Sekali-sekali membahas agama boleh-boleh saja sih. Akan tetapi saya
mengamati membahas (khususnya debat) agama di beberapa milis termasuk
hal yang cenderung paling tidak produktif, penuh jebakan emosional
dan lead nowhere...
Harez mengutip 2 tulisan : pertama dari Luthfie, tokoh Islam Liberal,
tentang Sejarah Quran. Dan ke-2 mengutip soal yang sama dari Hossein
Modarresi dari Princenton University dari situs faithfreedom
(organisasi maya yang mantap banget anti-Islamnya)
Kalau kita bukan ahli sejarah agama, atau Ahli Sejarah Qur'an, maka
saran saya jangan pusing atas kedua kutipan itu.
Cukuplah iman dengan firman Allah dalam S Hijr 9 mengenai penjagaan
Allah terhadap kemurnian Alquran.
http://trimudilah.
http://aaiil.
an.shtml
http://www.mualaf.
Kalau ditinjau dari sisi tasauf kalangan Ahlus Sunnah Wal Jama'ah
yang saya yakini: para sahabat yang melakukan kompilasi dan
kodifikasi Quran bukan sekedar pencatat dan penghapal yang baik, akan
tetapi hatinya cemerlang untuk membedakan mana yang asli dan mana
yang palsu. Merekalah para kekasih Allah yang mata hatinya sudah
kasyaf melihat akhirat, hatinya cemerlang melihat alam malakut. Tidak
ada lagi keraguan, kesamaran dan kebingungan. Untuk lebih lanjut soal
tasauf sudah ah... cukup sampai sini. Stop.
Kalau mau memahami Islam yang ramah, terbuka dan berwawasan relatif
cukup luas silahkan klik :
http://www.islamfor
Anda tidak harus setuju isi situs itu, tapi paling tidak membuka
wawasan. Tanpa bermaksud promosi, saya ingin mengatakan rugilah kalau
belum menyempatkan diri buka situs itu.
Kembali pada point diatas. Membahas (khususnya soal bener-tidak
bener) agama termasuk hal yang tidak produktif. Hal ini bukan berarti
perihal agama sama sekali tidak bermanfaat untuk di bahas. Kalau
teman-teman milis ini mengamati tulisan-tulisan Agus Syafii, saya
melihat yang ditulis positif belaka. Bisa lintas agama dan lintas
aliran, karena yang ditulis adalah perihal akhlak atau budi pekerti.
Kalau yang begini ok deh.
Salam perdamaian,
WK
--- In psikologi_transform
<was_swas@..
>
>
> > Pemikiran Anda banyak benarnya, kecuali yang meyangkut proses
> turun-temurunnya
> > narasi. Tak ada satu kitab suci tertulis pun menurut saya, yang
bisa
> terbebas
> > dari pengaruh campr tangan manusia yang meng-"edit"-
jika
> kita
> > percaya penuh--dengan iman--bahwa Tuhan sendirilah yang bekerja
selama
> proses
> > itu dan manusia hanya "dipinjam tangannya." Ini jugalah yang
menjadi
> dasar
> > keimanan Kristen pada Injilnya. Untuk Qur'an? Hmm...penjelasan
Swas
> sudah
> > begitu bunyinya ya itulah yang kita terima.
>
> Oh, saya tahu kok kalau pemikiran saya banyak benernya. Saya kan
kalau
> nulis/bicara mikir, nggak cuma membabi buta.. HAHAHAHAHA..
> bercanda ;)
>
> Saya sudah mengira Pak Man akan mengulik aspek yang ini: bahwa
proses
> editing akan bebas 100% dari pengaruh campur tangan manusia :) Malah
> saya kira tadinya Pak Man akan mengulik apakah saya yakin bahwa
ingatan
> mereka (saat meng-edit ayat ini masuk ke mana, atau bunyi ayatnya
> persisnya gimana) dapat dipercaya 100%.
>
> Itu semuanya kembali kepada iman. Kepada apa yang kita percayai :)
> Kebetulan buat saya pribadi, saya lebih percaya pada data tangan
pertama
> (catatan verbatim) yang bisa saya analisa sendiri, daripada data
tangan
> kedua (pengisahan orang lain) . I'll take my chance bahwa di sana
sini
> verbatimnya mungkin salah ketik, atau ada yang hilang.. that's
where my
> mind and conscience will take care of :)
>
> Tapi saya juga tidak mau mengatakan bahwa yang lain salah :) Sangat
bisa
> kok terjadi bahwa suatu kisah yang diceritakan kembali ternyata
lebih
> dekat pada kenyataan daripada apa yang diingat kata per kata. Saya
masih
> percaya kok bahwa kunci jawabannya cuma Dia yang pegang ;)
>
> > Secara nalar, saya tak yakin dalam rentang waktu yang begitu
panjang,
> hapalan
> > verbatim masih mungkin dilakukan. Sifat tradisi lisan selalu
lentur,
> dinamis
> > dan cair. Kisah bisa berganti sesuai kondisi zaman dan latar
belakang
> penutur
> > kisah.
>
> Pun saya demikian :). Maka dari itu, salah satu hal yang membuat
kening
> saya berkerut saat membaca message #35739 dari Bang Harez (Muslim
> Mengkritisi Sejarah Al Quran) adalah kalimat ini:
>
> Terlihat bahwa begitu banyak "penghafal Al Quran" yang masih hidup
> bertahun2 setelah perang Yamamah. Jadi alasan pengumpulan (Al Quran)
> pertama sungguh patut diragukan keabsahannya dan kebenaran apakah
memang
> ada pengumpulan pertama tersebut.
>
> Menurut saya.. bisa saja alasan pengumpulannya tidak benar2 karena
> banyak penghafal yang gugur dalam perang. Tapi.. lepas dari
alasannya,
> pengumpulan itu adalah langkah yang tepat :) Sejago2nya orang
menghafal,
> jika hanya diturunkan dalam bentuk hafalan, biasnya sangat besar.
Lepas
> dari siapa yang mengumpulkan (Umar, Abu Bakar, atau Ali), setidaknya
> mereka masih merupakan orang2 yang mendapatkan first hand
information.
> Kemungkinan bias lebih kecil (walaupun tetap ada) :)
>
> Tapi, namanya kan KEYAKINAN, jadi sebaiknya tak diperbantahkan toh?
> Jadi, nalar pun menemukan batasnya di sini. Semoga teman kita
Hendrik
> juga bisa menarik pelajaran ya dari pemikiran Swastinika?
>
> Hahaha.. dari awal memang saya tidak berniat memperbantahkan
KEYAKINAN.
> Only the idiots do, and I'm sure I'm not one of them ;)
>
> Tapi tentang Hendrik.. well, kayaknya agak susah berharap dia
menarik
> pelajaran dari sini :) Yang ada malah mungkin dia girang karena
topik
> ini banyak peminatnya.. HAHAHAHA.. Tuh, dia malah mulai lagi nge-fwd
> Injil2 dari Wikipedia ;) I've told you.. naga2nya sih si Hendrik ini
> belum pernah baca Injil beneran, cuma denger2 aja dan cuplik sana
sini
> seenakanya :)
>
> Nice to discuss with you, Pak :)
>
> Salam,
>
>
> --- In psikologi_transform
> >
> > kalau sama Swastinika, tak mungkin saya kurangajar-kurangaj
> Orangnya lebih
> > enak diajak diskusi serius daripada adu caci-maki.
> >
> > Pemikiran Anda banyak benarnya, kecuali yang meyangkut proses
> turun-temurunnya
> > narasi. Tak ada satu kitab suci tertulis pun menurut saya, yang
bisa
> terbebas
> > dari pengaruh campr tangan manusia yang meng-"edit"-
jika
> kita
> > percaya penuh--dengan iman--bahwa Tuhan sendirilah yang bekerja
selama
> proses
> > itu dan manusia hanya "dipinjam tangannya." Ini jugalah yang
menjadi
> dasar
> > keimanan Kristen pada Injilnya. Untuk Qur'an? Hmm...penjelasan
Swas
> sudah
> > begitu bunyinya ya itulah yang kita terima.
> >
> > Secara nalar, saya tak yakin dalam rentang waktu yang begitu
panjang,
> hapalan
> > verbatim masih mungkin dilakukan. Sifat tradisi lisan selalu
lentur,
> dinamis
> > dan cair. Kisah bisa berganti sesuai kondisi zaman dan latar
belakang
> penutur
> > kisah. Tapi, namanya kan KEYAKINAN, jadi sebaiknya tak
diperbantahkan
> toh?
> > Jadi, nalar pun menemukan batasnya di sini. Semoga teman kita
Hendrik
> juga bisa
> > menarik pelajaran ya dari pemikiran Swastinika?
> >
> > manneke
>
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar