Senin, 31 Desember 2007

[beasiswa] [info] 2 PhD students In the Transportation Research Institute of Hasselt University,

In the Transportation Research Institute of
Hasselt University, the following positions (m/f) are available for the
SBO project "A Model-Based Approach for Evaluating the Safety and
Environmental Effects of Traffic Policy Measures":

2 PhD students (2x2 years)

(mandates BEDR/2007/023-024)

Job description


Mandate BEDR/2007/023: The main objective of
this research is to study the impact of policy measures in the field
of mobility on traffic safety. For this, we will examine the effects
of mobility measures with regard to changes in travel behaviour.

Mandate BEDR/2007/024: For this research
project, a new model needs to be development which assigns traffic
to the underlying network, using information obtained by the
activity based transportation model.

Profile

The candidate is highly interested in quantitative research
techniques.

Diploma

Master of Business Engineering and Computer Science, Master Information
Sciences, Master in Engineering Sciences, Master in Mathematics or equal.

Starting date

01.01.2008

Further information


Content job responsibilities:

Prof. dr. Geert Wets, + 32 11 26 91 58,
geert.wets@uhasselt.be

Prof. dr. Tom Brijs, + 32 11 26 91 55,
tom.brijs@uhasselt.be


Content terms of employment and selection
procedure:

Jef Vanvoorden, 011-26 80 80,
jef.vanvoorden@uhasselt.be



Application

Applicants must use the official application forms

which are available at the
Rectoraat of Hasselt University, Campus Diepenbeek, Agoralaan -
building D, B-3590 Diepenbeek (Belgium), phone +32 - 11 - 26 80 03

or which can be downloaded here
pfd-file
/ Word format.


The completed application forms must reach the above mentioned
address no later than Thursday, December 3rd 2008.

Application by e-mail will only be taken into consideration
when sent to the following address:
jobs@uhasselt.be.


____________________________________________________________________________________
Baca informasi beasiswa di http://www.milisbeasiswa.com


INFO, TIPS BEASISWA, FAQ - ADS
Hanya ada di http://www.milisbeasiswa.com/

===============================

CARI KERJA?
Gabung dengan milis vacancy. Kirim email kosong ke vacancy-subscribe@yahoogroups.com.
http://www.groups.yahoo.com/group/vacancy

===============================

INGIN KELUAR DARI MILIS BEASISWA?
Kirim email kosong ke beasiswa-unsubscribe@yahoogroups.com
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:

http://groups.yahoo.com/group/beasiswa/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:

http://groups.yahoo.com/group/beasiswa/join

(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
mailto:beasiswa-digest@yahoogroups.com
mailto:beasiswa-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
beasiswa-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:

http://docs.yahoo.com/info/terms/

[psikologi_transformatif] Re: Profesi Psikolog

Juneman,

Kebetulan skripsi saya dulu adalah studi kualitatif mengenai
profesionalisme.

Belum tentu seorang master adalah profesional, tapi juga belum tentu
seorang profesional adalah master.

Artinya, adalah dua hal yang beda antara mencapai tingkat mastery dan
menjaga agar perilaku sesuai dengan etika profesi yang digeluti.

Profesionalisme sendiri menyangkut perilaku. Sedangkan mastery
menyangkut tingkat penguasaan tertentu. Seorang lulusan S-1 saja,
tetap bisa profesional ketika dia tidak menerima sesuatu di luar
kemampuannya. Ini berarti ia tetap menjaga etika. Orang yang tak
menguasai konseling misalnya, ya mengakui kalau tidak menguasai
konseling. Kalau tidak mampu riset, ya mengakui saja tidak mampu
riset. Begitulah profesionalisme.

Jika masih saja mau menerima riset dan konseling, ia mesti mengundang
kemampuan dari orang lain yang mampu. Ini bentuk tanggung jawab
profesional.

Sedangkan mastery bicara tingkat penguasaan. Seorang anak S-1,
mestinya penguasaan teoritik (yang diperoleh dari kuliah ya) di bawah
anak S-2. Kenapa? Karena anak S-2 ini sudah bergelar "Master" yang
artinya merujuk pada level penguasaan ilmu tertentu.

Saya menangkap kutipan yang dihadirkan Juneman, tapi masalahnya bukan
itu. Jika keduanya mau dilakukan dengan benar (profesionalisme dan
level penguasaan tertentu) maka perlu sebuah langkah yang bisa
mengakomodasi esensi keduanya.

Lalu, bisakah kita menutup mata pada berlombanya Fapsi membuka
program profesi agar tak kalah gengsi?

Saya pernah tahu sendiri, ada fapsi favorit yang memaksakan diri
membuka program profesi dengan hanya 1 pengajar! Kenapa? Kalau tidak
segera buka, dengan adanya aturan program profesi yang digabung S-2,
Fakultas itu akan kalah gengsi.

Salam

Audifax

--- In psikologi_transformatif@yahoogroups.com, Juneman <juneman@...>
wrote:
>
> Bung Audifax dan Pak Manneke,
>
> pertama-tama, sebagai tambahan wacana mengenai hal ini, saya
sertakan artikel berikut:
> "Pendidikan Keadvokatan dan Permasalahan yang Dihadapi" oleh
Saudara Muchammad Zaidun (Pembantu Dekan bidang Akademik Fakultas
Hukum Universitas Airlangga).
> http:// hukumonline.com/detail.asp?id=11473&cl=Kolom
> (artikel terlampir di bawah)
>
> Saya kutip dua paragraf berikut ini:
>
>
> "Untuk Indonesia ada kecenderungan program profesi yang
terintegrasi dengan program magister profesi (strata-2) lebih
diminati. Sebab, selain yang bersangkutan memperoleh pengetahuan yang
terkait dengan kompetensi dan ketrampilan profesi, mereka juga
memperoleh dasar-dasar teori yang lebih memperkuat dasar kemampuan
teori di bidang profesinya. Selain itu, yang tidak dapat disangkal,
mereka juga sangat senang memperoleh tambahan gelar strata-2 sebagai
magister profesi.
>
> Ini adalah merupakan suatu kenyataan yang sulit dihindari antara
kecenderungan peningkatan kualitas profesi dan tuntutan kebanggaan
memperoleh ijazah magister (profesi). Sebagai respon terhadap
kenyataan yang telah dikemukakan di atas, maka sudah sepatutnya
pendidikan tinggi hukum bersama asosiasi profesi hukum mengantisipasi
kebutuhan tersebut sekaligus mengupayakan peningkatan kualitas
professional lawyer yang semakin menjadi tuntutan masyarakat, melalui
penyelenggaraan suatu program magister hukum (profesi)."
>
>
> Jadi, menurut artikel di atas, "keanehan" yang dirasakan Audi (dan
juga saya) agak terjawab oleh tulisan Pak Zaidun di atas. Memang
aneh, tetapi nyata: Mengapa perlu embel-embel "Magister" di
samping "Profesi", maka jawabnya menurut Zaidun ternyata
adalah "tuntutan kebanggaan, kesenangan memperoleh tambahan gelar
Strata-2 sebagai Magister Profesi". Ya, kalau memang benar dangkal
begini, sih, nampaknya sulit ya mempersoalkan secara serius ontologi
dan epistemologi suatu "Magister Profesi"?
>
> Saya sepakat dengan Audi. Seorang Master belumlah seorang
Profesional. Namun, seorang Profesional sudah barang tentu Master
dalam bidangnya.
>
> Saya lalu teringat dengan salah satu ungkapan filsuf Prof.Dr.Franz
Magnis-Suseno, kira-kira begini: bahwa Profesionalisme tidak mungkin
terpisah dari kepribadian, yang dapat diparkir dalam garasi apabila
kita pulang dari tempat kerja ke rumah kita, dan baru kita bawa lagi
apabila ke tempat pekerjaan. Jadi Profesionalisme itu terkait sekali
dengan wakat/karakter.
>
> Nah, dalam suatu ungkapan Jawa, kita diingatkan perbedaan "Watak"
dengan "Watuk" (Jawa: batuk). Kalau watak susah berubah, kalau batuk
di Komix saja, sembuh. Implikasi buat pertanyaan lebih lanjut:
Bagaimana mungkin membentuk Watak dalam 1,5 - 2 tahun dan setelah itu
disertifikasi?
>
> Maka, mungkin saja seorang alumnus Magister Profesi banyak (tidak
semua) yang telah terperangkap dengan ilusi "Saya seorang Psikolog
Profesional", dan Ilusionis-nya tidak lain adalah para dosen dan
sistem perguruan tingginya. Selanjutnya... terserah Anda, hehehe.
>
> Baru saja hari Minggu saya kemarin berdiskusi dengan seorang rekan
senior di HIMPSI DKI Jakarta (kebetulan kami sama-sama terlibat dalam
Kepengurusan). Ia menanggapi email saya yang saya kasih
judul, "Dinamika Pengakuan Kedudukan Ahli Psikologi dalam Lembaran
Pemerintah". Ia mengakui bahwa ia sering menemukan bahwa Psikolog
kita banyak yang tidak mengikuti perkembangan sistem di luar
Psikologi, sehingga kalau sudah berbenturan dengan suatu situasi,
baru kebingungan. "Itu yang bikin kesel," katanya.
>
> Itu hanya sebuah contoh kasus, yang menurut saya, sebuah contoh
nyata Ketidakprofesionalan. Mengapa? Karena, lagi-lagi, Profesional
lebih dari sekadar Master. Seorang Profesional mampu mempertimbangkan
semua faktor yang relevan, dalam hal mana faktor2 tersebut mungkin
tidak spesialistik bidang profesinya. "Mastery" saja tidak mungkin
memadai untuk pendekatan multidisiplin semacam itu.
>
> Di atas semua itu, saya masih optimistis program Magister Profesi
Psikolog terus-menerus melakukan pembenahan dalam dirinya. Semoga.
>
>
> Salam,
> Juneman
>
>
>
>
>
>
> ---
> Pak Manneke dan Juneman,
>
> Setahu saya, kalau program profesinya sendiri sudah cukup lama ada.
> Yang baru muncul sekitar 2003-an (kalau enggak salah) adalah
> penggabungan program profesi itu dengan S-2.
>
> Sebelum ini program profesi psikologi diberikan terpisah. Mirip
> lulusan hukum yang mesti ambil notariat kalau mau praktek. Atau
> lulusan farmasi yang mesti ambil apoteker.
>
> (Eh, ngomong-ngomong, program notariat dan apoteker juga digabung
> jadi S-2 seperti di psikologi enggak ya?)
>
> Dari saya sendiri melihat penggabungan antara profesi dan master ini
> agak aneh. Kenapa? Karena sebelum digabung dengan profesi, master
> psikologi rata-rata selesai 1,5 sampai 2 tahun. Begitu pula
> pendidikan profesi, sama, selesainya sekitar 1,5 sampai 2 tahun.
>
> Lha ini setelah digabung kok bisa selesainya tetap 1,5 sampai 2
tahun?
>
> Padahal, secara esensi, apa yang disebut "mastery" dan "profession"
> itu berbeda. Mastery lebih pada penguasaan, sedangkan proffession
> lebih merujuk pada profesionalisme atau perilaku profesional.
>
> Itu hal pertama yang saya lihat "aneh". Satu-satunya kemungkinan
> menjalankan penggabungan profesi dan mastery dalam jangka waktu
tetap
> 1,5 sampai 2 tahun adalah setengah profesional dan setengan
> menguasai. Jadi mau dibilang menguasai bener ya enggak, mau dibilang
> profesional bener juga enggak.
>
> Belum lagi kejanggalan yang banyak saya temukan dalam materi
> kuliahnya. Salah satunya tentang tesis mereka.
>
> Dalam tesis anak-anak program S-2 profesi, diharuskan adanya
> treatment. Neliti apa aja harus bisa dibuat treatment. Seolah kalau
> bisa mentreatment orang adalah ukuran sebuah profesionalisme (atau
> juga sekaligus ukuran penguasaan/mastery psikologi?).
>
> Lalu saya pernah menemukan salah satu contoh tesis. Ada anak profesi
> yang meneliti dengan judul (kurang lebih) "Hubungan jenis musik 'X'
> (aku lupa, pokoknya salah satu jenis musik klasik karya komponis
> terkenal setara Beethoven, Vivaldi, etc) dengan kesuksesan".
> Bayangkan, bisa begitu saja muncul "Hubungan jenis musik 'X' dengan
> kesuksesan".
>
> Lalu bayangkan si anak membuat surat ijin penelitian ke perusahaan
> anda. Datang menemui HRD anda atau pimpinan anda, minta diijinkan
> penelitian di tempat anda. Seolah-olah tempat anda ada masalah
dengan
> kesuksesan. Dan tiba-tiba saja karyawan di perusahaan itu
> di"treatment" dengan musik klasik.
>
> Kenapa ini terjadi? Karena fokusnya pada treatment. Bukan pada ada
> masalah apa dan mau dibuatkan solusi macam apa (yang bisa saja bukan
> treatment).
>
> Jadi menurut saya, ketimbang bingung profesi psikologi tercatat atau
> tidak, mungkin lebih tepat jika dipikirkan dulu esensi profesi dan
> mastery itu apa.
>
> Ada pendapat lain?
>
>
>
> Salam,
>
> Audifax
>
>
>
>
> ---
> Pendidikan Keadvokatan dan Permasalahan yang Dihadapi(*)
> Muchammad Zaidun(**)
> [29/10/04]
>
> `Peningkatan keahlian advokat membutuhkan suatu proses pendidikan
dengan kurikulum yang spesifik, bersertifikasi profesi, akreditasi
pendidikan profesi, dan pemberian lisensi khusus oleh asosiasi
profesi'
>
> Ketentuan Pasal 2 ayat(2) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang
Advokat menyatakan: "yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah
sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah
mengikuti pendidikan khusus profesi advokat yang dilaksanakan oleh
organisasi advokat".
>
> Sementara itu berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat(3), Pasal 21 ayat
(1) dan ayat(2) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, disimpulkan bahwa penyelenggaraan pendidikan
profesi diselenggarakan oleh perguruan tinggi, karena perguruan
tinggi berdasarkan undang-undang tersebut berhak menyelenggarakan
program pendidikan tinggi dan dapat memberikan gelar akademik,
profesi maupun vokasi. Bahkan dalam undang-undang tersebut ditegaskan
bahwa selain perguruan tinggi, dilarang memberikan gelar akademik,
profesi atau vokasi.
>
> Ini berarti untuk menyelenggarakan pendidikan profesi advokat harus
ada kerjasama antara perguruan tinggi dengan organisasi profesi
advokat. Dengan kata lain organisasi advokat maupun perguruan tinggi
hukum, masing-masing tidak dapat menyelenggarakan sendiri program
pendidikan tersebut, tetapi harus bekerjasama. Selain itu
permasalahan substansial lainnya adalah belum ditetapkan kurikulum
baku untuk pendidikan tersebut dan masih menghadapi pula kendala
tentang tersedianya tenaga pengajar yang profesional terutama di
daerah-daerah.
>
> Persoalan lain yang dihadapi adalah belum ditetapkan pula kriteria
dan syarat pemagangan dan kantor-kantor advokat yang ditetapkan
memenuhi syarat untuk tempat pemagangan bagi para calon anggota
advokat.
>
> Permasalahan-permasalahan tersebut merupakan masalah bagi
pendidikan khusus profesi advokat yang harus segera dipecahkan.
Sebab, para lulusan pendidikan hukum saat ini cukup banyak yang ingin
memasuki dunia profesi advokat. Permasalahan pendidikan khusus
profesi advokat sebetulnya merupakan masalah bersama antara
organisasi profesi advokat dan pendidikan tinggi hukum karena input
awal dari para calon advokat adalah mereka yang telah melalui jenjang
pendidikan strata-1 di pendidikan tinggi hukum.
>
> Yang menjadi sorotan saat ini adalah pendidikan strata-1 pada
pendidikan tinggi hukum dianggap masih memiliki kelemahan dalam
kemahiran dan ketrampilan hukum (competence and skill). Oleh sebab
itu, kalau tidak ada komunikasi yang intens antara dunia profesi
advokat dengan pendidikan tinggi hukum, maka masing-masing pihak
dikhawatirkan kurang memahami tentang kondisi dan kebutuhan masing-
masing dalam mengantisipasi penyiapan pendidikan khusus profesi
advokat.
>
> Dipandang perlu untuk menetapkan secara lebih spesifik output
kualitas yang diharapkan dari dunia profesi advokat berkaitan dengan
pendidikan khusus profesi advokat tersebut, dan sekaligus dipahami
lebih dalam tentang kondisi kualitas lulusan strata-1 pendidikan
tinggi hukum. Dengan demikian dapat ditentukan kualitas lulusan
pendidikan khusus profesi advokat yang diharapkan, dan tingkat
kekurangan berkaitan dengan kompetensi dan ketrampilan pendidikan
strata-1 tersebut. Kekurangannya kemudian harus diisi dengan
pendidikan khusus profesi hukum (advokat), agar kelak lulusan
pendidikan khusus profesi advokat tersebut dapat sesuai dengan
standar kualitas profesi hukum (advokat) yang diharapkan.
>
> Kondisi yang demikian ini harus menjadi perhatian utama bagi kedua
belah pihak. Apabila kondisi seperti ini tidak dapat dipahami secara
baik, maka besar kemungkinan upaya pendidikan khusus profesi advokat
tidak akan dapat memenuhi tujuan yang diharapkan. Kekhawatiran yang
demikian ini cukup beralasan karena bisa terjadi apa yang merupakan
concern pendidikan tinggi hukum belum tentu cocok dengan kebutuhan
riil dunia profesi advokat.
>
> Pada dasarnya pendidikan keadvokatan merupakan pendidikan profesi,
baik karena faktor tujuan, misi pendidikannya, kenyataan sejarah
profesi hukum di dunia internasional, maupun karena ketentuan
perundang-undangan yang menyangkut pendidikan profesi, baik
berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional maupun berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 18 Tahun
2003 tentang Advokat.
>
> Sebagai suatu pendidikan profesional, tentu lebih baik
mengedepankan aspek kompetensi (competence) dan keterampilan (skill).
Tetapi harus diingat bahwa kompetensi dan ketrampilan di sini adalah
based on knowledge/science, dan bukan merupakan keterampilan teknis
semata-mata sebagaimana dalam konsep pendidikan vokasional.
>
> Di beberapa negara ada kecenderungan pendidikan profesi tersebut
dipadukan dengan pendidikan akademik. Dengan perpaduan sedemikian
rupa menjadikan pendidikan profesi tersebut mempunyai dasar akademik
yang kuat serta memiliki kemahiran yang profesional.
>
> Ada pula beberapa negara yang memadukan antara pendidikan magister
dengan pendidikan profesi. Dan untuk Indonesia hal ini bisa dilihat
dari model pendidikan yang terintegrasi antara akademik dan profesi
yang dikembangkan oleh Program Magister Kesehatan Masyarakat (Public
Health) dan Program Magister Psikologi, yang mempunyai program
magister (profesi).
>
> Sebagai contoh dalam Program Magister Psikologi, kurikulum
dirancang oleh Fakultas Psikologi bersama dengan Asosiasi Psikolog
Indonesia. Peserta program magister psikologi pada akhir masa studi
(setelah lulus) memperoleh ijazah dengan gelar Magister Psikologi
(bersifat profesi bukan sains), dan memperoleh sertifikat dari
Asosiasi Psikolog Indonesia dengan sebutan Psikolog.
>
> ***
>
> Untuk Indonesia ada kecenderungan program profesi yang terintegrasi
dengan program magister profesi (strata-2) lebih diminati. Sebab,
selain yang bersangkutan memperoleh pengetahuan yang terkait dengan
kompetensi dan ketrampilan profesi, mereka juga memperoleh dasar-
dasar teori yang lebih memperkuat dasar kemampuan teori di bidang
profesinya. Selain itu, yang tidak dapat disangkal, mereka juga
sangat senang memperoleh tambahan gelar strata-2 sebagai magister
profesi.
>
> Ini adalah merupakan suatu kenyataan yang sulit dihindari antara
kecenderungan peningkatan kualitas profesi dan tuntutan kebanggaan
memperoleh ijazah magister (profesi). Sebagai respon terhadap
kenyataan yang telah dikemukakan di atas, maka sudah sepatutnya
pendidikan tinggi hukum bersama asosiasi profesi hukum mengantisipasi
kebutuhan tersebut sekaligus mengupayakan peningkatan kualitas
professional lawyer yang semakin menjadi tuntutan masyarakat, melalui
penyelenggaraan suatu program magister hukum (profesi).
>
> Kalau kita cermati lebih jauh dunia profesi hukum, khususnya
profesi advokat memiliki dua jenjang keahlian yang spesifik. Pertama,
adalah para advokat yang memiliki keahlian profesi yang masih
bersifat umum dan dalam praktik mereka menangani perkara (khususnya
litigasi) tanpa keharusan memiliki keterampilan khusus dalam bidang
hukum tertentu yang ditetapkan oleh organisasi profesi, tetapi cukup
dengan kemampuan hukum yang bersifat umum.
>
> Kedua, adalah para advokat (dan juga para konsultan hukum) oleh
asosiasi profesi diwajibkan memiliki keahlian yang spesifik dalam hal
menangani masalah-masalah hukum tertentu. Misalnya bidang hukum
pasar modal harus memiliki sertifikat keahlian di bidang hukum pasar
modal. Di masa lalu mereka yang memperoleh sertifikat keahlian
melalui pendidikan (kursus) dan ujian, serta memperoleh lisensi dari
Bapepam adalah para advokat maupun yang bukan advokat.
>
> Contoh selanjutnya adalah bidang HAKI, mensyaratkan harus memiliki
sertifikat di bidang keahlian HAKI dan terdaftar di Dirjen HAKI.
Kemudian bidang kepailitan mensyaratkan harus memiliki sertifikat di
bidang keahlian hukum kepailitan dan tercatat sebagai anggota
asosiasi advokat di bidang kepailitan.
>
> Berdasarkan kondisi dan fakta tersebut, maka jelas dunia profesi
hukum pada waktunya tidak hanya memiliki para advokat yang memiliki
keahlian yang bersifat umum (general), tetapi sudah mengarah pada
keahlian yang lebih spesifik. Peningkatan keahlian advokat yang
spesifik tersebut membutuhkan suatu proses pendidikan dengan
kurikulum yang spesifik, bersertifikasi profesi, akreditasi
pendidikan profesi, dan pemberian lisensi khusus oleh asosiasi
profesi. Kenyataan tersebut mengharuskan dunia pendidikan hukum dan
asosiasi profesi hukum, khususnya advokat, dapat mengantisipasi dan
merespon hal tersebut dengan bekerjasama merancang suatu model
pendidikan profesi yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan keahlian.
>
> Kerjasama ini tentu harus diwujudkan dalam bentuk mengembangkan
suatu model pendidikan profesi dalam dua jenjang, yaitu jenjang
profesi umum (general) dan jenjang profesi khusus (keahlian khusus).
Program pendidikan profesi tersebut seyogianya dipikirkan menjadi
program yang terintegrasi di antara program pendidikan profesi umum,
profesi khusus dan program magister (profesi). Hal ini agar para
peserta program memperoleh manfaat ganda dengan menyandang gelar
magister (profesi) bidang hukum dan menyandang sebutan advokat
(umum), maupun advokat dengan keahlian khusus dalam bidang hukum
tertentu setelah mereka lulus dalam program pendidikan tersebut.
>
> Konsekuensi dari model pendidikan profesi yang terintegrasi dengan
magister hukum (profesi) tersebut, maka harus disiapkan suatu
kurikulum yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan jasa profesi hukum
dan sekaligus memenuhi norma-norma standar yang sesuai dengan syarat-
syarat program magister hukum (profesi) dan bukan merupakan program
magister hukum yang bersifat sains atau sering disebut dengan
magister ilmu hukum
>
> Langkah berikutnya adalah menyiapkan suatu model pembelajaran yang
sesuai dengan tuntutan kebutuhan dunia profesi hukum termasuk sarana
dan prasarana, serta tak kalah pentingnya adalah para
dosen/pengajar. Semua persyaratan dan kebutuhan proses pembelajaran
tersebut agar sesuai dengan kepentingan professional lawyers dan
standar mutu pendidikan tinggi hukum, maka hal tersebut harus
dipikirkan bersama secara bersungguh-sungguh oleh dunia pendidikan
tinggi hukum dengan asosiasi profesi hukum, khususnya asosiasi
advokat.
>
> Hanya melalui kerjasama yang saling menguatkan tersebut, maka
masalah pendidikan profesi advokat dalam rangka peningkatan kualitas
profesional advokat dapat dicapai. Oleh karena itu sudah seharusnya
mulai dirintis adanya forum bersama antara fakultas hukum dengan
asosiasi profesi hukum, agar selalu dapat saling menyapa dan
memberikan masukan demi kepentingan pendidikan tinggi hukum dan
profesi hukum, sebagaimana yang terjadi di Amerika Serikat antara
School of Law Associatin dengan American Bar Association yang setiap
tahun menyelenggarakan forum pertemuan bersama dengan mengangkat
topik-topik aktual sebagai agenda acara tahunan.
>
> *Disampaikan pada Diskusi Panel "Reformasi Pendidikan Hukum di
Indonesia", di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 28 Oktober 2004
>

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Your school could

win a $25K donation.

HDTV Support

The official Samsung

Y! Group for HDTVs

and devices.

Fitness Edge

A Yahoo! Group

about sharing fitness

and endurance goals.

.

__,_._,___

[psikologi_transformatif] re: Profesi Psikolog

Bung Audifax dan Pak Manneke,


pertama-tama, sebagai tambahan wacana mengenai hal ini, saya sertakan artikel berikut:

"Pendidikan Keadvokatan dan Permasalahan yang Dihadapi" oleh Saudara Muchammad Zaidun (Pembantu Dekan bidang Akademik Fakultas Hukum Universitas Airlangga).

http:// hukumonline.com/detail.asp?id=11473&cl=Kolom

(artikel terlampir di bawah)


Saya kutip dua paragraf berikut ini:



"Untuk Indonesia ada kecenderungan program profesi yang terintegrasi dengan program magister profesi (strata-2) lebih diminati. Sebab, selain yang bersangkutan memperoleh pengetahuan yang terkait dengan kompetensi dan ketrampilan profesi, mereka juga memperoleh dasar-dasar teori yang lebih memperkuat dasar kemampuan teori di bidang profesinya.  Selain itu, yang tidak dapat disangkal, mereka juga sangat senang memperoleh tambahan gelar strata-2 sebagai magister profesi.


Ini adalah merupakan suatu kenyataan yang sulit dihindari antara kecenderungan peningkatan kualitas profesi dan tuntutan kebanggaan memperoleh ijazah magister (profesi).  Sebagai respon terhadap kenyataan yang telah dikemukakan di atas, maka sudah sepatutnya pendidikan tinggi hukum bersama asosiasi profesi hukum mengantisipasi kebutuhan tersebut sekaligus mengupayakan peningkatan kualitas professional lawyer yang semakin menjadi tuntutan masyarakat, melalui penyelenggaraan suatu program magister hukum (profesi)."



Jadi, menurut artikel di atas, "keanehan" yang dirasakan Audi (dan juga saya) agak terjawab oleh tulisan Pak Zaidun di atas. Memang aneh, tetapi nyata: Mengapa perlu embel-embel "Magister" di samping "Profesi", maka jawabnya menurut Zaidun ternyata adalah "tuntutan kebanggaan, kesenangan memperoleh tambahan gelar Strata-2 sebagai Magister Profesi". Ya, kalau memang benar dangkal begini, sih, nampaknya sulit ya mempersoalkan secara serius ontologi dan epistemologi suatu "Magister Profesi"?


Saya sepakat dengan Audi. Seorang Master belumlah seorang Profesional. Namun, seorang Profesional sudah barang tentu Master dalam bidangnya.


Saya lalu teringat dengan salah satu ungkapan filsuf Prof.Dr.Franz Magnis-Suseno, kira-kira begini: bahwa Profesionalisme tidak mungkin terpisah dari kepribadian, yang dapat diparkir dalam garasi apabila kita pulang dari tempat kerja ke rumah kita, dan baru kita bawa lagi apabila ke tempat pekerjaan. Jadi Profesionalisme itu terkait sekali dengan wakat/karakter. 


Nah, dalam suatu ungkapan Jawa, kita diingatkan perbedaan "Watak" dengan "Watuk" (Jawa: batuk). Kalau watak susah berubah, kalau batuk di Komix saja, sembuh. Implikasi buat pertanyaan lebih lanjut: Bagaimana mungkin membentuk Watak dalam 1,5 - 2 tahun dan setelah itu disertifikasi?


Maka, mungkin saja seorang alumnus Magister Profesi banyak (tidak semua) yang telah terperangkap dengan ilusi "Saya seorang Psikolog Profesional", dan Ilusionis-nya tidak lain adalah para dosen dan sistem perguruan tingginya. Selanjutnya... terserah Anda, hehehe.


Baru saja hari Minggu saya kemarin berdiskusi dengan seorang rekan senior di HIMPSI DKI Jakarta (kebetulan kami sama-sama terlibat dalam Kepengurusan). Ia menanggapi email saya yang saya kasih judul, "Dinamika Pengakuan Kedudukan Ahli Psikologi dalam Lembaran Pemerintah". Ia mengakui bahwa ia sering menemukan bahwa Psikolog kita banyak yang tidak mengikuti perkembangan sistem di luar Psikologi, sehingga kalau sudah berbenturan dengan suatu situasi, baru kebingungan. "Itu yang bikin kesel," katanya.


Itu hanya sebuah contoh kasus, yang menurut saya, sebuah contoh nyata Ketidakprofesionalan. Mengapa? Karena, lagi-lagi, Profesional lebih dari sekadar Master. Seorang Profesional mampu mempertimbangkan semua faktor yang relevan, dalam hal mana faktor2 tersebut mungkin tidak spesialistik bidang profesinya. "Mastery" saja tidak mungkin memadai untuk pendekatan multidisiplin semacam itu.


Di atas semua itu, saya masih optimistis program Magister Profesi Psikolog terus-menerus melakukan pembenahan dalam dirinya. Semoga.



Salam,

Juneman







---

Pak Manneke dan Juneman,


Setahu saya, kalau program profesinya sendiri sudah cukup lama ada.

Yang baru muncul sekitar 2003-an (kalau enggak salah) adalah

penggabungan program profesi itu dengan S-2.


Sebelum ini program profesi psikologi diberikan terpisah. Mirip

lulusan hukum yang mesti ambil notariat kalau mau praktek. Atau

lulusan farmasi yang mesti ambil apoteker.


(Eh, ngomong-ngomong, program notariat dan apoteker juga digabung

jadi S-2 seperti di psikologi enggak ya?)


Dari saya sendiri melihat penggabungan antara profesi dan master ini

agak aneh. Kenapa? Karena sebelum digabung dengan profesi, master

psikologi rata-rata selesai 1,5 sampai 2 tahun. Begitu pula

pendidikan profesi, sama, selesainya sekitar 1,5 sampai 2 tahun.


Lha ini setelah digabung kok bisa selesainya tetap 1,5 sampai 2 tahun?


Padahal, secara esensi, apa yang disebut "mastery" dan "profession"

itu berbeda. Mastery lebih pada penguasaan, sedangkan proffession

lebih merujuk pada profesionalisme atau perilaku profesional.


Itu hal pertama yang saya lihat "aneh". Satu-satunya kemungkinan

menjalankan penggabungan profesi dan mastery dalam jangka waktu tetap

1,5 sampai 2 tahun adalah setengah profesional dan setengan

menguasai. Jadi mau dibilang menguasai bener ya enggak, mau dibilang

profesional bener juga enggak.


Belum lagi kejanggalan yang banyak saya temukan dalam materi

kuliahnya. Salah satunya tentang tesis mereka.


Dalam tesis anak-anak program S-2 profesi, diharuskan adanya

treatment. Neliti apa aja harus bisa dibuat treatment. Seolah kalau

bisa mentreatment orang adalah ukuran sebuah profesionalisme (atau

juga sekaligus ukuran penguasaan/mastery psikologi?).


Lalu saya pernah menemukan salah satu contoh tesis. Ada anak profesi

yang meneliti dengan judul (kurang lebih) "Hubungan jenis musik 'X'

(aku lupa, pokoknya salah satu jenis musik klasik karya komponis

terkenal setara Beethoven, Vivaldi, etc) dengan kesuksesan".

Bayangkan, bisa begitu saja muncul "Hubungan jenis musik 'X' dengan

kesuksesan".


Lalu bayangkan si anak membuat surat ijin penelitian ke perusahaan

anda. Datang menemui HRD anda atau pimpinan anda, minta diijinkan

penelitian di tempat anda. Seolah-olah tempat anda ada masalah dengan

kesuksesan. Dan tiba-tiba saja karyawan di perusahaan itu

di"treatment" dengan musik klasik.


Kenapa ini terjadi? Karena fokusnya pada treatment. Bukan pada ada

masalah apa dan mau dibuatkan solusi macam apa (yang bisa saja bukan

treatment).


Jadi menurut saya, ketimbang bingung profesi psikologi tercatat atau

tidak, mungkin lebih tepat jika dipikirkan dulu esensi profesi dan

mastery itu apa.


Ada pendapat lain?




Salam,


Audifax





---

Pendidikan Keadvokatan dan Permasalahan yang Dihadapi(*)

Muchammad Zaidun(**)

[29/10/04]


'Peningkatan keahlian advokat membutuhkan suatu proses pendidikan dengan kurikulum yang spesifik, bersertifikasi profesi, akreditasi pendidikan profesi, dan pemberian lisensi khusus oleh asosiasi profesi'


Ketentuan Pasal 2 ayat(2) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat menyatakan: "yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi advokat yang dilaksanakan oleh organisasi advokat".


Sementara itu berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat(3), Pasal 21 ayat(1) dan ayat(2) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, disimpulkan bahwa penyelenggaraan pendidikan profesi diselenggarakan oleh perguruan tinggi, karena perguruan tinggi berdasarkan undang-undang tersebut berhak menyelenggarakan program pendidikan tinggi dan dapat memberikan gelar akademik, profesi maupun vokasi. Bahkan dalam undang-undang tersebut ditegaskan bahwa selain perguruan tinggi, dilarang memberikan gelar akademik, profesi atau vokasi.


Ini berarti untuk menyelenggarakan pendidikan profesi advokat harus ada kerjasama antara perguruan tinggi dengan organisasi profesi advokat. Dengan kata lain organisasi advokat maupun perguruan tinggi hukum, masing-masing tidak dapat menyelenggarakan sendiri program pendidikan tersebut, tetapi harus bekerjasama.  Selain itu permasalahan substansial lainnya adalah belum ditetapkan kurikulum baku untuk pendidikan tersebut dan masih menghadapi pula kendala tentang tersedianya tenaga pengajar yang profesional terutama di daerah-daerah.


Persoalan lain yang dihadapi adalah belum ditetapkan pula kriteria dan syarat pemagangan dan kantor-kantor advokat yang ditetapkan memenuhi syarat untuk tempat pemagangan bagi para calon anggota advokat.


Permasalahan-permasalahan tersebut merupakan masalah bagi pendidikan khusus profesi advokat yang harus segera dipecahkan. Sebab, para lulusan pendidikan hukum saat ini cukup banyak yang ingin memasuki dunia profesi advokat.  Permasalahan pendidikan khusus profesi advokat sebetulnya merupakan masalah bersama antara organisasi profesi advokat dan pendidikan tinggi hukum karena input awal dari para calon advokat adalah mereka yang telah melalui jenjang pendidikan strata-1 di pendidikan tinggi hukum.


Yang menjadi sorotan saat ini adalah pendidikan strata-1 pada pendidikan tinggi hukum dianggap masih memiliki kelemahan dalam kemahiran dan ketrampilan hukum (competence and skill).  Oleh sebab itu, kalau tidak ada komunikasi yang intens antara dunia profesi advokat dengan pendidikan tinggi hukum, maka masing-masing pihak dikhawatirkan kurang memahami tentang kondisi dan kebutuhan masing-masing dalam mengantisipasi penyiapan pendidikan khusus profesi advokat. 


Dipandang perlu untuk menetapkan secara lebih spesifik output kualitas yang diharapkan dari dunia profesi advokat berkaitan dengan pendidikan khusus profesi advokat tersebut, dan sekaligus dipahami lebih dalam tentang kondisi kualitas lulusan strata-1 pendidikan tinggi hukum. Dengan demikian dapat ditentukan kualitas lulusan pendidikan khusus profesi advokat yang diharapkan, dan tingkat kekurangan berkaitan dengan kompetensi dan ketrampilan pendidikan strata-1 tersebut. Kekurangannya kemudian harus diisi dengan pendidikan khusus profesi hukum (advokat), agar kelak lulusan pendidikan khusus profesi advokat tersebut dapat sesuai dengan standar kualitas profesi hukum (advokat) yang diharapkan. 


Kondisi yang demikian ini harus menjadi perhatian utama bagi kedua belah pihak. Apabila kondisi seperti ini tidak dapat dipahami secara baik, maka besar kemungkinan upaya pendidikan khusus profesi advokat tidak akan dapat memenuhi tujuan yang diharapkan.  Kekhawatiran yang demikian ini cukup beralasan karena bisa terjadi apa yang merupakan concern pendidikan tinggi hukum belum tentu cocok dengan kebutuhan riil dunia profesi advokat.


Pada dasarnya pendidikan keadvokatan merupakan pendidikan profesi, baik karena faktor tujuan, misi pendidikannya, kenyataan sejarah profesi hukum di dunia internasional, maupun karena ketentuan perundang-undangan yang menyangkut pendidikan profesi, baik berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional maupun berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.


Sebagai suatu pendidikan profesional, tentu lebih baik mengedepankan aspek kompetensi (competence) dan keterampilan (skill). Tetapi harus diingat bahwa kompetensi dan ketrampilan di sini adalah based on knowledge/science, dan bukan merupakan keterampilan teknis semata-mata sebagaimana dalam konsep pendidikan vokasional.


Di beberapa negara ada kecenderungan pendidikan profesi tersebut dipadukan dengan pendidikan akademik. Dengan perpaduan sedemikian rupa menjadikan pendidikan profesi tersebut mempunyai dasar akademik yang kuat serta memiliki kemahiran yang profesional.


Ada pula beberapa negara yang memadukan antara pendidikan magister dengan pendidikan profesi. Dan untuk Indonesia hal ini bisa dilihat dari model pendidikan yang terintegrasi antara akademik dan profesi yang dikembangkan oleh Program Magister Kesehatan Masyarakat (Public Health) dan Program Magister Psikologi, yang mempunyai program magister (profesi). 


Sebagai contoh dalam Program Magister Psikologi, kurikulum dirancang oleh Fakultas Psikologi bersama dengan Asosiasi Psikolog Indonesia. Peserta program magister psikologi pada akhir masa studi (setelah lulus) memperoleh ijazah dengan gelar Magister Psikologi (bersifat profesi bukan sains), dan memperoleh sertifikat dari Asosiasi Psikolog Indonesia dengan sebutan Psikolog. 


***


Untuk Indonesia ada kecenderungan program profesi yang terintegrasi dengan program magister profesi (strata-2) lebih diminati. Sebab, selain yang bersangkutan memperoleh pengetahuan yang terkait dengan kompetensi dan ketrampilan profesi, mereka juga memperoleh dasar-dasar teori yang lebih memperkuat dasar kemampuan teori di bidang profesinya.  Selain itu, yang tidak dapat disangkal, mereka juga sangat senang memperoleh tambahan gelar strata-2 sebagai magister profesi.


Ini adalah merupakan suatu kenyataan yang sulit dihindari antara kecenderungan peningkatan kualitas profesi dan tuntutan kebanggaan memperoleh ijazah magister (profesi).  Sebagai respon terhadap kenyataan yang telah dikemukakan di atas, maka sudah sepatutnya pendidikan tinggi hukum bersama asosiasi profesi hukum mengantisipasi kebutuhan tersebut sekaligus mengupayakan peningkatan kualitas professional lawyer yang semakin menjadi tuntutan masyarakat, melalui penyelenggaraan suatu program magister hukum (profesi).


Kalau kita cermati lebih jauh dunia profesi hukum, khususnya profesi advokat memiliki dua jenjang keahlian yang spesifik. Pertama, adalah para advokat yang memiliki keahlian profesi yang masih bersifat umum dan dalam praktik mereka menangani perkara (khususnya litigasi) tanpa keharusan memiliki keterampilan khusus dalam bidang hukum tertentu yang ditetapkan oleh organisasi profesi, tetapi cukup dengan kemampuan hukum yang bersifat umum.


Kedua, adalah para advokat (dan juga para konsultan hukum) oleh asosiasi profesi diwajibkan memiliki keahlian yang spesifik dalam hal menangani masalah-masalah hukum tertentu.  Misalnya bidang hukum pasar modal harus memiliki sertifikat keahlian di bidang hukum pasar modal.  Di masa lalu mereka yang memperoleh sertifikat keahlian melalui pendidikan (kursus) dan ujian, serta memperoleh lisensi dari Bapepam adalah para advokat maupun yang bukan advokat.


Contoh selanjutnya adalah bidang HAKI, mensyaratkan harus memiliki sertifikat di bidang keahlian HAKI dan terdaftar di Dirjen HAKI. Kemudian bidang kepailitan mensyaratkan harus memiliki sertifikat di bidang keahlian hukum kepailitan dan tercatat sebagai anggota asosiasi advokat di bidang kepailitan.


Berdasarkan kondisi dan fakta tersebut, maka jelas dunia profesi hukum pada waktunya tidak hanya memiliki para advokat yang memiliki keahlian yang bersifat umum (general), tetapi sudah mengarah pada keahlian yang lebih spesifik.  Peningkatan keahlian advokat yang spesifik tersebut membutuhkan suatu proses pendidikan dengan kurikulum yang spesifik, bersertifikasi profesi, akreditasi pendidikan profesi, dan pemberian lisensi khusus oleh asosiasi profesi.  Kenyataan tersebut mengharuskan dunia pendidikan hukum dan asosiasi profesi hukum, khususnya advokat, dapat mengantisipasi dan merespon hal tersebut dengan bekerjasama merancang suatu model pendidikan profesi yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan keahlian.


Kerjasama ini tentu harus diwujudkan dalam bentuk mengembangkan suatu model pendidikan profesi dalam dua jenjang, yaitu jenjang profesi umum (general) dan jenjang profesi khusus (keahlian khusus).  Program pendidikan profesi tersebut seyogianya dipikirkan menjadi program yang terintegrasi di antara program pendidikan profesi umum, profesi khusus dan program magister (profesi).  Hal ini agar para peserta program memperoleh manfaat ganda dengan menyandang gelar magister (profesi) bidang hukum dan menyandang sebutan advokat (umum), maupun advokat dengan keahlian khusus dalam bidang hukum tertentu setelah mereka lulus dalam program pendidikan tersebut.


Konsekuensi dari model pendidikan profesi yang terintegrasi dengan magister hukum (profesi) tersebut, maka harus disiapkan suatu kurikulum yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan jasa profesi hukum dan sekaligus memenuhi norma-norma standar yang sesuai dengan syarat-syarat program magister hukum (profesi) dan bukan merupakan program magister hukum yang bersifat sains atau sering disebut dengan magister ilmu hukum


Langkah berikutnya adalah menyiapkan suatu model pembelajaran yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan dunia profesi hukum termasuk sarana dan prasarana, serta tak kalah pentingnya adalah para dosen/pengajar.  Semua persyaratan dan kebutuhan proses pembelajaran tersebut agar sesuai dengan kepentingan professional lawyers dan standar mutu pendidikan tinggi hukum, maka hal tersebut harus dipikirkan bersama secara bersungguh-sungguh oleh dunia pendidikan tinggi hukum dengan asosiasi profesi hukum, khususnya asosiasi advokat.


Hanya melalui kerjasama yang saling menguatkan tersebut, maka masalah pendidikan profesi advokat dalam rangka peningkatan kualitas profesional advokat dapat dicapai.  Oleh karena itu sudah seharusnya mulai dirintis adanya forum bersama antara fakultas hukum dengan asosiasi profesi hukum, agar selalu dapat saling menyapa dan memberikan masukan demi kepentingan pendidikan tinggi hukum dan profesi hukum, sebagaimana yang terjadi di Amerika Serikat antara School of Law Associatin dengan American Bar Association yang setiap tahun menyelenggarakan forum pertemuan bersama dengan mengangkat topik-topik aktual sebagai agenda acara tahunan.


*Disampaikan pada Diskusi Panel "Reformasi Pendidikan Hukum di Indonesia", di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 28 Oktober 2004

































__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

new professional

network from Yahoo!.

Best of Y! Groups

Check out the best

of what Yahoo!

Groups has to offer.

Parenting Zone

on Yahoo! Groups

Your one stop for

parenting groups.

.

__,_._,___

[psikologi_transformatif] Re: [vincentliong] Fwd: RAMALAN 2008 UNTUK VINCENT LIONG DAN KOMPATIOLOG => ABU

Selamat datang Abu,

Anda sudah diberi nomor dan alamat e-mail orang-orang yang dimusuhi
Vincent Liong bukan? Senang sekali akhirnya anda datang ke milis ini.
Saya tunggu kalau anda mau hubungi saya.

Pertanyaan anda tentang tidak mampu menerangkan kekeliruan barangkali
pertama-tama mesti anda berkaca dulu, siapa yang tidak mampu
menangkap kekeliruan.

Lalu, sebelum anda ngomong apa itu diskusi intelek, sudahkah anda
melihat bahwa Vincent Liong sepanjang tahun 2007 ini kerjanya hanya
menjelekkan orang? Mengadu domba antara agama Islam agar menyerang
orang-orang yang tak disukai Vincent?
mengarang berita bohong yang memfitnah orang? Apa dalam agama anda
ini dibenarkan? Apa itu dibenarkan Muhammad? Apa itu diskusi intelek?

Anda mau tau buktinya semua yang saya omongkan, ada semua di arsip
milis ini. Dan silahkan anda menilai, apakah itu dibenarkan oleh
agama anda.

Oya, ramalan model gini, juga pernah dilakukan oleh Vincent pada
orang-orang yang dijelekkannya. Kemana anda waktu itu? Di terminal?
atau di pasar?

Dan khusus untuk anda ada sebuah pertanyaan. Apakah anda sudah
menguasai data yang benar sebelum memutuskan bahwa data yang
diomongkan Vincent Liong adalah yang benar?

Apakah tanpa menguasai data yang benar lantas menyalahkan orang itu
adalah ajaran agama anda?

HAHAHA...SELAMAT TAHUN BARU DAN SEMOGA LEBIH BIJAK SEBELUM MELAKUKAN
SESUATU

AYO ABU, JAWAB SAYA! MAU DISKUSI INTELEK? DISKUSI INTELEK ITU
BERDASAR DATA!

Salam

Audifax

--- In psikologi_transformatif@yahoogroups.com, "Abu"
<hamiludd2kwah@...> wrote:
>
>
> Ini tulisan saya yang pertama dimilis, ini. Ternyata tidak jauh beda
> dengan milis Vincent untuk membernya. Banyak yang merasa sehat akal,
> tapi tidak mampu menerangkan kekeliruan atau meluruskan seseorang.
> Cara-cara seperti ini biasanya kita hanya temui di terminal dan
pasar
> induk. Bukan ditempat-tempat diskusi intelek.
>
> Kawan, apa anda gak capek menulis, dan mengetik, tapi tulisan dan
hasil
> ketikan anda tidak bermanfaat bagi orang lain.
>
> Muhammad pernah berkata ; MAN YU'MINU BILLAHI WAL YAUMIL AAKHIR FAL
> YAQUL KHOIRON AU YASMUT artinya : Barang siapa beriman dengan Allah
dan
> hari akhir, maka hendaklah berkata yang baik atau diam.
>
> Tapi kalau tidak beriman dengan yang dua itu, yah jangan diambil
kalimat
> itu. Tetaplah pakai caramu.....
>
> Abu Ibrahim.
>
>
> --- In psikologi_transformatif@yahoogroups.com, audifax -
<audivacx@>
> wrote:
> >
> > Dan tulisan anda: Andy Ferdiansyah aka Tinta Negatif di bawah ini,
> semakin mengonfirmasi adanya cacat pikiran dan cacat mental di
antara
> Kompatiolog.
> >
> >
> >
> > tinta negatif tinta_negatif@ wrote:
> >
> > anda menulis :
> >
> > "Yang lalu bikin Vincent stress dan melampiaskan dengan mencoba
> membusukkan Manneke dan Pabrik T."
> >
> > saya bertanya :
> >
> > "Manneke dan Pabrik T itu siapa sih...? Apakah aku harus
mengenalnya?
> > Kalau busuk?? apakah mereka buah-buahan."
> >
> > anda menulis :
> >
> > "Saya meramalkan Vincent sebentar lagi akan dikepung orang-orang
> psikologi yang menyerangnya."
> >
> > saya menjawab :
> >
> > "Tapi saya pikir Vincent punya keluar dari kepungan.. karena punya
> kehebatan naruto, dan avatar the legend of Ang."
> >
> > anda menulis :
> >
> > "Apa yang dilakukan Vincent adalah cara berhitung bodoh ala orang
> cacat pikiran dan cacat mental."
> >
> > saya menjawab :
> >
> > "Bukannya Vincent menghitung dengan sempoa?"
> >
> > anda menulis :
> >
> > "The Tower menunjukkan bahwa ada sesuatu yang dibangun di atas
fondasi
> yang salah, yang mulai runtuh. Gambar menara tersambar petir. Ini
mirip
> mitologi Menara Babel, di mana menara itu dibangun di atas fondasi
yang
> salah dan jadinya adalah kebingungan dan kekacauan."
> >
> > saya menjawab :
> >
> > "Saya suka film Babel. yang main Brad Pitt.. apalagi di film Fight
> Club.. sama Edward Norton!"
> >
> >
> >
> > anda menulis :
> >
> > "Kasihan memang. Tapi memang itulah hukuman dari alam. Hukuman
untuk
> orang yang tidak menaati moral dasar. Suka menipu. Suka memfitnah.
Suka
> mengarang cerita bohong. Iri hati dengan prestasi orang lain. Rakus.
> Tamak. Kalau dilihat-lihat, memang 7 dosa asal itu ada semua pada
> Vincent Liong. Mau apa lagi? Jelas alam akan menghukum."
> >
> > saya menjawab :
> >
> > "Hebat betul Vincent. Di terus saja diberi berkah oleh alam. Apa
yang
> alam berikan padanya, karena Vincent selali menaati SEKOLAH DASAR
MORAL.
> Tidak Suka menipu. Tidak Suka memfitnah. Tidak Suka mengarang cerita
> bohong. Tidak Iri hati dengan prestasi orang lain. Tidak Rakus.
Tidak
> Tamak. Dan seperti Vincent juga tidak seperti saya."
> >
> >
> >
> > anda menulis :
> >
> > "(Inget Cent, Ondho pernah bilang kan, kalo anak Indigo umurnya
enggak
> panjang). Vincent Liong bakal masih melakukan serentetan kebodohan
yang
> (seperti biasa) berimplikasi pada kerusakan di dirinya sendiri dan
di
> antara rentetan kebodohan itu, bakal ada satu kebodohan yang paling
> berakibat fatal pada Vincent Liong dan Kompatiolog."
> >
> > Saya menjawab :
> >
> > Kalau Vincent punya anak.. ada kemungkinan, anak tersebut jadi
bahan
> eksperimannya Vincent.. ha ha ha
> >
> > Vincent the Godfather.. not Good Father
> >
> > anda menulis :
> >
> > Lalu dua kartu yang tak sengaja tercabut bersamaan: Abandonement
dan
> Discontent, menunjukkan bahwa pada akhirnya Vincent dan Kompatiolog
ini
> hanya akan berujung pada kesia-siaan. Kosong dan ditinggalkan.
Ibarat
> sampah.
> >
> >
> > Nah, itulah ramalan 2008 untuk Vincent Liong dan Kompatiologi.
Apakah
> akan terbukti seperti ramalan-ramalan saya sebelumnya? Mari kita
lihat
> bersama-sama.
> >
> > saya menjawab :
> >
> > hei, kapan-kapan main kartu yuk gw sering main kartu pakai Tarot..
> kata Vincent gak boleh.. tapi ternyata gak ada apa-apanya kok.. gw
> sering buat main Poker
> >
> > ha ha
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> > .
> >
> >
> > Date: Mon, 31 Dec 2007 02:05:40 -0800 (PST)
> > From: audifax - audivacx@
> > Subject: RAMALAN 2008 UNTUK VINCENT LIONG DAN KOMPATIOLOG
> > To: psikologi_transformatif@yahoogroups.com, R-
Mania@yahoogroups.com,
> > vincentliong@
> >
> > Ramalan 2008 untuk Vincent Liong dan Kompatiolog
> >
> > Surabaya, 31 Desember 2007, pukul 16.07, tahun 2007 tinggal
menunggu
> beberapa jam lagi. Entah kenapa kok saya jadi pengen ikut-ikutan Leo
> jadi peramal Tarot. Tapi yang jelas, Vincent Liong dan beberapa
orang
> dari gerombolan Kompatiologi pernah mendengar ramalan saya di awal
tahun
> 2007 lalu.
> >
> >
> > Ramalan Pertama, Vincent dan beberapa orang mestinya masih ingat
> ketika pada bulan Maret 2007 saya pernah mengatakan bahwa setelah
ini
> masing-masing dari mereka akan mendapatkan lawan berat. Lawan kali
ini
> bukan seperti sebelum-sebelumnya yang bisa dikalahkan dengan
> memutar-balik omongan ala Vincent dan Kompatiologi, kali ini benar-
benar
> berat dan bisa saja kalah.
> >
> >
> > Ramalan ini mulai terbukti sejak Vincent dihajar argumen-
argumennya
> oleh Astrid Mawarni. Yang lalu bikin Vincent stress dan melampiaskan
> dengan mencoba membusukkan Manneke dan Pabrik T. Eh, alih-alih
berhasil
> malah justru membuat Vincent terpeleset dalam rentetetan kebodohan
yang
> membuatnya benar-benar bertemu dengan lawan-lawan berat yang semua
> menghajar Vincent Liong hingga babak-belur. Bukan cuma Vincent
Liong,
> bahkan semua kompatiolog bertemu lawan berat dan semua kompatiolog
itu
> dihajar.
> >
> >
> > Ramalan kedua, mestinya Vincent dan Isti masih ingat. Yaitu ketika
> Vincent ngotot mau membantu mengerjakan disertasinya Isti, yang
> pengerjaannya terus ditunda-tunda Isti, berganti topik ini-itu,
> beralasan ini-itu. Waktu itu, masih bulan Maret, saya mengatakan,
jika
> sampai dua bulan ke depan Isti belum mengerjakan disertasinya, maka
> selanjutnya yang akan terjadi adalah Isti sudah tidak akan bisa
mengerti
> lagi akar persoalannya ada di mana.
> >
> >
> > Ramalan ini kembali terbukti. Lewat dua bulan, berarti melewati
April
> dan Mei, masuk Juni. Di bulan Juni itulah Isti yang sebelumnya
menjaga
> image di milis, ternyata terseret ke kancah perang. Dan karena
kebodohan
> Vincent Liong yang cerita sana-sini tentang kehidupan pribadi, Isti
pun
> menjadi bulan-bulanan. Ditambah langkah-langkah yang ditempuh Isti
> sendiri, yang sebenarnya juga memperlihatkan bahwa dia tak tahu mana
> lawan mana kawan. Sama Vincent, rahasia rumah tangganya diudal-udal.
> Sama Haute, ternyata Haute ada di kubu pabrik T. Sama Adhi, Iwan,
dan
> lain-lain juga sempat bentrok. Di Fapsi UI juga jadi gunjingan.
Belum
> omongan di fapsi-fapsi lain yang Isti pernah ngajar. Belum lagi
> perkembangan paling parah diedel-edel Ani Munafich dan sampai hari
> inipun, dari data "parodi" yang terjadi di milis Kompati,
> semakin membuat orang terbahak menyaksikan Isti. Di mana akar
> masalahnya? Sudah tidak jelas! Dan sampai kapanpun, kondisi ini
hanya
> bisa makin parah tapi tidak
> > mungkin bisa ditemukan akar masalahnya.
> >
> >
> > Ramalan ketiga, terjadi ketika Vincent menelepon saya waktu dia
lagi
> stres-stresnya karena diobrak-abrik Astrid Mawarni. Ini bulan Mei,
> menjelang Vincent membanned pabrik t. Saya meramalkan Vincent
sebentar
> lagi akan dikepung orang-orang psikologi yang menyerangnya.
> >
> >
> > Eh, bener. Setelah itu, bukan saja Vincent berhadapan dengan saya,
> tapi juga dengan Ratih Ibrahim, Sinaga Harez Posma, Mayanoto
> Swastinika..dan jangan lupa, karena kebodohan Vincent membusukkan
Ratih
> Ibrahim, Vincent makin dimusuhi dan justru Ratih yang mendapat
simpati.
> Apa yang dilakukan Vincent adalah cara berhitung bodoh ala orang
cacat
> pikiran dan cacat mental. Dikiranya dia berhasil membuat orang-orang
> psikologi melekatkan cap jelek ke Ratih, eh, malah Vincent sendiri
yang
> makin banyak musuhnya. Vincent dikepung orang-orang psikologi.
> >
> >
> > Sekarang saatnya saya meramal lagi untuk Vincent Liong dan para
> Kompatiolog. Saya cabut tiga kartu tarot saya. Keluar:
> >
> >
> > The Tower – The Death –dan upss..tanpa sengaja tercabut dua
> kartu di kanan, dua kartu yang menempel, yaitu kartu Abandonement
dan
> kartu Discontent.
> >
> >
> > The Tower menunjukkan bahwa ada sesuatu yang dibangun di atas
fondasi
> yang salah, yang mulai runtuh. Gambar menara tersambar petir. Ini
mirip
> mitologi Menara Babel, di mana menara itu dibangun di atas fondasi
yang
> salah dan jadinya adalah kebingungan dan kekacauan.
> >
> >
> > Jadi, seperti sudah mulai bisa kita lihat setahun belakangan ini.
> Pemikiran Vincent Liong dan Kompatiologinya yang ternyata dibangun
di
> atas fondasi yang salah, mulai hancur. Kehancuran sudah dimulai
sejak
> tahun 2007 dan terus berjalan di tahun 2008.
> >
> > Kasihan memang. Tapi memang itulah hukuman dari alam. Hukuman
untuk
> orang yang tidak menaati moral dasar. Suka menipu. Suka memfitnah.
Suka
> mengarang cerita bohong. Iri hati dengan prestasi orang lain. Rakus.
> Tamak. Kalau dilihat-lihat, memang 7 dosa asal itu ada semua pada
> Vincent Liong. Mau apa lagi? Jelas alam akan menghukum.
> >
> >
> > Dan petunjuk hukuman itu muncul dalam kartu The Death. Menunjukkan
> maut atau kematian. Vincent dan kompatiologi yang hancur itu
ternyata
> puing-puingnya mengalir menuju kematian atau menuju maut. Bahkan
dalam
> tahun 2008, maut atau kematian ini bukan hanya simbolik tapi mungkin
> terjadi betulan pada satu atau lebih kompatiolog, termasuk mungkin
> terjadi pada Vincent Liong sendiri (Inget Cent, Ondho pernah bilang
kan,
> kalo anak Indigo umurnya enggak panjang). Vincent Liong bakal masih
> melakukan serentetan kebodohan yang (seperti biasa) berimplikasi
pada
> kerusakan di dirinya sendiri dan di antara rentetan kebodohan itu,
bakal
> ada satu kebodohan yang paling berakibat fatal pada Vincent Liong
dan
> Kompatiolog. Vincent dan Kompatiolog bisa saja tertimpa kematian,
cacat
> seumur hidup, rasa malu luar biasa atau hal mengerikan yang bahkan
tak
> terlintas sedikitpun saat ini.
> >
> >
> > Lalu dua kartu yang tak sengaja tercabut bersamaan: Abandonement
dan
> Discontent, menunjukkan bahwa pada akhirnya Vincent dan Kompatiolog
ini
> hanya akan berujung pada kesia-siaan. Kosong dan ditinggalkan.
Ibarat
> sampah.
> >
> >
> > Nah, itulah ramalan 2008 untuk Vincent Liong dan Kompatiologi.
Apakah
> akan terbukti seperti ramalan-ramalan saya sebelumnya? Mari kita
lihat
> bersama-sama.
> >
> >
> > Selamat Tahun Baru 2008 dan selamat menyongsong takdirmu!
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> > ---------------------------------
> > Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo!
Mobile. Try
> it now.
> >
> > ---------------------------------
> > Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo!
Mobile. Try
> it now.
> >
> >
> >
> >
> > ---------------------------------
> > Looking for last minute shopping deals? Find them fast with Yahoo!
> Search.
> >
>

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Reconnect with

college alumni.

HDTV Support

on Yahoo! Groups

Help with Samsung

HDTVs and devices

Green Groups

on Yahoo! Groups

share your passion

for the planet.

.

__,_._,___

[psikologi_transformatif] Re: Sahabat saya terkena Tumor di Mulut Rahim, Mohon Bantuannya


Bagaimana cara membantunya, nomer teleponnya tu la lit....

Saya dari Australi, barangkali nanti saya bisa carikan kawan yang mau
membantu...

Abu Ibrahim.

--- In psikologi_transformatif@yahoogroups.com, bayyinah ainur
<ainur_ry@...> wrote:

> Assalamu'alaikum Wr. Wb.
>
> Tahun baru mungkin awal tahun yang membahagiakan buat semua orang.
bukan untuk mengurangi rasa bahagia teman-teman semua. tapi seseorang
saat ini sedang dirudung ujian dari Allah SWT. sahabat saya beberapa
hari yang lalu di diagnosa dokter terkena tumor di mulut rahim kanan dan
kirinya, setelah periksa di RS Cipto. sehingga mesti dioperasi dan
rahimnya mesti diangkat.
>
> Mohon bantuan teman-teman semua, karena setelah operasi sahabat saya
tersebut juga harus menjalani kemotrapi. sehingga membutuhkan dana yang
tidak sedikit. kondisi sahabat saya yang bukan berasal dari keluarga
mampu menambah berat beban yang harus dipikulnya.
>
> Semoga Allah SWT membuka hati teman-teman semua untuk peduli dan
sekedar mengulurkan tangan.
> Sebelumnya saya mengucapkan banyak terima kasih atas kepedulian
teman-teman.
>
> Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
>
>
> Ai Nur Bayinah
> ainur_ry@...
> 0817 829213
>
>
>
__________________________________________________________\
____________
> Looking for last minute shopping deals?
> Find them fast with Yahoo! Search.
http://tools.search.yahoo.com/newsearch/category.php?category=shopping
>

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Find great recruits

for your company.

Dog Groups

on Yahoo! Groups

Share pictures &

stories about dogs.

Yahoo! Groups

Wellness Spot

A resource for Curves

and weight loss.

.

__,_._,___