Ini juga bagus buat referensi...
MAFIA PERADILAN
oleh : Imam Nasima
Kata mafia mengandung konotasi negatif. Sayang, di
dalam kamus yang penulis gunakan (Kamus Umum Bahasa
Indonesia, W.J.S. Poerwadarminta, Balai Pustaka,
2002), kata itu sendiri tidak ada. Namun, menurut
hemat penulis, kata tersebut dapat dipadankan dengan
geng yang berarti "segerombolan orang-orang yang
melakukan kegiatan atau tindakan (biasanya yang
terlarang) bersama-sama"
peradilan diartikan sebagai "segala sesuatu mengenai
perkara pengadilan" yang merupakan turunan dari kata
adil yang berarti "(1) tidak berat sebelah; (2)
sepatutnya; tidak sewenang-wenang"
bahasa, mafia peradilan dapat dijabarkan sebagai
"segerombolan orang-orang yang melakukan kegiatan atau
tindakan (biasanya yang terlarang) bersama-sama dalam
proses penanganan perkara yang (semestinya) tidak
berat sebelah dan tidak sewenang-wenang"
Arti mafia peradilan dari segi bahasa, sejalan dengan
pandangan Komisi Pemantau Peradilan yang dalam siaran
persnya, mengutip hasil penelitian yang dilakukan
Indonesia Corruption Watch (ICW) pada tahun 2001-2002,
mengungkapkan bahwa telah ada pola kerja sama yang
melibatkan hampir seluruh pelaku di dunia peradilan,
mulai dari hakim, pengacara, jaksa, polisi, panitera
sampai karyawan dan tukang parkir di pengadilan,
dengan tujuan menghindari proses penanganan perkara
yang semestinya. Hal ini terjadi mulai dari pengadilan
negeri hingga MA.
Ketua KY, M. Busyro Muqoddas, mencoba untuk
menjabarkan mafia peradilan lebih lanjut lagi dari
bentuk-bentuk lahiriahnya. Menurutnya, ada empat
bentuk modus operandi mafia peradilan yang kerap
terjadi di peradilan Indonesia. Pertama, penundaan
pembacaan putusan oleh majelis hakim. Kedua,
manipulasi fakta hukum. Ketiga, manipulasi penerapan
peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai dengan
fakta hukum yang terungkap di persidangan. Modus
keempat atau yang terakhir, berupa pencarian peraturan
perundang-undangan oleh majelis hakim agar dakwaan
jaksa beralih ke pihak lain.
Semasa menjabat Ketua Muda Bidang Pengawasan MA
almarhum Gunanto Suryono mengatakan, bahwa modus
operasi mafia peradilan bisa berupa pengeluaran
putusan palsu atau fiktif. Dalam hal ini, meskipun ia
telah mengakui bahwa mafia peradilan itu ada, yaitu
dalam bentuk pembuatan putusan palsu atau fiktif,
namun ia ingin menegaskan bahwa pembuatan putusan
tersebut tidak melibatkan institusi MA secara resmi.
Meski begitu, tak jelas kapan sebuah putusan itu palsu
atau fiktif. Apa kriterianya? Sudahkah MA mencoba
untuk mengatasi permasalahan tersebut?
Sementara itu, reaksi Ketua MA dalam menanggapi hal
ini terdengar lebih keras lagi. Ketua MA, Bagir Manan,
menegaskan bahwa "Mafia Peradilan sebagai organized
crime tidak ada, yang ada adalah orang dalam maupun
luar peradilan yang melakukan perbuatan melawan
hukum." Di awal tulisan ini juga sudah dituturkan
bagaimana baru-baru ini pernyataan senada kembali
dilontarkan. Pernyataan tersebut, bisa saja dipahami
(meski belum tentu dapat diterima), karena wajar saja
apabila MA sebagai sebuah institusi, ingin menegaskan
bahwa institusi tersebut bukanlah "segerombolan
orang-orang yang melakukan kegiatan atau tindakan
bersama-sama"
sebuah kejahatan yang terorganisir. Bukankah justru MA
yang semestinya menetapkan apa yang boleh dan tidak
boleh? Apa jadinya kalau lembaga itu sendiri dianggap
sebagai sebuah kejahatan terorganisir? Tentu, para
pencari keadilan sendiri tidak bisa memungkiri
kebutuhan mereka akan adanya sebuah lembaga peradilan.
Bagaimanapun juga, keresahan yang timbul bersumber
pada keraguan berikut ini: sudah adakah usaha MA
sendiri untuk menindak mereka yang terlibat dalam apa
yang Ketua MA sendiri sebut sebagai "perbuatan melawan
hukum" tersebut?
Ketua MA, Bagir Manan, secara implisit telah
mengatakan bahwa telah ada tindakan yang diambil.
Meski begitu, penyelesaian tersebut terjadi di
belakang pintu. Alasan yang ia sampaikan: "Kalau saya
beri tahu (siapa orang-orang tersebut, red), bisa
dikatakan melanggar HAM nantinya. Yang pasti ada 16
hakim yang sudah kami beri sanksi terkait pelanggaran
kode etik hakim." Padahal, kalau kita mau jujur,
bukankah hak asasi (dalam hal ini penggunaan nama
anonim) mereka yang terlibat tersebut harus ditimbang
dengan kepentingan umum untuk menegakkan sistem
peradilan yang baik, dalam arti meraih kepercayaan
publik yang justru dibutuhkan oleh lembaga peradilan
kita saat ini? Kalaupun ada tindakan yang telah
diambil, nyatakan saja pada kasus-kasus seperti apa,
supaya jelas kondisi obyektif seperti apa yang jadi
batasan tindakan yang boleh dan tidak boleh. Kemudian,
kalau memang tindakan itu telah ada dan berpengaruh
pada proses perbaikan, bukankah akan dengan sendirinya
terbukti dari kinerja MA yang akan semakin membaik?
Lalu untuk apa memancing kontroversi tersebut? Akan
lebih baik dan elegan, penulis pikir, untuk mengakui
saja masih adanya permasalahan tersebut, serta
menegaskan bahwa MA sedang terus berusaha mengadakan
usaha-usaha perbaikan.
Dari paparan di atas, sedikit banyak dapat ditelusuri,
apa sebenarnya yang menjadi kendala. Pertama, harus
diakui telah ada kecenderungan KY untuk memasuki
wilayah kekuasaan hakim dalam memutus perkara, seperti
pendapat Ketua KY yang bisa kita lihat dari berita di
media massa selama ini. Mengapa? Barangkali karena
putusan hakim itulah yang akan membuat para praktisi
hukum dan pencari keadilan (pengguna) berminat untuk
turut andil dalam proses penegakan hukum dan tidak
terus menerus mengikuti jalur-jalur tertutup yang
melawan hukum. Seperti kita ketahui bersama, advokat
akan menimbang sejauh mana perubahan yang terjadi di
dalam tubuh lembaga peradilan akan berpengaruh pada
pekerjaannya dalam membela kepentingan klien-kliennya.
Sehingga, ketika belum ada kepastian akan perubahan
positif di lembaga peradilan, wajar apabila terjadi
kondisi di mana pihak yang satu berusaha menutupi
kesalahan pihak yang lain.
Pada akhirnya, praktek yang diterima komunitas hukum
dan berlaku secara nyata adalah praktek yang
menyimpang dari gambaran ideal sebuah proses peradilan
yang jujur. Selain itu, putusan itulah yang kemudian
menjadi media antara hakim yang memutus perkara dan
khalayak umum. Sebenarnya, bukan semata hasil akhirnya
atau amar putusan saja yang mesti dikomunikasikan,
namun, dasar-dasar alasan yang mendasari suatu putusan
tertentu itupun harus terus dikomunikasikan dengan
publik. Dalam situasi yang masih tertutup seperti saat
ini, memang dibutuhkan usaha berkesinambungan
mendorong keterbukaan penanganan perkara, agar ada
jaminan sebuah perkara diadili secara mandiri, tidak
berpihak dan obyektif. Jika demikian, Keadilan yang
dicerminkan oleh lembaga peradilan tersebut akan
mendongkrak kepercayaan publik pada lembaga peradilan
dengan sendirinya.
Meskipun maksud baik KY di atas bisa dipahami,
bagaimanapun juga harus tetap diingat bahwa hakim
semestinya tetap memiliki kebebasan penuh untuk
memutus perkara sesuai dengan keyakinan hukumnya. Ius
curia novit, pengadilan tahu apa yang adil (sesuai
hukum). Sementara itu, Komisi Yudisial bukanlah
lembaga kekuasaan kehakiman. Di sisi lain, bagi hakim
yang bersangkutan, doktrin hukum tersebut juga
mengandung arti bahwa hakim hanya dan hanya boleh
memutus berdasar pada keyakinan hukumnya. Tidak lebih,
tidak kurang. MK dalam putusannya (005/PUU-IV/
telah menggariskan:
"Kemerdekaan hakim tersebut bukan merupakan privilege
atau hak istimewa hakim, melainkan merupakan hak yang
melekat (indispensable right atau inherent right) pada
hakim dalam rangka menjamin pemenuhan hak asasi dari
warga negara untuk memperoleh peradilan yang bebas dan
tidak berpihak (fair trial),"
"Kemerdekaan juga berjalan seiring dengan
akuntabilitas yang diwujudkan dengan pengawasan."
"Kemerdekaan hakim di samping merupakan hak yang
melekat pada hakim sekaligus juga merupakan prasyarat
untuk terciptanya sikap tidak berpihak (impartial)
hakim dalam menjalankan tugas peradilan."
Artinya, keyakinan hukum hakim bersangkutan harus
diungkapkan melalui sebuah argumen terbuka sebagai
bentuk pertanggungjawaban. Sehingga tidak timbul
kecurigaan akan adanya faktor lain yang menentukan
putusan hakim. Idealnya, semua putusan peradilan
dipublikasikan dan terbuka untuk umum. Kalaupun ada
perkecualian, yaitu penanganan perkara yang dilakukan
di belakang pintu, maka harus dilihat dari kepentingan
untuk melindungi korban (seperti kasus perkosaaan atau
delik asusila), bukan dari sisi (nama baik) terdakwa.
Mengapa? Karena baik tidaknya reputasi si terdakwa
hanya dan hanya akan bergantung pada proses peradilan
yang terbuka. Keterbukaan ini, pada gilirannya nanti
akan berimbas pada pembentukan doktrin hukum (istilah
khas civil law untuk suatu pendapat hukum tetap) yang
akan meningkatkan adanya jaminan kepastian hukum.
Publikasi putusan akan membuka ruang bagi lahirnya
dukungan, maupun kritik dari dunia akademis. Bukankah
dengan begitu akan terjadi peningkatan kualitas
sarjana-sarjana hukum di Indonesia?
Kalau ada usaha mempertahankan independensi atau
kemerdekaan hakim yang diidealkan oleh para hakim
(lihat juga pendapat IKAHI dalam pembahasan perubahan
UU Bidang Peradilan), semestinya dihubungkan pula
dengan adanya keterbukaan proses peradilan. Semakin
terbuka suatu proses peradilan, semakin wajar untuk
menuntut adanya 'kemerdekaan' hakim. Karena, seperti
diuraikan oleh MK, kemerdekaan hakim merupakan hak
yang melekat pada kewajiban untuk menyelenggarakan
peradilan yang bebas dan tak berpihak. Bukankah
penyandang fungsi hakim (secara pribadi) itu sendiri
ingin diberlakukan jujur dan adil pula oleh lembaga
peradilan, ketika dirinya suatu saat menjadi pihak
atau terdakwa dalam suatu perkara? Peradilan seperti
ini akan tercipta, apabila tiap-tiap pihak
bersangkutan memiliki kesempatan yang setara untuk
turut andil dalam proses penemuan keadilan, serta
mendapatkan putusan yang disertai dasar-dasar alasan
yang terbuka.
Kedua, apabila memang terdapat 'oknum-oknum' tertentu
yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam menangani
perkara seperti selama ini ditengarai terjadi, belum
jelas seperti apa, terhadap siapa dan terutama atas
dasar apa, tindakan yang diambil oleh MA. Hal-hal
tersebutlah yang kemudian semakin memperkuat isu mafia
peradilan di Indonesia, sekaligus mempertajam 'tekanan
politik' pada lembaga peradilan secara umum.
POLITIK HUKUM DAN KEYAKINAN HUKUM
Perdebatan mengenai kekuasaan hakim (politik hukum),
yaitu sakral tidaknya putusan hakim, setelah sempat
menghampiri meja hakim-hakim konstitusi, juga telah
memasuki ruangan pembuat undang-undang dalam proses
perubahan UU Bidang Peradilan. Inti permasalahan itu
sendiri, sebenarnya masih berkisar pada fungsi
pengawasan internal dalam tubuh MA yang (dianggap)
tidak berjalan, serta masih belum jelas dan pastinya
proses penanganan suatu perkara di pengadilan. Sejauh
ini, lembaga KY diharapkan dapat mendukung proses
perbaikan di tubuh MA itu. Dan kebetulan, ada beberapa
kasus yang beberapa tahun belakangan ini sempat
menyeruak di media, yaitu mengenai kasus suap
Probosutedjo yang (kebetulan pula) membutuhkan
kesaksian Bagir Manan, serta tafsir atas aturan UU
Tipikor dalam kasus Neloe oleh hakim PN Jaksel. Kasus
Neloe sendiri di mana putusan PN Jaksel memicu
kontroversi, pada akhirnya telah diputus berbeda oleh
MA.
Pendeknya, pertanyaan yang mengemuka: kapan sebuah
putusan bisa dianggap mengandung keyakinan hukum,
sehingga mesti disakralkan dan tidak bisa disentuh
oleh satu sistem pengawasan di luar kekuasaan
kehakiman? Sebenarnya, pertanyaan ini sangat penting
untuk dijawab, mengingat (1) hakim (lembaga peradilan)
adalah pemegang kekuasaan tunggal dalam memutus
perkara, tetapi, (2) kekuasaan tersebut bukanlah
kekuasaan yang tak terbatas. Ada kaedah-kaedah
obyektif yang menjadi (bahkan, idealnya, merupakan
satu-satunya) patokan dalam memutus sebuah perkara.
Meskipun hakim memiliki kekuasaan penuh, namun
kekuasaan tersebut semestinya tidak lepas dari
keyakinan hukum tertentu (lihat juga Paul Scholten,
Algemeen Deel I, 1931).
Untuk mengetahui ada tidaknya keyakinan hukum yang
dijadikan dasar suatu putusan, tentu harus kita lihat
juga putusan tersebut. Sehingga pertanyaan
selanjutnya, bolehkah KY ikut menilai putusan
tersebut. Pada dasarnya, jawaban pertanyaan tersebut
adalah tidak, mengingat fungsi pembentukan
yurisprudensi hanya ada di tangan MA. Namun, dalam
kondisi anomali seperti yang terjadi saat ini, di mana
putusan-putusan perkara belum dipublikasikan secara
luas, tentu ada perkecualian. Sebastiaan Pompe pernah
menyebutkan, bahwa meskipun isi putusan tidak dapat
diganggu gugat, idealnya, bukan tidak mungkin KY
diperbolehkan menggunakan putusan sebagai bukti adanya
indikasi penyimpangan.
PERADILAN SEBAGAI PROSES YANG JUJUR
Peradilan, seperti sudah disebutkan tadi, mengandung
arti "segala sesuatu mengenai perkara pengadilan",
yang merupakan turunan dari kata adil yang berarti
"(1) tidak berat sebelah; (2) sepatutnya; tidak
sewenang-wenang"
saja, sebuah sistem peradilan yang ideal
sekurang-kurangnya harus memenuhi syarat (1)
netralitas atau ketidakberpihakan dan/atau (2)
dasar-dasar pertimbangan yang patut.
Pada dasarnya, memang selalu ada dua pihak (atau
lebih) yang berselisih dalam suatu perkara pengadilan.
Dalam perkara pidana atau permohonan sekalipun, bukan
berarti penjatuhan hukuman atau pengakuan hak hanya
menyangkut satu pihak saja. Pengakuan hak pada satu
pihak atau dijatuhkannya sanksi, sejatinya juga akan
menyangkut kepentingan-
yang (secara obyektif) terkait dengan pengakuan atau
penetapan sanksi tersebut. Dilimpahkannya suatu hak
atau dijatuhkannya suatu hukuman harus didasari dengan
dasar-dasar pertimbangan patut yang mengacu pada
kriteria-kriteria obyektif tertentu yang berlaku
secara umum. Sementara itu, ketika suatu hak dicabut
atau seorang terdakwa dibebaskan dari tuntutan, juga
mesti ada dasar-dasar pertimbangan yang juga akan
berlaku bagi pemegang hak atau (calon) terdakwa lain
dalam kasus serupa. Di titik ini, terkandung hubungan
timbal balik, yaitu kriteria-kriteria obyektif yang,
tanpa kecuali, akan merekatkan kepentingan semua
orang, termasuk hakim yang menjatuhkan putusan itu
sendiri. Kriteria-kriteria obyektif ini, hanya akan
bisa disampaikan kepada semua orang, ketika ada sebuah
proses peradilan yang terbuka. Keterbukaan itu
nantinya akan mencerminkan kejujuran dari
penyelenggara peradilan.
Dari sini saja, sebenarnya bisa kita lihat norma
penguji mutlak seperti apa yang harus dipenuhi oleh
seorang hakim dalam memutus perkara, yaitu adanya
proses yang jujur. Nilai mutlak tersebut, tidak bisa
tidak, harus selalu dipenuhi, lepas dari penilaian
hakim atas muatan perkara itu nantinya seperti apa.
Dengan begitu, sebenarnya perkara pengadilan akan
dapat kita kaji dari dua sudut pandang (1)
dijalankannya proses-proses tertentu secara jujur dan
(2) penilaian menyangkut kebenaran di dalam perkara
tersebut (lihat juga John Rawls, Justice as Fairness,
Philosophical Review Vol. LXVII, 1958, 164-194).
Untuk poin ke 2 atau tafsiran kebenaran, memang pada
akhirnya hanya dan hanya ditentukan oleh penilaian
hakim saja. Hakim sejatinya memiliki kemerdekaan untuk
menentukan bagaimana dirinya menilai bukti, memilah
peraturan perundangan yang relevan, serta menafsirkan
dan menerapkan aturan tersebut. Bukankah pada waktu
sebuah perkara dibawa ke pengadilan sudah ada
pengakuan akan kewenangan hakim untuk menemukan
kebenaran dalam perkara tersebut? Untuk masalah ini,
di negara-negara maju sekalipun, masih saja ada
perdebatan terbuka mengenai argumen hukum hakim
bersangkutan. Belum tentu apa yang diputuskan hakim
berdasar keyakinan hukumnya dapat diterima semua
orang. Itu wajar. Namun, itu menyangkut pilihan,
tafsir, serta penerapan satu peraturan tertentu dengan
menimbang kondisi-kondisi obyektif suatu perkara yang
diungkapkan secara gamblang. Pencari keadilan pun
harus menyadari perlunya penyelesaian sengketa.
Bagaimanapun juga, adanya proses peradilan yang
terbuka, dapat menghapus faktor-faktor non-yuridis
yang (diduga) ikut berperan. Benar salahnya seseorang
akan ditentukan oleh kondisi obyektif perkara itu
sendiri. Hal tersebut sudah mulai bisa kita lihat
dalam perdebatan-perdebat
putusan-putusan MK. Ditolaknya permohonan pengujian UU
Pemilu Presiden yang diajukan Gus Dur, misalnya, tetap
membuat kuasa hukum pemohon, Syaiful Anwar, merasa
dihargai dan dihormati, meski permohonannya ditolak.
Mungkin dirinya tetap saja memiliki pendapat-pendapat
yang berbeda, namun, yang jelas dirinya tak lagi
menyangsikan netralitas MK.
Untuk kasus 'mafia peradilan' di Indonesia, masalah
yang dihadapi sebenarnya lebih menyangkut pada apa
yang terkandung di dalam poin ke-1. Sudah adakah
jaminan akan proses yang jujur atau, meminjam istilah
yang dipakai oleh MK, peradilan yang bebas dan tidak
berpihak (fair trial) bagi pihak-pihak yang bertikai
berdasar pada landasan obyektif yang berlaku umum?
Masalah inilah yang sebenarnya membuat para pemerhati
dan pegiat hukum dibuat gerah dan frustasi dalam
mencari keadilan.
PEMBENAHAN PROSES PENANGANAN PERKARA
Untuk perbaikan ke depannya, tidak dipenuhinya poin
ke-1 (proses yang jujur) di atas dapat dijadikan
patokan kemungkinan adanya "kondisi yang sangat
ekstrim" yang dapat dijadikan bukti oleh KY untuk
melakukan pemeriksaan lebih lanjut lagi. Tentu, masih
mesti dilihat lagi seberapa serius pelanggaran atas
syarat-syarat adanya peradilan yang bebas dan tidak
berpihak, dalam kasus-kasus nyata. Dalam hal ini, KY
di satu sisi harus tetap berusaha menghindari
intervensi atas pendapat hukum hakim bersangkutan,
namun, di sisi lain juga terus berusaha membantu
menegakkan proses peradilan yang jujur.
Untuk mewujudkan hal tersebut di atas, KY perlu
melakukan kerja sama dengan MA. Tujuan KY adalah ikut
memecahkan permasalahan internal yang dihadapi MA,
bukan untuk menjadi kekuasaan kehakiman tandingan.
Semakin politis tekanan yang diberikan KY, maka akan
semakin defensif lembaga MA. Akibat paling parah, kita
akan dihadapkan pada pilihan antara MA dan KY yang
sebenarnya tidak perlu. Bagaimanapun juga, mustahil
peradilan yang jujur dapat diwujudkan tanpa inisiatif
dan peran serta MA.
Karenanya, selain mempublikasikan putusan, idealnya MA
juga membentuk sebuah majelis kehormatan yang
melibatkan KY dalam memeriksa hakim yang dicurigai
telah melakukan penyelewengan fungsi dan
kewenangannya. Ide tersebut sebenarnya telah masuk ke
meja DPR. Meski begitu, sebelumnya harus ada
kesepakatan antara MA dan KY mengenai dasar-dasar
obyektif yang jadi patokan bersama dalam melakukan
fungsi pengawasan seperti ini, sehingga pertikaian
dapat dihindari berdasar pada kesepakatan tersebut.
Ini akan memperkecil resiko benturan politis di antara
dua lembaga tersebut. Barangkali, "kondisi yang sangat
ekstrim" yang telah penulis sebutkan tadi, bisa
dijadikan sebagai patokan seperti itu.
Bukan tidak mungkin, apabila majelis seperti itu ada
dengan syarat adanya kriteria-kriteria obyektif tadi,
akan ada perubahan yang semakin berarti di dalam tubuh
MA. Bukankah institusi MA sendiri akan berpikir dua
kali untuk menjaga citranya di mata publik dengan
tidak meremehkan fungsi pengawasan internal yang
melibatkan KY tersebut? Di sisi lain, apabila
peradilan yang jujur terwujud, maka publik sendiri
akan dapat menilai apa yang menjadi dasar-dasar
putusan hakim. Semakin bijak argumen-argumen yang
dikemukakan oleh hakim, maka semakin tinggi pula
tingkat kepercayaan publik.
Perlu untuk diingat, akibat dari belum adanya jaminan
akan proses peradilan yang jujur, kekuasaan hakim
terus menerus mendapat tekanan. Karena hal ini
menyangkut kekuasaan, maka tak heran apabila reaksi
yang timbul sangat berbau politis. Kondisi ini juga
berpengaruh negatif pada komunitas hukum di Indonesia.
Kecurigaan, perselisihan, bahkan pertikaian di dalam
dunia hukum yang semestinya bersih dan penuh rasa
percaya, telah menjadi hal yang begitu lazim. Bila di
puncaknya saja terjadi konflik, maka tidak
mengherankan bila pada tataran bawah juga berlangsung
proses dialog yang tidak sehat. Patut pula
digarisbawahi, citra dunia litigasi di Indonesia masih
jauh dari cerminan nilai kebaikan, keadilan dan
kebenaran yang diidealkan oleh para pencari keadilan,
bahkan di mata para sarjana hukum sendiri sekalipun.
Kepercayaan publik pada dunia litigasi, pendek kata,
telah mencapai titik yang sangat mengkhawatirkan.
Jika setiap ketua MA menghendaki perubahan penulis
yakin Ketua MA saat ini, Bagir Manan, sendiri sudah
muak dengan cap 'mafia peradilan', bukankah ada
baiknya sesegera mungkin mewujudkan proses peradilan
yang jujur dengan bantuan KY? Sehingga, pada akhirnya
nanti ungkapan 'mafia peradilan' yang selama ini
dirasa sebagai cacian atau hinaan akan hilang dengan
sendirinya, bukan karena usaha untuk menutup-nutupi
permasalahan kelembagaan yang dihadapi MA. Di sisi
lain, KY juga perlu memahami betapa ruwetnya
permasalahan MA. Hanya dengan mengganti hakim, tentu
tidak akan menyelesaikan masalah begitu saja. Komentar
Ketua MK, Jimmly Asshiddiqie, layak untuk disimak
bersama: "Biarkan pikiran kritis menjadi lebih baik,
apabila menuju atau ada agenda ke depan yang lebih
baik. Untuk itu juga perlu disikapi secara sabar,
terbuka, jujur pada diri sendiri."
____________
Never miss a thing. Make Yahoo your home page.
http://www.yahoo.
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar