hihihi..mba Jeni...
mau tahu cara mengetahui formasi ego dalam "diri" ???..
ini cara ampuh dan jitu...ala psiko-trans.
tidak perlu berwacana panjang lebar..tapi langsung "dor"..
sangat efektif, efisien dan valid....hehehee
tapi Nala juga udah siapkan obatnya..yaitu senyuman...
smile with me
Nala
--- In psikologi_transform
<sudarwati_jeni@
>
> Mampir bentar Di...(belum bisa nulis serius seperti yang kau
minta).
>
> kau nulis seperti ini :
> "Di sini kita mesti memahami bahwa formasi ego dalam 'Diri' adalah
> alienasi. Sang anak manusia dapat menjadi 'subjek' ketika ia
> menjatuhkan diri dalam kolam citraan yang memantulkan lakon-lakon
> yang mesti ia mainkan di panggung sandiwara kehidupannya. Lakon-
> lakon yang merupakan liyan dari dirinya sendiri. Slavoj iek,
salah
> satu lacanian sayap kiri, menjelaskan hal ini secara lebih
konkret.
> Menurut iek, subjek kehilangan keutuhan karena begitu masuk
> tatanan kultural ada lubang yang selalu menyertai hidupnya."
>
>
> Baca tulisanmu ini menarik, jadi ketawa aku ingat dialognya
> pangapora yang kayak gini (ini tentang Tokoh Perempuan)
>
> "Untuk itu, kita butuh tokoh mahasiswi yang orisinil,"
>
> "Apa ukurannya?"
>
> "Pertama, tidak terkenal,"
>
> "Bagaimana mungkin?"
>
> "Setidaknya, dia tidak mencoba untuk terkenal,"
>
> "Tapi kan pasti dikenal?"
>
> "Ya. Dikenal di kalangannya saja,"
>
> "Terus?"
>
> "Tidak punya blog,"
>
> "Haha...."
>
> "Kenapa ketawa?"
>
> "Maksudmu mungkin, tidak suka nangis di blognya, gitu?"
>
> "Nggak tahu lah,"
>
> "Ketiga?"
>
> "Ketiga, tidak suka jualan,"
>
> "Hush! Mulai ngawur!"
>
> "Ya, ya, ya. Tidak suka jualan. Jelas itu!"
>
> "Haha.... Iya, iya.... Gimana maksud tidak suka jualan itu?"
>
> "Ya begitu; tidak suka jualan nangis, jualan cerita pribadi,
jualan
> senyum, jualan kedip, jualan merah, jualan laut, jualan dirinya -
> dalam kurung: suka minta dinilai, suka minta disanjung, suka minta
> diminta fotonya, dan seterusnya dan seterusnya-.
>
> "Hahaha.... Ntar dulu. Kita ini mau ngomongin tokoh perempuan apa
> mau ngomongin perasaan kamu sih? Yang bener dong...."
>
> "Hahaha...."
>
> "Gantian kamu yang ketawa!"
>
> "Iya, kamu lucu juga. Kadang telmi, tapi kadang cerdas juga.
Gimana
> kalau kamu yang jadi tokoh perempuannya?
>
>
> Obrolan ringan macam begini mirip seperti yang kau tulis tentang
> menjatuhkan diri dalam kolam citraan yang memantulkan lakon, versi
> banyolannya :)
>
> Jeni
>
>
> --- In psikologi_transform
> <audivacx@> wrote:
> >
> > Judul : Lelakon
> > Penulis: Lan Fang
> > Kata Penutup: Audifax
> > Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
> > Cetakan: I, September 2007
> > Harga: Rp. 35.000,-
> >
> >
> > $ubject: Re: Lelakon
> >
> > Oleh:
> > Audifax
> > Penulis buku "Mite Harry Potter" (2005) dan "Imagining Lara
Croft"
> (2006)
> >
> > Dan aku menangis
> > dan aku terluka, bila...kau menghilang
> > Yang kau tinggalkan hanyalah luka
> > dan semua t'lah menghilang
> >
> > Garasi
> > --Hilang--
> >
> > Dalam kisah Harry Potter, ada scene, yang tak akan mudah
> dilupakan, yaitu saat Harry Potter melihat bayangan dirinya di
> Cermin Tarsah (Mirror of Erised). Harry yang belum pernah melihat
> keluarganya, dalam cermin itu tampak ia berdiri di tengah-tengah
> keluarganya. Sedangkan Ron Weasley, yang merasa minder dengan
> prestasi kakak-kakaknya, melihat pantulan dirinya di Cermin Tarsah
> sedang berdiri sendiri dengan medali dan piala di tangannya. Sejak
> melihat Cermin Tarsah, setiap malam Harry pergi ke tempat cermin
itu
> disimpan dan menatap bayangan dirinya. Hingga suatu ketika
> Dumbledore memberitahu bahwa cermin itu tak memberi apa-apa.
Banyak
> orang telah tersia-sia hidupnya di depan cermin itu, karena mereka
> bahkan tak tahu apakah yang dilihatnya itu mungkin.
> >
> > Cermin Tarsah (Mirror of Erised) adalah Cermin Hasrat (Mirror
of
> Desire). Cermin itu memantulkan citraan lakon apapun yang
diinginkan
> oleh orang yang melihatnya. Dalam pantulan cermin itulah
`mengalir'
> hasrat, persis di titik ketika `Aku' melihat `Liyan' dan mengira
> Liyan di cermin itu adalah `Aku'. Hasrat mengalir ketika `Aku'
> lantas ingin menjadi Liyan, menghasrati Liyan itu menjadi milikku,
> menyatu denganku. Seperti dialami Harry dan Ron, hasrat akan
Liyan,
> sejatinya hasrat memenuhi `kekurangan' (lack) yang ada pada Diri
> manusia. Pemenuhan yang tak pernah usai selama manusia masih
berada
> di panggung kehidupan ini. Pemenuhan hasrat inilah yang bisa kita
> lihat pada lakon-lakon yang ditampilkan Lan Fang dalam
> novel 'Lelakon'
> >
> > `Cermin' adalah kunci dalam `Lelakon'. Selain ditampilkan
dalam
> sejumlah scene, terdapat kalimat kunci menjelang akhir kisah:
> >
> > Cermin lemari menubruk cermin hias di depannya
> > Ada di sisi kanan dan kiriku
> > Bayangan yang dipantulkan saling menumpuk
> > Itu aku. Tidak tahu itu aku sungguhan atau aku yang pura-pura
> >
> > Singkatnya, seperti Sang Cermin Ajaib dalam kisah Snow White,
> yang menimbulkan rasa iri Sang Ratu karena mengatakan bahwa yang
> tercantik adalah Snow White, seperti itu pula 'cermin-cermin'
dalam
> hidup kita. Kita pun kerap tak puas jika cermin itu belum
mengatakan
> bahwa Diri kitalah yang ideal. Lakon-lakon manusia tak puas inilah
> yang ditulis Lan Fang dalam novel 'Lelakon'.
> >
> > Relasi Cermin/Relasi Lelakon
> > Membaca 'Lelakon', mengingatkan saya pada psikoanalisis neo-
> freudian dari Jacques Lacan. Pada scene-scene di mana Lan Fang
> menampilkan 'cermin', terasa dekat untuk dibahas dalam konsep
relasi
> cermin psikoanalisis Lacan. 'Cermin' merupakan cara Lacan
> menggambarkan bagaimana manusia masuk ke dalam tatanan budaya.
> Dijelaskan Lacan, bahwa di usia awal, sebelum anak memasuki fase
> cermin (mirror-stage)
sebagai
> bagian-bagian utuh. Pada masa itu, Sang Anak masih mengarahkan
> hasratnya pada ibu. Sampai suatu ketika sang ibu (m/other), sang
> liyan pertama dalam hidup anak, membawa anak pada cermin, lalu
> mengatakan"Itulah kamu!".
> > Sejak melihat pantulan dirinya di cermin, yang (seakan) utuh
> penuh, anak pun lantas menghasrati bayang-bayang di cermin.
Setelah
> dewasa, pantulan itu bisa berasal dari etnis, agama, pendidikan,
> status, dan berbagai hal yang bisa ditunjuk sebagai "Itulah
kamu!".
> >
> > Namun, inilah cara agar anak manusia bisa diterima dalam
tatanan
> budaya, anak mesti menghasrati untuk menjadi bayang-bayang cermin
> yang ada dalam budaya. Menjadi lakon-lakon yang dipantaskan di
> budaya. Di situlah kita bisa mendalami bagaimana hasrat 'Ada'
dalam
> pantulan 'Diri' di cermin. Manusia yang melihat dirinya 'utuh-
penuh'
> di cermin ingin merengkuh citraan itu menjadi dirinya. Sayang, itu
> hanya citraan, justru dirinyalah yang terengkuh masuk dalam
citraan.
> >
> > Hasrat manusia memperoleh keutuhan identitas diri, justru
> menyerakkannya dalam potongan-potongan diri yang bukan dirinya.
> Potongan-potongan, yang malangnya, mesti ia lakonkan dalam
panggung
> kehidupannya. Selain cermin, hasrat adalah kunci lain membaca
> Lelakon. Hasrat berasal dari tempat tak bernama yang menjadi asal
> dari segala menjadi. Tak ada keinginan ataupun lakon kehidupan
yang
> tak menyimpan genesis hasrat di dalamnya. Manusia pun bukan lagi
> mahkluk berakal budi, melainkan mahkluk berhasrat.
> > Situasi ini digambarkan Lan Fang melalui tokoh-tokoh
> dalam 'Lelakon': Demi hasrat memenuhi uang setoran, Mon memainkan
> kartu Ratu yang memantulkan wajah-wajah bukan dirinya. Mon juga
suka
> mengintip dan mengorek lubang di dinding agar bisa melihat
pantulan
> liyan di sebelah rumah yang lebih kaya raya darinya. Bulan melihat
> pantulan Fantasi di bola kristal dan Fantasi menjadi Bulan ketika
> bola kristal pecah. Tongki menghasrati Mon. Marbuat menghasrati
> Fantasi. Kisun menghasrati Mintul. Silang sengkarut hasrat saling
> memantul. Hasrat terhadap tubuh. Hasrat terhadap kekayaan. Hasrat
> terhadap status. Panggung kehidupan menjadi panggung kegilaan
ketika
> hasrat saling bersilang-bertubruk
> >
> > 'Cermin Hasrat' adalah 'sesuatu' yang meretakkan, membelah
> keutuhan diri. Dalam relasi cermin, selalu ada 'Aku' dan 'Aku-yang-
> bukan-aku'. Demikian pula dalam panggung kehidupan. Selalu ada
> cermin-cermin hasrat yang membuat 'Diri' selalu me-lelakon-
kan 'Diri-
> yang-bukan-diriku'
> bisa merekonsiliasi keterbelahan dirinya dan mirror-image. 'Aku'
> yang berbicara adalah sekaligus 'Aku-yang-dibicarak
> memandang (cermin) adalah juga aku yang dipandang. Titik di mana
> saya melihat diri di cermin hasrat, adalah titik di mana saya tak
> pernah bisa melihat imaji akan saya (I) yang ideal, melainkan
> hanya 'saya-saya' yang kultural.
> >
> > Di sini, kita dapat mencermati bahwa dalam relasi pandangan,
> selalu ada jarak atau jeda antara mata yang memandang dan objek
yang
> dipandang. Jeda yang membelah antara 'Aku' dan 'Liyan'. Pada jeda
> pandangan inilah manusia mengisikan hasrat, sehingga objek yang
> dipandang bukan sekedar objek tapi memiliki makna. Jeda pandangan
> pada relasi cermin terjadi antara lain ketika Mon mengintip
tetangga
> sebelah (baca; liyan) melalui lubang di tembok yang memisahkan
> rumahnya dan rumah tetangganya:
> >
> > Ketika ia (Mon) memicingkan mata melihat apa yang ada di
tembok
> sebelah, Mon seperti melihat mimpi karena ia melihat dunia lain
yang
> berbeda dengan dunia yang setiap hari dilakoninya. Ia berpikir,
> mungkin ia tidak tinggal di dunia yang sama dengan orang-orang
dari
> tembok sebelah itu. Karena yang dilihatnya, matahari di dunia di
> balik tembok itu tidak pernah terbenam
> >
> > Persis seperti Sang Ratu yang merasa dirinya 'kurang' ketika
> Cermin Ajaib mengatakan Snow White-lah yang paling cantik, seperti
> itulah hasrat mengaliri jeda pandangan sehingga 'Aku' selalu
> menghasrati menjadi seperti 'liyan' di cermin. Liyan di cermin
> selalu tampak lebih utuh, lebih ideal, bak matahari yang tak
pernah
> terbenam.
> >
> > Di sini kita mesti memahami bahwa formasi ego dalam 'Diri'
> adalah alienasi. Sang anak manusia dapat menjadi 'subjek' ketika
ia
> menjatuhkan diri dalam kolam citraan yang memantulkan lakon-lakon
> yang mesti ia mainkan di panggung sandiwara kehidupannya. Lakon-
> lakon yang merupakan liyan dari dirinya sendiri. Slavoj iek,
salah
> satu lacanian sayap kiri, menjelaskan hal ini secara lebih
konkret.
> Menurut iek, subjek kehilangan keutuhan karena begitu masuk
> tatanan kultural ada lubang yang selalu menyertai hidupnya.
Seperti
> Sisifus yang melakukan kesia-siaan mendorong batu yang akhirnya
toh
> menggelinding lagi ke bawah, seperti itu pula kesia-siaan yang
> dilakukan manusia untuk menambal lubang itu sepanjang hidupnya.
> >
> > Bagaimana manusia melakukan kesia-siaan inilah yang
digambarkan
> Lan Fang dalam 'Lelakon'. Tak ada akhir yang membuat lubang itu
> tertutup penuh. Manusia tak pernah purnama. Sejatinya, melalui
lakon-
> lakon yang tiap kali dimainkan seorang manusia dalam hidupnya,
> dirinya tengah mengompensasi kekurangannya melalui fantasi lakon-
> lakon itu. Fantasilah yang kemudian mengambil tempat 'Diri'.
> Fantasilah yang menari di atas nganga lubang yang selalu ada dalam
> diri anak manusia yang terjerat jejaring kultural. Persis seperti
> digambarkan dalam scene ketika Fantasi mengambil-alih posisi
Bulan.
> Fantasi mengalienasi Bulan dari tempat yang semestinya menjadi
> miliknya. Inilah tragedi yang membuat manusia selalu menjalankan
> peran di dunia dengan keterbelahan antara 'Diriku' dan 'Bukan-
> Diriku' yang mengambil alih posisi 'Diriku'.
> >
> > Subjek yang terbagi ($)
> > Dalam perspektif lacanian, subjek sebagai yang mengalami dunia,
> selalu dalam keadaan terbagi. Apabila kita mengatakan "Saya
> adalah...", saat itulah kita terbagi menjadi: 1) "Saya" yang
> mengatakan kalimat, dengan 2) "Saya" yang ada dalam kalimat. Dan,
> pada titik ini "Saya adalah..." merupakan selalu akan jawaban atas
> pertanyaan "Kamu siapa?" yang diajukan oleh Liyan. Ketika
> menjelaskan "Saya adalah..." selalu ada acuan 'citra cermin'
> seperti: profesi, etnis, agama, sosial-ekonomi, dan seterusnya.
> Itulah lelakon-lelakon kita. Ketika seseorang mengatakan "Saya
> adalah penulis" maka ada citra cermin penulis yang diambil dan
> dilakonkannya.
> >
> > Pada gilirannya, karena setiap kali menjelaskan "Saya
adalah..."
> manusia mesti mengambil citra cermin tertentu, maka setiap
pemeranan
> suatu lelakon kehidupan, akan memaksa manusia untuk terbetot
keuar,
> mengalami keterbelahan antara 'Saya yang mengucapkan' dan 'Saya
yang
> tengah diucapkan'. Subjek bukanlah S, melainkan $, atau Subjek
yang
> terbelah. Manusia, dengan demikian, adalah sebuah retakan realitas
> yang secara ontologis konsisten. Selalu ada retakan antara 'Saya'
> dan 'Liyan'. Selalu ada Liyan yang menghantui dan bisa muncul baik
> di dalam maupun di luar diri.
> >
> > Membaca 'Lelakon' barangkali bisa kita gunakan juga untuk
> membaca-ulang filsafat terkenal Rene Descartes. Dalam pemikirannya
> yang paling dikenal, Descartes mengatakan "Aku berpikir maka Aku
> ada" (Cogito Ergo Sum). Benarkah ketika manusia berpikir, manusia
> menjadi Ada? Bukankah dalam novel 'Lelakon' ini justru bisa
dilihat
> bahwa saat saya berpikir justru saya terbelah menjadi 'saya yang
> berpikir' dan saya yang ada dalam pikiran'? Bukankah justru 'saya
> yang ada dalam pikiran' yang akan terus 'Ada' sementara 'saya yang
> berpikir' seketika akan meniada begitu saya melelakonkan 'saya
yang
> ada dalam pikiran saya'? Bukankah sang penulis (the author)
seketika
> akan kehilangan otoritas (authority) atas pikiran yang ditulisnya
> begitu tulisan itu dibaca orang lain (baca: liyan)?
> >
> > Jawaban atas semua pertanyaan itu, bisa anda peroleh melalui
> refleksi atas pembacaan anda pada novel 'Lelakon'. Dan saat
refleksi
> itu terjadi, barangkali andapun akan menjadi subjek yang terbelah
> ($). Kenapa? Karena yang ada dalam pikiran anda sudah bukan anda
> lagi, melainkan pikiran Lan Fang yang hinggap di benak anda. Anda
> terbelah menjadi 'Anda yang berpikir' dan 'pikiran Lan Fang yang
> hinggap di benak anda'.
> >
> > Selamat membaca dan berpikir!
> >
> >
> >
> > ------------
> > Boardwalk for $500? In 2007? Ha!
> > Play Monopoly Here and Now (it's updated for today's economy) at
> Yahoo! Games.
> >
>
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar