Kalau aku lebih tertarik tulisan Istiani yang ini:
> Dengan membaca berita di bawah ini...
> masihkah perlu "mbenerin" VCL ??!!
"mbenerin" Vincent? Maksud "mbenerin" dalam tanda kutip itu apa?
Siapa juga yang mau "mbenerin" Vincent?
Ini logika khas Kompatiologi, yang sering juga dikatakan One Boelle.
Tidak ada benar-salah. Tidak berpikir dikotomis.
Memang benar, dalam ilmu pengetahuan ada paham seperti itu, tapi ITU
TIDAK SAMA DENGAN TIDAK ADA TANGGUNG JAWAB. JUGA TIDAK SAMA
DENGAN "BISA SEMAU GUE".
nah, akar permasalahan dari semua ini adalah TANGGUNG JAWAB DAN IMBAS
DARI SEMAU GUE Vincent. Dan sama sekali jauh dari "mbenerin" Vincent.
Sebodo amat dia mau bener apa enggak.
Tapi coba deh Istiani menjelaskan apa maksudnya "mbenerin" dan
konteksnya dengan berita yang dikutip itu
--- In psikologi_transform
<swastinika@
>
>
> Kronologisnya dibenerin dulu aaah :) Dari atas ke bawah :)
>
> Kutipan berita Kompas:
>
> Sejumlah nama yang dihasilkan Panitia Seleksi Komisi Pemberantasan
> Korupsi (KPK), juga ditolak para aktivis antikorupsi, antara lain
nama
> Antasari Azhar. "Bagaimana bisa mendapatkan hasil yang baik, kalau
> Panitia Seleksi bekerja amatiran, setengah hati. Mereka
mensubkontrakkan
> pekerjaan ke konsultan psikologi, tidak berupaya menginvestigasi
calon,"
> kata Amirruddin.
>
> "Bagaimana mereka bisa bekerja maksimal, kalau mereka datang ke
Jakarta
> saja baru menjelang proses fit and proper test. dan kebanyakan
adalah
> orang-orang yang tidak punya waktu," tegas Amirruddin. Benny K
Harman
> menilai, metode seleksi yang digunakan Pansel kebanyakan "normatif"
> sehingga tidak dapat digunakan untuk menilai kelayakan menjadi
pejabat
> negara.
>
> Komentar Istiani atas berita di Kompas:
>
> Dengan membaca berita di bawah ini... masihkah perlu "kill and
destroy
> Kim Il Sen" ??!!
>
> atau sebenarnya "perang" ini hanya sebuah gambaran dari
ketidakmampuan
> diri sendiri atas kondisi yang ada....dan ketidakmampuan "mbenerin"
> profesi sendiri???..
>
> Komentar saya:
>
> Ehmm.. ehm.. Mbak Isti, kalau saya baca tulisan di Kompas tersebut,
yang
> dituding sebagai tidak becus Todung Mulya Lubis dkk adalah Panitia
> Seleksi :) Tidak becusnya dimana? Tidak becusnya karena "cuma"
> mengandalkan data2 dari konsultan psikologi untuk mengambil
keputusan
> seleksi. Jadi, yang Mbak Isti tuding sebagai tidak mampu mbenerin
> profesi sendiri itu mestinya juga Panitia Seleksi ya ;)?
>
> Akan halnya psikologi sendiri.. well, kalau setahu saya sih memang
> sebuah pengukuran psikologi bukan (dan seharusnya tidak) digunakan
> sebagai justifikasi go or no go dalam pengambilan keputusan :).
> Idealnya, sebuah hasil pengukuran psikologi hanya dijadikan data
> pelengkap untuk seseorang/sebuah badan MENGAMBIL keputusan.
>
> Jika kemudian seseorang/sebuah badan mengambil mentah2 data yang
> didapatkan dari konsultan psikologi dan menggunakannya sebagai
penentu
> keputusan.. well, menurut saya sih kesalahan lebih pada si pengambil
> keputusan. Dia terlalu berani untuk mengambil keputusan dari data
> parsial :)
>
> Salam,
>
>
> --- In psikologi_transform
> <vincentliong@
> >
> > Mbak Istiani,
> >
> > "kill and destroy Kim Il Sen" masih tema yang sangat signifikan
bagi
> > oknum-oknum tertentu lulusan psikologi di Psikologi Transformatif
yang
> > berusaha membasmi kompatiologi dengan segala cara dan pengorbanan.
> >
> > Kalau ada sebuah menara gading yang keropos dan tidak tinggi,
lalu ada
> > menara gading baru yang meski lebih muda umurnya beresiko akan
sedikit
> > lebih tinggi. Daripada yang lama menjadi tampak tidak tinggi,
lebih
> > baik yang baru dihalangi menjadi tinggi.
> >
> > Orang-orang Psikologi ini tidak ada inisatif memperbaiki nasib
diri
> > sendiri karena malas, yang penting jangan satupun orang lain bisa
> > lebih sukses. Jadi sama-sama sial saja.
> >
> > Ketika sebuah kapal psikologi perlahan-lahan tenggelam karena
banyak
> > bocor, orang psikologi sibuk membuang airnya ke luar tetapi tidak
ada
> > keinginan atau perasaan mampu untuk mentambal lubang-lubangnya.
> > Namanya juga minder :)
> >
> > Ttd,
> > Vincent Liong
> > Jakarta, Senin, 22 Oktober 2007
> >
> >
> >
> > Email sebelumnya..
> > http://tech.
> > --- In Komunikasi_Empati@
> > Istiani istiani_c@ wrote:
> >
> > Dengan membaca berita di bawah ini...
> > masihkah perlu "mbenerin" VCL ??!!
> > masihkah perlu "kill and destroy Kim Il Sen" ??!!
> >
> > atau sebenarnya "perang" ini hanya sebuah gambaran
> > dari ketidakmampuan diri sendiri atas kondisi yang
> > ada....dan ketidakmampuan "mbenerin" profesi
> > sendiri???..
> >
> > selamat membaca....
> >
> > salam,
> > Istiani
> >
> >
> >
> ------------
----\
> ----
> > Kompas, Senin, 22 Oktober 2007
> >
> > Rekrutmen Komisi
> > Biaya Mahal, Panitia Seleksi Amatiran
> >
> > Jakarta, Kompas - Panitia Seleksi yang dibentuk untuk menjaring
> > calon-calon anggota komisioner, termasuk hakim agung, ternyata
bekerja
> > secara amatiran. Akibatnya, biaya rekrutmen miliaran rupiah bisa
> > dibilang terbuang sia-sia. Kritik ini disampaikan anggota Komisi
III
> > DPR Benny K Harman, praktisi hukum Todung Mulya Lubis dan aktivis
hak
> > asasi manusia Amirruddin Al Rahab, di Jakarta, Minggu (21/10).
> > Sejumlah kontroversi muncul, di antaranya tertangkap tangannya
anggota
> > Komisi Yudisial Irawady Joenoes, polemik soal calon anggota KPU
> > Syamsulbahri dan Theofillus Waimuri, serta polemik soal
terpilihnya
> > Achmad Ali sebagai calon hakim agung dari Komisi Yudisial.
Sejumlah
> > nama yang dihasilkan Panitia Seleksi Komisi Pemberantasan Korupsi
> > (KPK), juga ditolak para aktivis antikorupsi, antara lain nama
> > Antasari Azhar. "Bagaimana bisa mendapatkan hasil yang baik, kalau
> > Panitia Seleksi bekerja amatiran, setengah hati. Mereka
> > mensubkontrakkan pekerjaan ke konsultan psikologi, tidak berupaya
> > menginvestigasi calon," kata Amirruddin. Padahal kalau dilihat
dari
> > biaya yang dikeluarkan bukanlah angka yang sedikit, rata-rata
bernilai
> > miliaran rupiah, kecuali Komnas HAM sekitar Rp 400 juta dan Komisi
> > Penyiaran Indonesia Rp 120 juta. Amirruddin merujuk kinerja
sejumlah
> > panitia seleksi, seperti pansel KPU yang diketuai Ridlwan Nasir
yang
> > menggunakan konsultan psikologi Sarlito Wirawan, pansel KPK yang
> > dipimpin Men-PAN Taufieq Effendi yang memakai konsultan PT
Dunamis;
> > Komisi Yudisial saat merekrut calon hakim agung memakai konsultan
> > Psikologi dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (PPSDM). "Bagaimana
> > mereka bisa bekerja maksimal, kalau mereka datang ke Jakarta saja
baru
> > menjelang proses fit and proper test. dan kebanyakan adalah
> > orang-orang yang tidak punya waktu," tegas Amirruddin. Benny K
Harman
> > menilai, metode seleksi yang digunakan Pansel
kebanyakan "normatif"
> > sehingga tidak dapat digunakan untuk menilai kelayakan menjadi
> > pejabat negara. Metode seperti itu juga tidak menjamin lahirnya
> > pejabat yang berintegritas. Todung Mulya Lubis, praktisi hukum,
> > menyoroti independensi anggota Pansel. "Banyak yang beranggapan
hasil
> > Pansel tidak bebas kepentingan pihak-pihak yang bermain melalui
> > anggota Pansel. Misalnya, orang yang menjadi calon pada pemilu
bisa
> > lolos jadi calon anggota KPU," ujarnya. Ia juga menyoroti adanya
> > pengkaplingan yang terjadi di Pansel KPK. "Sudah ada kapling untuk
> > polisi, jaksa," ujarnya. Seleksi di DPR juga tak jauh beda.
Menurut
> > Todung, DPR tidak memilih calon yang betul-betul handal dan
> > berintegritas. (VIN/ANA)
> >
> > --- End forwarded message ---
> >
>
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar