Pak Jusuf yth,
Sejak kemarin ingin mengomentari tulisan Bapak, namun baru sempat memformulasikannya sekarang :) Moga2 tidak menyinggung Bapak :)
Pembahasan Bapak mengenai Mamamia menarik, tapi.. menurut hemat saya, Bapak justru melupakan satu faktor penting dalam perubahan yang terjadi dalam acara tersebut :) Yang mengubah diri si anak jalanan, si tuna netra, si ibu rumah tangga ADALAH mereka sendiri. Niat mereka sendiri, usaha mereka sendiri. Psikologi bisa membantu mengenali kebutuhan mereka, memotivasi mereka untuk berubah, tapi.. yang bisa menentukan berubah atau tidak adalah diri mereka sendiri. Psikologi das Sollen bertujuan untuk membuat si penguasa ilmunya mampu mengenali dan memediasi pencapaian kebutuhan orang. Psikologi das Sein, menurut saya, sudah cukup melakukan hal itu walaupun tentu masih harus terus berkembang. Salah satu perkembangan yang dibutuhkan agar Psikologi das Sein makin sesuai dengan khitahnya (Psikologi das Sollen) adalah: penerimaan orang2 terhadap psikologi sebagai psikologi (baik mainstream maupun perkembangannya yang sesuai).
Apa yang terjadi sekarang? Psikologi kerap kali dirancukan dengan "perkembangan" yang tidak sesuai. Apa yang sebenarnya masuk ke tataran astrologi, kebatinan, dan entah apa lagi, semuanya "dirancukan" sebagai bagian dari psikologi - dengan alasan bahwa semua adalah mengenai manusia sebagai individu. Dengan kerancuan2 seperti ini, makin sulit orang percaya pada psikologi, apalagi melibatkannya dalam porsi yang tepat :). Siapa yang mau melibatkan ilmu psikologi dalam pembuatan program, jika baik/buruknya program dinilai dari rating dan jumlah keuntungan material (yang tidak ada sangkut pautnya dengan psikologi)?
Kesalahan siapakah hal ini? Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian psikolog memang tidak perduli pada hal2 ini, kurang memperjuangkan hal ini. Tapi.. terus terang, menurut saya, hal ini juga diperparah oleh "awam" yang memposisikan dirinya sebagai ahli psikologi. Bayangkan, sudah psikologinya sendiri belum jelas di mata awam, tiba2 ada awam yang memposisikan diri sebagai ahli.. bagaimana awam yang lain bisa membedakan mana yang psikologi beneran mana yang psikologi gadungan ;)?
Akan halnya "debat (kusir?)" atau yang Bapak sebut "pepesan kosong" itu, menurut hemat saya, justru sedikit banyak menunjukkan ciri2 psikologi. Mungkin bukan mazhab Psikologi Positif, atau Psikologi Humanistik, atau mazhab2 lain yang percaya pada kemampuan manusia, tapi.. saya melihatnya mencirikan salah satu mazhab klasik psikologi: Behavioristik. Beberapa kasus mengingatkan saya pada percobaan tentang Negative Reinforcement: dimana ketidakmunculan perilaku positif akan mengakibatkan munculnya penguatan negatif. Memang tidak sempurna, karena tidak ada fixed ratio, interval ratio, dll, tapi moga2 bisa membantu shaping behavior.
Kenapa Negative Reinforcement ini muncul? Sejauh yang saya amati, karena pendekatan dengan mazhab psikologi yang lebih positif sudah dilakukan, tapi tidak berhasil. Subyek tetap tidak menyadari bahwa dirinya bermasalah, dan.. significant others-nya juga tetap tidak mendukung subyek untuk menyadari masalahnya. Padahal, dalam psikologi, semua "remedy" itu asalnya dari diri sendiri dan/atau dukungan lingkungan. Integrasi antara keduanya. Kalau subyek tidak menyadari dirinya bermasalah, apalagi lingkungan mendukung konsep diri seperti itu, setahu saya pendekatan psikologi yang paling positif pun tidak akan membawa perubahan :) Kembali ke konsep Mamamia: mau pakai pendekatan apa pun, kalau Ajeng, Fiersha, dll tidak menyadari dirinya perlu menjadi lebih baik, tidak akan pernah berhasil mereka berubah :)
Jadi.. kalau sekarang Bapak bertanya: "Boro-boro ini yang dibahas, malahan urusan dekon mendekon, lalu ngapain dilayani ?
Tapi kalau yang muncul menjadi seperti itu, lalu masyarakat bertanya dan mempertanyakan apakah anaknya akan didorong untuk belajar psikologi", maka jawaban saya adalah demikian:
Jika masyarakat masih melihat psikologi seperti Bapak melihat psikologi, maka besar kemungkinan anaknya tidak akan didorong untuk belajar psikologi. Tapi.. jika masyarakat melihat psikologi sebagai psikologi, maka mungkin justru mereka akan mendorong anaknya belajar psikologi.
Mohon maaf, Pak Jusuf, saya menghargai Anda sebagai orang yang lebih tua dan jelas sangat pandai serta arif. Saya juga pernah mendengar Bapak diminta mengajar di beberapa fakultas psikologi (kalau saya tidak salah). Namun, mengenai psikologi ini, saya merasa Anda mencampuradukkan psikologi dengan entah apa. Di satu sisi, hal ini mungkin memperkaya psikologi. Saya yakin pendapat2 Bapak memperkaya mazhab psikologi positif. Namun.. di sisi lain, seperti dalam kasus yang lebih dekat dengan mazhab klasik, membuat Bapak alpa melihat apa yang sebenarnya sangat psikologis :)
Semoga tidak menyingung Bapak, ini hanya sekedar pendapat seorang awam yang tak berilmu :)
Salam,
--- In psikologi_transform
>
> Pak Goen,
> Anda boleh iseng2 meneliti, karena siapa saja bisa juga muncul dgn berbagai identitas.
> Internet adalah teknologi dan bisa dipakai untuk apa saja.
> Bagi ilmuwan yang masih mau terus belajar, bisa menggunakannya untuk mentest ideanya dan mendapatkan masukan idea2 segar karena untuk mengamankan reputasinya, bisa muncul dalam nama samaran.
> Tapi bisa dipakai juga untuk memblow up dirinya dengan muncul dalam berbagai identitas yang seolah membuat idea kontroversial sehingga memancing berbagai pihak untuk meramaikan.
>
> Karena itu kalau anda perhatikan, saya punya tulisan selalu langsung menuju masalahnya, bukan personnya.
>
> Seperti peran polisi bukan memerangi penjahatnya, tapi perbuatan jahatnya.
>
>
> Psikologi, tergantung penggunanya, bisa dipakai untuk berbagai macam hal negatif seperti psy war untuk mematangkan situasi dsb.
> Seperti ilmu kimia di perguruan tinggi, tidak diajarkan untuk merakit bom.
> Karena itu Hui Neng mengatakan " Bukan angin dan juga bukan bendera, tapi pikiranmu yang berkibar "
>
> Forum terbuka ini tentunya ingin mendudukan psikologi pada esensinya sebagai ilmu yang setia pada kebenaran yaitu menggurinda potensi manusia karena mempunyai "iman" bahwa kalau bisa muncul true nature nya akan menjadi baik bagi dirinya, lingkungan dan alam sekitar. Karena itu psikologi bisa menjadi fasilitator " unity in diversity ".
> Boro-boro ini yang dibahas, malahan urusan dekon mendekon, lalu ngapain dilayani ?
> Tapi kalau yang muncul menjadi seperti itu, lalu masyarakat bertanya dan mempertanyakan apakah anaknya akan didorong untuk belajar psikologi.
>
> Saya sarankan untuk menjadikan desertasi Fuad Hassan sebagai fondasi paling dasar bagi ilmu psikolgi sebelum masuk pada mata pelajaran psikometri, ngukur IQ, klinis, hypnotherapy yang mudah sekali disalahgunakan.
> Basis psikologi adalah counseling, bukan sok klinis karena alat diagnosenya tidak solid seperti neurology dan psikiatri + bisa menulis obat. Psikologi hanya dibekali selembar kertas dengan daftar pertanyaan untuk menegakkan diagnosenya.
> Tapi kemampuan psikologi tidak bisa diganti oleh neurology dan psikiatri yang hanya berakhir pada ketergantungan obat.
> Psikologi bisa menuntaskan pengobatan sehingga penyakitnya tidak akan kambuh lagi.
> Kalau fondasinya tidak kuat ya memang mirip berada di pasar burung aja.
>
> Salam,
> Jusuf Sutanto
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar