Dari Moshaddeq Sampai Mount Carmel [2] |
Sabtu, 24 November 2007 | |
Sanksi penistaan agama bukan monopoli Indonesia. Itu juga terjadi di Eropa. Amerika jauh lebih kejam dan lebih sectarian. Bagian Kedua-habis Oleh: Amran Nasution Hidayatullah. Namun yang pasti undang-undang itu masih tetap berlaku di sana, sekali pun berbagai usaha untuk menghapuskannya terus dilakukan oleh para seniman atau aktivis HAM. Bahkan ia tetap awet bertahan, walau pun pada 1998, muncul Human Rights Act, undang-undang tentang HAM. Memang penggunaannya sangat selektif, atau bahkan suatu saat seakan sudah dipingsankan. Tapi nyatanya pada 1977, pengadilan Inggris mengadili majalah Gay News, karena memuat puisi James Kirkup. Puisi itu dituduh menempatkan Jesus sebagai objek cinta. Undang-undang Blasphemy bukan satu-satunya cara. Pada 1976, sutradara Denmark, Jens Jorgen Thorsen, hendak membuat film The Many Faces of Jesus, di Inggris. Film itu bercerita tentang kehidupan seks Jesus. Reaksi keras bermunculan. Bukan cuma dari para aktivis Gereja, tapi dari Ratu Inggris, Perdana Menteri James Callagan, dan Uskup Agung Canterbury, Donald Coggan. Akhirnya, rencana itu pun hilang begitu saja. Ada lagi sejumlah peristiwa yang mirip. Salah satu, adalah kasus the Penguin, penerbit terkenal itu. Pada 1967, penerbit itu siap meluncurkan buku Massacre, ditulis Malcolm Muggeridge. Tiba-tiba, suatu malam, Allen Lane, sang pemilik, muncul ke gudang: seluruh buku yang sudah siap cetak ia bakar habis. Lane sebenarnya bukan aktivis Gereja. Tapi dia pusing karena mendapat protes dari kawan, langganan, dan kerabatnya, yang menuduh buku itu menghina Kristen, blasphemy. Yang menarik, the Penguin adalah juga penerbit the Satanic Verses. Inilah sikap sektarian dan standar ganda yang amat nyata dari orang Inggris itu. Massacre dibakarnya karena menghina Kristen, tapi the Satanic Verses yang menghina Islam tidak. Malah novel itu dan penulisnya dipromosikan besar-besaran dengan dalih kebebasan berkreasi, kebebasan berbicara, dan bla... bla... bla lainnya. Bagaimana Amerika, negara eksportir demokrasi itu? Di sini lebih seru, tapi caranya lebih canggih. Meski undang-undang blasphemy masih ada, dilihat dari beberapa kasus sempalan agama, ia tak digunakan. Tapi dicarikan delik pidana yang ancaman hukumannya lebih berat, semisal penggelapan pajak dan pemakaian senjata api. Di sini peran intelijen diperlukan. Sebutlah kasus bunuh diri massal aliran the Peoples Temple (Kuil Rakyat) yang dipimpin Pendeta Jim Jones, tamatan Indiana University di Bloomington, Indiana. Pada 1964, Jones membangun gereja sendiri di Indianapolis, dan mulai menyebarkan ajaran yang menekankan persamaan hak pada kulit hitam, dan keadilan sosial. Tak aneh bila jemaahnya kebanyakan orang hitam. Ia dan kelompoknya kemudian pindah ke Redwood Valley, California. Alasannya, untuk mencari daerah aman dari perang nuklir yang segera meletus. Pada waktu itu, memang perang dingin antara blok Barat pimpinan Amerika Serikat dan blok Timur pimpinan Uni Soviet, sedang menghangat. Perang nuklir menjadi ancaman. Ternyata pengikutnya tambah banyak, dan lama kelamaan meresahkan rezim, selain Gereja. Apalagi pendeta itu menggaku titisan Jesus. Pengusutan dilakukan. Ditemukanlah kasus pengelakan pajak. Karena pengusutan itu, Jim Jones dan ratusan pengikutnya 70% orang hitam pada 1977, pindah ke Guyana, negara yang terletak di tepi Samudera Atlantik, Amerika Latin. Itulah satu-satunya negeri berbahasa Inggris di kawasan berbahasa Spanyol itu. Di sana, di sebuah daerah terpencil, mereka membangun gereja dan pemukiman sendiri, yang dinamakan Jonestown, kota Jones. Mereka mengembangkan pertanian, menjalani kehidupan sesuai prinsip sosialisme ajaran Pendeta Jim Jones. Ternyata mereka tetap tak dibiarkan. Pada 15 November 1978, perkampungan terpencil itu didatangi anggota Kongres Leo Ryan, didampingi sejumlah wartawan dan anggota CIA. Mereka diutus Kongres sebagai misi pencari fakta dan sebenarnya diterima dengan baik oleh Pendeta Jones. Selama tiga hari di sana, Leo Ryan dan rombongan ternyata melakukan dakwah untuk menyadarkan anggota komunitas. Mereka berhasil mempengaruhi beberapa jemaah, tapi menimbulkan kemarahan jemaah lainnya. Rombongan melarikan diri ke lapangan terbang kecil, tempat pesawat terbang mereka diparkir. Namun mereka ditemukan kelompok jemaah yang marah, terjadilah tembak-menembak. Leo Ryan, beberapa anggota rombongannya, serta jemaah, tewas. Sementara itu, di tengah ketegangan suasana, Pendeta Jones memerintahkan seluruh komunitasnya melakukan bunuh diri dengan meminum racun sianida yang telah disiapkan. Selama ini, sang pendeta mengajarkan, hanya dengan bunuh diri mereka mencapai surga, selamat dari ancaman perang nuklir. Sungguh amat mengerikan. Hari itu, 908 jemaah Peoples Temple 276 di antaranya anak-anak mati bergeletakan di perkampungan, termasuk Pendeta Jim Jones. Peristiwa lain yang tak kurang mengerikan, kasus Pendeta David Koresh, pemimpin the Branch Davidian alias Sekte Cabang David di Mount Carmel, Waco, Texas. Pada 19 April 1993, pengepungan selama 51 hari oleh sekitar 75 anggota FBI polisi federal Amerika berakhir dengan hujan peluru di kompleks seluas 30 ha itu. Perumahan itu meledak dan terbakar habis, diduga karena sejenis tabung gas yang dilemparkan ke dalam rumah untuk mengusir penghuni ke luar. Pendeta David Koresh dan 80-an pengikutnya termasuk wanita dan 27 anak-anak -- hangus terbakar. Mayat pendeta itu baru bisa dikenali melalui pemeriksaan laboratorium. Mirip kasus Jim Jones, Pendeta Koresh dianggap mengajarkan Kristen menyimpang. Dia menggaku nabi yang mendapat wahyu dan bisa berbicara dengan Tuhan. Mirip pula dengan kelompok Jim Jones, FBI mengusut mereka karena kasus pidana, tentang senjata api gelap. Ketika itu sejumlah polisi mendatangi kompleks terpencil itu mengantarkan surat panggilan untuk sang nabi. Pengikutnya marah, merasa nabi mereka direndahkan polisi. Terjadi tembak-menembak, yang menggakibatkan beberapa jemaah dan polisi tewas. Sejak itulah kompleks Mount Carmel dikepung FBI. Peristiwa ini sempat lama menjadi perdebatan. FBI dianggap berlebihan, istilah krennya sekarang, melanggar HAM. Sejumlah buku, film dokumenter, dan tulisan koran diterbitkan. Pengadilan digelar. Tapi sampai sekarang tak satu polisi pun yang ditindak. Orang Amerika tampaknya tahu sama tahulah kenapa peristiwa itu terjadi. Tapi persis dua tahun kemudian, 19 April 1995, sebuah bom meledakkan gedung federal di Oklahoma City, merampas nyawa 168 orang tak bersalah termasuk perempuan dan anak-anak. Pelakunya, belakangan diketahui adalah Timothy McVeigh, orang kulit putih warga Amerika. Sebelumnya, karena prasangka rasial, polisi menangkap sejumlah orang Arab. Dari dalam sel tahanan, McVeigh menulis surat bahwa tindakan itu adalah pembalasan atas apa yang telah dilakukan pemerintah di Mount Carmel, Waco. Karena itu aksinya dilakukan 19 April, tepat pada hari Waco dibakar FBI. Di depan pengadilan, dia bungkem seribu bahasa. Hakim memintanya bicara sebelum dijatuhi hukuman mati. Dia menulis kutipan ini, ''Pemerintah punya pengaruh yang sangat besar, menjadi guru di mana-mana. Untuk baik dan jahat, ia mengajari semua orang dengan contoh perbuatannya'' (lihat Mahmood Mamdani, ''Good Muslim, Bad Muslim'', Three Leaves Press, 2005). Ia mau mengatakan, peristiwa Oklahoma hanya mencontoh perbuatan polisi di Mount Carmel. Syukurlah, berbagai peristiwa mengerikan di Amerika dalam kasus penyimpangan agama, belum pernah tejadi di sini. Seringkali malah aparat Pemerintah ragu-ragu bertindak karena pers arus utama selalu mendukung suara kaum Liberal. Padahal undang-undang sudah cukup jelas. Ujungnya, ummat yang marah terjebak main hakim sendiri. Mereka pun jadi korban kecaman kaum Liberal, disebar-luaskan pers yang senantiasa berpihak. [habis] * Penulis adalah mantan Redaktur GATRA dan TEMPO. Kini, bergabung dengan IPS (Institute for Policy Studies) Jakarta |
Never miss a thing. Make Yahoo your homepage.
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
.
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar