Jumat, 21 Maret 2008

[psikologi_transformatif] hak dan kewajiban terhadap rasulullah (2)..

dari salah satu web site islam..

HAK DAN KEWAJIBAN TERHADAP RASULULLAH SAW (II)

Sebelumnya, saya ingin memper-kenalkan siapa Jalaluddin Rumi dan apa Matsnawi ini. Jalaluddin Rumi adalah seorang penyair sufi yang terkenal. Dia lebih dikenal sebagai Maulana, sehingga dahulu ketika saya di , banyak orang memanggil saya Maulana, karena nama saya mengingatkan kepada Jalaluddin Rumi. Sama-sama ber-inisial JR. Dia mendirikan sebuah tarekat yang jejak-jejaknya sampai sekarang masih bisa kita ikuti.

Orang yang disebut Dar­wisy, mengikuti tarekat Jalaluddin Rumi dan biasanya mereka melakukan riyadhah-riyadhah mereka dengan membacakan puisi-puisi dan menari-nari berkeliling. Setiap setahun sekali, para pengikut Jalaluddin Rumi ini berkumpul di Konya , Turki. Mereka bisa me­nari-nari selama berjam-jam, berkeliling-keliling seperti gerakan seluruh alam semesta, atau seperti gerakan orang yang thawaf. Itu dilakukan berjam-jam tanpa rasa lelah.
Salah seorang di antara ahli koreografi , Roy Julius Tobing pernah terpesona dengan keindahan mistik dari tarian kelompok Rumi ini. Ketika ia menonton itu, seperti sebuah sinar ruhaniah masuk ke dalam hatinya. Ketika ia pulang ke , ia menjadi seorang muslim yang shaleh dan dia sampai sekarang sedang berusa­ha untuk mempersembahkan karya besarnya dalam koreografi untuk Allah Swt., terinspirasi oleh para penari dari tarekat Rumi.

Jalaluddin Rumi juga menulis banyak puisi di dalam bahasa Parsi, walaupun dianggap orang Turki oleh orang Turki, orang Iran oleh orang Iran, orang Kurdi oleh orang Kurdi. Orang-orang besar itu biasanya ketika hidup, diusir oleh semua bangsa. Setelah dia mati, semua bangsa ingin mengakuinya. Misalnya Jamaluddin Al-Afghani. Dia diusir dari tanah kelahirannya. Dia tidak disukai oleh beberapa orang penguasa di zamannya. Dia pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Setelah ia meninggal dunia di Turki, orang Afghan menganggap dia sebagai orang Afghan. Orang menganggap dia sebagai orang , sehingga sesudah namanya disebut Jamaluddin Astarabadi. Orang Turki juga menyebutnya orang Turki, karena kuburannya sampai sekarang ada di Turki.

Seperti itulah Jalaluddin Rumi. Salah satu keistimewaannya ini, dia menceritakan tentang perjalanan ruhaniah seorang sufi dengan puisi-puisinya. Yang paling terkenal di antara kumpulan puisinya adalah Matsnawi. Terdiri dari enam jilid. Rumi ini pernah terke­san dengan tulisan Fariduddin Al-Ahâr, yaitu Manthiq Al-Thayr, yang menceritakan perjalanan ruhani dengan cerita serombongan burung. Kemudian Rumi menulis puisi-puisinya di dalam bentuk cerita. Kata Nicholson, yang menghabiskan waktu­nya untuk berspesialisasi dalam karya-karya Rumi, dalam kumpulan Matsnawi ini   (disebut Matsnawi karena satu baitnya itu ada dua baris) terkumpul nasihat ruhaniah, humor, ironi, sarkasme, dan metafora-metafora yang sangat tinggi. Ada seorang sufi perempuan dari Barat yang kebingungan ketika dia membaca Matsnawi pertama kalinya. Dia merasa tulisannya itu tidak sistematis. Dia tidak berhasil menangkap isi buku Matsnawi. Tapi setelah dia berulang-ulang membacanya, kemudian ia sudah mengikuti riyadhah-riyadhah Tashawuf, dia mulai memahaminya. Sekarang Matsnawi menjadi satu perbenda-haraan sumber hikmah yang luar biasa.

Matsnawi ini belum diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, kecuali kutipan-kutipannya saja. Yang saya pegang saat ini pun terjemahannya dalam Bahasa Inggris, dan saya jamin kalau TOEFL anda tidak mencapai 600, anda akan sulit memahami kata-kata Inggris yang dipergunakan untuk menerjemahkan karya Matsnawi ini. Saya juga heran kenapa dia harus mencari kata-kata sulit. Mungkin dia ingin memelihara aroma klasik dari Matsnawi pada teksnya yang asli dalam bahasa.

Terjemahannya hampir literal, dan ketika dia tidak bisa menerjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dengan bagus, Nicholson menerjemahkannya ke dalam Bahasa Latin. Jadi, kalau nanti saya baca terjemahan ini kemudian sampai kepada Bahasa Latin, Bahasa Latinnya ini tidak saya terjemahkan. Perta­ma, karena saya tidak mengerti. Kedua, karena tampaknya Nicholson juga mau menyembunyikan ketidakmengertiannya di dalam bahasa klasik. Itulah Matsnawi.

Sekarang ini, ada jurnal Tashawuf internasional. Namanya Sufi Journal, yang dalam setiap terbitannya selalu mengutip kisah-kisah yang diceritakan Rumi dalam Matsnawi-nya, tapi diceri­takan dalam bahasa yang sederhana. Saya tidak akan mener-jemahkan­nya dalam bahasa yang sederhana. Saya percaya kepada anda untuk memahami cerita ini. Mudah-mudahan bisa, saya baca:

"Orang-orang kafir menjadi tamu Rasulullah. Mereka datang ke Mesjid ba'da Maghrib sambil berkata, "Kami datang ke sini sebagai tamu, mengharapkan keramah-tamahan yang punya rumah. Duhai Baginda yang menjadi penghibur semua penduduk dunia ini, kami ini orang yang kelaparan,  datang dari tempat yang jauh. Sebarkan sebagian berkahmu dan sinarilah kami." 

Lalu Nabi Saw. berkata kepada sahabat-sahabatnya, " Para sahabatku, bagilah tamu-tamu ini di antara kalian, karena kalian dipenuhi aku dan dipenuhi dengan tabiatku, sebagaimana seluruh tentara dipenuhi dengan diri raja. Sehingga mereka mau menarik senjata atas nama raja melawan musuh-musuhnya. Karena kemarahan rajalah kamu menarik pedang, kalau bukan karena kemarahan raja, mengapa kamu mau melawan saudara kamu sendiri?. Dari bayangan kemarahan raja, kamu serang saudaramu yang tak bersalah dengan pedangmu. Raja adalah satu jiwa dan seluruh armada dipenuhi dengan dirinya. Ruh seperti air dan tubuh kita ini seperti hamparan dasar sungai. Jika air dari ruh raja itu manis, maka seluruh hamparan sungai dipenuhi dengan air yang manis, karena hanya hukum rajalah yang berlaku kepada para peng­ikutnya, seperti itulah kekuasaan .... 

Setiap sahabat kemudian memilih seorang tamunya, di antara tamu-tamu itu ada seorang kafir yang tubuhnya sangat besar sehingga tak seorang sahabat pun mengambil-nya.

Jadi tingga­lah ia di Mesjid, seperti ampas tinggal di cangkir kopi. Ketika ia ditinggalkan oleh semua orang, Al-Musthafa mengambilnya. Di antara ternak milik Al-Musthafa, ada tujuh kambing yang selalu memberikan air susu dan kambing-kambing itu disediakan di dekat rumah untuk diambil air susunya sebagai persiapan menghadapi waktu makan.

Raksasa besar putra Gusy dari Turki itu memakan habis roti dan makanan yang lain, dan susu dari tujuh ekor kamb­ing itu. Seluruh penghuni rumah marah, karena mereka meng-inginkan susu kambing itu. Ia membuat perut-nya yang rakus seperti sebuah drum (tong). Ia memakan habis makanan untuk 18 orang. Pada waktu tidur ia pergi masuk ke kamarnya dan duduk di situ, kemudian pembantu dengan marah menutup pintunya. Pembantu itu mengikatkan kunci pintu dari luar karena ia marah kepadanya. Menjelang subuh orang kafir ini didesak oleh kebutuhan alamiahnya dan perutnya sakit.

Ia meninggalkan tempat tidurnya menuju pintu, meletakan tangannya di atas gerendel pintu dan menemukan pintu itu terkunci. Orang yang cerdik ini menggu­nakan berbagai alat untuk membuka pintu, tetapi kunci pintu itu tetap tak terbuka. Dorongan alamiahnya makin mendesak dan kamar itu sangat sempit. Ia berada di dalam penderitaan yang tidak ada obatnya dan kebingungan. Ia membuat gerakan-gerakan kecil dan merangkak untuk bisa tertidur. Dalam ngantuk-nya ia bermimpi bahwa ia berada di sebuah tempat yang terasing, karena tempat asing itu ada dalam pikirannya, mulailah ia masuk ke dalam tidurnya.

Tanpa terasa kemudian orang kafir itu mengeluarkan kotoran di rumah. Ketika terbangun ia menangis, "Celakalah daku". Ia menangis seperti tangisan orang-orang kafir di dalam kuburan. Ia menunggu sampai malam berakhir dan suara pintu terbuka sampai kepada telinganya, supaya ia bisa lari seperti melesatnya anak panah yang lepas dari busurnya. Supaya orang tidak melihat kehina-an yang sedang dideritanya.

(Cerita ini panjang, tapi saya akan memendek-kannya).

Pintu terbuka, kemudian ia bisa melepaskan dirinya dari kesedihan dan deritanya. Pada waktu subuh, Al-Musthafa datang dan membuka pintu. Menjelang fajar ia berikan jalan keluar kepada orang yang sudah kehilangan jalan. Musthafa membuka pintu, dalam keadaan tersembunyi, supaya orang menderita itu bisa keluar tanpa rasa malu, bisa berjalan dengan penuh keberanian dan tidak melihat punggung atau wajah sang pembuka pintu. Mungkin Al-Musthafa ber­sembunyi di balik sesuatu atau Jubah Tuhan menyembunyi-kan, menu­runkan tirainya dari orang-orang kafir. Shibghatullah, celupan Allah, kadang-kadang tertutup dan tirai yang misterius menghalangi para pemandangnya, sehingga ia tidak melihat musuh di sampingnya. Kekuatan Tuhan lebih dari itu. Al-Musthafa melihat apa yang terjadi pada orang kafir di malam hari itu, tetapi perintah Tuhan menahannya untuk tidak segera membuka pintu, sebelum derita itu dialami oleh orang kafir. Sebelum ia jatuh kepada kesusahan dan rasa malu, kalau bukan karena perintah Tuhan, Al Musthafa sudah lama membuka pintu itu.

Tetapi di balik kebijakan Tuhan dan perintah langit itulah, Al-Musthafa melakukan tindakannya, yang seakan-akan menunjukkan bahwa Al-Musthafa memusuhinya. Banyak sekali tindakan permusuhan itu sebe­tulnya persahabatan dan banyak sekali tindakan yang kelihatannya menghancurkan padahal menghidupkan.

Seorang sahabat yang suka men-campuri urusan orang, datang ke hadapan Nabi membawa kain yang sudah kotor, karena kotoran orang kafir itu, ia berkata: "Lihat, tamu anda sudah melakukan sesuatu yang buruk." Tapi Nabi tersenyum dengan senyuman rahmatan lil 'alamîn, beliau berkata: "Ambillah ember air ke sini, biarkan aku sendiri yang akan member­sihkannya dengan tanganku".

Setiap sahabat meloncat dan berteriak: "Demi Tuhan, bukankah seluruh jiwa dan tubuh kami menjadi tebusan bagi engkau, biarlah kami yang akan membersihkan kotoran ini. Serahkan ini pada kami. Membersihkan kotoran ini adalah kerja tangan bukan kerja hati. Wahai La Amruk (panggilan Allah Swt kepada Nabi dalam QS 15:72, yang artinya demi kehidupanmu). Wahai zat yang Tuhan bersumpah dengan kehidupannya yang telah menjadikannya khalifah dan meletakannya di atas singgasana, kami ini hidup untuk berbakti kepada anda. Kalau anda sendiri melaku­kan kebaktian itu, lalu apa jadinya kami ini semua".

Nabi berkata: "Saya tahu, ini peristiwa yang luar biasa dan saya punya alasan untuk mencucinya dengan tangan saya sendiri".

Mereka menunggu seraya berkata: "Ini kata-kata Nabi, mesti ada misteri dan hikmah di baliknya". Nabi Saw. sibuk membersihkan kotoran itu, dengan semata-mata memenuhi perintah Tuhan, bukan karena mengiku­ti secara taklid dan bukan mengharapkan pamrih, karena hatinya berkata: "Cucilah kotoran itu, karena di baliknya ada hikmah yang tersembunyi".

Orang kafir yang malang itu mem-punyai azimat sebagai kenang-kenangan. Ketika melihat bahwa azimatnya hilang, ia tertahan sebentar, berusaha untuk melarikan diri. Ia berkata: "Kamar tempat saya tinggal tadi malam mestilah menyimpan azimat saya". Walaupun ia malu, kerakusannya akan azimat itu menghilangkan rasa malunya dan malu adalah sebuah Naga Perkasa yang bisa menyeret setiap orang.

Karena mencari azimat itu, berlarilah ia ke rumah Al-Musthafa dan tiba-tiba ia melihat Tangan Tuhan dengan penuh ceria membersih-kan kotoran itu dengan tangannya yang mulia, tidak jauh dari mata orang kafir yang jahat itu. Keinginan untuk mempe­roleh azimat hilang dari pikirannya, dan sebuah kegelisahan muncul dalam hatinya. Ia merobek-robek bajunya, ia memukul wajahnya dan dengan kedua tangannya. Ia membenturkan kepalanya ke dinding dan pintu. Dalam keadaan seperti itu darah mengalir dari hidung dan kepalanya.

Sang Pangeran Muhammad jatuh iba kepadanya. Ia berteriak pilu. Orang-orang berkumpul di sekitarnya, orang kafir itu menangis: "Hai Manusia dengarlah." Ia pukul kepalanya sambil berkata: "Ah ... kepala yang tidak memiliki pemahaman." Ia pukul dadanya seraya berkata: "Ah ... dada yang tidak pernah mendapat cahaya." Ia menghempaskan dirinya, ia berteriak: "Duhai Pangeran, yang memiliki seluruh bumi ini, bagian yang hina ini tak sanggup menahan rasa malu di hadapan-mu. Engkau yang karenamu diciptakan seluruh alam semesta ini, yang seluruh alam semes­ta pasrah di hadapannya. Aku ini hanya bagian kecil, seorang yang hina dina dan tidak mendapat petunjuk. Engkaulah sang keseluruhan, sekarang dengan penuh kerendahan hati, bergetar di hada­pan Tuhan. Sedangkan aku cuma noktah kecil, setiap hari menentang dan melawan Tuhan".

Setiap saat ia menengadahkan wajah-nya ke langit, seraya berkata: "Saya tidak memilki wajah lagi untuk melihat kepada-Mu, wahai qiblah dunia ini." Ketika ia bergetar gemetar, tak terpermanai di hadapan Al-Musthafa, Al-Musthafa menepukan tangannya, menenangkan dia, membujuknya, membuka mata­nya dan memberikan kepadanya pengetahuan.

*** 
Setelah itu Matsnawi bercerita  bahwa kisah itu merupakan sebuah metafora. Pertama, bahwa Nabi Saw. datang untuk membersihkan kita dari kotoran-kotoran kita dengan tangannya yang mulia. Kedua, setelah kita mengeluarkan seluruh kotoran kita dan menyer­ahkan sepenuhnya kepada Rasulullah Saw. untuk membersihkannya, kita akan memperoleh kehidupan yang baru. Ketiga, bahwa setiap kehidupan rohaniah yang baru, harus disertai penderitaan dan tangisan.

Sekarang saya akan melanjutkan puisi Jalaluddin Rumi ini: "Kalau awan tidak menangis, mana mungkin taman-taman akan terseny­um. Kalau bayi tidak menangis mana mungkin air susu akan mengalir. Bayi yang berusia satu tahun tahu hal ini, nalurinya berkata: "Aku akan menangis supaya ibu yang penyayang segera datang". Supaya sang perawat segera datang. Tidakkah kamu tahu bahwa Sang Perawat dari Segala Perawat tidak akan memberikan susu kepadamu sebelum tangisan kamu. Bukankah Tuhan berkata: "Biarkan mereka menangis banyak". Dengarkan karunia sang Khaliq akan mencurahkan kepadamu air susunya.

Tangisan awan dan sentuhan cahaya matahari adalah tonggak dunia ini, gabung-kanlah keduanya bersama di dalam dirimu. Jika tidak ada panas matahari dan air mata awan, bagaimana mungkin hakikat dan tabiat menjadi besar dan kuat. Bagaimana mungkin empat musim akan terjadi, kalau tidak ada sinar matahari dan tangisan awan. Karena panasnya cahaya matahari dan tangisan awan di dunia  membuat dunia ini segar dan manis. Biarkan matahari akalmu menyala dan biarkan matamu berlinang dengan air mata seperti awan. Kamu perlu mata yang bisa menangis, seperti tangisan anak kecil. Jangan makan roti duniawi ini, karena roti itu akan membawa air ruhanimu. Jika tubuh akan menghasilkan dedaunan pada ranting-rantingnya, maka jiwa haruslah mencampakkan dedaunan itu dan mendatangkan musim gugurnya. Ketika tubuh subur dengan dedaunan, jiwa harus kehilang-an dedaunan itu sama sekali. Bersegeralah jangan ragu-ragu, pinjami Tuhan, berikan dedaunan. Campakkan dedaunan tubuhmu itu supaya engkau bisa memperoleh taman yang tumbuh dalam hatimu. Berikan pinjaman itu, hancurkan seluruh makanan tubuhmu, supaya wajah ini bisa melihat, apa yang tidak bisa dilihat mata. Ketika tubuh mengeluarkan seluruh isinya yang kotor, Tuhan akan memenuhi­nya dengan Kesturi dan Mutiara yang gemerlap. Ia orang kafir itu, mengeluarkan kotorannya supaya memperoleh kesucian dari tangan Rasulullah Saw. yang mulia.


Looking for last minute shopping deals? Find them fast with Yahoo! Search.

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
All-Bran

Day 10 Club

on Yahoo! Groups

Feel better with fiber.

Find Balance

on Yahoo! Groups

manage nutrition,

activity & well-being.

Special K Group

on Yahoo! Groups

Learn how others

are losing pounds.

.

__,_._,___

[psikologi_transformatif] hak dan kewajiban terhadap rasulullah (1)..

dari salah satu web site islam....

HAK DAN KEWAJIBAN TERHADAP RASULULLAH (I)

Al-Quran Al-Karim yang diturunkan kepada Rasulullah Saw untuk disampaikan kepada kita, sebetulnya adalah kitab perjanjian. Al-Quran sendiri sering menyebut kata perjanji¬an itu. Hanya kita tidak menamai kitab suci kita, dengan nama perjanjian, kita menyebut kitab suci kita dengan "bacaan", Al-Quran. Kitab suci terdahulu masih disebut oleh para peng-ikutnya dengan istilah perjanjian. Misalnya orang-orang Kristen menyebut Taurat sebagai Perjanjian Lama dan Injil mereka sebut sebagai Perjanjian Baru. Lepas dari persoalan apakah itu asli atau tidak, tapi mereka masih menyebut kitab sucinya itu kitab Perjanjian.

Al-Quran kita sebut Perjanjian juga, antara kita dengan Allah Swt, antara pencipta dengan makhluknya. Al-Quran juga sering menyebut kata perjanjian itu. Dalam bahasa Al-Quran per¬janjian itu disebut 'Ahd, misalnya dalam ayat awfû bi 'ahdi, ûfi bi 'ahdikum (Penuhilah oleh kamu perjanjian-Ku, nanti aku laksa¬nakan perjanjianmu. Penuhilah janji, karena janji itu akan dimin¬tai pertanggung- jawabannya) (Q.S. Al-Baqarah, 2:40). Bahkan Al-Quran men¬ceritakan bahwa perjanjian ini pertama kali dirumuskan di alam Dzur. Jauhsebelum kita lahir ke dunia ini, ketika kita berada di alam arwah, kita mengikatkan perjanjian ini dengan Allah Swt. Karena Al-Quran ini Kitab Perjanjian, maka di dalam Al-Quran dijelaskan beberapa hal. Pertama, siapa yang berjanji, yaitu pihak kesatu dan pihak kedua. Pihak kesatu punya hak dan kewajiban, begitupun dengan pihak kedua.
Jadi biasanya perjanjian itu dirinci, disebutkan siapa yang berjanji yaitu pihak kesatu dan pihak kedua. Kemudian hak-hak dan kewajiban-kewajiban masing-masing dan apa yang terjadi kalau perjanjian itu dilanggar. Al-Quran juga begitu, seluruh surat-surat dan ayat-ayat Al-Quran merupakan perjanjian, misalnya: kita lihat QS Ar-Rahman.

Ar-Rahman itu pihak pertama, yaitu Allah Swt yang membuat perjanjian dengan kita. Kemudian Allah menyebutkan kewajiban-kewajiban Allah kepada manusia yang menjadi pihak kedua, yaitu bahwa Allah menciptakan dia, mengajarkan Al-Quran, mengajarkannya kemampuan berbicara, berfikir, menjadikan matahari dan bulan yang semuanya tunduk kepada Tuhan, juga gemintang dan pepohonan. Setelah itu Tuhan menyebutkan, "seakan-akan Aku sudah melaksanakan kewajiban-kewajiban-Ku, kemudian apa kewajiban kamu (manusia)", Ala tatghau fil mizan (hendaknya kamu jangan melewati batas, jangan melewati perjanjian ini,
Al-Quran Al-Karim yang diturunkan kepada Rasulullah Saw untuk disampaikan kepada kita, sebetulnya adalah kitab perjanjian. Al-Quran sendiri sering menyebut kata perjanji­an itu. Hanya kita tidak menamai kitab suci kita, dengan nama perjanjian, kita menyebut kitab suci kita dengan "bacaan", Al-Quran. Kitab suci terdahulu masih disebut oleh para peng-ikutnya dengan istilah perjanjian. Misalnya orang-orang Kristen menyebut Taurat sebagai Perjanjian Lama dan Injil mereka sebut sebagai Perjanjian Baru. Lepas dari persoalan apakah itu asli atau tidak, tapi mereka masih menyebut kitab sucinya itu kitab Perjanjian.

Al-Quran kita sebut Perjanjian juga, antara kita dengan Allah Swt, antara pencipta dengan makhluknya. Al-Quran juga sering menyebut kata perjanjian itu. Dalam bahasa Al-Quran per­janjian itu disebut 'Ahd, misalnya dalam ayat awfû bi 'ahdi, ûfi bi 'ahdikum (Penuhilah oleh kamu perjanjian-Ku, nanti aku laksa­nakan perjanjianmu. Penuhilah janji, karena janji itu akan dimin­tai pertanggung- jawabannya) (Q.S. Al-Baqarah, 2:40). Bahkan Al-Quran men­ceritakan bahwa perjanjian ini pertama kali dirumuskan di alam Dzur. Jauh sebelum kita lahir ke dunia ini, ketika kita berada di alam arwah, kita mengikatkan perjanjian ini dengan Allah Swt. Karena Al-Quran ini Kitab Perjanjian, maka di dalam Al-Quran dijelaskan beberapa hal. Pertama, siapa yang berjanji, yaitu pihak kesatu dan pihak kedua. Pihak kesatu punya hak dan kewajiban, begitupun dengan pihak kedua.

Jadi biasanya perjanjian itu dirinci, disebutkan siapa yang berjanji yaitu pihak kesatu dan pihak kedua. Kemudian hak-hak dan kewajiban-kewajiban masing-masing dan apa yang terjadi kalau perjanjian itu dilanggar. Al-Quran juga begitu, seluruh surat-surat dan ayat-ayat Al-Quran merupakan perjanjian, misalnya: kita lihat QS Ar-Rahman.

Ar-Rahman itu pihak pertama, yaitu Allah Swt yang membuat perjanjian dengan kita. Kemudian Allah menyebutkan kewajiban-kewajiban Allah kepada manusia yang menjadi pihak kedua, yaitu bahwa Allah menciptakan dia, mengajarkan Al-Quran, mengajarkannya kemampuan berbicara, berfikir, menjadikan matahari dan bulan yang semuanya tunduk kepada Tuhan, juga gemintang dan pepohonan. Setelah itu Tuhan menyebutkan, "seakan-akan Aku sudah melaksanakan kewajiban-kewajiban-Ku, kemudian apa kewajiban kamu (manusia)", Ala tatghau fil mizan (hendaknya kamu jangan melewati batas, jangan melewati perjanjian ini, jangan langgar perjanjian ini). Kemudian Tuhan menjelaskan lagi kewajiban-Nya Allah hamparkan bumi bagi seluruh makhluk, di dalam bumi itu Tuhan ciptakan buah-buahan dan kurma-kurma dengan ma­yangnya yang terurai, biji-bijian yang mempunyai rasa dan harum tertentu, maka nikmat Tuhan yang mana yang kalian dustakan?" (Q.S. Al-Rahman, 55:10-13)

Surat Ar-Rahman itu semua berisi, secara bersambung, hak dan kewajiban Allah serta hak dan kewajiban manusia. Semua surat begi­tu, bahkan surat yang paling pendek sekalipun, termasuk di antara­nya surat Al-Fatihah. Pada surat Al-Fatihah, seluruh perjanjian kita dengan Allah disingkatkan dalam Ummul Kitab, artinya induk dari seluruh Al-Quran, abstrak dari seluruh Al-Quran. Abstrak itu ialah singkatan yang menghimpun seluruhnya.

Disebutkan dalam Al-Fatihah, pihak pertama yang membuat perjanjian dengan kita, yaitu Allah Swt dengan segala sifat-sifat-Nya dan dengan segala kewajibannya kepada kita. Bis­millahirahman dan seterusnya sampai maaliki yaumiddin, adalah kewajiban Allah pada kita. Pertama, nama yang membuat perjanjian pihak pertama adalah Allah. Kemudian  di antara kewajiban Allah kepada kita adalah Ar-Rahman Ar-Rahim, Allah menyayangi kita, itu adalah kewajiban-Nya. Dalam Al-Quran disebutkan Kataba ala naf­sihi rahmah (Q.S. Al-An'am, 6:12)

Tuhan mewajibkan kepada diri-Nya menyayangi kamu. Jadi itu kewajiban Allah kepada kita. Kemudian, Tuhan menganu­grah-kan kenikmatan kepada kita, dengan memelihara seluruh alam semesta ini, dan  akan mengadili kita dengan adil pada hari pembalasan.

Lalu disebutkanlah kewajiban kita kepada Allah. Sing­katnya kewajiban kita pada Allah ada dua, yaitu Iyyakana budu wa iyya kanasta'in. Yang pertama ialah beribadah kepada-Nya, itu adalah hak Allah kepada kita dan kewajiban kita kepada Allah Swt.  Termasuk kewajiban kita kepada Allah, yaitu meminta tolong kepada-Nya, meminta bantuan-Nya. Kata ibadah ini juga berarti  kita taat. Ketaatan kepada Allah adalah kewajiban kita kepada-Nya. Ibadah dalam arti khusus adalah membaca do'a dan shalat, sedangkan ibadah dalam arti luas adalah ketaatan kepada Allah dan itu kewajiban utama kita kepada Allah. Bahkan Allah menciptakan kita untuk beribadah kepada-Nya, wamâ khalaqtul jinna wal insa illâ liyâbudûn.

Imam Ali bin Husayn AS berkata: Adapun hak Allah yang agung adalah engkau itu beribadah kepada-Nya, janganlah kamu musyrik kepada-Nya sedikit pun. Kalau engkau telah melakukan ibadah itu dengan ikhlas, maka kewajiban Allah terhadap diri-Nya ialah Allah akan mengurus urusan kamu di dunia dan di akhirat. Allah akan cukupi keperluan kamu di dunia dan di Akhirat dan Allah akan menjaga kamu dengan apa yang kamu sukai. Jadi disebut­kan juga kewajiban kita dan Allah Swt. Hak Allah yang paling besar ialah kita menyembah-Nya dan hak kita ialah Allah mencukupi keperluan kita di dunia dan di akhirat, menjaga kita, dan memeli­hara kita seperti yang kita inginkan.

Ibadah adalah kewajiban pertama kita yang paling besar kepada Allah Swt. Allah dalam perjanjian-Nya tidak meminta apa-apa kepada kita, tidak meminta imbalan apa-apa. Allah hanya memer­intahkan kita beribadah kepada-Nya. QS Adz-Dzariyat 56-57, Allah Swt berfirman: "Aku tidak ciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Ku, Aku tidak meminta dari mereka itu rizki, Aku juga tidak minta mereka memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya Allah adalah pemberi rizki yang memiliki kekuasaan yang perkasa" (Q.S. Al-Dzariyat, 51:56 dan 57)

Kewajiban kita yang kedua adalah bertawakal kepada-Nya, kita harus ber-gantung kepada-Nya. Kita harus melepaskan diri dari ketergantungan kepada siapa pun dan harus menggantungkan diri kita kepada Allah saja. Karena itu orang-orang sufi sering menga­takan supaya kita sampai kepada ketergantungan yang sempurna kepada Allah,  maka setiap orang yang sedang merintis jalan mendekati Allah Swt di pertengahan jalan akan diuji Tuhan berkali-kali. Yaitu, akan dibuatnya mende­rita karena ketergantungan selain kepada Allah. Jadi kalau orang ini sangat cinta kepada anaknya, sangat tergantung hidupnya kepada anaknya,  anak yang dicintainya itu akan diambil Tuhan supaya dia kembali bergantung kepada-Nya.  Begitu pun jika ada orang yang sangat tergantung kepada suaminya, kalau Tuhan menghendaki dia sampai kepada puncak tawakal yang tinggi, Tuhan akan mengambil suaminya supaya putuslah ketergantungan dia kepadanya dan hanya bergantung kepada Allah Swt. Kalau orang itu kebahagiaan dan penderitaannya sangat bergantung kepada harta, sehingga harta itu yang menjadi kesibukannya saja setiap hari, jika Tuhan ingin mendekatkan orang itu kedekat-Nya dan kehari­baan-Nya, agar orang itu menjadi pencinta Allah yang sejati, maka diberinya kesulitan dalam urusan harta bendanya. Diberinya keku­rangan sehingga dia datang kepada Allah dan bergantung lagi kepada-Nya, lalu dia mengucapkan Iyyâ kana' budu wa iyyâ kanas­ta'în, kepada-Mu kami beribadah dan kepada-Mu kami meminta tolong.

Kemudian Allah jelaskan apa sanksi-nya kalau orang itu tidak menjalankan kewajibannya. Apa untungnya kalau kita mengikuti perjanjian itu? Disebutkan kalau kita men­gikuti perjanjian itu kita akan diberi petunjuk oleh Allah Swt, kita ditempatkan kepada golongan orang-orang yang diberi kenikma­tan. Apa yang terjadi kalau kita melanggar perjanjian itu? Kita akan dimurkai Allah Swt dan kita termasuk orang yang sesat. ghairil maghdubi alayhim  Jadi sekali lagi Al-Quran adalah Kitab Perjanjian kita dengan Allah Swt, tetapi di dalam Al-Quran juga dijelaskan bukan hanya hak dan kewajiban kita terhadap Allah tapi hak dan kewajiban kita terha­dap sesama manusia, hak dan kewajiban kita terhadap para Nabi, hak dan kewajiban kita terhadap para Imam, dan terhadap makhluk Allah yang lainnya.

Saya ingin membicarakan selain hak-hak kepada Allah Swt yang tercantum dalam  Iyyâ kana' budu wa iyyâ kanasta'în, juga hak-hak Nabi kepada kita dan hak-hak kita kepada Nabi. Dengan kata lain apa kewajiban Nabi kepada kita dan apa kewajiban kita terhadap Nabi Saw. Mungkin kita akan banyak  membicarakan kewajiban kita kepada Nabi.

Kewajiban Nabi yang pertama ialah menyampaikan risalah Allah Swt kepada kita, menyampaikan bimbingan Allah kepada kita. Ketika Nabi Adam dan Siti Hawa diusir dari surga, kemudian Iblis meminta tempo kepada Tuhan agar diizinkan untuk menyesatkan umat manusia, Tuhan berkata: "Kami akan kirim kepada kamu semua, Kami akan kirim para Rasul". Dan sepanjang sejarah, Tuhan kirimkan para Rasul. Kewajiban Rasul Saw sama seperti kewajiban para nabi sebelum­nya, yaitu membawa manusia ke jalan Allah Swt dan membawa risalah.

Karena itu sebelum Nabi meninggal dunia, beliau kumpul­kan umatnya di sebuah tempat pada tanggal 18 Dzulhijah. Ketika pulang dari ibadah haji Rasul sampai kepada sebuah Oase yang bernama Ghadir Khum. Di situ Rasul mengumpulkan para sahabat, dan yang pertama kali Rasul tanyakan kepada seluruh sahabat, yang berjumlah ratusan ribu itu, ialah pertanyaan mengenai Hal ba­laghtu, kemudian kepada Allah Swt, Rasulullah Saw bersabda: "Ya Allah apakah aku sudah menyampaikan risalah yang Engkau perintah­kan kepadaku". Semua sahabat berkata: "Betul engkau sudah menyam­paikan risalah itu". Kalau kita ziarah ke makam Rasulullah Saw yang sangat dianjurkan di bulan Maulid, sambil mengenang Nabi kita melakukan ziarah, walaupun dari tempat yang sangat jauh. Di antara do'a dalam ziarah kepada Nabi Saw ialah: "Ya Rasulullah, engkau sudah menyampaikan risalah, aku bersaksi engkau sudah menyampaikan risalah, engkau bahkan sudah disakiti dalam menyam­paikan risalah itu".

Rasulullah menderita karena menyampaikan risalah. Sama seperti menderitanya orang yang mau membantu orang lain, tapi orang yang mau kita bantu itu malah tidak mau dibantu, bukan saja tidak mau dibantu malah orang itu mau membunuh orang yang mau membantunya. Seperti itulah penderitaan Rasulullah Saw. Semua Nabi dalam Al-Quran berkata: "Sudah aku sampaikan kepada kalian risalah Tuhanku".

Kewajiban Nabi khususnya Rasulullah Saw adalah juga memberikan syafaat kepada umatnya, kepada yang dicintainya dan kepada yang mengikutinya. Dalam satu hadits Nabi Saw bersabda: "Syafaatku aku khususkan kepada umatku". Jadi syafaat Rasulullah khusus diberikan kepada umat-nya, artinya yang mendapat syafaat mestilah umat Rasulullah Saw. Dengan kata lain yang mendapat sya­faat pastilah seorang mukmin. Orang kafir tidak akan mendapat syafaatnya. Ada hadits dalam Shahih Muslim dan Shahih Bukhari yang terkenal sebagai hadits Al-Dhahdhah, Nabi berkata: "Aku memberi syafaat kepada pamanku Abu Thalib,  dia ditarik dari neraka yang paling bawah sampai ke atas, sehingga Abu Thalib hanya disiksa sampai ke mata kakinya saja, tapi otaknya bergolak karena panas­nya". Ada orang yang berkata bahwa itu menunjukkan Abu Thalib kafir, karena dimasukan ke dalam neraka. Tapi itu juga dalil bahwa Abu Thalib muslim karena dia mendapat syafaat Rasulullah Saw, karena syafaat Rasulullah hanya diberikan kepada umatnya. Jadi itu dalil, bahwa sekiranya hadits itu betul, itu menunjukkan tentang keisla­man Abu Thalib, karena yang dimasukkan ke neraka bukan hanya orang kafir, orang Islam juga.

Jadi kewajiban Nabi ialah memberi-kan syafaat kepada kita. Dan karena itu, kita dianjurkan memohon syafaat Rasulullah Saw. Bagaimana kita mengharapkan syafaat Rasulullah Saw, kalau kita tidak pernah meminta kepadanya. Walaupun Nabi itu penuh kasih sayangnya, sehingga mungkin saja ia memberi syafaat kepada orang-orang yang tidak mau meminta syafaat kepadanya, karena besarnya kasih sayang Nabi kepada kita.

Kewajiban Nabi juga adalah menyayangi kita: Sudah datang kepada kalian seorang Rasul, yang sedih hatinya melihat penderitaan kalian, yang sangat senang kalau kalian memperoleh kebahagiaan, yang sangat pengasih dan sangat penyayang kepada kaum mukminin (Al-Taubah, 9:128). Boleh jadi Rasulullah akan memberi syafaat kepada orang yang tidak pernah meminta syafaat karena kasih sayangnya. Hanya orang itu keterlaluan, dia tidak pernah merasa ingin meminta syafaat kepada Rasulullah Saw. Mungkin dia merasa dirinya paling shaleh, sehingga tidak memerlu­kan lagi syafaat Rasulullah atau dia merasa sudah pasti masuk surga, karena itu tidak memerlukan Rasulullah Saw.

Apa ada orang yang tidak pernah meminta syafaat Rasulullah di kalangan kaum muslimin? Ada , misalnya orang yang mengatakan bahwa Rasulullah tidak bisa memberikan syafaat. Yang bisa memberi syafaat itu hanya Allah saja. Juga orang-orang yang tidak mau membaca do'a tawasul, karena dalam do'a tawasul ada yang berbunyi 'Wahai Rasulullah, wahai nabi yang membawa rahmat, kami ini memo­hon syafaat kepada-mu, kami tawasul kepadamu, wahai yang mulia di sisi Allah, berilah syafaat kepada kami di sisi Allah". Saya kira Rasulullah Saw mendengar rintihan umatnya yang meminta syafaat, apalagi kalau diucapkan terus-menerus. Kewajiban Rasulullah Saw yang lain ialah meminta ampunan untuk kita. Kita minta juga Rasulullah untuk mendo'akan kita. Kemudian kewajiban yang pertama kepada Rasulullah Saw adalah menaati Rasulullah Saw. Sebagaimana ibadah adalah kewaji­ban pertama kepada Allah, kewajiban pertama kita kepada Rasulul­lah Saw ialah menaatinya. QS Al-Hasyr : 7  "Apa yang dibawa oleh Rasulullah Saw, ambillah oleh kamu. Apa yang dilarang oleh Rasu­lullah Saw, tinggalkanlah. Bertakwalah kamu kepada Allah Swt, sesungguhnya Allah itu sangat berat siksanya". Kita lihat apa sanksinya kalau kita tidak mentaaati Rasulullah Saw. Apa contoh­nya kita ini mentaati Rasulullah Saw itu, yaitu semua yang diper­intahkan Nabi, baik dalam urusan dunia dan urusan akhirat harus kita laksanakan.

Dahulu ada di antara sahabat yang berpendapat bahwa hanya perintah Nabi yang berkenaan dengan ibadah saja yang harus diikuti, kalau Nabi itu memerintahkan urusan keduniaan tidak harus diikuti. Jadi hal-hal yang berkenaan dengan dunia tidak harus diikuti, misalnya: Nabi mengangkat seorang pemimpin. Itu urusan dunia dan tidak harus diikuti. Pernah ada rombongan datang menemui Nabi Saw, meminta kepada Nabi agar menunjuk pemimpin untuk kelompok itu, tapi sebelum Nabi Saw menyampaikan siapa yang harus ditunjuk, Abu Bakar berkata: "sudah kita angkat saja Al-Aqra bin Hâbis", Umar berkata: "Tidak, jangan dia yang diangkat, kita angkat saja Fulan Ibnul Fulan". Kemudian mereka bertengkar di hadapan Nabi Saw sehingga turunlah ayat Al-Quran yang memperingatkan mereka. "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya. Bertakwa-lah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengangkat suaramu di atas suara Nabi..." (Q.S. Al-Hujurat, 39:1-2) Sehingga katanya menurut riwayat, Umar bin Khatab setelah itu, kalau berbicara di hadapan Nabi ia berbicara seperti hampir berbisik, karena kuatir suaranya lebih tinggi dari suara Rasulul­lah Saw. Itu contoh bahwa ada sebagian di antara sahabat yang menduga bahwa hanya perintah Rasulullah yang berkenaan dengan ibadah saja yang harus diiikuti, perintah-perintah Rasulul­lah yang berkenaan dengan urusan keduniaan tidak usah diikuti. Pernah Nabi membuat perjanjian Hudaibiyah, sebagian sahabat protes tidak setuju dengan perjanjian yang dibuat oleh Nabi karena merasa terlalu mengalah kepada orang-orang kafir. Sampai ada salah seorang sahabat mengatakan: "Alaysa huwa Rasulullah?" Apa betul dia ini Rasulullah? Betul dia ini Rasulullah. Dia datang lagi kepada yang lain dan bertanya serupa, apa benar dia ini Rasulullah. Karena tidak yakin, dia datang sendiri kepada Rasulullah "Apakah benar engkau Rasulullah?" Benar, saya ini Rasulullah, kata Rasulullah. Tetapi orang itu tetap protes dengan pernyataan itu.

Bahkan pada waktu itu bukan saja urusan dunia yang ditolak oleh mereka, juga urusan ibadah. Waktu itu karena tidak jadi melakukan  umrah, tidak jadi masuk ke kota suci Makkah, Rasulullah meminta para sahabat itu menggunting rambut mengakhiri ihram walaupun tidak sampai ke Makkah. Sahabat-sahabat tidak mau melaksanakan perintah nabi, mereka tinggal di kemahnya masing-masing. Tidak ada yang mau keluar untuk menggunting rambut. Akhirnya Ummu Salamah (istri Nabi) berkata: "Ya Rasulullah, perlihatkan saja kepada mereka", lalu Rasulullah menggunting rambutnya. Barulah kemudian semua meng­gunting rambut juga. Jadi kewajiban kita ialah mentaati Rasulul­lah Saw, dalam segala perintahnya, baik yang bersangkutan dengan urusan dunia maupun yang bersangkutan dengan urusan ibadah. Jadi, kalau Rasulullah mengangkat pemimpin buat kita sepeninggalnya, maka kita pun harus ikuti perintah itu, walaupun itu tidak terma­suk urusan ibadah. Salah satu tanda kita mengikuti Rasulullah Saw ialah kita tidak boleh bimbang kalau sudah diputuskan oleh Allah dan Rasul-Nya, kita tidak boleh ragu-ragu. QS Al Ahzab : 36 "Tidak boleh seorang muslim, laki-laki maupun perempuan, kalau Allah dan Rasul-Nya sudah memutuskan urusannya, lalu mereka punya pilihan mereka sendiri, siapa yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka dia sudah sesat, dengan sesat sebenar-benarnya" . Jadi artinya tidak ada hak kita untuk mengajukan pendapat sendiri kalau Rasulullah sudah memutuskan. Tidak boleh kita mengambil jalan yang lain kalau Rasulullah Saw sudah menunjukkan-nya dan jangan merasa bahwa pendapat kita lebih baik dari pada tuntu­nan Rasulullah Saw.

Dahulu, pada tanggal 18 Dzulhijjah itu, ketika Rasulullah berbicara di hadapan kaum muslimin waktu itu dan kemudian mengangkat ALi bin Abi Thalib sebagai pemimpin sepening­galnya, dengan mengata-kan: "Man kuntu maulahu, fa hadza 'Aliyyun maulahu" siapa yang mengangkat aku sebagai pemimpinnya, maka inilah Ali diangkat juga sebagai pemimpinya. Sampai ke Madinah ada orang Islam mendatangi Rasulullah Saw dan berkata: "Muhammad, engkau ini sudah memperoleh kemenangan, engkau ini sudah jadi penguasa di seluruh Jazirah Arabiah. Engkau cantumkan namamu di dalam adzan. Rupanya engkau tidak puas juga, sekarang engkau angkat kemenakan­mu sebagai pemimpin sepeninggalmu, apa ini betul dari Allah?  Kemudian Rasulullah berkata: "Ini betul perintah dari Allah Swt". "Kalau benar itu perintah dari Allah Swt, saya tan­tang adzab Tuhan". Waktu itu juga, Halilintar menyambarnya dan membelah tubuhnya menjadi dua bagian. Kata sebagian ahli tafsir, itulah yang menjelaskan ayat Al-Quran,   "Seseorang menantang untuk mendapatkan adzab dari Allah Swt. Bagi sang kafir adzab itu tidak bisa dihindarkan olehnya" (Q.S. Al-Ma'arij, 70:1). Itu berkenaan dengan orang-orang yang ragu-ragu menerima keputu­san Rasulullah Saw.

Kewajiban yang kedua
adalah mencintai Rasulullah Saw. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda: "Tidak beriman kamu, sebelum aku lebih kamu cintai dari dirimu, keluargamu, dan seluruh umat manusia". Kita mungkin mencintai Rasulullah walaupun mungkin kita lebih cinta diri kita, keluarga kita, harta kita. Tapi ada bukti-bukti bahwa kita masih cinta kepada Rasulullah Saw. Misalnya, kalau ada yang menghina Rasulullah Saw, mencemoohkannya, kita marah. Itu pertanda bahwa masih ada sinar kecitaan kita kepada Rasulullah Saw. Kalau ada orang yang mendengar Nabi dihina, tapi dia tidak tersinggung sedikitpun, itu pertanda sudah hilang seluruh unsur kecintaan dalam dirinya kepada Rasulullah Saw. Dulu ketika Salman Rusdhie menghina Rasul, seluruh dunia Islam marah (sebagian besar). Sehingga kata Annemarie Schimel yang menulis buku Dan Muhammad Utusan Allah , " Di dunia Islam, anda boleh menghina Tuhan, orang-orang tidak akan marah kalau Tuhan dicemoohkan. Tapi orang Islam akan marah kalau Rasulullah dihinakan atau direndah­-kan". Itu pertanda bahwa kita masih memiliki sinar kecintaan kepadanya.

Saya akan bacakan beberapa hadits tentang kecintaan sahabat-sahabat Nabi kepada Rasulullah. Dari Amirul Muminin Ali bin Abi Thalib as: "Seorang laki-laki Anshar datang menemui Rasulullah Saw, ia berkata: Ya Rasulullah, saya tidak berpisah dengan eng­kau. Kadang-kadang saya sudah masuk ke rumah, saya ingat engkau. Lalu saya tinggalkan barang-barang saya, saya datang menemuimu, saya pandang wajahmu dengan penuh kecintaan kepadamu, lalu aku ingat nanti pada hari kiamat engkau dimasukan ke surga yang tinggi dan aku ditempatkan di tempat yang lain". Turunlah ayat ini, An-Nisa:69 "Barang siapa taat yang kepada Allah dan Rasul-Nya, maka dia akan digabungkan dengan orang-orang yang diberi nikmat, yaitu para Nabi, para shidiqin, para syuhada, para sholihin dan alangkah indahnya bergabung dengan mereka". Kemudian Nabi membaca-kan ayat ini kepada orang itu, dan meng-gembirakannya, bahwa kalau kamu mencintai Nabi, kamu akan digabungkan beserta Nabi.

Dari Anas bin Malik RA: "Datang seorang penduduk kampung, kami keheranan karena penduduk kampung datang menemui Nabi, kemudian bertanya kepada Nabi Saw: "Ya Rasulullah kapan kiamat itu akan tiba?". Karena waktu shalat sudah datang, maka Rasulullah tidak segera menjawabnya namun segera melakukan shalat. Setelah beliau shalat, beliau berkata: "Mana itu, orang yang bertanya tentang hari kiamat?" "Saya, Ya Rasulul­lah", kemudian Rasulullah berkata: "Apa yang kamu siapkan untuk hari kiamat?". Orang itu berkata, "Demi Allah, aku tidak memper­siapkan amal shalat atau shaum yang banyak, kecuali aku ini mencintai Allah dan Rasul-Nya". Nabi bersabda: "Orang itu akan digabungkan dengan orang yang dicintainya". Kata Anas bin Malik: "Aku belum pernah melihat orang Islam begitu bahagia setelah masuk Islam, seperti ketika mendengar pernyataan Nabi, bahwa siapa yang mencintai Nabi, akan digabungkan bersama Nabi pada hari kiamat".

Diriwayatkan dari Abi Abdillah as. Dia berkata: " Ada seseorang di Madinah yang pekerjaannya menjual minyak. Dia sangat mencintai Rasulul­lah, dengan kecintaan yang luar biasa. Apabila dia bermaksud memenuhi keperluannya, dia belum pergi sebelum, memandang wajah Rasulullah. Dia dikenal di kalangan sahabat, sebagai tukang menatap Rasulullah, apabila dia datang dia mau berlama-lama dengan Rasulullah Saw dan memandangnya, sampai pada suatu hari masuk­lah dia menemui Rasulullah Saw, lalu Rasulullah pun bersamanya berlama-lama, sampai dia puas memandang wajah Rasulullah, setelah itu dia pergi. Tapi tidak lama kemudian, dia datang kembali menemui Rasulullah. Ketika Rasulullah melihatnya, buru-buru Rasulullah balik lagi. Rasulullah memberi isyarat dengan tangannya supaya dia duduk, lalu duduklah orang itu di hadapan Nabi, lalu Nabi bertanya: "kenapa kamu lakukan hal ini yang tidak pernah kamu lakukan sebelumnya?". Lalu dia berka­ta: "Ya Rasulullah, demi yang mengutus engkau dengan membawa kebe­naran sebagai Nabi, ketika tadi aku pergi hatiku dipenuhi kenang-an kepadamu, sehingga aku tidak bisa melakukan pekerjaan apapun karena teringat kepadamu. Karena itu aku buru-buru kembali kepa­damu. Lalu dia minta izin kepada Rasulullah untuk memandang wajah­nya lagi. Rasulullah mendoakannya dan mengatakan yang baik-baik untuknya.

Setelah peristiwa itu Rasulullah Saw tidak melihat lagi orang itu. Ketika Rasulullah tidak melihatnya, Rasulullah bertanya: "Kemana dia?" dikatakan kepada Nabi "Ya Rasulullah kamipun tidak melihat dia sudah berhari-hari". Rasulullah mengambil sandalnya diikuti oleh para sahabatnya. Rasulullah berangkat ke pasar ke tempat penjual minyak itu. Ternyata di toko orang itu tidak ada seorangpun. Beliau bertanya kepada tetangganya di situ. Orang itu berkata: "Ya Rasulallah, pedagang minyak itu telah meninggal dunia". Orang-orang memberi komentar tentang dia "Ya Rasulullah orang ini terkenal di antara kami sebagai pedagang yang jujur, terpercaya, dan memelihara amanah, hanya ada satu saja". Lalu Rasulullah berkata: "Apa yang satu itu". Mereka berkata: "dia ini senang perempuan (bukan melakukan maksiat)". Lalu kata Rasulullah: "Sungguh dia ini sangat mencintaiku, sekiranya dia ini tidak jujur dalam dagangnya, Tuhan akan mengampuni-nya karena kecintaannya kepadaku". *
Mulla Nasrudin terkenal karena lelucon-leluconnya. Ia menga­jarkan kearifan lewat keluguan, atau dengan kata yang lebih jelas, ketololan. Di kalangan sufi, Nasrudin dijadikan rujukan untuk mengajarkan makrifat. Ia lucu, tolol, lugu, dan sekaligus bijak. Perilakunya yang sulit dipahami dipandang sebagai mistikal yang mempesona. Banyak bangsa mengklaim Nasrudin sebagai bangsanya. Orang Turki setiap tahun memperingati festival Nasrudin, dengan memperagakan dage­lannya  Eskishensir, yang diduga tempat kelahiran-nya. Pada Zaman Uni Soviet, Nasrudin adalah tokoh Soviet yang membabat habis kaum kapitalis. Orang Arab mengubah Nasrudin jadi Joha. Masih dengan nama yang sama, orang menganggapnya sebagai orang . Kisah-kisah Nasrudin, dengan sedikit modifikasi, masuk kedalam  Don quixote, fables  dari Marie De France, sampai Baldakiev dalam sastra Rusia.

Lelucon Nasrudin harus kita terima dengan hati yang terbuka karena ia bersifat terbuka, ia mengundang banyak penafsiran, dan tak ada interpretasi yang paling benar. Karena sifatnya yang terbuka, kisah Nasrudin bukan hanya milik orang Turki, Arab, atau . Ia milik seluruh umat manusia yang masih mempunyai hati nurani. Tidak boleh ada yang tersinggung. Nasrudin tidak mencemooh anda secara partikular ia menyindir manusia secara univer­sal. Orang seperti Nasrudin ada dimana-mana. Ia bisa bernama Si Kabayan di Jawa Barat, Si Lebay malang di Sumatera Barat atau Bahlul di negara-negara timur tengah. Pesan mereka sama: tertawa­lah melihat ketololan-ketololan yang anda lakukan sebelum diter­tawakan orang lain. "Mulla Nasrudin", tulis Ablahi Mutlaq -nama ini berarti kebodohan mutlak, dalam ajaran Nasrudin, "Adalah penghulu para darwis dan perbendaharaan rahasia, manusia sempur­na. Banyak orang berkata: Aku ingin belajar, tapi disini aku hanya menemukan kegilaan. Tetapi sekiranya mereka mencari keari­fan yang dalam di tempat lain mereka tidak akan menemukan-nya."

Pada saat-saat krisis seperti sekarang, marilah kita mencari kearifan yang dalam dari kegilaan Nasrudin. Bacalah sebagai hiburan ringan, tak lebih dari itu saya akan mengisahkan kepada anda kisah Nasrudin seperti diceritakan Idrisyah dalam The subti­eties oy the inimitable Mulla Nasrudin. "Jika tidak ada di antara kalian seorang yang dapat mengata­kan sesuatu yang menghiburku", teriak seorang raja yang tiranis dan kecapaian, "aku akan memotong leher semua orang  yang berada di istanaku". Mulla Nasrudin segera menghadap", Baginda, jangan potong kepalaku, hamba akan melaku-kan sesuatu". "Apa yang dapat kamu lakukan?"  "Hamba dapat mengajari keledai membaca dan menulis". Raja berkata, "Sebaiknya kamu mengerjakannya, jika tidak aku akan mengulitimu hidup-hidup".  "Hamba akan melakukan­nya", kata Nasrudin, "tetapi perlu waktu sepuluh tahun". "Tidak apa-apa", kata raja, "Kamu punya waktu 10 tahun".

Ketika pertemuan itu sudah selesai, para pembesar mengerumuni Nasrudin, "Mulla", kata mereka, "Betulkah anda dapat mengajar keledai membaca dan menulis". "Tidak" kata Nasrudin, "kalau begitu", kata pembesar yang bijak", "Anda hanya mendatangkan ketakutan dan kecemasan selama satu dasa warsa. Sebab, pada akhir­nya anda akan dihukum mati. Ah betapa tololnya, lebih menyukai 10 tahun penderita-an dan memikirkan kematian ketimbang satu tebasan kilat pedang algojo". "Anda lupa satu hal", kata Mulla, "Raja kita sekarang berusia 75 tahun dan aku berusia 80 tahun. Lama sebelum waktu itu habis, unsur-unsur lain akan masuk ke dalam cerita".

***
Berikut ini satu cerita Nasrudin lagi dari buku Idries Shah yang sama, tetapi berjudul  The Exploits of the incomparable Mulla Nasrudin . Di seluruh negeri terjadi keresahan. Raja mengi­rim delegasi kebudaya-an ke setiap desa untuk mententramkan rakyat. Kemanapun mereka datang, rakyat sangat terkesan. Dari mereka orang dapat belajar ilmu pengetahuan dan keahlian. Salah seorang di antara mereka pengarang, yang lainnya ulama, dan yang ketiga anggota keluarga kerajaan. Ada ahli hukum, prajurit, saudagar dan banyak lagi. Pada setiap tempat yang mereka datangi, mereka mengadakan pertemuan di ruang yang terbuka. Orang-orang berkumpul dan mengajukan pertanya-an. Ketika sampai ke desa Nasrudin, perte­muan besar yang dikepalai oleh walikota, menyambut rombongan tersebut. Pertanyaan diajukan dan dijawab. Setiap orang terkesan atau setidak-tidaknya terpengaruh oleh kebesaran delegasi. Nasrudin datang terlambat. Sebagai tokoh lokal, ia didesak untuk duduk di depan. "Apa yang sedang kalian lakukan di sini?" tanya Nasru­din. Ketua rombongan tersenyum ramah, "Kami ini serombongan ahli, Kami datang kesini untuk menjawab semua pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh rakyat sendiri. Dan anda sendiri, maaf, siapakah anda?" "Oh, saya," kata Nasrudin tanpa berpikir panjang. "Anda harus mempersilahkan saya naik ke mimbar". Ia naik menuju tempat para tamu penting. "Saya datang ke sini untuk menjawab pertanyaan yang tidak anda ketahui jawabannya. Bisakah kita mulai dari hal-hal yang membingungkan anda, wahai para ahli yang terke­muka?". Saya mengakhiri tulisan ini setelah mendengarkan diskusi yang menarik dari para ahli dalam televisi tentang penerapan CBS di Indonesia. Saya tidak akan berpretensi bahwa kisah Mulla Nasrudin relevan dengan diskusi itu. Ia relevan dengan apa pun yang kita pikirkan.


Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Y! Messenger

All together now

Host a free online

conference on IM.

Y! Groups blog

the best source

for the latest

scoop on Groups.

Wellness Spot

on Yahoo! Groups

A resource for living

the Curves lifestyle.

.

__,_._,___

[psikologi_transformatif] kepada Yth bapak/ibu fifi ra

Yth bapak/ibu fifi ra
saya ada topik mengenai database member mailing list
psikologi_transformatif@yahoogroups.com ini.
saya sangat berharap, member2 mailing list ini
khususnya para psikolog dapat mengisi di topik itu.
ini topiknya:
http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif/message/40337
nama bapak/ibu, sudah saya saya cantumkan di nomor 39.

terimakasih sebelumnya.
salam hormat, saya.

__________________________________________________________
Looking for last minute shopping deals?
Find them fast with Yahoo! Search. http://tools.search.yahoo.com/newsearch/category.php?category=shopping

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Y! Messenger

Quick file sharing

Send up to 1GB of

files in an IM.

All-Bran

Day 10 Club

on Yahoo! Groups

Feel better with fiber.

Yahoo! Groups

Special K Challenge

Join others who

are losing pounds.

.

__,_._,___

[psikologi_transformatif] tuhan berfilsafat...???????

dari salah satu web site islam....

Tuhan Berfilsafat? Cetak E-mail
Artikel - Aqidah - Filsafat
Ditulis Oleh Muhsin Labib   
Senin, 11 Juni 2007
ImageApakah ayat-ayat Al-Qur'an dapat diperlakukan sebagai premis-premis dan teks-teks semata yang harus tunduk pada standar validitas dalam logika? Apakah Al-Qur'an menganjurkan kita untuk 'percaya bahwa'? Apakah Al-Qur'an memuat argumentasi tentang keberadaan Tuhan, Sang kausa Prima ataukah tidak?
Ada beberapa pendapat dan jawaban atas pertanyaan di atas. Pertama, bahwa dalam Al-Qur'an tidak terdapat ayat yang memuat argumentasi rasional akan keberadaan Tuhan karena keberadaan-Nya sangat jelas dan fitri. Kedua, meski keberadaan Tuhan bersifat fitri, namun terdapat beberapa ayat al-Qur'an yang menjelaskannya. Muthahhari berkata: "Jika kita keberatan untuk mengakui bahwa keyakinan akan keberadaan Tuhan merupakan bagian lainnya dari fitrah atau naluri, maka paling tidak kita harus mengakui bahwa kekhawatiran akan keberadaan Tuhan dan pertanyaan tentang hal itu adalah masalah yang bersifat fitri [1]. Ketiga, karena pembuktian keberadaan Tuhan dalam Al-Qur'an meniscayakan siklus (daur), sebagaimana ditetapkan dalam kaidah logika. Keempat, al-Qur'an tidak menyinggung masalah keberadaan Tuhan karena ia adalah petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa dan telah mengimaninya. Kelima, dalam Al-Qur'an terdapat ayat-ayat yang mengandung pembuktian rasional tentang keberadaan Tuhan[2]. Menurut Syahristani, karena wujud Tuhan bersifat fitri (inheren), maka yang diperintahkan dan dijadikan sebagai taklif adalah mengenal keesaan (mengesakanNya) dan menghapuskan syirik (politeisme)[3].
               
Ayat-ayat Ontologis
Salah satu ayat yang dianggap memuat argumentasi ontologis tentang wujud Allah adalah firman Allah: ام خلقوا من غير شي ام هم الخالقون  (Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan diri mereka sendiri)[4]". Menurut Al-Fakhr Al-Razi, dalam ayat ini, ada satu kalimat introgatif yang asumtif (muqaddar), yaitu "ama khuliqu" (tidakkah mereka diciptakan?) sebelum "apakah mereka diciptakan dari selain sesuatu ataukah mereka adalah pencipta-pencipta"[5]. Pertanyaan ini diajukan kepada orang-orang mendusktakan keesaan Allah. Kata syay', menurut para filosof dan mutakallimin berarti sesuatu yang ada, karena ke-sesuatu-an (Asy-Syay'iyah, thingnes) identik dengan ke-ada-an atau keberadaan, sedangkan ke-tidak-sesuatuan atau la syay'iyah[6]atau nothingnes berarti ketiadaan[7]. "Adakah mereka diciptakan bukan dari dari sesuatu" berarti "Adakah mereka diciptakan oleh yang tiada (al-ma'dum)?"

Memang ayat ini tidak secara eksplisit membuktikan keberadaan Tuhan. Namun kita dapat menggali dari kandungan ayat yang bersifat introgatif ini sebuah argumentasi rasional. Yaitu bahwa keberadaan manusia dapat diasumsikan dalam salah satu dari tiga kemungkinan; manusia muncul dengan sendirinya tanpa pencipta atau sebab pengada; manusia menciptakan dirinya sendiri; dan manusia diciptakan oleh selain dirinya. Seandainya mereka beranggapan bahwa mereka tidak diciptakan, maka berarti mereka menolak kausalitas yang berujung pada penolakan terhadap eksistensi eksistensi mereka sendiri, atau mengangggap diri mereka sebagai pencipta. Bila mereka masing-masing adalah pencipta, maka berarti mereka telah ada sebelum ada. Ia harus ada karena menjadi pencipta, dan sekaligus tidak ada karena akan diciptakan.

Ayat-ayat seputar keesaan Tuhan dapat dibagi tiga: berdasarkan kandungan dan signifikansinya, menjadi dua tiga; pertama adalah ayat-ayat deskriptif atau informatif (al-ayât al-bayâniyah, al-ayat At-tawshifiyah); kedua adalah ayat-ayat instruktif (al-ayat-At-taklifiyah); dan ketiga adalah ayat-ayat argumentatif (al-ayat al-istidlaliyah). 

Ada kalanya al-Qur'an menerangkan diri, keesaan, sifat-sifat dan perbuatan-perbuat Allah dalam bentuk keterangan, seperti "Tiada sesuatu yang menyerupainya"
[8]

Biasanya ayat-ayat yang berbentuk proposisi predikatif ini diletakkan pada bagian akhir rangkaian ayat, seperti
والله سميع بصير atau والله بما تعملون خبير dan sebagainya. Ayat-ayat yang berbentuik proposisi predikatif ini sangat banyak, karena sebagian besar sasaran dakwah Nabi SAW adalah masyarakat awam yang menjadikan figur Nabi sebagai tolok ukur kebenaran.

Ada kalanya al-Qur'an menjadikan keesaan sebagai taklif , dalam bentuk perintah baik kepada Nabi ataupun kepada masyarakat, seperti firman Allah dalam surah al-ikhlas, "Katakanlah bahwa Allah itu satu". Bentuk ayat yang berupa proposisi aktif ini tidaklah banyak, karena ia hanya berlaku bagi orang-orang yang telah mengimani keesaan Allah. Biasanya ayat-ayat demikian diawali dengan kata kerja perintah "katakanlah" (perintah), karena ditujukan kepada Nabi. Ada kalanya pula al-Qur'an memuat firman Allah yang dapat dijadikan sebagai argumentasi atas wujud, keesaan dan sifat-sifat-Nya. Ayat-ayat argumentatif cukup banyak. Tapi hampir bisa disepakati bahwa ayat-ayat argumentatif tersebut berkenaan dengan keesaan Allah dan sifat-sifat-Nya.
[9].

Argumen-argumen keesaan Tuhan dalam al-Qur'an sangat beragam. Ada pula membagi argumentasi-argumentasi dalam al-Qur'an menjadi empat; argumentasi penciptaan dan kreasi (al-khalq wa al-ibda'), argumentasi keteraturan alam (al-nidham), argumentasi fitrah dan argumentasi rasional.
[10]. Namun semuanya dapat diringkas menjadi dua kelompok; argumen kosmologis dan argumen antropologis. Argumen-argumen kosmologis dalam al-Qur'an juga bermacam-macam; Terdapat sejumlah ayat yang berkenaan dengan makro-kosmos, seperti ayat-ayat sebagai berikut: [11]
خلق السموات بغير عمد ترونها , والقى فى الارض رواسى ان تميد بكم و بث فيها من كل دابة و انزلنا من السماء ماء فأنبتنا فيها من كل زوج كريم , هذا خلق الله فأرونى ماذا خلق الذين من دونه بل الظالمون فى ضلال مبين
الم تر ان الله انزل من السماء ماء فاخرجنا به ثمرات مختلفا الوانها ومن الجبال جدد بيض و حمر مختلف الوانها و غرابيب سود , ومن الناس و الدواب و الانعام مختلف الوانه كذلك انما يخشى الله نن عباده العلماء

Ada banyak pula ayat-ayat yang menyinggung tema mikro-kosmos, seperti ayat-ayat sebagai berikut :
[12]
اقرأ باسم ربك الذى خلق , خلق الانسان من علق,
"هل اتى على الانسان حين من الدهر لم يكن شيئا مذكورا , انا خلقناه من نطفة امشاج نبتليه فجعلناه سميعا بصيرا"
"ولئن سالتهم من خلقهم ليقولن الله"
 

Dalam al-Qur'an terdapat banyak ayat argumentatif tentang keesaan (al-wahdaniyah) Tuhan. Salah satunya adalah firman Allah: "Manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?"
[13] Nabi Yusuf mengajak berfikir teman satu selnya, manakah yang rasional, meyakini beberapa tuhan yang beraneka macam ataukah satu Tuhan?. Dari ayat introgratif ini, Al-Qur'an memperkenalkan sebuah argumen ontologis tentang keberadaan Tuhan yang paling mudah dipahami, yaitu Burhan An-Nadhm (keteraturan)

Keteraturan yang dimaksudkan di sini adalah keharmonisan dan keterikatan antar setiap bagian atau antar masing-masing person baik dari esensi yang sama, maupun berlainan menuju suatu tujuan tertentu, seperti keharmonisan antar bagian-bagian pohon atau keseimbangan yang merupakan konsekuensi antara kehidupan manusia dan hewan. Jika setiap fenomena alam diatur oleh beberapa tuhan, maka tentu alam akan menjadi kacau. Bayangkan bila air dikendalikan oleh satu Tuhan, mendung diurus oleh Tuhan lain, matahari berada di bawah kendali Tuhan lain, maka hujan yang merupakan akibat dari akumulasi fenomena sebelumnya itu tidak akan pernah terwujud. Dengan kata lain, seandainya benar bahwa mereka adalah Tuhan-Tuhan, maka masing-masing tidak membutuhkan hasil penciptaan dan pengaturan Tuhan lainnya. Seandainya membutuhkan, maka berarti Tuhan yang membutuhkan selain dirinya itu bukanlah Tuhan. Itulah kontradiksi. Bila setiap fenomena alam diciptakan oleh beberapa Tuhan, niscaya matahari tidak akan butuh pada mendung, mendung tidak akan membutuhkan angin, dan begitulah seterusnya. Ketika masing-masing fenomena alam itu berdiri sendiri, maka akan bercerai-berai. Ketika bercerai-berai, maka tidak akan mewujudkan fenomena yang namanya hujan.
[14] Karena itulah "khair" (yang bisa diartikan baik dan bisa pula diartikan lebih baik) dalam ayat "Apakah beberapa tuhan yang berpencaran lebih baik dari satu Tuhan Yang Maha Perkasa" mungkin bisa diartikan secara modern dengan "lebih rasional". 
Menurut Muhammad Taqi Misbah pengetahuan dan pengakuan manusia akan Allah, dalam ayat tersebut, adalah pengetahuan yang sifatnya huduri-syuhudi (ilmu huduri) dan bukan hushuli[15]. "Bukankah Aku telah memerintahkan kepada kalian, wahai anak-anak Adam, agar kalian tidak menyembah setan. Sesungguhnya setan itu adalah musuh kalian yang nyata. Dan sembahlah Aku. Itulah jalan yang lurus[16]." Sebagian ulama berpendapat, bahwa perintah ini terjadi di alam sebelum alam dunia, dan dijadikan sebagai bukti, bahwa mengenal Allah adalah sebuah fitrah.
"Di kala mereka menaiki kapal, mereka berdoa (memanggil) Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Namun, ketika Allah menyelamatkan mereka ke daratan, mereka kembali berbuat syirik[17]." Ayat ini menjelaskan, bagaimana fitrah itu mengalami pasang surut dalam diri manusia. Biasanya, fitrah itu muncul saat manusia merasa dirinya tidak berdaya dalam menghadapi kesulitan. Dalam kitab tafsir Al-amtsal disebutkan, bahwa kesulitan dan bencana dapat menjadikan fitrah manusia tumbuh, karena cahaya tauhid tersimpan dalam jiwa setiap manusia. Namun, fitrah itu sendiri bisa tertutup, disebabkan oleh tradisi dan tingkah laku yang menyimpang, atau pendidikan yang keliru. Lalu ketika bencana dan kesulitan dari berbagai arah menimpanya, sementara dia tidak berdaya menghadapinya, maka pada saat seperti itu dia berpaling kepada Sang Pencipta[18]. Oleh karena itu, para ahli ma'rifat dan ahli hikmah berkeyakinan, bahwa dalam suatu musibah besar, yaitu kesadaran manusia terhadap (keberadaan) Allah muncul kembali
 
Ayat-ayat Kosmologis

Selain menegaskan bahwa masalah tauhid adalah fitrah, al-Qur'an juga berusaha mengajak manusia berpikir dengan akalnya bahwa di balik terciptanya alam raya dan perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya (membuktikan) adanya Sang Pencipta.

Allamah al-Hilli, teolog kenamaan Syiah, menjelaskan, bahwa para ulama dalam upaya membuktikan wujud Sang Pencipta mempunyai dua jalan. Salah satunya, adalah dengan jalan membuktikan wujud Allah melalui fenomena-fenomena alam yang membutuhkan 'sebab', seperti diisyaratkan dalam ayat al-Qur'an berikut ini: "Akan Kami perlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di alam raya ini (afaq) dan di dalam diri mereka sendiri, sehingga jelas bagi mereka bahwa sesungguhnya Dia itu benar (haq). Inilah jalan yang ditempuh Nabi Ibrahim as. Pengembaraan rasional Nabi Ibrahim as. seperti ini dalam mencari Tuhan, yang sebenarnya iatujukan untuk mengajak kaumnya berpikir, merupakan metode Afaqi yang efektif sekali.
[19]

Untuk lebih jelasnya, kita dapat melihat langsung ayat-ayat yang menjelaskan pengembaraan rasional Nabi Ibrahim as. tersebut dalam al-Qur'an
[20]. Ayat-ayat al-Qur'an yang mengajak kita untuk merenungkan fenomena alam dan keunikan-keunikan makhluk yang ada di dalamnya, sangatlah banyak. Tentang hal ini, kami mencoba mengklasifikasikan kepada dua kelompok:

Pertama, ayat-ayat tentang benda-benda mati di langit dan di bumi. Misalnya, ayat yang berbunyi, "Sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang memiliki akal
[21]." Atau ayat lain berbunyi, "Sesungguhnya, pada pergantian malam dan siang dan apa yang Allah ciptakan di langit dan di bumi, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang bertaqwa.[22]" Kedua ayat tersebut dan ayat-ayat lainnya, memandang langit dan seisinya serta bumi dan segala yang terkandung di dalamnya, sebagai tanda dan bukti wujud Allah swt.. Karena secara akal, tidak mungkin semua itu ada dengan sendirinya, di samping semuanya itu akan mengalami perubahan atau hadits. Kedua, ayat-ayat tentang keunikan berbagai ragam binatang. Antara lain nya ayat yang berkenaan dengan kehidupan lebah, "Dan Tuhanmu telah mewahyukan kepada lebah, 'Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, pada pohon-pohon dan tempat-tempat yang dibuat manusia. Kemudian makanlah dari berbagai buah-buahan, dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan. (Lalu) dari perut lebah tersebut akan keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya. Padanya terdapat obat untuk manusia. Sesungguhnya, pada semua itu terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berpikir.[23]" Seekor lebah akan hinggap dari satu bunga kepada bunga yang lain, untuk menghisap cairan yang terkandung di dalamnya, lalu (darinya) dihasilkan madu yang lezat dan dapat dimanfaatkan sebagai penawar penyakit.

Di samping ayat fitrah dan Afaqi, terdapat pula ayat Al-Qur'an yang menjelaskan tentang ketuhanan melalui pendekatan argumentasi rasional (Burhan Aqli). Antara lain sebagai berikut:

Pertama: "Seandainya di langit dan di bumi terdapat beberapa Tuhan selain Allah, niscaya keduanya akan rusak.
[24]" Dalam terminologi ilmu mantiq (logika aristotelian) argumentasi di atas disebut dengan qiyas istitsna'i. Qiyas ini terdiri dari dua unsur yang disebut dengan muqaddam dan tali.Ia mempunyai mempunyai beberapa bentuk, salah satunya ialah, jika tali itu benar maka muqaddam benar juga, dan jika tali keliru maka dengan sendirinya muqaddam keliru. Dalam aplikasi kehidupan sehari-hari mereka seringkali memberi contoh seperti ini, jika matahari terbit maka siang tiba, namun jika siang belum tiba berarti matahari belum terbit. Jika Tuhan itu berbilang maka alam raya ini tidak teratur dan seimbang, namun kenyataannya alam raya ini teratur dan seimbang, berarti Tuhan tidak berbilang. Dalil ini disebut para mutakallimin dan filosof dengan istilah dalil tamanu' (bukti kontradiksi)'.

Kedua: "Tidaklah Allah mempunyai anak dan tidak pula ada Tuhan di samping -Nya. (karena jika mempunyai anak dan ada Tuhan selain-Nya), maka masing-masing Tuhan akan membawa ciptaan-Nya sendiri dan sebagian akan lebih unggul dari sebagian yang lainnya
[25]." Ayat ini juga menggunakan qiyas yang sama dengan ayat sebelumnya. Maksud ayat tersebut, ialah bahwa jika Tuhan itu banyak, maka masing-masing dari mereka mempunyai ciptaan sendiri-sendiri sebagai bukti kekuasaannya, dan mereka akan mengaturnya sesuai dengan kemauan mereka. Tiada yang dapat memaksa dan menghalangi kemauan mereka. Jika ada satu Tuhan yang mengalah atau dikalahkan kemauannya oleh yang lainnya, maka dia sebenarnya bukan Tuhan, karena Tuhan harus Maha Kuat dan Maha Kuasa yang tidak mungkin terkalahkan. Lebih jelas lagi, jika Tuhan itu banyak, maka mampukah sebagian mengalahkan yang lainnya? Jika dapat, maka yang kalah bukanlah Tuhan, sebaliknya jika tidak dapat, maka Tuhan yang tidak bisa mengalahkan Tuhan yang lain sebenarnya bukan Tuhan, karena Tuhan adalah Maha Kuasa.

Ketiga: "Katakanlah, sendainya terdapat beberapa Tuhan di samping-Nya, sebagai mana yang mereka yakini, niscaya mereka mencari jalan menuju Tuhan, Pemilik 'Arsy.
[26]"

Ayat ini juga menggunakan pendekatan yang sama dengan ayat sebelumnya, yaitu qiyas istitsna'i. Allamah Thabathabai dalam mengomentari ayat di atas berkata, "Kesimpulan dalil ini ialah bahwa jika terdapat beberapa tuhan di samping Allah swt., sebagaiman yang mereka yakini, dan setiap mereka dapat meraih apa yang dimiliki-Nya, maka mereka ingin meraih kekuasaan dan akan menyingkirkan-Nya, sehingga mereka akan lebih berkuasa. Lantaran, keinginan untuk berkuasa merupakan ciri dari segala sesuatu yang wujud. Namun tiada satupun yang dapat melakukan hal itu.
[27]" Dalam ayat tersebut disingung kata-kata 'Arsy, sebagai tempat yang sangat agung dan tinggi, serta merupakan lambang kebesaran dan kekuasaan yang paling tinggi. Mereka pasti ingin menguasainya, sebagai bukti kebesaran mereka.

Keempat: "Katakanlah,'Tidakkah kalian perhatikan, jika Allah jadikan untuk kalian malam terus menerus sampai hari kiamat, Siapakah Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan sinar terang kepada kalian?' Maka apakah kalian tidak mendengar?
[28]" Dalam ayat lain Allah berfirman: "Katakanlah,'Tidakkah kalian renungkan, jika Allah jadikan untuk kalian siang terus menerus sampai hari kiamat, Siapakah Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan malam kepada kalian untuk beristirahat?' Tidakkah kalian perhatikan?"

Kedua ayat ini dengan tegas membantah kaum musyrikin yang menganggap patung-patung sebagai Tuhan. Andaikan patung-patung itu Tuhan, maka mereka harus bisa mengubah hukum alam ini, karena Tuhan adalah Dzat yang Mahakuasa.
Kelima: 'Sesungguhnya Allah mendatangkan (menerbitkan) matahari dari ufuk timur, maka terbitkanlah ia dari ufuk barat?' Maka terdiamlah orang kafir[29]." Ayat ini menceritakan perdebatan antara Nabi Ibrahim as. dengan raja Namrudz yang mengaku sebagai Tuhan. Iaingin mematahkan argumen Namrudz, dengan cara menyuruhnya agar memperlihatkan kekuasaan dan keperkasaannya dengan menerbitkan matahari dari ufuk barat bukan dari ufuk timur.

Permintaan Nabi Ibrahim as. seperti ini tidak mungkin dilakukan oleh Raja Namrudz, sehingga tampak jelas di mata khalayak banyak, bahwa Raja Namrud bukan Tuhan semesta alam. Nabi Ibrahim as. dikenal sebagai seorang nabi yang bijak dan cerdik, yang sering memojokkan lawan bicaranya dengan argumentasi yang sederhana namun akurat, sehingga lawan bicaranya dibuat tidak berkutik. Allah swt. sering mengutip dalam kitab-Nya tentang perdebatan iadengan orang musyrik, misalnya dalam surah al-Anbiya, ayat 62 sampai ayat 65.

Keenam: "Sungguh telah kafir orang-orang yang meyakini, bahwa Tuhan itu adalah al-Masih putera Maryam. Katakanlah,'Maka siapakah yang dapat menahan Allah, jika hendak mematikan al-Masih putera Maryam dan Ibunya atau seluruh yang hidup di muka bumi ini?
[30]"

Penuhanan Nabi Isa sudah berlangsung sejak zaman diturunkannya Al-Qur'an, bahkan jauh sebelumnya. Melalui ini, Allah ingin menyatakan, bahwa Isa al-Masih as. bukanlah Tuhan, tapi seorang manusia pilihan Allah. Karena terbukti (menurut kaum Nashrani), bahwa al-Masih telah meninggal, apapun alasan kematiannya. Hal ini mengindikasikan, bahwa al-Masih itu tidak lain dari ciptaan Allah semata, karena ciri khas Tuhan adalah kekal dan sejati.

Ketujuh: "(Tuhan) Pencipta langit dan Bumi, bagaimana mungkin Dia mempunyai putera, padahal Dia telah menciptakan segala sesuatu dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu
[31]". Dalam ayat lain Allah berfirman: "Wahai manusia, kalian adalah faqir (membutuhkan) kepada Allah, sementara Allah adalah Mahakaya lagi Maha Terpuji[32]."

Kata faqir berarti sesuatu atau seseorang yang tidak mempunyai apa-apa. Allah ingin menegaskan, bahwa manusia itu benar-benar faqir , artinya benar-benar ia membutuhkan kepada Allah dalam segala perkara dan keadaan, hatta wujudnya (eksistensi dirinya). Atau dengan meminjam istilah Mulla Sadra, seorang filosuf Muslim dan penulis kitab al-Hikmah al-Muta'aliyah, yaitu bahwa selain Allah adalah faqir wujudi. Pengertian benar-benar faqir, diambil dari huruf alim lam Ta'alarif pada kata 'al-Fuqara' (lihat teks arabnya) yang berkonotasi pembatasan atau pengkhususan (hashr). Sedangkan kata al-Ghani, berarti yang tidak membutuhkan apapun.

Sifat ghani hanya ada pada Allah saja. Jadi hanya Allah sajalah yang tidak membutuhkan apa-apa (al-ghina) kepada yang lain, merupakan ciri khas Tuhan semesta alam.

Kedelapan: "Dialah Yang Awal dan yang Akhir, yang tampak dan Yang Tersembunyi, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu
[33]." Allah yang pertama dan terdahulu, sehingga tiada yang lebih dahulu, sehingga tiada yang lebih dahulu dari-nya. Akan tetapi, pada saat yang sama Dia yang Paling Akhir, sehingga tiada yang lebih akhir dari-Nya. Dia pula yang paling Tampak dan Jelas, dan tiada yang lebih jelas dari-Nya, akan tetapi pada saat yang sama Dia yang Tersembunyi, itu semua ada pada-Nya, karena Dialah 'illat (prima kausa) segala sesuatu dan tidak tergantung kepada selain-Nya (al-Ghani), sementara segala sesuatu bergantung kepada-Nya dalam segala sesuatu dan keadaan (al-faqir).

Kesembilan: "Tiada sesuatupun yang menyerupai-Nya
[34]". Ayat ini ringkas, namun menjelaskan wujud dan semua sifat kesempurnaan Allah swt.. Tiada sesuatu apapun pun yang menyerupai Allah dalam segala hal, karena andaikan ada sesuatu yang menyerupai Allah, maka Dia bukan lagi Maha Esa. Dia sangat jauh berbeda dengan makhluk-Nya. Dengan kesendirian-Nya dalam wujud dan sifat kesempurnaan, tapi pada saat yang sama Dia sangat dekat dengan makhluk-Nya, lantaran makhluk merupakan bagian dari wujud-Nya dan dalam liputan-Nya.

Pendek kata, kita bisa menggali premis-premis ontologis dan filosofis dari al-Qur'an. Tuhan bisa dikenali dan eksistensi serta keesaan-Nya dapat dibuktikan melalui ayat-ayat al-Qur'an, selama ia diperlakukan sebagai proposisi-proposisi ontologis. Itu berarti al-Qur'an dapat dipersembahkan sebagai sebuah teks rasional dan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan keandalannya. Bagi umat Islam, ayat-ayat al-Qur'an, selain sebagai proposisi-proposisi ekstemporal, adalah wahyu ilahi yang melampaui aksioma-aksioma logis.


[1] Ja'far Subhani, Allah Khaliq Al-kaun, Maktab Ad-Dakwah Al-Islamiyah, hal. 67, Qom, 1999.
[2] Abdul Aziz bin Al-Dardir, At-Tafsir al-maudhu'i li ayat at-tauhid, 25; Dr. Musthafa Muslim, Mabahits fi At-tafsir al-Maudhu'i, Dar al-Qalam, Damaskus 1989, hal. 106. 
 
[4] QS: Al-Thur: 35
[5] Al-Fakhr Al-Razi, At-Tafisr Al-Kabir, hal 258, Dar Al-A'lami li Al-Mathbu'at, Beirut, 1989
[6] A.S. Hornby & E.C. Parnwell, Reader's Dictionary, 347, Oxford Progressive English.
[7] M. H. M. H. Thabathabai, Nihayah Al-Hikmah, hal 32, Muassasah An-Nasyr Al-Islami, Qom
[8] QS Asy-Syura, 11
[9] M. Taqi Misbah Yazdi, Ma'arif Al-Qur'an, hal. 37 Mu'assasah An-Nasyr Al-Islami, Qom.
[10] Dr. Musthapha Moslem, Mabahits fi At-tafisr al-maudhu'i, hal. 121-161, cet 1, Dar Al-Qalam, 1989.
[11] QS: Luqman, 11 – 12
[12] QS: Al-alaq 1-2
[13] QS Yusuf: 39
[14] Ja'far Subhani, Muhadharat fi Al-Ilahiyat, 21-23, Muassasah An-Nasyr Al-Islami, Qom. M. Taqi Misbah Yazdi, Ma'arif Al-Qur'an, 87-94, Mu'assasah An-Nasyr Al-Islami, Qom, 1985.
[15] M. Taqi Misbah Yazdi, Ma'arif Al-Qur'an juz 1 hal 33. Muassasah An-Nasyr Al-Islami, Qom.
[16] QS: Yasin, ayat 60-61
[17] QS: al-Ankabut ayat 65
[18] Naser Makarim Syirazi, Tafsir Al-amtsal, 2001, juz 16 hal 340-34, Dar Al-Ridha, Qom.
[19] Al-Hilli, Al-Bab Al-Hadi- Asyar, hal 7, Muasssah An-Basyr Al-Islami, Qom, 1985.
[20] QS: Al-An'am: 75-79
[21].QS: Fush-shilat: 53
[22] QS. Yunus: 6.
[23] QS. An-Nahl : 68-69
[24] QS: Al-Anbiya: 22
[25] QS: Al-Mukminun: 91
[26] QS. al-Isra: t 42
[27] M. H. M. H. Thabathabai, Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur'an, vol. 13 hal. 106-107, Dar Al-A'lami li Al-Mathbu'at, Beirut.
[28] QS. al-Qashash: 71-72
[29] QS: al-Baqarah: 258
[30] QS al-maidah: 17
[31] QS al-An'am: 101
[32] QS Fathir: 15
[33] QS al-Hadid: 3
[34] QS: asy-Syura :11


Never miss a thing. Make Yahoo your homepage.

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
All-Bran

Day 10 Club

on Yahoo! Groups

Feel better with fiber.

Yahoo! Groups

Dog Zone

Connect w/others

who love dogs.

Yahoo! Groups

Special K Challenge

Join others who

are losing pounds.

.

__,_._,___