hablum minallark), manusia (hablum minannass) dan dengan Tuhan (hablum minallah) sebagai inti semua agama.
Karena sistematika pengajaran yang dogmatis dan mengedepankan simbol-simbol serta eksistensi agama, maka agama kehilangan hakikatnya sebagai alat pembebas manusia dari ketertindasannya. Dengan segala kondisi tersebut ritual menjadi ukuran keberhasilan suatu agama dalam merekrut umat untuk memeluknya. Ritualisasi menjadi nilai dan bukan sekedar syariat belaka sesuai historisnya. Bahkan pada praktek keseharian agama menjadi alat legitimasi rezim dalam menindas rakyatnya. Menjadi legitimasi pembodohan massal dalam kehidupannya.
Akibat yang bisa kita lihat dan rasakan saat ini, ritualisasi hari raya menjadi “satu bagian episode penindasan baru” bagi umat. Satu episode ritualisasi perayaan keagamaan menjadi “pasar manis" kapitalisme. Hasil kerja keras setahun diabdikan untuk meraih gengsi dalam beberapa hari saja dengan menjadi konsumen yang santun. Membeli barang yang tidak dibutuhkan dan cara membelinya juga dengan memaksa dirinya sendiri untuk sebuah gengsi dalam perayaan keagamaan. Berapa keuntungan pengusaha saat perayaan keagamaan, dan berapa kerugian serta derita yang dirasa rakyat pekerja? Tidak pernah masuk hitungan pemimpin umat agama di negeri ini.
Ritual keagamaan telah digunakan dengan baik oleh kapitalisme untuk menancapkan kepentingannya. Kapitalisme telah menggunakan ritual sebagai alat “pembredelan” hakikat agama dan membelokkan tujuan awalnya, yakni melawan ketidakadilan dan penindasan sesama umat. Agama bahkan menjadi legitimasi kebijakan-kebijakan kapitalisme lewat rezim penguasanya yang merugikan dan menindas rakyat. Agama oleh kapitalisme hanya diporsikan untuk bicara dan bergerak pada wilayah manusia dengan tuhannya. Pemimpin-pemimpin agama tidaklah lebih menjadi pendakwah “komersial” ala ahli nujum di jaman kerajaan, agar rakyat takut dan patuh pada penguasa.
Ini bukan sebuah opini untuk menggiring orang untuk anti agama atau anti Tuhan, tetapi lebih melihat kenyataan bahwa agama telah kehilangan hakikat dalam praktek keseharian. Agama sebagai alat pemersatu, pun hari ini seperti kehilangan kekuatannya. Sebagai pemberi semangat juga hambar. Semuanya bisa terjadi karena dua hal, Pertama, dari dalam tubuh agama itu sendiri. Pemuka dan pemimpinnya tidak mau dan tidak berkehendak agama sebagai alat pembebas manusia atas penghisapan manusia lain sebagaimana tujuan awalnya. Kedua, kekuatan kapitalisme menggunakan agama dengan baik untuk kepentingan menumpuk modal. Dalam strategi kapitalisme agama dipakai alat untuk “menjinakkan/memoderasi” umat (yang mayoritas kelas pekerja) agar tidak melawannya sehingga penumpukan modalnya tetap lancar.
Minal Aidzin Wal fa Idzin, Mohon maaf dengan segala ketulusan lahir-bathin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar