--- In Apresiasi-Sastra@
wrote:
Surabaya, 21 Agustus 2007
Kepada Yth :
Bpk/Ibu Pimpinan Pikiran Rakyat
Di tempat
------------
Dengan hormat,
Sebelumnya, saya mohon maaf sebesar-besarnya, bila
sekiranya unek-unek saya tidak berkenan di hati bpk/ibu pimpinan
Pikiran Rakyat. Sebelum saya menuliskan unek-unek ini, saya sudah
berpikir berulang-ulang, apakah unek-unek ini sekiranya perlu saya
sampaikan (karena itu, unek-unek ini mungkin terasa tidak up to date
karena permasalahan ini sebetulnya sudah terjadi pada tanggal 4-5
Agustus 2007 lalu). Tetapi berhari-hari saya merasakan ganjalan di
hati kecil saya bila tidak menyampaikan unek-unek ini kepada pimpinan
management Pikiran Rakyat.
Terus terang, unek-unek saya sehubungan dengan kasus
puisi MALAIKAT (Syaeful Badar) yang merebak dan mengundang berbagai
silang pendapat di banyak kalangan mengenai kebebasan berekspresi bagi
seorang seniman dan landasan iman seorang manusia.
Tetapi unek-unek saya bukanlah mengenai itu karena itu
adalah bagian dari para seniman yang jauh lebih senior dari saya dan
orang yang jauh lebih beriman dari saya untuk menyikapinya. Karena
unek-unek saya justru mengenai tindakan pemberhentian dari managemen
Pikiran Rakyat kepada Bpk. Rahim Asyik yang saat itu memegang rubrik
Khazanah dan "meloloskan" puisi tersebut sampai dimuat.
Sebelumnya, harap perlu
dicatat-digarisbawa
TIDAK MEMPUNYAI TENDENSI DAN KEPENTINGAN apa pun terhadap Bpk. Rahim
Asyik.
Karena :
saya tidak mempunyai keterikatan emosional apa pun dengan Bpk.
Rahim Asyik. Saya bukan sanak, bukan saudara, bukan istri, bukan pacar
(juga bukan selingkuhan) Bpk. Rahim Asyik.
saya tidak mempunyai keterikatan financial apa pun dengan Bpk.
Rahim Asyik. Saya tidak dibayar dengan nominal tertentu, tidak diberi
hadiah, tidak diberi komisi atau apa pun, tidak ada hutang piutang.
saya tidak mempunyai hutang budi apa pun dengan Bpk. Rahim Asyik.
Selama tahun 2006, hanya 2 cerpen saya yang dimuat Pikiran Rakyat, itu
pun melalui prosedur normal. Saya tidak pernah diblow up secara berita
media di Pikiran Rakyat melalui Bpk. Rahim Asyik.
saya tidak punya keinginan numpang beken dengan seakan-akan
mengeksploitasi masalah ini.
saya dan Bpk. Rahim Asyik tidak pernah bertemu muka, bertukar
suara atau berdiskusi dalam suatu forum formal atau pun informal.
Kronologis peristiwa :
Mari kita sama-sama membaca ulang puisi MALAIKAT yang menjadi
polemik itu.
MALAIKAT
Mentang-mentang punya sayap
Malaikat begitu nyinyir dan cerewet
Ia berlagak sebagai mahluk baik
Tapi juga galak dan usil
Ia meniup-niupkan wahyu maut
Ke saban penjuru.
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) cabang Bandung merasa
"ternganggu" dengan dimuatnya puisi ini karena memiliki tafsir yang
berbeda. Dan dari sisi keimanan, DDII menganggap bahwa puisi ini
"berbahaya" karena meremehkan/melecehk
sesuatu yang selama ini kita sepakati bersama sebagai sesuatu yang
suci. Sehingga membuat teguran keras kepada Pikiran Rakyat yang
berefek Bpk. Rahim Asyik diberhentikan dari Pikiran Rakyat.
Maka ijinkanlah saya mengeluarkan unek-unek saya :
Dalam pembacaan saya yang bukan penyair, puisi ini adalah puisi
yang biasa-biasa saja. Tidak bagus juga tidak jelek. Sungguh
biasa-biasa saja. Sebagai orang awam, saya tidak mendapatkan "rasa"
khusus ketika membaca puisi ini dari sisi estetika dan makna. Ini
adalah puisi yang bisa langsung saya lupakan setelah saya selesai
membacanya karena terlalu biasa. Jadi dalam pemahaman saya, puisi ini
dimuat atau tidak dimuat di Pikiran Rakyat, sebetulnya tidak
memberikan efek dari sisi mana pun (psikologis, sastrawi bahkan
keimanan).
Dalam pengetahuan saya, negara Indonesia berlandaskan Pancasila dan
pada sila 1 sudah mengakui esensi keberagamaan sebagai iman dari
seluruh masyakaratnya. Dari sekian ratus juta penduduk Indonesia, saya
pikir hampir semuanya bisa dikatakan beriman (mengenai kadar
keimanannya bukan urusan saya, tetapi urusan manusia dengan Tuhannya),
sehingga tidak masuk di akal saya, hanya karena puisi yang sangat
biasa itu bisa "menganggu" kehidupan beragama seseorang.
Kalau dalam konteks puisi itu terasa melecehkan (menghina) esensi
malaikat, saya rasa kita semua pasti sepakat bahwa di bumi Indonesia
ini, tidak ada satu orang pun dari agama apa pun yang punya niat
melecehkan (menghina) malaikat. Agama apa pun di Indonesia ini pasti
mempunyai pendapat yang sama bahwa malaikat adalah cahaya yang mulia,
suatu esensi yang menjaga dan menolong manusia.
Jadi jika puisi itu ditafsirkan melecehkan (menghina) malaikat,
bagi saya pribadi, puisi itu sungguh tidak memberikan efek sedasyhat
itu yang mampu merubah pandangan saya terhadap sosok malaikat. Saya
lebih melihatnya dalam konteks human error yang kebablasan!. Baik
penyairnya dan Bpk Rahim Asyik sama-sama dalam konteks kebablasan
kreatif!
Pernah terjadi kasus serupa di halaman budaya Jawa Pos ketika
memuat cerpen Mariana Aminudin yang berjudul KOTA KELAMIN. Ketika itu
terjadi reaksi yang sangat keras dari berbagai lapisan masyarakat
secara umum karena dianggap cerpen itu terlalu vulgar. Dan mungkin
(saya tidak tahu pasti), redaktur budaya yang meloloskan cerpen itu
"disidang" oleh jajaran management Jawa Pos. Mungkin mendapat warning.
Tetapi bukan hukuman apalagi dikeluarkan dari pekerjaan. Karena
selanjutnya, terjadi seleksi yang "lebih ketat". (mohon maaf kepada
redaksi budaya Jawa Pos yang saya ambil menjadi contoh).
Menurut saya, akan lebih bijaksana bila penerbitan puisi MALAIKAT
itu (bila dianggap sebagai suatu kesalahan Bpk. Rahim Asyik), disikapi
management Pikiran Rakyat dalam bentuk warning (mau potong gaji kek,
potong bonus kek, ga terima THR kek, mutasi kek, turun jabatan kek,
surat peringatan kek, terserah sesuai kebijaksanaan perusahaan). Bukan
berupa hukuman berupa dikeluarkannya Bpk. Rahim Asyik dari pekerjaan.
Warning lebih bersifat edukatif dan membuat kita bisa belajar dari
kesalahan daripada hukuman yang menanamkan rasa kecewa dan luka hati.
Karena sebagai manusia biasa, siapa pun tidak akan luput dari
kesalahan dalam bentuk apa pun. Apakah selama bekerja di Pikiran
Rakyat, Bpk Rahim Asyik mempunyai konduite kerja yang sangat buruk
sehingga tidak bisa mendapatkan pertimbangan lain? Apakah selama
memegang gawang rubrik Khazanah di Pikiran Rakyat, Bpk Rahim Asyik
sama sekali tidak memberikan konstribusi positif? Bukan saja dari
materi-materi yang diterbitkan, tetapi
juga bagaimana Bpk Rahim Asyik membina hubungan baik dengan seluruh
penulis bukan saja dalam lokasi Bandung, tetapi juga Jakarta Jawa
Timur Jawa Tengah luar Jawa.
Bila menanggapi adanya "intimidasi" dari surat teguran keras yang
dilayangkan DDII kepada Pikiran Rakyat. Apakah itu suatu masalah
serius buat Pikiran Rakyat? Bukankah negara kita adalah negara hukum?
Bila terjadi suatu tindakan yang menganggu secara fisik dan merugikan
secara materil dan bahkan mengarah kepada tindakan anarkis, apakah
fungsinya aparat keamanan dan hukum? Bukankah sudah selayaknya setiap
warga negara berhak dan mendapatkan perlindungan yang sama di mata
hukum? Lalu masalahnya dimana?
Oke. Pada akhirnya, puisi MALAIKAT dicabut beserta permohonan maaf
dari penyairnya dan management PR . Dalam sudut pandang saya, bukankah
masalah itu sudah bisa diklarifikasi berhenti sampai di sana saja?
Saya rasa tidak perlu sampai "memakan korban" yang tidak perlu
merembet terlalu jauh sehingga Bpk. Rahim Asyik dikeluarkan dari
pekerjaannya.
Lalu so what?
secara keimanan : kelihatannya saya butuh waktu untuk melakukan
therapy iman atas konsep malaikat yang selama ini ada di benak saya
sebagai cahaya yang mulia suatu esensi yang menjaga dan menolong
manusia. Karena pada kenyataannya, saya melihat "malaikat" dalam
kata-kata yang sangat biasa (tidak istimewa) dari sebuah puisi, tetapi
seseorang telah memuatnya, lalu ada pihak lain yang meributkannya,
yang berakhir dengan matinya nafkah dan karier seseorang. Kenapa saya
jadi melihat "malaikat" sebagai kegelapan, carut marut dan sumber
konflik yang melukai perasaan. Saya harus lebih kontemplasi sebelum
menjadi tidak respek kepada "malaikat" karena sebab akibat dari
tingkah polahnya.
secara kepenulisan : dengan surat unek-unek saya ini maka saya
MENCABUT sebuah cerpen yang saya kirimkan ke Pikiran Rakyat (waktu itu
masih diterima Bpk. Rahim Asyik) yang berjudul PASAR BURUNG. Saya
tidak tahu apakah cerpen saya itu layak muat atau tidak untuk Pikiran
Rakyat (kalau tidak layak muat, malah kebetulan!). Ini bukan berarti
memboikot Pikiran Rakyat karena saya sebagai penulis pasti membutuhkan
media sebagai sarana untuk karya saya, tetapi justru karena saya
sangat respek dengan tindakan management Pikiran Rakyat. Saya takut,
nantinya besok-besok kalau cerpen saya dimuat, dan ada pihak lain yang
menjadikannya polemik, saya tidak tahu (dan belum siap) harus berbuat
apa. Saya butuh waktu (entah sampai kapan) untuk mempersiapkan diri
harus mengambil sikap seperti apa bila ada yang mempersoalkan
cerpen-cerpen saya. Jika Pikiran Rakyat masih berkenan menerima
cerpen-cerpen saya dan waktu itu saya sudah merasa siap mental, maka
saya tetap akan mengirimkan naskah
saya ke Pikiran Rakyat.
sebagai manusia : tanpa bermaksud intervensi terhadap policy
management Pikiran Rakyat atau meremehkan (melecehkan) Bpk. Rahim
Asyik, tidak bisakah pihak management Pikiran Rakyat mengevaluasi
policy yang dijatuhkan kepada Bpk. Rahim Asyik? Tidak bisakah masalah
konflik antara management dengan karyawannya diselesaikan secara
musyawarah mufakat?
Nah, rasanya cukup sekian unek-unek saya. Sekali lagi mohon maaf
sebesar-besarnya kepada bpk/ibu pimpinan Pikiran Rakyat, karena telah
menyita waktunya yang berharga untuk membaca unek-unek saya yang tidak
berarti.
Hormat saya,
Lan Fang (penulis)
cc. (urutan sesuai alphabet) :
Bpk. Abdul Munir Mulkhan
Bpk. Budi Darma
Bpk. Taufiq Ismail
Bpk. Sapardi Djoko Damono
Romo Sindhunata
Bpk. Yasraf Amir Piliang
------------
For ideas on reducing your carbon footprint visit Yahoo! For Good
this month.
--- End forwarded message ---
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar