Minggu, 02 Desember 2007

[psikologi_transformatif] draft buku ke-8

Tidak pernah menggunakan kekuatan dengan sikap bangga dan amarah.

Thirty spokes join together in the hub.
It is because of what is not there that the cart is useful.
Clay is formed into a vessel.
It is because of its emptiness that the vessel is useful.
Cut doors and windows to make a room.
It is because of its emptiness that the room is useful.
Therefore, what is present is used for profit.

But it is in absence that there is usefulness.
Lao Tzu

A. Konglomerat di Indonesia
Pada tahun 1998 saya bekerja di sebuah Group Perusahaan lokal
terbesar di Indonesia yang bergerak di bidang kertas. Presiden
Direktur memimpin meeting seperti memimpin perang. Anak buahnya
sang General Manager sampai pucat dicaci maki did epan anak buahnya
sendiri. Rasanya sehabis meeting kitapun menjadi sangat emosional,
maunya memaki-maki orang lain.
Sungguh perilaku semacam ini banyak terjad di konglomerat
Indonesia. Group-group lain yang bergerak di perbankan, atau Mie
Instan juga berperilaku menggunakan kekuatan dengan sikap bangga dan
amarah. Presiden Direkturnya yang dulu perempuan juga menggunakan
kekuatan dalam memimpin.
Cara-cara ini kelihatannya wajar, namun kalau dipikir, sebuah
perusahaan adalah hasil kerja smua karyawan, bukan sang Pemimpin
saja, oleh karena itu, kalau para Manajer di bawahnya merasa
dipermalukan, harga dirinya diinjak-injak, maka tentu para Manajer
tidak merasa happy dan mengerjakan tugas tidak sepenuh hati. Oleh
karena itu tak heran bila banyak Konglomerat Indonesia tidak
bertahan lama, dan pada saat Krisis menjadi anjlok ke posisi bawah.
B. Kemenangan sesungguhnya bukan dari pembalasan dendam.
Pemimpin dari hati menunjukkan kerendahan hati. Inilah kekuatan dari
sikap moderat. Inilah cara terbaik menghadapi orang lain. Pada saat
dua kekuatan beradu, maka pemenangnya adalah yang tidak ingin
berperang.
Sewaktu kita kecil, kita menganggap yang penting kita bisa menang,
mulai saat main kelereng, main lompat tali, atau sebagai juara
kelas. Kita telah ditanamkan sejak kecil untuk menang. Namun
tidakkah kita menyadari bahwa itu salah?
Kalau kita berpikir untuk menang, maka tidaklah mungkin kita akan
menang terus, berpikir menang-kalah akan membawa kita kepada
kekalahan. Namun kalau kita senantiasa mengalah, maka kita akan
selalu menang.
Dunia ini terlalu berat untuk kita kalahkan, kekuatan kita itu
hanyalah setitik pasir di tengah gurun sahara. Kita ini tiada
artinya mau mengubah dunia. Kita tidak akan mampu memiliki kekuatan
cukup untuk mengalahkan semuanya.
Menjadi Pemimpin tidak perlu menggunakan kekuatan. Istilah SBY
adalah "soft power". Kepemimpinan dengan teladan. Kepemimpinan
dengan sikap baik. Sikap mengayomi, tidak perlu mengumbar kekuatan,
amarah atau rasa bangga.

C. Menghadapi Lawan
Mungkin selama karir anda selalu berpikir untuk menghadapi
competitor, apalagi office politics di dalam kantor, seolah-olah
menjadi pemimpin harus selalu ada ynag dikalahkan. Dan saat anda
menjadi Presiden Direktur anda piker Usaha anda akan banyak
competitor yang secara licik ingin menyerang anda. Percayalah,
begitu anda menjadi Presiden Direktur tidak ada satupun yang harus
anda kalahkan. Anda akan sendirian saja, karena seluruh dunia tidak
akan percaya, tidak akan memihak anda. Anda akan sendirian saja,
bermodalkan keyakinan anda.
Misalnya anda menjadi Presdir Usaha Sekolah Musik. Pandangan orang
akan demikian:
• Lho ngapain uang kok diantriin begitu?
• Aduh ngapain susah-susah hanya mengumpulkan uang sekolah Rp
150,000 dalam sebulan?
• Capak deh mengurusi siswa yang cengeng, bagaimana caranya
mengajari mereka musik, kalau m ereka selalu dimanja?
Apa yang terlihat dari luar tentu akan sangat berbeda dengan yang
anda lihat dari dalam. Anda piker competitor semua akan tahu bahwa
satu cabang anda mampu menghasilkan income Rp 100 juta per bulan
dengan keuntungan bersih 70%. Tidak begitu. Itu hanya ada dalam
pikiran kita saja. Dengan demikian, kita tidak perlu membuang-buang
waktu dengan berpikir bagaimana caranya menghadapi lawan.
Misalnya anda menjadi SBY, kira-kira siapa lawan yang harus
dihadapi? Tentu tidak ada, karena seluruh rakyat, baik itu yang
setuju ataupun yang tidak, semuanya adalah warga Negara yang harus
dilindungi oleh SBY.
Tentu kitapun sebagai Presdir tidak boleh pilih kasih, dan
menggolongkan karyawan sebagai karyawan yang disukai dan tidak.
Kita tidak dapat memiliki kemewahan untuk tidak menyukai karyawan,
akrena mereka bekerja untuk kita, oleh karena itu cara berpikir kita
adalah mengayomi mereka semua.
D. Kepemimpinan sejati bukanlah dengan mengalahkan semua orang,
melainkan membuat semua orang menang.
Oleh karena itu, janganlah berusaha supaya dunia mengikuti Anda,
melainkan Anda mengikuti arah dunia berputar. Janganlah memaksakan
kehendak kepada orang lain, melainkan bantulah orang lain untuk
memenuhi kehendak mereka masing-masing.
Keberhasilan sejati bukanlah hasil kerja satu orang
melainkan ribuan orang. Oleh karena itu, janganlah menonjolkan diri
bahwa Anda yang terbaik, melainkan merekalah yang terbaik, maka
hasilnya akan lebih besar. Pada waktu kita bekerja bersama maka
hasil yang dicapai bukanlah untuk diri sendiri melainkan untuk
mereka. Merekalah yang berhasil, maka Anda juga akan berhasil.
Menjadi Pemimpin berkekuatan karakter Naga memang semudah memasak
ikan kecil. Sangat cepat dan gampang. Kadang seseorang khawatir
berbuat salah, sehingga gagal melaksanakan fungsinya. Memang
perasaan semacam itu tidak bisa dihilangkan seluruhnya, namun dapat
dicegah agar tidak terjadi pada orang lain. Sebagai Pemimpin, yang
penting adalah bertindak tanpa menyakiti atau merugikan orang lain.
Sehingga orang yang dipimpin tidak perlu khawatir akan terlukai.
Sebaliknya, mereka justru akan mencari kesempatan untuk selalu
melakukan hal-hal yang benar.
Menjadi Pemimpin tidak dibutuhkan IQ yang tinggi, atau menjadi
Superman, cukup dengan bersikap tidak menyakiti atau merugikan orang
lain. Sehingga sikap ini akan mengayomi seluruh anggota. Dengan
bersikap tanpa menyakiti, maka seluruh anggota akan merasa aman,
nyaman dan mereka bebas dari rasa khawatir, bebas dari rasa curiga,
sehingga merekasenantiasa gembira untuk berkarya, mencari kesempatan
untuk melakukan hal-hal yang benar, karena mereka tahu, bahwa ada
sosok Pemimpin yang menjadi penerang di tengah-tengah mereka.

E. Sang Pemimpin memandang jauh di atas sana, dan anak buah di bawah
jadi mengerti pedoman arah tujuan.
Mereka tidak lagi ragu-ragu, mereka akan tahu, bahwa Sang Pemimpin
berkekuatan karakter Naga memandang jauh di atas sana, dan anak buah
di bawah jadi mengerti pedoman arah tujuan.
Biasanya, bila kita bertemu dengan kekuatan yang lebih kecil, kita
berada pada posisi untuk mempengaruhi mereka. Namun bila kita
bertemu dengan kekuatan yang lebih besar maka kita menciptakan
kesempatan untuk memperoleh jalan kita. Sehingga bila kita ingin
maju, maka selalu rendah hatilah. Dengan demikian semua orang akan
senang.
Dengan berpikir menang-kalah maka kita akan selalu menemui tembok
halangan, seolah-olah selalu ada musuh yang harus dikalahkan.
Padahal, dalam hidup ini tidak ada orang lain yang bermaksud jahat
kepada kita. Oleh karena itu, sikap untuk selalu mengalahkan orang
lain akan mengundang orang lain untuk bersikap jahat kepada kita.
Coba kita lihat Pemilik Group BDNI kemana-mana selalu didampingi
oleh pengawal. Mungkin kita melihatnya seperti keren, seperti
bintang film, namun pernahkah kita ber pikir bahwa mereka seperti
terpenjara oleh ketakutan akan musuh yang akan menyerangnya?
Kebahagiaan itu bukan pada saat kita bangun, namun kita rasakan pada
saat kita tidur, bagaimana perasaan anda saat bangun pagi, itulah
kebahagiaan.

F. Rasa bangga, rasa kemenangan, rasa amarah itu hanya akan
mengundang orang lain untuk tidak senang.
Mungkin kita pikir kita mampu menghadapi ketidak senangan orang lain
dengan kekuasaan kita. Seperti kata Gus Dur, kekuasaan itu seperti
kentut, kita tidak merasakan, namun orang lain sangat jelas
merasakannya.
Sosok pemimpin akan selalu menjadi sorotan, dan semua orang akan
cenderung merasa sensitive terhadap tindak-tanduk pemimpin. Sedikit
saja pemimpin bersikap tidak ramah, maka seluruh anggotanya akan
dapat merasakannya. Oleh karena itu sebagai Pemimpin, dibutuhkan
sensitifitas yang tinggi. Seperti kata pepatah:
"Sebuah biji gandum, dia tidak akan tumbuh da hidup sebelum dia
jatuh ke tanah, dan mati".
"Seorang Pemimpin adalah pelayan semua anggotanya".
Menjadi pemimpin yang arogan akan seperti menjadi bom waktu, selagi
kekuasaannya kokoh akan terjaga, namun seperti kapal selam, saat
menabrak batu, atau gumpalan es, maka kebocoran sedikit akan
meruntuhkan seluruh bangunan, kecuali bila seluruh anggota menadi
semacam buffer, seperti ban "tubeless" walaupun ada kebocoran paku
pada ban, namun seluruh tekanan angina di dalamnya akan menekan dan
menutupi kebocoran tersebut, sehingga terhindar dari kecelakaan.

If you used the Way as a principle for ruling
You would not dominate the people by military force.

What goes around comes around.

Where the general has camped
Thorns and brambles grow.
In the wake of a great army
Come years of famine.
If you know what you are doing
You will do what is necessary and stop there.

Accomplish but don't boast
Accomplish without show
Accomplish without arrogance
Accomplish without grabbing
Accomplish without forcing.

When things flourish they decline.

This is called non-Way
The non-Way is short-lived.
Lao Tzu

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Your school could

win a $25K donation.

Real Food Group

on Yahoo! Groups

What does real food

mean to you?

Summer Shape-up

on Yahoo! Groups

Trade weight loss

and swimsuit tips.

.

__,_._,___

[psikologi_transformatif] Re: http://smritacharita.blogspot.com/2006/11/siren-is-gold.html

oooooh ya aku ingat, aku udah baca ini message 1 tahun lalu, untung
ada file nya.

salam,
goen

--- In psikologi_transformatif@yahoogroups.com, "goenardjoadi"
<goenardjoadi@...> wrote:
>
> saya kok terlewatkan dg message ini.... dari teman kita
> http://smritacharita.blogspot.com/2006/11/siren-is-gold.html
>
> komentarnya so sweet, tapi kok bisa terlewatkan ya?
>
> gara-gara vincent sih kebanyakan kirim junk mail.
>
> salam,
> goen
>
>
>
> Masih soal milis ini, gw berkenalan dengan Mas Goenardjoadi
Goenawan
> (note: bukan orang yg sama dengan siapa yang gw bahas di atas ;-
)).
> Sempat ngobrol2 tentang konsep jiwa berkaitan dengan buku
terbarunya
> Piramida 7 Kebutuhan Jiwa. Yang ditanyakan Mas Goen adalah konsep
> jiwa dalam Islam. Waduh.. sebenernya ilmu gw masih cetek banget,
> nggak berani ngasih pendapat atas nama Islam. Tapi.. kalau
pendapat
> gw tentang isi bukunya yang dikaitkan dengan pendapat gw tentang
> konsep2 yang gw tahu dalam Islam, kurang lebih jawaban gw berikut
> ini (note: beberapa bagian sudah direvisi, disesuaikan dari bentuk
> diskusi dua orang menjadi tulisan untuk blog yang audiensnya lebih
> luas):
>
>
>
> Mas Goen yang baik,
>
> Saya coba menjawab pertanyaan Anda tentang JIWA yang dikaitkan
> dengan apa yang saya interpretasikan dari ajaran Islam. Tentu,
> tulisan saya masih sangat dangkal ilmu Islamnya; masih berupa
> interpretasi saya sendiri yang belum tentu benar.
>
> Membaca beberapa posting Anda, terminologi JIWA yang Anda pakai
> bukan mengacu pada nyawa, melainkan pada suatu konsep manusia
mulia.
> Nah.. dari apa yang saya baca sekilas maka saya menyimpulkan bahwa
> apa yang Anda sebut JIWA itu dekat dengan konsep Chusnul Chotimah:
> kehidupannya berakhir dengan baik. Hasil akhirnya masuk surga;
> menjadi ahli surga. Bagaimana resepnya? Yaitu dengan selalu
berbuat
> kebaikan. Menjadikan dirinya bermanfaat buat orang lain, berbuat
> kebaikan sepanjang hidupnya.
>
> Bagaimanakah perbuatan baik menurut Islam itu? Setahu saya, dalam
> Islam, setiap apa yang kita lakukan bisa menjadi ibadah ataupun
> dosa, karena tergantung niat dan eksekusinya. Membagikan sedekah,
> itu perbuatan baik kan? Tapi kalau membagikan sedekah dengan niat
> dapat nama baik, hitungannya jadi riya (=pamer), dan menjadi dosa.
> Shalat pun, yang jelas2 ritual agama, jika dilakukan untuk jaga
> image, bisa2 malah jadi dosa. So.. sangat penting untuk memiliki
> niat yang baik dan dilakukan sebagai perbuatan nyata yang baik.
>
> Nah.. karena konsep Chusnul Chotimah ini, maka salah satu rahmat
> terbesar bagi manusia adalah: diberi umur panjang. Kenapa? Karena
> dengan umur panjang, kita punya banyak kesempatan untuk berbuat
> kebaikan dan investasi kebaikan yang akan terus berlanjut hingga
> kita mati. Selama hidup, kita bisa beramal (fisik & non fisik)
serta
> mendidik anak kita menjadi orang yang baik selama kita masih
hidup.
> Sesudah mati, semoga amalan ini terus berlanjut, karena ada 3 hal
> yang bisa meneruskan ibadah seseorang walaupun dia sudah mati:
> memiliki anak yang shaleh, amal (dalam bentuk fisik) yang masih
bisa
> berguna untuk orang lain, dan ilmu yang diajarkannya (serta masih
> digunakan) orang lain. Intinya: walaupun dia tidak lagi bisa
> melakukan apa2, hitungan poin pahalanya tetap jalan selama anaknya
> masih berbuat kebaikan, sumbangan/pemberian (amal fisik) masih
> digunakan orang, dan ilmu yang diajarkannya (amal non-fisik) masih
> dipergunakan orang.
>
> Dengan berumur panjang dan berbuat baik selama hidupnya, semoga
kita
> mendapatkan Chusnul Chotimah. Dan tidak ada yang paling
menyedihkan
> daripada diberi umur panjang tapi berbuat keburukan sepanjang
> hidupnya. Alih2 mengumpulkan pahala, malah neracanya minus karena
> dipotong dosa ;).
>
> So, saya setuju dengan bahasan Mas Goen bahwa untuk mencapai JIWA
> dibutuhkan mejadi kemampuan menekan ambisi (sampai pada level yang
> tidak mengganggu). Dan itu sangat tergambar dalam ajaran Islam.
> Penting sekali untuk menekan nafsu, karena nafsu itu sering
menodai
> niat kita. Cloud our judgment. Dan penting sekali mendengarkan
hati
> nurani, karena kata hati adalah quality control kita: untuk
> mempertanyakan apakah perbuatan kita ini benar2 dilandasi niat
baik.
> Sebaik2nya kita, kita hanya manusia biasa, kita tidak pernah bisa
> tahu apakah perbuatan kita itu benar2 bersih seperti yang
digariskan
> Tuhan.
>
> Itu sebabnya saya sejak kemarin bilang bahwa yang paling penting
> adalah manusianya. Agama hanya tools, hanya manual. Tapi yang
paling
> menentukan adalah bagaimana manusia mengamalkannya: apakah niatnya
> baik dan dilaksanakan dgn baik, niatnya baik tapi pelaksanaannya
> buruk, niatnya buruk tapi pelaksanaannya baik, atau niatnya buruk
> dan pelaksanaannya buruk. Menurut apa yang saya yakini, hanya
Tuhan
> yang bisa menilai. Kita sebagai manusia sih berbuat sebaik2nya
yang
> kita mampu; berusaha mengontrol diri sebaik2nya dari nafsu dan
> berusaha sebaik2nya mendengarkan kata hati.
>
> Mudah2an jawaban ini cukup membantu ya, Mas.
>
> Salam,
>
> Anyway.. seperti gw bilang di atas, ini interpretasi gw sendiri.
> Mungkin ada yang bisa memberi pandangan lain; mengoreksi, memberi
> sudut pandang lain, atau memberi referensi yang lebih jelas.
> Hehehe.. ditunggu kok masukannya ;-). Kan bisa berguna buat mereka
> yang belum ngerti juga. Jangan lupa, siren is gold.. hehehe.. ;-)
> Yang penting bukan mematikan sirene, tapi mengatur volumenya agar
> enak didengar orang lain ;-).
>

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Reconnect with

college alumni.

Y! Messenger

Send pics quick

Share photos while

you IM friends.

Fitness Zone

on Yahoo! Groups

Find Groups all

about healthy living.

.

__,_._,___

[psikologi_transformatif] http://smritacharita.blogspot.com/2006/11/siren-is-gold.html

saya kok terlewatkan dg message ini.... dari teman kita
http://smritacharita.blogspot.com/2006/11/siren-is-gold.html

komentarnya so sweet, tapi kok bisa terlewatkan ya?

gara-gara vincent sih kebanyakan kirim junk mail.

salam,
goen

Masih soal milis ini, gw berkenalan dengan Mas Goenardjoadi Goenawan
(note: bukan orang yg sama dengan siapa yang gw bahas di atas ;-)).
Sempat ngobrol2 tentang konsep jiwa berkaitan dengan buku terbarunya
Piramida 7 Kebutuhan Jiwa. Yang ditanyakan Mas Goen adalah konsep
jiwa dalam Islam. Waduh.. sebenernya ilmu gw masih cetek banget,
nggak berani ngasih pendapat atas nama Islam. Tapi.. kalau pendapat
gw tentang isi bukunya yang dikaitkan dengan pendapat gw tentang
konsep2 yang gw tahu dalam Islam, kurang lebih jawaban gw berikut
ini (note: beberapa bagian sudah direvisi, disesuaikan dari bentuk
diskusi dua orang menjadi tulisan untuk blog yang audiensnya lebih
luas):

Mas Goen yang baik,

Saya coba menjawab pertanyaan Anda tentang JIWA yang dikaitkan
dengan apa yang saya interpretasikan dari ajaran Islam. Tentu,
tulisan saya masih sangat dangkal ilmu Islamnya; masih berupa
interpretasi saya sendiri yang belum tentu benar.

Membaca beberapa posting Anda, terminologi JIWA yang Anda pakai
bukan mengacu pada nyawa, melainkan pada suatu konsep manusia mulia.
Nah.. dari apa yang saya baca sekilas maka saya menyimpulkan bahwa
apa yang Anda sebut JIWA itu dekat dengan konsep Chusnul Chotimah:
kehidupannya berakhir dengan baik. Hasil akhirnya masuk surga;
menjadi ahli surga. Bagaimana resepnya? Yaitu dengan selalu berbuat
kebaikan. Menjadikan dirinya bermanfaat buat orang lain, berbuat
kebaikan sepanjang hidupnya.

Bagaimanakah perbuatan baik menurut Islam itu? Setahu saya, dalam
Islam, setiap apa yang kita lakukan bisa menjadi ibadah ataupun
dosa, karena tergantung niat dan eksekusinya. Membagikan sedekah,
itu perbuatan baik kan? Tapi kalau membagikan sedekah dengan niat
dapat nama baik, hitungannya jadi riya (=pamer), dan menjadi dosa.
Shalat pun, yang jelas2 ritual agama, jika dilakukan untuk jaga
image, bisa2 malah jadi dosa. So.. sangat penting untuk memiliki
niat yang baik dan dilakukan sebagai perbuatan nyata yang baik.

Nah.. karena konsep Chusnul Chotimah ini, maka salah satu rahmat
terbesar bagi manusia adalah: diberi umur panjang. Kenapa? Karena
dengan umur panjang, kita punya banyak kesempatan untuk berbuat
kebaikan dan investasi kebaikan yang akan terus berlanjut hingga
kita mati. Selama hidup, kita bisa beramal (fisik & non fisik) serta
mendidik anak kita menjadi orang yang baik selama kita masih hidup.
Sesudah mati, semoga amalan ini terus berlanjut, karena ada 3 hal
yang bisa meneruskan ibadah seseorang walaupun dia sudah mati:
memiliki anak yang shaleh, amal (dalam bentuk fisik) yang masih bisa
berguna untuk orang lain, dan ilmu yang diajarkannya (serta masih
digunakan) orang lain. Intinya: walaupun dia tidak lagi bisa
melakukan apa2, hitungan poin pahalanya tetap jalan selama anaknya
masih berbuat kebaikan, sumbangan/pemberian (amal fisik) masih
digunakan orang, dan ilmu yang diajarkannya (amal non-fisik) masih
dipergunakan orang.

Dengan berumur panjang dan berbuat baik selama hidupnya, semoga kita
mendapatkan Chusnul Chotimah. Dan tidak ada yang paling menyedihkan
daripada diberi umur panjang tapi berbuat keburukan sepanjang
hidupnya. Alih2 mengumpulkan pahala, malah neracanya minus karena
dipotong dosa ;).

So, saya setuju dengan bahasan Mas Goen bahwa untuk mencapai JIWA
dibutuhkan mejadi kemampuan menekan ambisi (sampai pada level yang
tidak mengganggu). Dan itu sangat tergambar dalam ajaran Islam.
Penting sekali untuk menekan nafsu, karena nafsu itu sering menodai
niat kita. Cloud our judgment. Dan penting sekali mendengarkan hati
nurani, karena kata hati adalah quality control kita: untuk
mempertanyakan apakah perbuatan kita ini benar2 dilandasi niat baik.
Sebaik2nya kita, kita hanya manusia biasa, kita tidak pernah bisa
tahu apakah perbuatan kita itu benar2 bersih seperti yang digariskan
Tuhan.

Itu sebabnya saya sejak kemarin bilang bahwa yang paling penting
adalah manusianya. Agama hanya tools, hanya manual. Tapi yang paling
menentukan adalah bagaimana manusia mengamalkannya: apakah niatnya
baik dan dilaksanakan dgn baik, niatnya baik tapi pelaksanaannya
buruk, niatnya buruk tapi pelaksanaannya baik, atau niatnya buruk
dan pelaksanaannya buruk. Menurut apa yang saya yakini, hanya Tuhan
yang bisa menilai. Kita sebagai manusia sih berbuat sebaik2nya yang
kita mampu; berusaha mengontrol diri sebaik2nya dari nafsu dan
berusaha sebaik2nya mendengarkan kata hati.

Mudah2an jawaban ini cukup membantu ya, Mas.

Salam,

Anyway.. seperti gw bilang di atas, ini interpretasi gw sendiri.
Mungkin ada yang bisa memberi pandangan lain; mengoreksi, memberi
sudut pandang lain, atau memberi referensi yang lebih jelas.
Hehehe.. ditunggu kok masukannya ;-). Kan bisa berguna buat mereka
yang belum ngerti juga. Jangan lupa, siren is gold.. hehehe.. ;-)
Yang penting bukan mematikan sirene, tapi mengatur volumenya agar
enak didengar orang lain ;-).

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

new professional

network from Yahoo!.

Wellness Spot

on Yahoo! Groups

A resource for living

the Curves lifestyle.

Best of Y! Groups

Check out the best

of what Yahoo!

Groups has to offer.

.

__,_._,___

[psikologi_transformatif] Buletin Elektronik SADAR Edisi 84 Tahun III 2007

No virus found in this incoming message.
Checked by AVG Free Edition.
Version: 7.5.503 / Virus Database: 269.16.13/1165 - Release Date: 02/12/2007 20:34 WIB

 

Buletin Elektronik

www.Prakarsa-Rakyat.org

SADAR

Simpul Untuk Keadilan dan Demokrasi
Edisi: 84 Tahun III - 2007
Sumber: www.prakarsa-rakyat.org


 

CARBON TRADE SUATU KEBOHONGAN GLOBAL

 

 

 

Oleh Desmiwati[1]

 

 

 

Peningkatan suhu bumi atau lebih sering disebut dengan pemanasan global memang merupakan hal yang nyata, dan terbukti dari sejumlah pengamatan atas meningkatnya suhu udara dan samudra, meluasnya salju dan es yang meleleh, dan naiknya tinggi muka air laut rata-rata.(IPCC WGI 2007).

 

Pada pertemuan bumi tahun 1992 di Rio (Rio earth Summit) untuk pertamakalinya UNFCCC (UN Frameworks Convention on Climate Change) menyadari perubahan iklim global sebagai sebuah problem dan mendorong suatu aksi besar dunia untuk merespon hal tersebut.  Indonesia meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change, UNFCCC) melalui UU No. 6 tahun 1994. Tujuan konvensi ini terkesan sangat mulia yaitu untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer sehingga tidak menimbulkan gangguan terhadap kondisi iklim di dunia. Konvensi ini mulai berlaku sejak tanggal 21 Maret 1994 setelah diratifikasi oleh 50 negara.

 

Pada Pertemuan Para Pihak yang ke-3 di Kyoto, Jepang (1997), sebuah tata cara penurunan emisi gas rumah kaca disepakati oleh Para Pihak. Kesepakatan yang dikenal sebagai Protokol Kyoto ini menargetkan dan menjadwalkan penurunan emisi yang harus dilakukan negara Annex-1 (yang terdiri dari negara industri serta negara dengan eknomi dalam transisi), yaitu sebesar 5,2% dari tingkat emisi bersama mereka di tahun 1990. Target ini harus dicapai dalam Periode Komitmen Pertama yaitu 2008-2012. 

 

Antara tahun 1850 dan 2005 Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) melaporkan kenaikan temperatur global 0.76 Cº. Sepanjang abad ke 20, Benua Asia telah mencatat rekor kenaikan tertinggi 1 derajat C (IPCC WGI 2007). Karena emisi akan tetap berada di atmosfer dalam waktu lama, IPCC memprediksikan pemanasan 10 tahunan sebesar 0.2 derajat C hingga 2030, yang mengindikasikan kenaikan suhu rata-rata 0.6 derajat C (IPCC WGI 2007).

 

Beberapa dampak yang terjadi sebagai akibat dari Pemanasan Global antara lain, hilangnya pendapatan dari pertanian dan bertambahnya biaya pengelolaan sumber air, pesisir, dan penyakit serta risiko-risiko kesehatan akan menyeret aktifitas ekonomi, khususnya di negara-negara yang saat ini memiliki pertumbuhan stagnan. Lebih jauh lagi, bahkan dengan ekonomi regional yang bertumbuh, dampak lokal perubahan iklim seperti kolapsnya perikanan atau terbenamnya lahan pertanian, dapat memporak-porandakan ekonomi lokal (Preston et al 2006). United Nation Food and Agriculture Organisation (FAO) memperkirakan bahwa perubahan iklim akan berakibat pada menghilangnya produksi sereal sebesar 280 juta ton di 65 negara selatan.  Berdasarkan riset CANA (CANA 2006) di negara-negara selatan, perubahan iklim akan mengurangi produksi pertanian yang sangat tergantung pada hujan sebesar 11% di tahun 2080. Ilmuwan-ilmuwan di International Rice Research Institute (IRRI) di Manila-Filipina, menemukan bahwa setiap derajat kenaikan temperatur akan mengurangi 10% produksi beras.  Kurang lebih 20-30 % tanaman dan spesies hewan diperkirakan akan terancam punah jika suhu meningkat 1.5-2.5ºC (IPCC WGII 2007). Sepanjang abad ini jumlah karbon yang dilepas oleh ekosistem teresterial akan memuncak sebelum pertengahan abad dan kemudian melemah atau berbalik, memperkuat perubahan iklim dan menghancurkan sumber daya hutan bagi komunitas lokal.

 

Banyak skema yang didorong dalam upaya mengurangi dampak dari pemanasan global ini, diantaranya yang paling sering disebut adalah Perdagangan Carbon.  Bagi banyak kalangan industrial, pemerintah dan juga akedemisi yang pro terhadap Carbon TradeCarbon Trade dianggap sebagai sebuah upaya “Win-Win Sollution” dalam mengatasi kerusakan lingkungan dan pemanasan iklim global. Dimana mereka menilai bahwa adalah sewajarnya negara Selatan untuk memelihara hutannya dan negara Utara menggantikannya dengan uang. Mekanisme dan aturan dalam Carbon Trade dinilai adil dan menguntungkan. Benarkah demikian? Kalau kita cermati dengan lebih dekat, maka akan dapat kita lihat ketidak-adilan dalam mekanisme ini dan juga akan kita lihat banyak kebohongan di dalamnya.

 

Perdagangan Karbon lebih menguntungkan kaum industri di negara-negara Utara dan merugikan banyak pihak di negara-negara Selatan, terutama rakyat di negara-negara Selatan. Negara-negara Anex 1 akan mendapatkan manfaat lebih besar, sementara negara macam Indonesia yang masuk kategori negara non anex hampir tidak mendapat keuntungan dari situ. Carbon Trade adalah suatu upaya dari negara-negara industri untuk menipu dunia. Mengapa demikian? Kalau kita melihat dari jenis perdagangan karbon yang ada, pada dasarnya ada dua jenis perdagangan karbon diikuti oleh varian-variannya. Pertama adalah perdagangan emisi (emission trading). Yang kedua adalah perdagangan kredit berbasis proyek (trading in project based credit). Seringkali dua kategori tersebut disatukan menjadi sistem perdagangan hibrida. 

 

Dalam protokol Kyoto para negara-negara pencemar menyepakati target pengurangan emisi hingga masa tertentu sebelum Protokol Kyoto. Para pembuat polusi diberikan sejumlah “kredit emisi” yang setara dengan tingkat emisi mereka tahun 1990 dikurangi dengan komitmen target pengurangan emisi.  Kredit ini diukur dalam unit gas rumah kaca, jadi satu ton CO2 setara dengan satu kredit. Kredit ini adalah lisensi untuk mengotori udara untuk mencapai reduksi rata-rata 5.2 % seperti yang disepakati di Kyoto. Negara-negara kemudian dapat mengalokasikan kuota kredit pada basis wilayah negara, terutama dengan cara “grandfathering”, jadi semakin besar negara tersebut melakukan polusi semakin besar jatah kreditnya. Sistem ini menganut membayar untuk mencemari.

 

Sejumlah kemungkinan dari sistem ini:

1.      Pencemar tidak menggunakan seluruh hak (kebolehan) mencemari dan dapat menyimpan kredit untuk periode berikutnya (menyimpannya dalam bank), atau menjual kredit kepada pencemar lain di pasar terbuka.

2.      Pencemar menggunakan seluruh hak (kebolehan) dalam satu waktu tertentu, dan masih mencemari lebih. Agar tetap mematuhi kuota, sisa kredit harus dibeli dari pencemar lain yang belum menggunakan seluruh hak (kebolehan) mencemarnya.

3.      Pencemar dapat melakukan investasi pada skema reduksi polusi di negara lain atau wilayah lain dan dengan demikian mereka mendapat 'kredit' yang dapat dijual, disimpan, atau digunakan untuk memperbesar kebolehan mencemari lebih dari yang diperbolehkan sebelumnya.

 

Proyek-proyek yang mendapat kredit di satu negara yang tidak diwajibkan mereduksi target (umumnya di negara berkembang, Selatan) menjadi bahasan penting dalam 'Clean Development Mechanism' (CDM).   Sejumlah gejala menunjukkan bantuan luar negeri (Overseas Development Aid, ODA) tradisionil akan digunakan untuk mendanai proyek-proyek CDM. Negara-negara kaya akan menanami pohon untuk menyerap polusi mereka sendiri dan tidak lagi membuat sumur air bersih bagi orang miskin di negara-negara berkembang. Proyek-proyek yang dilaksanakan di negara-negara dengan target reduksi disebut Joint Implementation (JI). Sebagai contoh pelaksaan JI misalnya; program efisiensi energi di Polandia yang didanai oleh perusahaan Inggris.  Tampaknya, proyek-proyek JI akan dilaksanakan di Eropa Timur dan Rusia, dimana reduksi karbon yang setara dengan komitmen serta berbiaya lebih murah dan tentu saja baku mutu aturan yang lebih rendah.  Potensi ancaman dari skema CDM bagi Indonesia akan muncul apabila yang didorang sebagai bagian dari diservikasi energi dan upaya efisiensi sumberdaya tanpa mengemisi karbon dioksida adalah PLTN.

 

Baik proyek-proyek CDM dan JI dapat berbeda-beda bentuk; mulai dari perkebunan monokultur, yang secara teoritik dapat menyerap karbon dari atmosfer (carbon sinks); proyek-proyek energi terbarukan, pemutakhiran pembangkit energi yang sudah ada; dan lain-lain. Jumlah kredit yang didapat dari masing-masing proyek dihitung berdasarkan reduksi emisi yang dapat diciptakan dibandingkan dengan emisi yang mungkin terjadi di masa datang jika proyek tidak dilaksanakan.  Dengan menggunakan imajinasi atas polusi jika proyek tidak dilakukan, perusahaan pencemar dapat membuat perkiraan polusi yang luar biasa besar jika tidak ada proyek CDM atau JI. Dalam tipu muslihat ini membolehkan jumlah kredit polusi yang tinggi yang dapat didapatkan dari setiap proyek. Perusahaan dibolehkan membuat polusi di wilayah lain, menjual kreditnya pada pencemar lain, atau mengkombinasikan dua taktik menguntungkan ini. Konsekuensi jangka panjang dua skema ini (1) emisi gas rumah kaca yang terus membesar dan (2) meningkatnya keuntungan perusahaan dari produksi mereka.  Masih ada lagi layanan perdagangan emisi yang memperkenalkan peningkatan kompleksitas dan kebingungan; polutan (zat pencemar) dapat dipertukarkan.  Efeknya, suatu upaya reduksi emisi gas rumah kaca (misalnya karbon dioksida) memungkinkan pencemar mengklaim reduksi gas rumah kaca lain (misalnya metan).  Kelihatannya, perdagangan polusi menghasilkan kemajuan dari pembersihan atmosfer tampak berhasil, padahal kerumitan-kerumitan yang ada menunjukkan tidak ada kemajuan sama sekali.

 

Bila mencermati setiap perundingan, hasil yang disepakati dalam setiap perundingan, aturan yang dibuat dan implementasi dari berbagai perundingan sejak tahun 1992.  Sangat jelas bahwa aturan dan mekanisme yang dibuat hanya menguntungkan Negara-negara Industri dan kaum industrial di Negara-negara Utara, dimana mereka tidak peduli dan dalam upaya untuk mengurangi emisi karbonnya mereka cenderung mengalihkan tanggung jawab itu ke Negara-negara Selatan dan Negara-negara miskin di dunia ini.  Padahal bila kita logikakan secara sederhana saja walaupun ada hutan di negara-negara selatan yang mempunyai kemampuan untuk menyerap karbon dioksida, tetapi bila para industrialis atau Negara-negara industri itu tetap mengemisi karbon maka tetap saja jumlah karbon dioksida yang dilepas ke udara tidak akan berkurang.

 

Apakah kita masih bisa percaya pada Carbon Trade sebagai sebuah solusi pemecahan masalah Pemanasan Global…?

 

 

 

 


[1] Penulis adalah Mahasiswi Program Magister Perencanaan Kebijakan Publik, UI. Aktif di Sarekat Hijau Indonesia, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

 

 

 

webmaster@prakarsa-rakyat.org  

 

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Find great recruits

for your company.

Y! Messenger

Want a quick chat?

Chat over IM with

group members.

Yahoo! Groups

Special K Challenge

Learn how others are

shedding the pounds.

.

__,_._,___

[psikologi_transformatif] Dari Kata

Oleh Goenawan Mohamad

-- Untuk pertemuan di Rumah Dunia (Serang, Banten)

27 Nopember 2007


Saya akan mulai percakapan ini dengan mengutip sebuah sajak Subagio Sastrowardojo:

Asal mula adalah kata
Jagat tersusun dari kata
Di balik itu hanya
ruang kosong dan angin pagi

Seorang penyair – tapi tak cuma seorang penyair -- akan mengenal keniscayaan kata: praktis, hanya melalui bahasa-lah kita bisa menangkap dunia. Bahkan "ruang kosong dan angin pagi" yang ada di balik jagat yang "tersusun dari kata" tak hanya kita kenali karena mata kita melihat ruang itu dan kulit kita tersentuh oleh desau angin itu. "Ruang kosong dan angin pagi" kita kenali karena kata telah menamai benda ini atau itu, menyebut perasaan ini atau itu. Dengan kata itulah, atau lebih tepat dengan kata sebagai "penanda", kita dapat membedakan ruang kosong dengan celah, angin dengan badai, pagi dengan siang. Dari pembedaan itu, kita memberi dan mendapatkan arti.

Sebab itu, memang ada benarnya, "asal mula adalah kata". Sangat mungkin Subagio Sastrowardojo meminjam frase itu dari Kitab Injil. Dalam Injil, "pada mulanya adalah kata" berarti "pada mulanya adalah logos", dan "logos" berasal dari kata Yunani lagein, yang berarti "menghimpun." Menurut para pakar etimologi, penyair Homeros konon menggunakan kata kerja itu untuk menggambarkan aktivitas menghimpun makanan, senjata, tulang belulang, dan orang-orang. Tersirat di situ adalah proses memilah-milah dan menggolongkan: panah dan tombak akan diletakkan dalam satu himpunan, roti dan daging kambing dalam himpunan lain. Tampak, bahwa kriteria pemilahan yang saya contohkan itu berdasarkan satu saja dari ciri benda itu, yakni fungsinya: "panah" masuk dalam himpunan "senjata" karena dipakai untuk membinasakan musuh, "paha domba" masuk dalam himpunan "makanan" karena dipakai untuk disantap.

Dari kata lagein yang dijadikan kata benda logos itulah berasal istilah yang kita kenal sampai sekarang, "katalog", yang asal mulanya kita temukan dalam bahasa-bahasa Eropa: "catalogue" (Prancis) atau "catálogo" (Portugis dan Spanyol).

Tiap penyusunan katalog, tiap penggolongan atau klasifikasi, mengandung suatu proses abstraksi: sebuah benda hanya diambil satu seginya saja, misalnya segi kegunaannya; segi-segi lainnya (umpamanya bentuk, warna, asal usul) diabaikan. Dengan lagein orang menggolongkan -- dan sekaligus membedakan -- satu benda dengan benda-benda lain, semuanya melalui abstraksi, semuanya hanya ditilik dari salah satu seginya.

Abstraksi adalah hasil analisis: menjelang proses abstraksi, sebuah benda diurai ke dalam aspek-aspeknya, tak lagi kita temui dalam totalitasnya. Dari sini, konsep lahir. Konsep "anjing" kita kenakan kepada sehimpun hewan yang sebenarnya beraneka-ragam, tapi konsep itu mencoba merangkum ke-"anjing"-an hewan-hewan itu. Tapi apa itu yang disebut "anjing" tak pernah dapat dirumuskan sebenarnya; ia hanya dikenali dari pembedaan dengan sesuatu yang lain.

Maka dalam tiap logos tersirat sebuah hasil analisis, abastraksi, identifikasi, dan pembedaan. Dengan kata lain, kata sebagai "penanda" atau "nama" adalah hasil konstruksi manusia – tapi yang berangsur-angsur justru jadi sesuatu yang ikut membentuk manusia.

Saya ingat satu adegan dalam film kung fu yang dibintangi Jet Li, Fearless. Dalam salah satu adegan, Jet Li, yang berperan sebagai juara silat Ho Yuanjia, dijamu minum teh oleh karateka Jepang, Anno Tanaka (dimainkan oleh Nakamura Shido) . Dengan bangga Tanaka bertanya kepada Ho, apakah jagoan Cina itu tahu ada bermacam-macam teh di dunia. Ho menjawab, "Tidak." Ketika Tanaka menyebutkan nama beberapa jenis teh yang dikenal orang Jepang, Ho menyahut: "Tapi yang membeda-bedakan itu adalah manusia, bukan tehnya sendiri".

Dengan satu kalimat yang sederhana itu agaknya Ho ingin mengingatkan, bahwa makna ditentukan dengan sewenang-wenang. Kita memang mengerti: "gyokuro," nama untuk jenis teh yang dipetik ketika daunnya baru saja muncul, bisa punya makna lain, misalnya ketika seseorang menemukan bunyi atau huruf-huruf "gyokuro" di sebuah puisi yang menggambarkan embun. Dengan satu kalimat sederhana, Ho, sang pesilat, telah menyampaikan sebuah kritik, seperti Derrida, kepada "logosentrisme". Makna begitu tak pasti, dan jika kita memastikannya, kita sendiri akan dikuasainya. Mungkin kritik yang sama membayangi sajak Subagio Sastrowardojo yang saya kutip di atas. Sajak itu mengandung ironi dan sekaligus rasa murung:

Asal mula adalah kata
Jagat tersusun dari kata
Di balik itu hanya
ruang kosong dan angin pagi

Kita takut kepada momok karena kata
Kita cinta kepada bumi karena kata
Kita percaya kepada Tuhan karena kata
Nasib terperangkap dalam kata

Karena itu aku
Bersembunyi di belakang kata
Dan menenggelamkan
diri tanpa sisa


Saya katakan "ironi" dan "rasa murung", karena bait terakhir itu: "bersembunyi" menyarankan ketakutan, ketidak-jujuran, kengganan tampil terus terang. "Menenggelamkan diri" menyarankan kehilangan, pembinasaan, dan kematian. Walhasil, sajak Subagio bukan merayakan "kata" sebagai pembebas, tapi kata sebagai keniscayaan, sesuatu yang tak terelakkan, walaupun tak dengan sendirinya menyenangkan. Kita ingat kalimat di atas: "Nasib terperangkap dalam kata."

Mungkin itu sebabnya seorang sastrawan Perancis, Maurice Blanchot, mengatakan: "menulis adalah mematahkan ikatan antara kata dan diriku", "menulis adalah menarik bahasa dari dunia."

Dalam tafsir saya, yang dihasratkan Blanchot adalah membebaskan diri dari keadaan yang disebut Subagio "terperangkap dalam kata" atau yang dikatakan Nietzsche sebagai "penjara bahasa."

"Perangkap" itu memang sudah lama ada dalam diri kita. Seorang anak diberi nama oleh ayahnya, dan dengan itu ia membayangkan diri mempunyai satu identitas yang tetap – satu penanda yang akan melekat pada KTP-nya, bahkan pada batu nisannya. Tapi sebenarnya, "nama" adalah semacam pembatasan, semacam larangan yang tak boleh dilanggar, agar dunia dan percakapan tidak kacau balau. Hanya kemudian kita tahu: ada dalam diri kita yang tak tertangkap oleh sebuah nama.

Kata-kata Juliet dalam Romeo and Juliet yang sudah jadi klise itu tetap benar:


"What's in a name?
That which we call a rose
By any other name would smell as sweet."

["Apa arti nama?
Yang kita sebut mawar
Akan tetap harum biarpun bernama beda"]

Kita ingat, bahwa dalam lakon Shakespeare itu, Romeo tak boleh menikah dengan Juliet, karena mereka masing-masing punya nama keluarga yang menandai dua kubu yang bermusuhan. Sekali lagi, ketika nama jadi hukum, jadi pembatas yang meringkus manusia dan mereduksi dunia, sebuah laku pembebasan mau tak mau diperlukan.

Puisi adalah sebuah ikhtiar ke arah pembebasan itu. Itulah sebabnya puisi membuka ruang artikulasi hingga longgar dan luas, sebuah l'espace littéraire, "ruang literer," dalam pengertian Blanchot. Puisi tak berangkat dari nama yang menyempitkan identitas, yang membuat arti beku. Puisi menampik konsep yang selesai. Konsep yang pasti dan selesai memang memungkinkan kita menguasai hal ihwal, kita tak merasa dalam khaos, kekaburan, ketidak-stabilan. Tapi niat untuk menguasai dunia mau tak mau akan menjerat manusia. Maka puisi lahir. Puisi hidup dengan dan dari metafora, yang mencoba menangkap hidup dalam kekayaannya yang tak terhingga.

Mungkin itu sebabnya metafora sangat subur dalam khasanah sastra pra-modern: ketika bahasa belum disibukkan oleh konsep dan definisi, ketika dunia masih tampil sebagai pesona, bukan sebagai obyek ilmu pengetahuan, teknologi, dan kapital. Tak mengherankan bila metafora (kiasan dan perumpamaan) tersebar dalam pepatah dan tembang yang berkisah. Saya kutip satu contoh dari salah satu cerita Panji yang terkenal, Wangwang Wideya:

Saksana rahina umijil arka kumram angrandinima yaya cinirup sawang strya angliga panepi

(Segera siang datang dan surya yang suci muncul, memerah gemilang seakan-akan dicelup warna, bagaikan seorang perempuan yang membuka pinggangnya).

Tampak, dalam frase itu, yang sensual lebih muncul ketimbang yang serebral, pancaindera lebih berperan ketimbang logos. Kita seakan-akan kembali mengenali, bahwa di luar logos, di luar kata yang merasa berkuasa, masih ada – seperti dalam sajak Subagio Sastrwardojo tadi – "ruang kosong dan angin pagi". Ada hal-hal yang belum ditaklukkan oleh kata, oleh nama yang diberikan sang bapak sebagai hukum, oleh apa yang disebut "tata simbolik."

Memang di sana ada khaos. Tapi saya kira, puisi adalah kesediaan kita untuk menerima chaos sebelum logos. Dalam chaos, kita menemukan kembali kebenaran sebagai proses, bukan sebagai kesimpulan. Kesimpulan (dari kata "simpul", yang mengikat). mengimplikasikan adanya kekuasaan untuk menetapkan dan mengikat, adanya pemaksaan untuk menutup tafsir. Di hadapan wacana yang seperti itu, puisi adalah keterbukaan kepada yang tak rapi terumuskan, yang tak ternamai. Terkadang itu berarti keterbukaan kepada hening yang bukan kosong, kepada suwung yang sebenarnya berisi.

Ada satu sajak Subagio lain yang saya kira menegaskan hal itu:

Apakah hasil pembicaraan? Pertengkaran
mulut atau bual sombong sekedar membenarkan perbuatan atau
omong kosong mengisi waktu tak menentu.
Ah, baik diam dan merasakan keramahan
pada tangan yang menjabat dan mata merindu
Dalam keheningan detik waktu adalah pilu yang
menggores dalam kalbu.


Memilih diam dan membiarkan gerak sebelum wacana dikuasai logos, memilih diam dan membiarkan tubuh menyampaikan isyaratnya, memang tak selalu membuat hal jadi jelas. Tapi kita setidaknya kita bisa lebih bisa tahu, bahwa kita tak harus "mengenggelamkan diri tanpa sisa" dengan "bersembunyi di belakang kata". Kita selalu bersisa. Dengan itu pula, kita bisa merdeka.
 


 


Never miss a thing. Make Yahoo your homepage.

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Your school could

win a $25K donation.

Y! Messenger

Send pics quick

Share photos while

you IM friends.

Green Y! Groups

Environment Groups

Find them here

connect with others.

.

__,_._,___