Minggu, 23 Desember 2007

Re: [psikologi_transformatif] PERANG JIHAD DALAM BUDDHISME DAN ISLAM: Mitos Shambhala

hahahahah.....hahahahahah........hahahahaha....... para biksu lagi demo menentang kebijakan kenaikan harga "BBM" yg mengakibatkan kenaikan harga termasuk kain biksu.. tetapi apa yg terjadi...??? pemerintah junta menindas para biksu yg demo dan akibatnya dunia internasional menekan pemerintah nyammar dengan memberikan sanksi yg justru menambah kemiskinan rakyat jelata...

dunia heran sebab selama ini para biksu menghabiskan waktunya dikuil dan tidak mau tau dengan masalah2 duniawi apalagi politik...jadi kalau biksu demo atau dipukul itu sudah kelewat parah kejamnya....

tahukah anda bahwa sebelum kenaikan harga "BBM" siapa yg menekan dan yg paling ingin agar nyammar di hukum (sanksi) dan diisolasi...?? dan mata uang siapa yg dijadikan patokan menyangkut harga minyak dunia...??

jadi dosa siapakah...??? apakah dosa para biksu yg baru hari ini "banyak tingkah" sehingga junta militer sudah kuat dan menjadi diktator dinegara...??? kenapa kagak dari dulu bersama syu khi melawan junta militer...??? ataukah dosa bangsa barat yg dipelopori oleh amerika yg mengisolasi nyammar sehingga meanciptakan kesenjangan ekonomi...??? ataukah dosa biksu lagi yg hanya bisa baca kitab suci dan ngajarin cara meditasi tanpa bisa menjadi seeorang ekonom atau politis partai...??? ataukah dosa junta militer..???

jika kesalahan/dosa bukan pada "junta militer" maka konsekwensi yg harus ada adalah adanya "karma" untuk para biksu... dan akibat dari adanya "karma" adalah adanya "reinkarnasi"... dan akibat dari reinkarnasi adalah "adanya kehidupan" dan  "tidak mencapainya seseorang ke nirwana".......

"mendiamkan kezaliman sama dengan melakukan kezaliman" (nabi Muhammad SAWW)



jadi jika seorang sidharta masih dipandang sebagai sang budha yg tetinggi.. maka sebaiknya umat budha secara umum dan khususnya para biksu mendalami hakikat mengapa sidharta memilih untuk meninggalkan istana dengan kepimpinan negara dan keluarganya menjadi seorang "pertapa"...

seorang nabi Muhammad (islam) adalah seorang spritual yg mau kebahagiaan dunia dan akhirat...

sedangkan seorang sidharta hanya ingin menginginkan nirwana saja (sebab kehidupan sejatinya adalah samsara/penderitaan)......

ada dunia dalam maka tentu ada dunia luar... ada jihad melawan hawa nafsu dan ada jihad melawan kejahilan... jadi manusia harus logis aja jadi manusia...

jadi budha adalah agama invidualistik...

sedangkan islam adalah agama yg menekankan individu dan sosial
"dirikan shalat dan tunaikan zakat"


Hudoyo Hupudio <hudoyo@cbn.net.id> wrote:

[Artikel ini saya ambil dari situs terkenal dan terhormat tentang Buddhisme Tibet: The Berzin Archives,
http://www.berzinarchives.com/web/en/archives/advanced/kalachakra/relation_islam_hinduism/holy_wars_buddhism_islam/holy_war_buddhism_islam_shambhala_long.html
Ringkasan & Kesimpulannya saya terjemahkan./hudoyo]

HOLY WARS IN BUDDHISM AND ISLAM:
THE MYTH OF SHAMBHALA

(Full Version)

Alexander Berzin
November 2001, revised December 2006

RINGKASAN

Sering kali, ketika orang berpikir tentang konsep jihad atau perang suci Muslim, mereka menghubungkannya dengan konotasi negatif tentang suatu peperangan yang berdasarkan rasa-benar-sendiri, yang menghancurkan demi balas dendam atas nama Tuhan untuk memaksa orang masuk agama sendiri. Mereka mungkin mengakui bahwa Kristen pun mempunyai padanan hal itu dengan Perang-Perang Salib mereka, tetapi biasanya tidak melihat ada yang mirip seperti itu dalam Buddhisme. Bagaimana pun juga, kata mereka, Buddhisme adalah agama damai dan tidak punya istilah teknis mengenai 'perang jihad'.

Namun, suatu penelitian yang mendalam tentang kitab-kitab suci Buddhis, khususnya literatur Kalachakra Tantra, mengungkapkan adanya pertempuran di tingkat eksternal dan internal yang dengan mudah dapat disebut "perang jihad". Suatu penelitian tanpa-bias tentang Islam juga mengungkapkan hal yang sama. Dalam kedua agama itu, para pemimpinnya dapat memanfaatkan dimensi-dimensi eksternal dari perang jihad untuk keuntungan politis, ekonomis, atau pribadi, dengan menggunakannya untuk mengobarkan semangat pasukan mereka dalam pertempuran. Contoh-contoh historis dalam hal Islam cukup dikenal, tetapi hendaknya kita jangan silau tentang Buddhisme dan mengira agama itu bebas dari fenomena ini. Namun, dalam kedua agama itu, tekanan pokoknya adalah pada pertempuran spiritual di-dalam melawan kegelapan batin kita sendiri dan tindak-tanduk kita yang destruktif.

[Summary

Often, when people think of the Muslim concept of jihad or holy war, they associate with it the negative connotation of a self-righteous campaign of vengeful destruction in the name of God to convert others by force. They may acknowledge that Christianity had an equivalent with the Crusades, but do not usually view Buddhism as having anything similar. After all, they say, Buddhism is a religion of peace and does not have the technical term holy war.

A careful examination of the Buddhist texts, however, particularly The Kalachakra Tantra literature, reveals both external and internal levels of battle that could easily be called "holy wars." An unbiased study of Islam reveals the same. In both religions, leaders may exploit the external dimensions of holy war for political, economic, or personal gain, by using it to rouse their troops to battle. Historical examples regarding Islam are well known; but one must not be rosy-eyed about Buddhism and think that it has been immune to this phenomenon. Nevertheless, in both religions, the main emphasis is on the internal spiritual battle against one's own ignorance and destructive ways.]

Analysis

Military Imagery in Buddhism

Shakyamuni Buddha was born into the Indian warrior caste and often used military imagery to describe the spiritual journey. He was the Triumphant One, who defeated the demonic forces (mara) of unawareness, distorted views, disturbing emotions, and impulsive karmic behavior. The eighth-century CE Indian Buddhist master Shantideva employs the metaphor of war repeatedly throughout Engaging in Bodhisattva Behavior: the real enemies to defeat are the disturbing emotions and attitudes that lie hidden in the mind. The Tibetans translate the Sanskrit term arhat, a liberated being, as foe-destroyer, someone who has destroyed the inner foes. From these examples, it would appear that in Buddhism, the call for a "holy war" is purely an internal spiritual matter. The Kalachakra Tantra, however, reveals an additional external dimension.

The Legend of Shambhala

According to tradition, Buddha taught The Kalachakra Tantra in Andhra, South India, in 880 BCE, to the visiting King of Shambhala, Suchandra, and his entourage. King Suchandra brought the teachings back to his northern land, where they have flourished ever since. Shambhala is a human realm, not a Buddhist pure land, where all conditions are conducive for Kalachakra practice. Although an actual location on earth may represent it, His Holiness the Fourteenth Dalai Lama explains that Shambhala exists purely as a spiritual realm. Despite the traditional literature describing the physical journey there, the only way to reach it is by intense Kalachakra meditation practice.

Seven generations of kings after Suchandra, in 176 BCE, King Manjushri Yashas gathered the religious leaders of Shambhala, specifically the brahman wise men, to give them predictions and a warning. Eight hundred years in the future, namely in 624 CE, a non-Indic religion will arise in Mecca. Because of a lack of unity among the brahmans' people and laxity in following correctly the injunctions of their Vedic scriptures, many will accept this religion, far in the future, when its leaders threaten an invasion. To prevent this danger, Manjushri Yashas united the people of Shambhala into a single "vajra-caste" by conferring upon them the Kalachakra empowerment. By his act, the king became the First Kalki ­ the First Holder of the Caste. He then composed The Abridged Kalachakra Tantra, which is the version of The Kalachakra Tantra that is presently extant.

The Non-Indic Invaders

As the founding of Islam dates from in 622 CE, two years before Kalachakra's predicted date, most scholars identify the non-Indic religion with that faith. Descriptions of the religion elsewhere in the Kalachakra texts as having the slaughter of cattle while reciting the name of its god, circumcision, veiled women, and prayer five times a day facing its holy land reinforce their conclusion.

The Sanskrit term for non-Indic here is mleccha (Tib. lalo), meaning someone who speaks incomprehensibly in a non-Sanskrit tongue. Hindus and Buddhists alike have applied it to all foreign invaders of North India, starting with the Macedonians and Greeks at the time of Alexander the Great. The other major Sanskrit term used is tayi, which derives from the Persian term for Arabs, used, for instance, in reference to the Arab invaders of Iran in the mid-seventh century CE.

The First Kalki further described the future non-Indic religion as having a line of eight great teachers: Adam, Noah, Abraham, Moses, Jesus, Mani, Muhammad, and Mahdi. Muhammad will come to Baghdad in the land of Mecca. This passage helps to identify the invaders within the Islamic community.

Muhammad lived between 570 and 632 CE in Arabia. Baghdad, however, was built only in 762 CE as the capital of the Arab Abbasid Caliphate (750 ­ 1258 CE).

Mani was a third-century Persian who founded an eclectic religion, Manichaeism, which like the earlier Iranian religion Zoroastrianism, emphasized a struggle between the forces of good and evil. Within Islam, he would have been accepted perhaps as a prophet ­ although it is not clear that he ever was ­ only by the heretical Manichaean Islamic sect found among some officials in the early Abbasid court in Baghdad. The Abbasid caliphs severely persecuted its followers.

Buddhist scholars from present-day Afghanistan and the Indian subcontinent worked in Baghdad during the latter part of the eighth century CE, translating Sanskrit texts into Arabic.

Mahdi will be a future ruler (imam), descendent from Muhammad, who will lead the faithful to Jerusalem, restore Quranic law and order, and unite the followers of Islam in a single political state before the apocalypse that ends the world. He is the Islamic equivalent of a messiah. The concept of Mahdi became prominent only during the early Abbasid period, with three claimants to the title: a caliph, a rival in Mecca, and a martyr, in whose name an anti-Abbasid rebellion was led. The full concept of Mahdi as a messiah, however, did not appear until the end of the ninth century CE.

The Ismaili Shia list of the prophets is the same as that found in Kalachakra, only minus Mani. The Ismailis are the only Islamic sect that asserts Mahdi as a prophet.

Ismaili Shia was the official sect of Islam followed in Multan (present-day northern Sindh, Pakistan) during the second half of the tenth century. Multan was an ally of the Ismaili Fatimid Empire centered in Egypt and challenging the Abbasids for supremacy over the Islamic world.

From this evidence, we may postulate that the Kalachakra description of the non-Indic invaders was based on the Ismailis of Multan in the late tenth century CE, mixed with some aspects of the Manichaean Muslims of the late eighth century. The compilers of this description would most likely have been Buddhist masters living under Hindu Shahi rule in eastern Afghanistan and Oddiyana (Swat Valley, present-day northwestern Pakistan). Buddhist monasteries in the Kabul region of Afghanistan, such as Subahar, had architectural motifs similar to those in the Kalachakra mandala. Oddiyana was one of the main regions in which Buddhist tantra developed. Moreover, Oddiyana had close contact with Kashmir, where both Buddhist and Hindu Shaivite tantra flourished. A major Buddhist pilgrimage route connected the two. Thus, we must look to Buddhist-Muslim relations in eastern Afghanistan, Oddiyana, and Kashmir during the Abbasid period to understand the context of its teachings on history and holy wars.

[For further detail, see: The Kalachakra Presentation of the Prophets of the Non-Indic Invaders: Full Analysis.]

The Prophesy of an Apocalyptic War

The First Kalki predicted that the followers of the non-Indic religion will some day rule India. From their capital in Delhi, their king Krinmati will attempt the conquest of Shambhala in 2424 CE. The commentaries suggest that Krinmati will be recognized as the messiah Mahdi. The Twenty-fifth Kalki, Raudrachakrin, will then invade India and defeat the non-Indics in a great war. His victory will mark the end of the kaliyuga ­ "the age of disputes," during which Dharma practice will degenerate. Afterwards, a new golden age will follow during which the teachings will flourish, especially those of Kala­chakra.

The idea of a war between the forces of good and evil, ending with an apocalyptic battle led by a messiah, first appeared in Zoroastrianism, founded in the sixth century BCE, several decades before Buddha was born. It entered Judaism some time between the second century BCE and the second century CE. Subsequently, it made its way into early Christianity and Manichaeism, and later into Islam.

A variation of the apocalyptic theme also appeared in Hinduism, in The Vishnu Purana, dated approximately the fourth century CE. It relates that at the end of the kaliyuga, Vishnu will appear in his final incarnation as Kalki, taking birth in the village of Shambhala as the son of the brahman Vishnu Yashas. He will defeat the non-Indics of the time who follow a path of destruction and will reawaken the minds of the people. Afterwards, in keeping with the Indian concept of cyclical time, a new golden age will follow, rather than a final judgment and the end of the world as in the non-Indic versions of the theme. It is difficult to establish whether The Vishnu Purana account derived from foreign influences and was adapted to the Indian mentality, or arose independently.

In keeping with Buddha's skillful means of teaching with terms and concepts familiar to his audience, The Kalachakra Tantra also uses the names and images from The Vishnu Purana. Its stated audience, after all, was primarily educated brahmans. The names not only include Shambhala, Kalki, the kaliyuga, and a variant of Vishnu Yashas, Manjushri Yashas, but also the same term mleccha for the non-Indics bent on destruction. In the Kalachakra version, however, the war has a symbolic meaning.

The Symbolic Meaning of the War

In The Abridged Kalachakra Tantra, Manjushri Yashas explains that the fight with the non-Indic people of Mecca is not an actual war, since the real battle is within the body. The fifteenth-century CE Gelug commentator Kaydrubjey elaborates that Manjushri Yashas's words do not suggest an actual campaign to kill the followers of the non-Indic religion. The First Kalki's intention in describing the details of the war was to provide a metaphor for the inner battle of deep blissful awareness of voidness against unawareness and destructive behavior.

Manjushri Yashas clearly enumerates the hidden symbolism. Raudrachakrin represents the " mind-vajra," namely the clear light subtlest mind. Shambhala represents the state of great bliss in which the mind-vajra abides. Being a Kalki means that mind-vajra has the perfect level of deep awareness, namely simultaneously arising voidness and bliss. Raudrachakrin's two generals, Rudra and Hanuman, stand for the two supporting kinds of deep awareness, that of the pratyekabuddhas and of the shravakas. The twelve Hindu gods who help win the war represent the cessation of the twelve links of dependent arising and of the twelve daily shifts of the karmic breaths. The links and the shifts both describe the mechanism perpetuating samsara. The four divisions of Raudrachakrin's army represent the purest levels of the four immeasurable attitudes of love, compassion, joy, and equality.

The non-Indic forces that Raudrachakrin and the divisions of his army defeat represent the minds of negative karmic forces. Muhammad represents the pathway of destructive behavior. The horse on which Mahdi rides symbolizes unawareness of behavioral cause and effect and of voidness. Mahdi's four army divisions stand for hatred, malice, resentment, and prejudice, the exact opposites of the Shambhala armed forces. Raudrachakrin's victory represents the attainment of the path to liberation and enlightenment.

The Buddhist Didactic Method

Despite textual disclaimers of calling for an actual holy war, the implication here that Islam is a cruel religion, characterized by hatred, malice, and destructive behavior, can easily be used as evidence to support that Buddhism is anti-Muslim. Although some Buddhists of the past may in fact have had this bias and some Buddhists of today may likewise hold a sectarian view, one may also draw a different conclusion in light of one of the Mahayana Buddhist didactic methods.

For example, Mahayana texts present certain views as characterizing Hinayana Buddhism, such as selfishly working for one's liberation alone, without regard for helping others. After all, the stated goal of Hinayana practitioners is self-liberation, not enlightenment for the sake of benefiting everyone. Although such description of Hinayana has led to prejudice, an educated objective study of Hinayana schools, such as Theravada, reveals a prominent role of meditation on love and compassion. One might conclude that Mahayana was simply ignorant of the actual Hinayana teachings. Alternatively, one might recognize that Mahayana is using here the method in Buddhist logic of taking positions to their absurd conclusions in order to help people avoid extremist views. The intention of this prasangika method is to caution practitioners to avoid the extreme of selfishness.

The same analysis applies to the Mahayana presentations of the six schools of medieval Hindu and Jain philosophies. It also applies to each of the Tibetan Buddhist traditions' presentations of the views of each other and the views of the native Tibetan Bon tradition. None of these presentations gives an accurate depiction. Each exaggerates and distorts certain features of the others to illustrate various points. The same is true of the Kalachakra assertions about the cruelty of Islam and its potential threat. Although Buddhist teachers may claim that the prasangika method here of using Islam to illustrate spiritual danger is a skillful means, one might also argue that it is grossly lacking in diplomacy, especially in modern times.

The use of Islam to represent destructive threatening forces, however, is understandable when examined in the context of the early Abbasid period in the Kabul region of eastern Afghanistan.

[As background for this discussion, see: Historical Sketch of Buddhism and Islam in Afghanistan. See also: The Historical Interaction between the Buddhist and Islamic Cultures before the Mongol Empire, Part III, Chapter 10.]

Buddhist-Islamic Relations during the Abbasid Period

At the start of the period, the Abbasids ruled Bactria (northern Afghanistan), where they allowed the local Buddhists, Hindus, and Zoroastrians to keep their religions if they paid a poll tax. Many, however, voluntarily accepted Islam, especially among the landowners and the educated upper urban classes. Its high culture was more accessible than their own and they could avoid paying the heavy tax. The Turki Shahis, allied with the Tibetans, ruled Kabul, where Buddhism and Hinduism were flourishing. The Buddhist rulers and spiritual leaders might easily have worried that a similar phenomenon, conversion out of convenience, would happen there.

The Turki Shahis ruled the region until 870 CE, losing control of it only between 815 and 819. During those four years, the Abbasid Caliph al-Mamun invaded Kabul and forced the ruling shah to submit to him and accept Islam. To represent his submission, the Kabul Shah presented the Caliph, as a gift, a gold Buddha statue from Subahar Monastery. As a sign of the triumph of Islam, Caliph al-Mamun sent the enormous statue, with its silver throne and jeweled crown, to Mecca and displayed it there at the Kaaba for two years. In doing so, the caliph was demonstrating his authority to rule the entire Islamic world after vanquishing his brother in a civil war. He did not force all the Buddhists of Kabul to convert, however, nor did he destroy the monasteries. He did not even smash, as an idol, the Buddha statue that the Kabul Shah had presented him, but sent it instead to Mecca as booty. After the Abbasid army withdrew to fight against movements for autonomy in other parts of their empire, the Buddhist monasteries quickly recovered.

The next period in which the Kabul region came under Islamic rule was also short, between 870 and 879 CE. It was conquered by the Saffarad rulers of an autonomous military state, remembered for its harshness and destruction of local cultures. The conquerors sent many Buddhist "idols" back as war trophies to the Abbasid caliph. When the successors to the Turki Shahis, the Hindu Shahis, retook the region, Buddhism and the monasteries once more recovered their previous splendor.

The Turkic Ghaznavids conquered eastern Afghanistan from the Hindu Shahis in 976 CE, but did not destroy the Buddhist monasteries there. As vassals of the Abbasids, the Ghaznavids too were strict followers of Sunni Islam. Although they tolerated Buddhism and Hinduism in eastern Afghanistan, their second ruler, Mahmud of Ghazni, launched a campaign against the Abbasid rivals, the Ismaili state of Multan. Mahmud conquered Multan in 1008 CE, driving the Hindu Shahis from Gandhara and Oddiyana on the way. The Hindu Shahis had allied themselves with Multan. Wherever he conquered, Mahmud looted the wealth from the Hindu temples and Buddhist monasteries, and consolidated his power.

After this victory in Multan, and driven undoubtedly by greed for more land and wealth, Mahmud pressed his invasion further eastward. He conquered the present-day Indian Punjab, known in those days as "Delhi." However, when the Ghaznavid troops pushed northward from Delhi to the foothills of Kashmir, chasing after the remnants of the Hindu Shahis in 1015 or 1021, depending on the sources one uses, they were defeated, purportedly by the use of mantras. This was the first attack on Kashmir attempted by a Muslim army. The Kalachakra description of the future invasion and defeat of the non-Indic forces in Delhi is most likely, then, a conflation of the Multanese threat to the Abbasids and Ghaznavids with the Ghaznavid threat to Kashmir.

Correlation between the Predictions and History

The First Kalki's historical predictions, then, clearly fit the above times, but mold the events to illustrate lessons. However, as the thirteenth-century CE Sakya commentator Buton remarks about the Kalachakra presentation of history, "To scrutinize historical events of the past is meaningless." Nevertheless, Kaydrubjey explains that the predicted war between Shambhala and the non-Indic forces is not merely a metaphor without reference to a future historical reality. If that were so, then when The Kalachakra Tantra applies internal analogies for the planets and constellations, the absurd conclusion would follow that the heavenly bodies exist only as metaphors and have no external reference.

Kaydrubjey also cautions, however, against taking literally the additional Kalachakra prediction that the non-Indic religion will eventually spread to all twelve continents and Raudrachakrin's teachings will overcome it there too. The prediction does not concern the specific non-Indic people described earlier, or their religious beliefs or practices. The name mleccha here merely refers to non-Dharmic forces and beliefs that contradict Buddha's teachings.

Thus, the prediction is that destructive forces inimical to spiritual practice ­ and not specifically a Muslim army ­ will attack in the future, and an external "holy war" against them will be necessary. The implicit message is that, if peaceful methods fail and one must fight a holy war, the struggle must always base itself on the Buddhist principles of compassion and deep awareness of reality. This is true despite the fact that in practice this guideline is extremely difficult to follow when training soldiers who are not bodhisattvas. Nevertheless, if the war is driven by the non-Indic principles of hatred, malice, resentment, and prejudice, future generations will see no difference between the ways of their ancestors and those of the non-Indic forces. Consequently, they will easily adopt the non-Indic ways.

The Islamic Concept of Jihad

Is one of the invader ways the Islamic concept of jihad? If so, is Kalachakra accurately describing jihad, or is it using the non-Indic invasion of Shambhala merely to represent an extreme to avoid? To avert interfaith misunderstanding, it is important to investigate these questions.

The Arabic word jihad means a struggle in which one needs to endure suffering and difficulties, such as hunger and thirst during Ramadan, the holy month of fasting. Those who engage in this struggle are mujahedin. One is reminded of the Buddhist teachings on patience for bodhisattvas to endure the difficulties of following the path to enlightenment.

The Sunni division of Islam outlines five types of jihad:

A military jihad is a defensive campaign against aggressors trying to harm Islam. It is not an offensive attack to convert others to Islam by force.

A jihad by resources entails giving financial and material support to the poor and needy.

A jihad by work is honestly supporting oneself and one's family.

A jihad by study is to acquire knowledge.

A jihad against oneself is an internal struggle to overcome wishes and thoughts counter to the Muslim teachings.

The Shia divisions of Islam emphasize the first type of jihad, equating an attack on an Islamic state with an attack on the Islamic faith. Many Shiites also accept the fifth type, the internal spiritual jihad.

Similarities between Buddhism and Islam

The Kalachakra presentation of the mythical Shambhala war and the Islamic discussion of jihad show remarkable similarities. Both Buddhist and Islamic holy wars are defensive tactics for stopping attacks by external hostile forces, and never offensive campaigns for winning converts. Both have internal spiritual levels of meaning, in which the battle is against negative thoughts and destructive emotions. Both need to be waged based on ethical principles, not on the basis of prejudice and hatred. Thus, in presenting the non-Indic invasion of Shambhala as purely negative, the Kalachakra literature is in fact misrepresenting the concept of jihad in the prasangika manner of taking it to its logical extreme to illustrate a position to avoid.

Moreover, just as many leaders have distorted and exploited the concept of jihad for power and gain, the same has occurred with Shambhala and its discussion of war against destructive foreign forces. Agvan Dorjiev, the late nineteenth-century CE Russian Buryat Mongol assistant tutor of the Thirteenth Dalai Lama, proclaimed that Russia was Shambhala and the Czar was a Kalki. In this way, he tried to convince the Thirteenth Dalai Lama to align with Russia against the "mleccha" British in the struggle for control of Central Asia.

The Mongols have traditionally identified both King Suchandra of Shambhala and Chinggis Khan as incarnations of Vajrapani. Fighting for Shambhala, then, is fighting for the glory of Chinggis Khan and for Mongolia. Thus, Sukhe Batur ­ leader of the 1921 Mongolian Communist Revolution against the extremely harsh rule of the White Russian and Japanese-backed Baron von Ungern-Sternberg ­ inspired his troops with the Kalachakra account of the war to end the kaliyuga. He promised them rebirth as warriors of the King of Shambhala, despite there being no textual foundation for his claim in the Kalachakra literature. During the Japanese occupation of Inner Mongolia in the 1930s, the Japanese overlords, in turn, tried to gain Mongol allegiance and military support through a propaganda campaign that Japan was Shambhala.

[See: Exploitation of the Shambala Myth for Control of Mongolia.]

Kesimpulan

Persis seperti para pengritik Buddhisme bisa memfokuskan pada penyalahgunaan tingkat pertempuran eksternal dari Kitab Kalachakra sambil mengesampingkan tingkat internalnya, sehingga sikap ini tidak adil terhadap Buddhisme secara keseluruhan; begitu pula mengenai para pengritik jihad yang anti-Muslim. Nasehat dalam kitab-kitab tantra Buddhis mengenai guru spiritual mungkin bermanfaat di sini. Hampir setiap guru spiritual mempunyai campuran antara sifat-sifat baik dan kesalahan. Sekalipun seorang siswa tidak seharusnya mengingkari sifat-sifat negatif seorang guru, memikirkannya terus-menerus hanya akan menghasilkan amarah dan depresi. Sebaliknya, jika siswa memusatkan pada sifat-sifat positif seorang guru, ia akan memperoleh inspirasi untuk mengikuti jalan spiritual.

Hal yang sama dapat dikatakan tentang ajaran Buddhis dan Islam tentang perang suci. Kedua agama itu telah mengalami penyalahgunaan dari seruannya untuk bertempur secara lahiriah bila ada kekuatan destruktif yang mengancam praktik keagamaan. Tanpa mengingkari atau memikirkan terus-menerus penyalahgunaan-penyalahgunaan ini, kita bisa memperoleh inspirasi dengan memusatkan pada manfaat dari melancarkan perang suci batiniah dalam masing-masing kepercayaan itu.

[Conclusion

Just as critics of Buddhism could focus on abuses of Kalachakra's external level of spiritual battle and dismiss the internal level, and this would be unfair to Buddhism as a whole; the same is true regarding anti-Muslim critics of jihad. The advice in the Buddhist tantras regarding the spiritual teacher may be useful here. Almost every spiritual teacher has a mixture of good qualities and faults. Although a disciple must not deny the negative qualities of a teacher, to dwell on them will only cause anger and depression. If, instead, a disciple focuses on a teacher's positive qualities, he or she will gain inspiration to follow the spiritual path.

The same can be said about the Buddhist and Islamic teachings regarding holy wars. Both religions have seen abuses of its calls for an external battle when destructive forces threaten religious practice. Without denying or dwelling on these abuses, one can gain inspiration by focusing on the benefits of waging an inner holy war in either creed.]


Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Find great recruits

for your company.

Y! Messenger

PC-to-PC calls

Call your friends

worldwide - free!

Endurance Zone

on Yahoo! Groups

Groups about

better endurance.

.

__,_._,___

[psikologi_transformatif] Melati



Kulihat bunga melati
Di taman indah berseri
Semerbak harum dan murni
Perlambang kasih nan suci
Melati, melati
Kau bunga melati
Melati, melati
lambang kasih nan suci



http://www.tamanmini.com/images/cover/c_melati.jpg


http://www.sayengardens.org/Img1922.JPG


Sent from Yahoo! - a smarter inbox.

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Reconnect with

college alumni.

Y! Messenger

Quick file sharing

Send up to 1GB of

files in an IM.

Yahoo! Groups

Wellness Spot

A resource for Curves

and weight loss.

.

__,_._,___

[psikologi_transformatif] Mengapa jiwa itu disebut Shiva?

MENGAPA JIWA ITU DISEBUT SHIVA?

N = Nyoman
L = Leo

L = Kemarin aku baca selintas tulisan Swami
Vivekananda. Dia tulis JIVA IS SHIVA.

N = Dimana Pak Leo baca itu?

L = Di internet, wikipedia kayaknya.

N = Dan apa isi di dalamnya?

L = Isi di dalamnya tentang Swami Vivekananda
(muridnya Ramakhrisna) yang memperbaharui kehidupan
keagamaan di India. Ada reinterpretasi2. Dan
Vivekananda paling terkenal dengan slogannya itu JIVA
IS SHIVA. Jiva is Shiva. Itu tulisannya dalam Bahasa
Inggris.

N = Wah, kalau English saya kurang begitu bisa, maklum
Katrok.

L = Jiva is Shiva diterjemahkan ke Bahasa Indonesia
artinya JIWA = SHIVA. Itu ada di artikel tentang Swami
Vivekananda di Wikipedia. Tapi Ramakhrisna dan Swami
Vivekananda itu sudah UNIVERSAL sekali. Sangat
universal.

M = Mengapa jiwa itu disebut Shiva?

L = You have to feel it. Harus dirasakan sendiri. Jiwa
kita itu Shiva. Perasaan kita Wisnu. Dan naluri kita
itu Brahma. Hmmm hmmm hmmm... Di atas yang tiga itu
ada ACYNTHIA. Nothingness. Sumber segala sumber.

Jiwa itu Shiva, dan matanya itu Mata Shiva (Mata
Ketiga/Mata Batin). Ternyata Vivekananda sudah pakai
itu. Berarti Ramakhrisna juga sudah pakai itu.
Ternyata pengertian2 kita itu sama saja. Malah aku
juga ketemu istilah Mata Shiva dipakai oleh Alice
Bailey, penerus Madame Blavatsky (pendiri Theosophy).

Ternyata kita itu meneruskan apa yang telah ditemukan
oleh banyak perintis di akhir abad ke-19 dan awal abad
ke-20. Nah, Sri Aurobindo yang banyak membawa
pembaharuan dalam Hindu di India itu secara prinsipil
mengikuti Vivekananda. Para pembaharu itu:
Ramakhrisna, Vivekananda, Sri Aurobindo, dan banyak
lagi yang lain ternyata TIDAK ritualistik. Mereka
mengajarkan ESSENSI (Hakekat). Mereka menjelaskan
MAKNA dari ritual, dan bukan mengajarkan pengulangan
ritual2 yang maknanya tidak dipahami dan dijalani
hanya sebagai tradisi belaka. Yang cuma dilakukan
karena kebiasaan belaka.

N = Bagaimana dg Sai Baba?

L = Well,... aku sendiri merasa Sai Baba itu so and
so. He's ok. Aku cuma bisa bilang itu. Sama saja
seperti Osho, he is ok. Just that. Khrisnamurti juga
begitu. He is ok. Tidak lebih dari itu.

Lebih baik kita KULTIVASI SENDIRI yang ada di diri
kita daripada mengikuti yang ini atau yang itu. Kita
bisa membandingkan, tetapi akhirnya harus MENJALANI
SENDIRI. Dan memang harus dijalani, gak bisa cuma
dibicarakan/ dituliskan saja. Semuanya itu PRAKTEK,
dan bukan teori2.

N = Betul, Pak Leo. Mungkin ini jamannya spiritual
bangkit.

L = Ya, dimana-mana, dan bangkitnya itu BUKAN dari
agama2. Agama2 itu sudah terlalu kaku, jadi kita harus
jalan sendiri. Jalan saja sendiri, gak bakal nyasar
kemana-mana.

N = Yang membuat kaku individunya itu Pak, semua itu
baik dan benar menurut saya.

L = Ya. Nice talking with you today, aku harus sign
out sekarang, till next time, bye !

+++++++++++++

KEMASUKAN MAKHLUK HALUS ?

S = Suryadi
L = Leo

S = Salam kenal Mas Leo, Sudah lama saya menjadi
anggota milis Spiritual-Indonesia. Saya sangat
tertarik dengan segala uraian di milis tersebut,
utamanya tulisan dari Mas Leo. Saya selalu mem `print`
tulisan tsb untuk saya baca dan pahami isinya.

L = Salam kenal lagi, hmmm hmmm hmmm...

S = Sejauh ini saya berusaha untuk mengetahui dan
merasakan mata ketiga saya. Dan sejauh ini saya kok
merasa belum menemukan yaa ?

L = Well, anda berusaha untuk mengetahui dan
merasakan? Tentu saja dengan cara itu anda TIDAK akan
mengetahui dan merasakannya. First of all, apakah yang
ingin anda ketahui? Apakah yang ingin anda rasakan?
Anda bilang ingin mengetahui dan merasakan Mata Ketiga
anda. Lalu, apakah yang anda maksudkan dengan Mata
Ketiga itu? Bayangan setiap orang berbeda-beda,... dan
bisa saja anda telah menemukannya, tetapi anda MERASA
belum menemukannya.

Hmmm hmmm hmmm... itu kan cuma perasaan saja. Saya
sendiri bisa bilang merasa belum mampu untuk menulis,
tetapi ternyata kok MAMPU juga. Saya merasa belum
mampu untuk menjawab pertanyaan dari rekan2, eh kok
ternyata MAMPU juga. Hmmm hmmm hmmm...

S = Mohon dibantu apakah mata ketiga saya sudah atau
belom kebuka ?

L = Hmmm hmmm hmmm... kalau anda BISA MELIHAT benang
merah yang ada di tulisan2 saya dan rekan2 lainnya di
milis Spiritual-Indonesia, berarti Mata Ketiga atau
Mata Batin anda itu memang terbuka. Terbuka karena
bisa MELIHAT dan MERASA walaupun banyak dari
pengertian2 yang ada di tulisan2 itu statusnya
IMPLISIT / TERSIRAT. Hmmm hmmm hmmm... gak semua orang
bisa melihat apa yang tersirat. Yang bisa cuma yang
Mata Batinnya itu terbuka. Hmmm hmmm hmmm...

S = Yang kedua saya ingin tanya apa elemen yang paling
dominan dari diri saya ?

L = Elemen Tanah, itu udah jelas. Wong pertanyaannya
tentang hal2 yang pasti2 aja, yang konkrit. Nah, orang
yang ngomong/nulis tentang hal2 yang konkrit itu so
pasti orang Elemen Tanah. Begitu lho!

S = Mas Leo, tadi pagi kira kira pkl. 03.00 adik ipar
(cowo) mengalami kemasukan makhuk halus, padahal saat
itu dia lagi tidur pulas. Untung saat itu saya lagi
nonton LA Liga. Saya mengira dia mengigau, tetapi lama
kelamaan dia menggeram, mulutnya berbusa, tangannya
mencengkeram serta meronta. Kebetulan ada tetangga
yang bisa menangani keadaan tersebut.

L = Hmmm hmmm hmmm...

S = Yang ingin saya tanyakan, ada apa dengan adik
saya?

L = Well, istilah "kemasukan makhluk halus" itu
dipakai oleh mereka yang PERCAYA bahwa manusia bisa
kemasukan makhluk halus. Kalau yang tidak percaya pada
BELIEF SYSTEM seperti itu, istilahnya akan lain lagi.
Kalau aku sendiri bilang, dia itu mengalami LUCID
DREAM (mimpi yang hidup sekali). Bisa juga mengalami
OOBE (Out of Body Experience). Hmmm hmmm hmmm...
pengalaman seperti itu, apabila sangat intens, bisa
kelihatan juga seperti "kemasukan makhluk halus".
Pedahal itu cuma pengalaman batin yang umum ketika
kita secara fisik tidur dan roh kita (pikiran kita,
kesadaran kita) merasakan suatu pengalaman tertentu.

S = Apa yang bisa saya lakukan bilamana di kemudian
hari dia mengalami spt itu lagi ?

L = Dibangunkan saja. Bangunkan pelan2. Kalau susah
bangunnya, dipencet saja jempol kakinya. Gak apa2
jempol kaki dipencet keras2, itu cara tradisional
untuk mengembalikan kesadaran orang ke kesadaran
normal (kesadaran seperti ketika kita sedang terjaga).

S = Apakah di rumah kami memang banyak dihuni makhuk
halus ? Karena saya tidak melihat mereka.

L = Hmmm hmmm hmmm... makhluk halus itu kan istilah
saja. Segala sesuatu yang kita TIDAK BISA LIHAT kita
sebut sebagai "makhluk halus". Dan dimana-mana itu
memang banyak. Di rumah saya juga banyak, so what? Gak
usah takut, biasa2 saja. Kalau merasa kurang enak,
sebar saja garam biasa ke sekeliling rumah. Hmmm hmmm
hmmm...

+++++++++++++

[Leo seorang praktisi PSIKOLOGI TRANSPERSONAL. To make
an appointment, please call him at HP: 0818-183-615.
E-mail: <leonardo_rimba@yahoo.com>. Untuk bergabung
dengan milis SPIRITUAL-INDONESIA, please click:
<http://groups.yahoo.com/group/Spiritual-Indonesia>.
NOTE: Except my own name, all other names used are
pseudonyms.]

Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Be a career mentor

for undergrads.

Y! Messenger

Instant hello

Chat over IM with

group members.

Yahoo! Groups

Dog Zone

Connect w/others

who love dogs.

.

__,_._,___

Re: [psikologi_transformatif] Re: pesan haji rahbar..

hahahah...hahahah....hahahha...
1. "kerajaan saya bukan disini" dengan arti lain "untuk disini adalah kerajaan iblis"
2. tuhan yg jadi yesus adalah tuhan yg bego.. sebab dia terlalu cepat mati menebus dosa manusia sehingga dia lupa untuk seperti nabi muhammad yg meninggalkan ajaran2 yg bertentangan dengan nazi,fasisme,dan penjajahan dan hukum perang yg sangat dibutuhkan dalam kehidupan sosial.. yg paling nampak adalah haji... larangan untuk berperang jika tidak diserang duluan...
3. hahaha...hahaahha....hahhha..... kalau gue bukan dari islam lalu apakah dari krsiten sendiri..???? hahahah....hahaha......
4. seharusnya dia menebus dosa manusia setelah ada kamera digital.. sebab efek negatif turunnya dia dulu adalah "because god is white"...

pradita@telus.net wrote:

Ha ha ha...ha ha ha...ha ha ha..., inilah kisah orang bodoh yang membodoh-
bodohkan orang lain.

Yesus tak mengajari orang untuk jadi fasis, untuk menjajah dan membantai, untuk
memperbudak, untuk bikin bom atom, dan untuk bikin perang dunia.

Sama halnya Muhammad tak mengajari orang untuk jadi teroris, menculik,
memenggal kepala sandera tak berdaya, meledakkan bom di tengah pasar. Oh ya,
Muhammad juga tak ajarin orang untuk membenci, memfitnah, mendengki, mengolok-
olok.

Jadi si Hendrik ini belajar hal-hal buruk dari mana dan dari siapa, ya?
Pastinya, dia bukan dari komunitas Muslim, karena beda banget sama ajaran
Muhammad.

Jangan-jangan ini pengikut Syaiton yang nyamar jadi syiah?

manneke

Quoting hendrik bakrie <henrik12syiah@yahoo.com>:

> hahahaha....hahahha....hahahah.... islam adalah agama yg melintasi bangsa,
> kasta, suku,dll... setiap manusia yg mengaku muslim harus merasa dirinya satu
> diantara yg lain.. untuk itulah di lingkungan islam tidak lahir tuhan yg
> pirang untuk dieropa, tuhan yg negro di afrika, dan tuhan yg cina
> dilingkungan ras mongoloid...
>
> mungkin karena mesir menganggap indonesia adalah saudaranya sesama muslim
> sehingga dia menjadi negara pertama yg mengakui kemerdekaan indonesia... dan
> mungkin karena palestina dan arab saudi yg kaya minyak itu muslim sehingga
> israel dan barat mau adakan jalur diplomasi... mungkin suara SBY yg meminta
> kemerdekaan palestina dan menghentikan kekejaman terjadap rakyat palestina
> jauh lebih baik daripada suara dari PM ismail haniyeh.....
>
> mungkin karena itu NAZI, fasisme, penjajahan dan pembantaian bangsa
> inka,asia,afrika, astek,maya, perbudakan, pemboman atom, dan PD II yg
> menewaskan jutaan manusia tidak lahir dari lingkungan komonitas muslim...
>
> gitu aja kagak ngerti, bodoh benar jadi orang...!!!
>
> Asas Asas <asas2004asas@yahoo.co.uk> wrote:
> Pesannya bangsa lain kok diuar-uarkan di sini.
> Apa gak bisa mikir sendiri, siiih ?
> Pakai otaknya sendiri.
> Pakai mulutnya sendiri.
> Kok pilih makai mulutnya bangsa lain.
>
> hendrik bakrie <henrik12syiah@yahoo.com> wrote:
>
> dari salah satu web site islam
>
> PESAN HAJI AYATULLAH ALI KHAMENEI (Dzulhijah 1428 H)
> Oleh: Administrator 19/12/2007 - 13:32 Bismillâhirromânirrohîm
> Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang
>
> Puji syukur bagi Allah; Tuhan alam semesta. Salawat dan salam atas
> junjungan kita; Muhammad al-Mustafa, dan atas keluarganya yang termulia serta
> sahabat-sahabatnya yang terpilih.
> Salam kepada para pengunjung rumah Allah Swt, kepada para tamu tanah
> kekasih, dan kepada para penyambut seruan-Nya! Juga salam khusus kepada
> hati-hati yang kembali segar karena mengingat Allah Swt, dan yang terus
> mengetuk pintu limpahan karunia dan rahmat-Nya!
> Pada hari-hari ini, pada malam-malam ini, dan pada detik-detik yang mulia
> ini, betapa banyak manusia yang dengan penuh kesadaran jiwa melepaskan diri
> mereka ke dalam pesona spiritual, dan menerangi hati dan jiwa mereka dengan
> bertaubat dan insaf. Mereka membersihkan karat-karat dosa dan kesyirikan dari
> diri mereka di tengah gelombang rahmat Allah yang datang silih berganti ke
> tanah suci ini. Salam mulia Allah kepada hati-hati ini, kepada segenap
> pemilik hati-hati yang bersih.
> Sudah sepatutnya semua saudara dan saudari menyadari berkah yang luar biasa
> ini dan memanfaatkan kesempatan yang besar ini. Jangan sampai—di tanah
> ini—kesibukan hidup duniawi yang merupakan persoalan rutin kita melalaikan
> hati-hati kita sendiri. Dengan mengingat Allah Swt, berusaha insaf, memohon
> dengan penuh kerendahan diri, disertai kehendak yang kuat untuk memegang
> kebenaran, berbuat kebaikan dan berpikir lurus, serta dengan memohon bantuan
> dari AllahSwt, marilah tempatkan hati kerinduan kita di ruang tauhid dan
> penghayatan ketuhanan yang murni, dan marilah membekali diri demi keteguhan
> jiwa untuk tetap berada di atas jalan Allah yang lurus.
> Di tanah inilah, pusaran tauhid yang murni dan sesungguh-sungguhnya. Di
> tanah inilah, Ibrahim as; sang kekasih Allah Swt, meninggalkan sebuah
> perwujudan tauhid untuk segenap penganut tauhid di sepanjang sejarah dunia,
> yaitu penguasaan diri dan kepasrahan sepenuh jiwa di hadapan perintah Allah
> Swt. Di tanah inilah, Nabi Besar Muhammad saw mengibarkan bendera tauhid di
> atas kaum mustakbirin dan kekuatan-kekuatan yang zalim, serta mengajarkan
> bahwa penolakan terhadap thoghut 'pihak yang zalim'—di samping keimanan
> kepada Allah Swt—merupakan syarat keselamatan. Maka, barangsiapa menolak
> thoghut dan beriman kepada Allah, sungguh ia telah berpegang teguh kepada
> tali yang kuat. (QS. al-Baqarah:256)
> Dan haji adalah upaya meninjau ulang dan mencerap pelajaran-pelajaran agung
> ini. Berlepas tangan dari kaum musyrikin dan menolak berhala-berhala berikut
> penyembah-penyembahnya merupakan ruh yang berkuasa atas ibadah haji kaum
> mukminin. Setiap tempat haji adalah ruang perwujudan dari berpasrah diri
> kepada Allah, sa'i 'berusaha' dan bekerja di jalan-Nya, berlepas tangan dari
> setan, romyu 'melontar' dan mengusir setan serta berdiri melawannya. Dan
> setiap tempat haji adalah wujud persatuan dan solidaritas segenap umat yang
> menghadap Kiblat, peleburan perbedaan yang alami dan yang dibuat, serta
> penampakan kesatuan dan persaudaraan iman mereka.
> Semua ini adalah pelajaran-pelajaran yang harus ditimba oleh kita sebagai
> umat Islam dari belahan dunia manapun, sehingga atas dasar itulah kita
> merencanakan hidup dan masa depan kita.
> Al-Quran meyakinkan kita bahwa berdiri kuat di hadapan musuh-musuh,
> bersikap lembut dan penuh cinta kepada sesama muslim, dan beribadah serta
> tunduk khusyuk di hadapan Allah Swt adalah tiga kriteria masyarakat Islami.
> Muhammad adalah utusan Allah, dan mereka yang berada bersamanya adalah
> orang-orang yang keras terhadap kaum kafir, namun penuh kasih sayang di
> antara mereka sendiri, kamu akan melihat mereka dalam keadaan rukuk dan
> sujud sambil menantikan kebaikan dari Allah dan keridhaan …(QS. al-Fatah: 29)
> Inilah tiga pilar utama untuk menegakkan bangunan umat Islam yang kuat dan
> bermartabat.
> Atas dasar kenyataan ini, setiap muslim dapat mengetahui dengan baik
> titik-titik lemah dunia Islam sekarang.
> Kini, musuh umat Islam adalah pihak-pihak yang mengelola pusat-pusat
> arogansi dan kekuatan-kekuatan serakah serta zalim. Dalam pandangan mereka,
> kesadaran umat Islam merupakan ancaman besar bagi kepentingan-kepentingan
> ilegal dan kekuasaan despotik mereka atas dunia Islam. Semua mukminin,
> khususnya para pelaku politik, para ulama dan pemikir serta pemimpin bangsa
> dari setiap negara, sudah seharusnya menggalang barisan persatuan Islam
> sekuat mungkin dalam menghadapi musuh zalim ini. Sudah seharusnya kita
> menghimpun unsur-unsur kekuatan dan membangun ketahanan umat Islam dengan
> benar.
> Ilmu pengetahun, manajemen, sistem penyelenggaraan, kesadaran penuh, rasa
> tanggung jawab dan komitmen, tawakal dan kepercayaan kepada janji Allah Swt,
> mengenyampingkan keinginan-keinginan hina dan tak berarti demi mendapatkan
> keridhaan Allah Swt, beramal atas dasar tugas … semua itu adalah unsur-unsur
> dasar kekuatan umat Islam yang akan mengangkat mereka untuk tampil merdeka,
> berwibawa, dan maju, baik secara materiil maupun spiritual. Unsur-unsur itu
> pula yang akan menggagalkan musuh dalam upaya mereka melakukan tekanan dan
> campur tangan di dalam negeri-negeri Muslim.
> Kasih sayang antarsesama mukminin adalah pilar kedua dan kriteria lain
> untuk membangun kondisi yang baik bagi umat Islam. Perpecahan dan pertikaian
> di tengah umat Islam merupakan penyakit yang sangat membahayakan, yang harus
> segera ditangani dengan segenap kemampuan. Sudah sejak lama, musuh-musuh
> kita bekerja dan berusaha tak henti-hentinya dalam masalah (perpecahan) ini.
> Dan mereka sekarang, di era kebangkitan Islam yang telah membuat mereka
> cemas dan takut, semakin meningkatkan kerja dan usaha keras mereka. Semua
> pesan pihak-pihak yang prihatin akan masalah ini ialah hendaknya
> perbedaan-perbedaan itu tidak berubah menjadi pertentangan, juga keragaman
> itu tidak semestinya berakhir dengan permusuhan.
> Bangsa Iran telah mengangkat tahun ini dengan nama "Tahun Solidaritas
> Islam". Penamaan ini dilakukan atas dasar kesadaran akan siasat dan
> perencanaan musuh-musuh yang semakin serius dalam rangka menebarkan
> perpecahan di tengah saudara-saudara seiman. Di Palestina, di Lebanon, di
> Irak, di Pakistan, dan Afganistan. Di negara-negara itu, siasat dan
> konspirasi telah dijalankan sehingga sebagian warga di sebuah negara Muslim
> bangkit bermusuhan dengan sesama warga lainnya, dan bahkan sampai menumpahkan
> darah mereka. Dalam semua kasus dan kejadian yang pahit ini, tampak sekali
> jejak-jejak siasat itu di sana. Semua mata yang jeli telah melihat tangan
> musuh-musuh itu.
> Perintah "penuh kasih sayang di antara sesama mereka sendiri" yang
> terdapat dalam al-Quran bermakna mencabut akar-akar permusuhan. Di hari-hari
> yang penuh keagungan ini, dan dalam manasik-manasik haji yang bermacam-macam
> ini, kalian melihat Muslim yang datang dari berbagai penjuru dan dari
> berbagai mazhab tengah berkumpul di satu rumah; semua berdiri untuk salat ke
> arah satu Kiblat; semua serempak melontar lambang setan terkutuk; semua
> dengan satu cara berkurban dan menyembelih angan-angan serta
> keinginan-keinginan hawa nafsu; semua berdampingan untuk berdoa dengan
> kerendahan hati di padang Arafah dan Masy'ar. Dalam kepercayaan-kepercayaan
> yang paling mendasar, dan dalam sebagian besar kewajiban dan hukum, semua
> mazhab Islam saling berdekatan satu sama lain dengan tingkat yang sama. Meski
> demikian, kenapa lalu fanatisme dan prasangka-prasangka harus menyala di
> antara mereka, sehingga tangan busuk musuh membuatnya menjadi semakin
> membakar?
> Sekarang, ada orang-orang yang—karena pikiran dangkal dan kurang akal, dan
> dengan alasan-alasan yang tak berdasar—menganggap sebagian besar Muslim
> sebagai orang-orang musyrik, bahkan menghalalkan darah mereka. Orang-orang
> itu, sadar atau tidak, sedang bekerja untuk kepentingan syirik, kekufuran,
> dan kekuatan-kekuatan zalim. Betapa banyak orang yang menyebut penghormatan
> kepada makam Rasulullah saw, para wali, dan imam-imam agama—salam atas mereka
> semua—dengan label syirik dan kafir, padahal penghormatan itu adalah semacam
> penghormatan dan ketaatan kepada agama. Akan tetapi, mereka sendiri justru
> telah bekerja untuk kepentingan orang-orang kafir dan zalim, dan terlibat
> dalam keberhasilan siasat-siasat kotor mereka.
> Ulama-ulama sejati, pemikir-pemikir yang berkomitmen, dan pemimpin-pemimpin
> yang tulus sudah seharusnya memerangi gejala-gejala yang membahayakan
> semacam itu.
> Persatuan dan solidaritas Islam pada masa sekarang ini sudah merupakan
> kewajiban yang pasti; yang dapat dibangun dengan kerja sama di antara para
> tokoh dan pihak-pihak yang prihatin akan hal ini.
> Dua pilar kekuatan ini—yakni penggalangan barisan yang kuat di hadapan
> kekuatan-kekuatan zalim dari satu sisi; dan kasih sayang, kebersamaan, dan
> persaudaraan antarsesama Muslim dari sisi lain—manakala dilapisi dengan pilar
> ketiga—yaitu ketundukan dan penghambaan diri di hadapan Allah Swt—umat Islam
> secara berangsur akan maju di jalan yang telah menuntun muslimin di era awal
> kemunculan Islam sampai di puncak kejayaan dan kebesaran, dan akan
> menyelamatkan bangsa-bangsa Muslim dari keterbelakangan yang menurunkan harga
> diri; keterbelakangan yang sepanjang beberapa abad terakhir ini dipaksakan
> atas mereka. Awal perubahan besar ini telah dipelopori, dan berbagai
> gelombang kebangkitan di semua titik dunia Islam sedikit banyaknya telah
> bergerak. Media-media massa dan propaganda-propaganda musuh dan agen-agennya
> sedang berusaha keras untuk menghubung-hubungkan setiap gerakan kemerdekaan
> dan tuntutan keadilan di belahan dunia Islam manapun dengan Iran atau Syi'ah.
> Sedangkan
> Iran sendiri—yang aktif sebagai salah satu pelopor sukses dalam kebangkitan
> Islam—dianggap oleh mereka sebagai pihak yang harus bertanggung jawab atas
> pukulan-pukulan terhadap mereka yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan yang
> peduli di dalam negara-negara Muslim, baik di bidang politik ataupun budaya.
> Dengan membuat tuduhan-tuduhan seperti Iranisme atau Syi'ahisme, mereka
> berusaha membuat orang curiga terhadap semangat kepahlawanan luar biasa
> Hizbullah dalam perang 33 hari, terhadap ketegaran yang bijak bangsa Irak
> yang berujung pada pembentukan parlemen dan pemerintahan yang tak dikehendaki
> kekuatan-kekuatan pendudukan asing di sana, terhadap kesabaran dan
> konsistensi menakjubkan dari pemerintahan yang sah dan bangsa yang berkorban
> di Palestina, dan terhadap sekian banyak lagi tanda-tanda kebangkitan baru
> Islam di negara-negara Muslim. Akan tetapi, siasat ini tidak akan bisa
> melawan hukum Allah; yaitu kemenangan para pejuang di jalan-Nya dan kaum
> pembela agama-Nya.
> Masa depan adalah milik umat Islam. Dan setiap orang dari kita dapat
> mempercepat masa depan itu sesuai dengan andil, kesanggupan, kapasitas, dan
> tanggung jawab masing-masing.
> Dan bagi kalian, para jemaah haji yang beruntung, manasik-manasik haji ini
> adalah sebuah kesempatan yang besar sehingga kita mempersiapkan diri lebih
> daripada sebelumnya dalam rangka mengemban tugas ini. Adalah sebuah harapan;
> semoga taufik Allah Swt dan doa Imam Mahdi Yang Dijanjikan—semoga Allah
> mempercepat kehadirannya—membantu kita dalam mencapai tujuan yang besar ini.
>
> Wassalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh
>
> Sayyid Ali Husaini Khamenei
> 4 Dzulhijah 1428 H
>
>
>
> ---------------------------------
>
> .
>
>
>
>
> ---------------------------------
> Sent from Yahoo! - a smarter inbox.
>
>
>
>
> ---------------------------------
> Never miss a thing. Make Yahoo your homepage.



Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

new professional

network from Yahoo!.

Yahoo! Groups HD

The official Samsung

Y! Group for HDTVs

and devices.

Fitness Edge

A Yahoo! Group

about sharing fitness

and endurance goals.

.

__,_._,___

Re: [psikologi_transformatif] Re: Ada yang bisa Buktikan Bahwa Tuhan itu adil?

hahahah...hahahah....hahahha.... jadi penyaliban yesus itu masih mengakibatkan adanya dosa..??? hahaha....hahahah..... itu artinya "tidak gunanya" yesus mati di salib... betul kagak...???

jadi selama ini adalah suatu "bentuk penipuan" yg mengatkan bahwa yesus mati ditiang salib (berkorban) demi menebus dosa manusia.... betul kagak...???

sorry deh kalau gitu sebab gue bilang "semua orang"... sebab gue bilang itu sebab yg gue dengar hampir semua org kristen kecuali anda yg menganggap bahwa yesus mati demi menebus dosa manusia... hahahah....hahahaha....hahaha.....

pradita@telus.net wrote:

ha ha ha...ha ha ha...ha ha ha...ha ha ha... lucu, lucuuuuuuu. Siapa yang kamu
maksud dengan "semua orang" itu, Ndrik? Kamu Allah, ya, kok bisa pasti-pastiin
semua orang "sudah tau"?

Memahami ajaran kristen aja keliru, kok belagak ngerti dan tau. Inilah kalo
keledai belagak jadi Tuhan. Amburadul. "penyaliban yesus adalah mengakibatkan
tidak adanya dosa?" ha ha ha...ha ha ha...ha ha ha...ha ha ha..., pasti ini
ngutpi dari alkitab posmos ya? Tolol kok dipelihara...

ha ha ha...ha ha ha...ha ha ha...ha ha ha...ha ha ha...

manneke

Quoting hendrik bakrie <henrik12syiah@yahoo.com>:

> hahahah....hahahaha....kalau nilai kebaikan saya di mata ALLAH SWT maka tentu
> aja yg tau adalah ALLAH SWT...
>
> sedangkan nilai kebaikanmu dimata Allah di kristen maka semua org sudah
> tau... yaitu tidak ada nilai kebaikanmu.. begitupula nilai kejahatanmu..
> sebab doktrin/inti ajaran kristen adalah menghendaki itu.. sebab yesus adalah
> tuhan yg menjadi manusia dan mati ditiang salib demi "menebus dosa"
> manusia.... penyaliban yesus adalah mengakibatkan "tidak adanya dosa"
> manusia... jadi bagi saya, adalah kebodohan jika ada org kristen yg tidak
> melakukan kejahatan... sebab dengan percaya kepada ketuhanan yesus maka itu
> adalah modal untuk berada disamping bapa disurga... sebab itu adalah subtansi
> dari kristen...
>
> sedangkan dalam islam :
> "masuklah engkau dalam islam secara keseluruhan"
> "kecelakaannlah org shalat yaitu org yg lalai dalam shalatnya.."
> "dirikanlah shalat dan tunaikan zakat"
> (Al quran)
> "membiarkan kezaliman sama dengan melakukan kezaliman" (nabi muhammad SAWW)
>
> pradita@telus.net wrote: Kalo nilai kebaikanmu
> di mata Allah SWT kira-kira gimana. Ndrik?
> Hiiiii....serem membayangkannya! Selamat menunggu 'bonus'-mu ya, Ndrik.
>
> manneke
>
> Quoting hendrik bakrie <henrik12syiah@yahoo.com>:
>
> > 1. bahwa didalam islam masuk surganya seseorang bukan
> didasarkan
> > pada jumlah banyaknya kebaikan org tersebut tetapi nilai kebaikan
> tersebut
> > bagi ALLAH SWT.. seperti posting yg menceritakan tentang turunya ayat
> pada
> > kasus kurma abu aqil (at taubah).. dan ayat "daging dan darah itu tidak
> akan
> > sampai kepadaKu tetapi ketaqwaanmu yg sampai kepadaKu".. kalau hasil
> > taqarannya sama, apa susahnya sih satu surga dengan dia..??
> > 2. kalau dia waktu hidup sudah malakukan kejahatan maka tentu saja alam
> > kubur (barzakh / antara ) sudah ada penderitaan.. jadi sudah ada bonus
> dari
> > kejahatannya... tidak usah tunggu sampai neraka terbuka (pada kasus
> firaun
> > dalam al quran)...
> > 3. kalau dia sudah dapat siksa kubur dan nanti dapat neraka maka tentu
> aja
> > masalah apakah 5000 tahun atau 1000 tahun tidak ada lagi masalah.. ujung2
> > alam kubur dan neraka tetaplah penderitaan...
> > 4. apa bedanya hidup dijaman prasejarah dengan jaman modern...???
> bedanya
> > adalah salah satunya adalah kalau hidup jaman prasejarah sebagian besar
> waktu
> > dihabiskan untuk "makan tidur" doang dan bisa lihat "cewek telanjang"
> dimana
> > aja... hahahaha....hahahahah.....hahahah.... jadi org2 yg hidup dizaman
> > prasejarah harus bahagia juga...
> > 5. kejahatan ada kualitasnya maka pendritaanpun tentu ada kualitasnya
> juga
> > khan...?????
> >
> >
> > Hudoyo Hupudio <hudoyo@cbn.net.id> wrote:
> > Dari: wirajhana eka <wirajhana@yahoo.com>
> >
> > Mohon berkenan menjawab contoh soal dibawah ini:
> > misalkan
> > A hidup 5000 tahun sebelum tahun 0
> > B hidup di tahun 0
> > kiamat semesta adalah di tahun 100
> > umur hidup adalah sama selama 60 tahun.
> > hitungan tahun adalah mengikuti waktu bumi
> > baik a dan b melakukan perbuatan yang sama semasa hidup sehingga hasil
> > perbuatan baik itu dosa/pahala ternyata setelah ditakar "hakim" adalah
> sama.
> >
> > Jadi a dan b sekarang ada dialam kubur...karena pintu surga dan neraka
> belum
> > dibuka hingga kiamat tiba.
> >
> > a akan akan berada di alam kubur selama 5000 tahun + 40
> > tahun
> > b akan berada di alam kubur selama 40 tahun
> >
> > asumsi perbuatan itu mengakibatkan ia tidak disiksa di alam penantian
> > (kubur)
> >
> > apakah ini konsep yang fair terhadap b? yang cuma menanti 40 tahun
> > dibandingkan a yang menanti tertidur selama 5040 tahun?
> >
> > asumsi perbuatan itu mengakibatkan ia mengalami siksa kubur
> > maka a akan mengalami siksa kubur selama 5040 tahun
> > dan b cuma 40 tahun...apakah ini fair terhadap a?
> >
> > Apabila
> > just waiting tanpa siksa kubur...dan a tentunya akan menderita siksaan
> > "batin" selama 5040 tahun dibandingankan b yang cuma 40 tahun..
> >
> > Bagaimanakah menjawab ini dengan dalil agama yang anda anut untuk
> membuktikan
> > selisih 5000 tahun adalah adil!
> > yang tentunya juga berarti sudah membuktikan bahwa TUHAN MAHA ADIL.
> >
> > ====================
> > HUDOYO:
> >
> > Apakah bedanya 5000 tahun dan 1 detik bagi orang yang mati?
> >
> > Apakah artinya SIKSA kubur bagi orang yang tidak bisa merasakan apa-apa?
> >
> > Bahwa Tuhan itu "Mahaadil sekaligus Mahapemurah & Mahapengampun" hanya
> bisa
> > dimengerti oleh orang yang sudah mengalami sendiri 'perjumpaan dengan
> Tuhan'.
> > Kalau belum pernah mengalami Tuhan, ungkapan-ungkapan seperti itu
> > paling-paling hanya bisa menjadi kepercayaan atau iman bagi orang yang
> > menganutnya, atau menjadi bahan perdebatan bagi orang yang menolaknya.
> >
> > Salam,
> > Hudoyo
> >
> >
> >
> >
> > ---------------------------------
> > Never miss a thing. Make Yahoo your homepage.
> >
> >
> >
> >
> > ---------------------------------
> > Looking for last minute shopping deals? Find them fast with Yahoo!
> Search.
>
>
>
>
>
>
> ---------------------------------
> Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it
> now.



Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Your school could

win a $25K donation.

Real Food Group

on Yahoo! Groups

What does real food

mean to you?

Best of Y! Groups

Discover groups

that are the best

of their class.

.

__,_._,___