Born Free, as free as the wind blow -
As free as the grass grow -
Born free to follow your heart.
Buku I Ching dan Tao Te Ching barangkali bisa menjelaskan hal ini yaitu :
Kehidupan in terus berubah seperti siang berganti malan, musim berganti, air laut pasang dan surut dan sebagainya dari beginningless past menuju endless future.
Setiap kali ada pertemuan, misalnya ikatan perkawinan, maka suatu saat pasti akan ada perpisahan karena salah satunya pasti akan meninggal dulu. Dikatakan " soon in the first meeting, there is also future separation "
Karena itu orang bijak zaman dahulu menasehati supaya kita jangan terlalu gembira pada saat pertemuan karena suatu saat akan ada perpisahan.
Juga jangan terlalu sedih ketika terjadi perpisahan, karena itulah Jalan Alam !
Mereka yang salah mempersepsikan dan mencoba bertahan, akan jebol.
Yunta di Myanmar juga tidak terkecuali akan mengalami hal yang sama, waktunya bisa ditunda, tapi tidak bisa dihindarkan akan datang.
Kitab I Ching adalah satu-satunya kita yang memberitahukan tentang hukum - hukum perubahan ini sebagai akibat interaksi antara unsur YIN dan YANG.
Tercatat ada 64 konfigurasi dan dua titik yang penting yaitu : Titik Balik / Fu No. 24 dan Damai / T'ai No. 11.
Lebih lanjut bisa dibaca dalam buku " Kearifan Timur Dalam Etos Kerja dan Seni Memimpin ", Penerbit Buku Kompas.
======
Dalam kisah silat biasanya selalu diawali dengan kawanan penjahat yang mencoba menghabisi musuhnya sampai ke akar-akarnya. Ketika proses pembantaian itu sedang berlangsung, kebetulan lewat seorang pendeta yang sedang berkelana untuk memperdalam pemahamannya tentang Jalan / Tao. Dialah yang menyelamatkan seorang bayi yang nyaris dihabisi, dan kemudian dibawa ke gunung atau kuil Shaolin dan dididik sehingga menjadi pendekar.
Karena selain diajar ilmu silat juga kearifan yang tinggi, maka akhirnya dia sendiri yang bisa memutus karma saling membunuh sehingga tercapailah damai di dunia.
Banyak orang yang tidak memahami intisari kisahnya sehingga melihat ceritera silat dari sisi kekerasannya saja dan tidak tahu bahwa klimaks nya justeru di endingnya.
Kekerasan yang dipertontonkan sebenarnya menggambarkan kenyataan hidup saat ini seperti yang bisa kita sakiskan sehari-hari, hanya bentuknya tidak menggunakan senjata, tapi dalam bentuk penyalahgunaan kekuasaan.
Orang bisa membunuh dengan kata-kata dan juga peraturan
Semoga bermanfaat,
Jusuf Sutanto
Dari: Hudoyo Hupudio <hudoyo@cbn.net.
Terkirim: Selasa, 2 Oktober, 2007 4:55:28
Topik: [psikologi_transfor
At 11:22 PM 10/1/2007, Ngestoe Rahardjo wrote:
>Saudaraku yang budiman ...
>
>Sehubungan dengan 'tragedi' di Myanmar belakangan ini, saya malah
>bertanya-tanya dalam hati begini:
>
>- Mengapa para bhikkhu mau terjebak dalam kemelut politik dan
>kekuasaan yang --dimanapun di muka bumi ini-- tak pernah benar-benar bebas
>dari tindak kekerasan, intimidasi, penindasan dan yang sejenisnya itu?
>- Bagaimana peran Sangha disana sehubungan dengan keterlibatan
>anggotanya di wilayah yang sarat akan ambisi itu?
>
>Menurut pandangan saya, ketika seseorang memutuskan untuk jadi bhikkhu pun
>bhikkhuni, ybs. telah juga memutuskan untuk menarik diri dari kehidupan
>duniawi, dari kehidupan profan dan sekuler, walaupunpun bukan berarti lantas
>jadi anti-sosial.
>
>- Gerakan 'lintas wilayah' manapun mengundang resiko tambahan. Itu
>kita sadari. Tapi ...tapi ....yang membuat saya adalah, kenapa itu bisa
>menjadi pilihan dari para bhikkhu/bhikkhuni muda itu, dimana seolah-olah
>para sesepuh Sangha malah merestuinya?
>
>Saya jadi teringat sebuah kisah begini:
>Seorang Mentri dititahkan oleh rajanya untuk meminta nasehat kepada
>Sankaracarya mengatasi carut-marutnya negri itu.
>
>Nasehat Sankara sederhana saja; beliau kurang-lebih berkata: "Bila setiap
>eksponen masyarakat menempatkan dirinya sesuai bidang profesinya dan
>fungsinya masing-masing dengan baik, niscaya negri akan baik-baik saja".
>Semoga Cahaya Agung-Nya senantiasa menerangi setiap gerak-langkah kita.
>Semoga Saudara-saudari kita disana secepatnya menemukan apa yang
>didambakannya.
>
>Sadhu,
>NR.
============ ========
HUDOYO:
Maha-Rsi Bisma adalah sesepuh Hastinapura yang sudah makan asam-garam kehidupan dan membaktikan sisa hidup pada usia tuanya guna mencapai kesempurnaan batin di pertapaan Talkanda. Namun ketika dalam perang Bharatayuda, eksistensi bangsanya, bangsa Kuru, terancam oleh serbuan Pandawa dengan senapati Rsi Seta dan kedua adiknya dari negeri Wirata--yang bukan darah Bharata--maka tak urung Maha-Rsi Bisma turun tangan menjadi senapati perang Kurawa sehingga mengorbankan nyawanya sendiri. (Baca tentang Bhisma di Wikipedia, http://en.wikipedia .org/wiki/ Bhisma)
Para bhiksu Buddha di Tiongkok pada zaman dahulu, untuk mempertahankan eksistensi Buddha Dharma terhadap kekuatan-kekuatan yang ingin menghapuskannya dari bumi Tiongkok, terpaksa harus belajar silat, yang terkenal sampai sekarang: Siauw Liem Sie. (Baca tentang "Shaolin Monastery" di Wikipedia, http://en.wikipedia .org/wiki/ Shaolin_Monaster y)
Ada ksatria yang berjiwa pandita/brahmana (ksatria-pinandita) --contoh: Maha-Rsi Bisma--dan ada brahmana/pandita yang berjiwa ksatria (pandita-sinatriya) --contoh: Parasurama (Rama Bargawa); tidak bisa ditarik garis pemisah yang tegas di antara keduanya, seperti kasta di India. (Baca tentang Parasurama Barghava di Wikipedia, http://en.wikipedia .org/wiki/ Parashurama)
Saya melihat, apa yang dilakukan oleh para bhikkhu Theravada di Burma itu sesuai dengan Sumpah Bodhisattva Mahayana, yakni mengorbankan diri demi welas asih terhadap dunia. Salah satu dari Sumpah Tambahan Bodhisattva adalah: "Tidak menghindari perbuatan salah (pelanggaran sila) ketika cinta dan welas asih terhadap sesama mengharuskannya. " (Lihat di bawah ini)
Salam,
Hudoyo
Lihat: http://www.berzinar chives.com/ web/en/archives/ practice_ material/ vows/bodhisattva /secondary_ bodhisattva_ pledges.html
(4) Not committing a destructive action when love and compassion call for it
Occasionally, certain extreme situations arise in which the welfare of others is seriously jeopardized and there is no alternative left to prevent a tragedy other than committing one of the seven destructive physical or verbal actions. These seven are taking a life, taking what has not been given to us, indulging in inappropriate sexual behavior, lying, speaking divisively, using harsh and cruel language, or chattering meaninglessly. If we commit such an action without any disturbing emotion at the time, such as anger, desire, or naivety about cause and effect, but are motivated only by the wish to prevent others' suffering - being totally willing to accept on ourselves whatever negative consequences may come, even hellish pain - we do not damage our far-reaching ethical self-discipline. In fact, we build up a tremendous amount of positive force that speeds us on our spiritual paths.
Refusing to commit these destructive actions when necessity demands is at fault, however, only if we have taken and keep purely bodhisattva vows. Our reticence to exchange our happiness for the welfare of others hampers our perfection of the ethical self-discipline to help others always. There is no fault if we have only superficial compassion and do not keep bodhisattva vows or train in the conduct outlined by them. We realize that since our compassion is weak and unstable, the resulting suffering we would experience from our destructive actions might easily cause us to begrudge bodhisattva conduct. We might even give up the path of working to help others. Like the injunction that bodhisattvas on lower stages of development only damage themselves and their abilities to help others if they attempt practices of bodhisattvas on higher stages - such as feeding their flesh to a hungry tigress - it is better for us to remain cautious and hold back.
Since there may be confusion about what circumstances call for such bodhisattva action, let us look at examples taken from the commentary literature. Please keep in mind that these are last resort actions when all other means fail to alleviate or prevent others' suffering. As a budding bodhisattva, we are willing to take the life of someone about to commit a mass murder. We have no hesitation in confiscating medicines intended for relief efforts in a war-torn country that someone has taken to sell on the black market, or taking away a charity's funds from an administrator who is squandering or mismanaging them. We are willing, if male, to with another's wife - or with an unmarried woman whose parents forbid it, or with any other inappropriate partner - when the woman has the strong wish to develop bodhichitta but is overwhelmed with desire for sex with us and who, if she were to die not having had sex with us, would carry the grudge as an instinct into future lives. As a result, she would be extremely hostile toward bodhisattvas and the bodhisattva path.
Bodhisattvas' willingness to engage in inappropriate when all else fails to help prevent someone from developing an extremely negative attitude toward the spiritual path of altruism raises an important point for married couples on the bodhisattva path to consider. Sometimes a couple becomes involved in Dharma and one of them, for instance the woman, wishing to be celibate, stops sexual relations with her husband when he is not of the same mind. He still has attachment to sex and takes her decision as a personal rejection. Sometimes the wife's fanaticism and lack of sensitivity drives her husband to blame his frustration and unhappiness on the Dharma. He leaves the marriage and turns his back on Buddhism with bitter resentment. If there is no other way to avoid his hostile reaction toward the spiritual path and the woman is keeping bodhisattva vows, she would do well to evaluate her compassion to determine if it is strong enough to allow her to have occasional sex with her husband without serious harm to her ability to help others. This is very relevant in terms of the tantric vows concerning chaste behavior.
As budding bodhisattvas, we are willing to lie when it saves others' lives or prevents others from being tortured and maimed. We have no hesitation to speak divisively to separate our children from a wrong crowd of friends - or disciples from misleading teachers - who are exerting negative influences on them and encouraging harmful attitudes and behavior. We do not refrain from using harsh language to rouse our children from negative ways, like not doing their homework, when they will not listen to reason. And when others, interested in Buddhism, are totally addicted to chattering, drinking, partying, singing, dancing, or telling off-color jokes or stories of violence, we are willing to join in if refusal would make these persons feel that bodhisattvas, and Buddhists in general, never have fun and that the spiritual path is not for them.
Bergabunglah dengan orang-orang yang berwawasan, di bidang Anda di Yahoo! Answers
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar