Minggu, 02 Desember 2007

[psikologi_transformatif] Ilusikah ini?

Mungkin ini yang sering disebut-sebut oleh filsuf sebagai ilusi individualitas

 

Ehm, saya mencoba memperlihatkan faktor-faktor tertentu yang ternyata bisa saja timbul secara otomatis dalam sistem psiko komunikasi yang jelas saja hanya secara umum dan dalam tahap ketika ia mencapai titik monopolistiknya ikut mempengaruhi perkembangan kepribadian seseorang, apalagi jika seseorang itu dalam situasi merasa tidak berdaya, kesepian, cemas dan tidak aman. Ada kondisi-kondisi khusus di ruang diskusi manapun yang secara sadar, spontan, dan intersubjektif atau apalah, banyak membuat beberapa pesertanya yang terlibat secara aktif menjadi tanah subur bagi proses dialogis yang cenderung ideologis yang kemudian memunculkan apa yang disebut dengan otoriter. Otoriter dengan idea.

 

Ada yang saya perhatikan, emosi dikerdilkan, peserta aktif juga tidak bisa menghindar dari kontrol diri saat berlaku dipublik, keramahan, keriangan, marah, semuanya seperti dijalankan sebagai reaksi otomatis secara elektrik dan harus elegan. Walau jelas, ada beberapa oran g yang bisa menghindarinya dengan peran aktifnya yang tidak bisa dipungkiri, dilihat dari begitu sadar peserta diskusi dengan tindakannya, yang hanya sekedar gerak gelombang yang berubah menjadi isyarat, disitu ia melepas kontrol dari dirinya; walau ada juga yg saya lihat dalam beberapa hal seperti kehilangan kesadaran juga kemampuan untuk membedakan antara perasaan yang semu dan keramahan yang spontan, disitu ia dikontrol. Mengkontrol disini adalah berupaya mengontrol agar ia berjalan dengan aman dari persepsi yang mengganggu atau sudah menyiapkan semua jawaban atas semua persepsi atau pertanyaan yg akan muncul, dan melepas kontrol disini adalah melepas kontrol agar ia jalan secara alamiah dan persepsi apapun itu dibiarkan menjadi bagian darinya.

 

Menjadi emosional semakin menjadi identik dengan menjadi 'tidak sehat' atau 'tidak seimbang'. Dan dengan penerimaan terhadap standar seperti ini, individu justru semakin menjadi lemah pemikirannya, semakin kerdil dan dipangkas oleh pengetahuannya sendiri akan sesuatu yang hanya 'katanya', saya setuju dengan itu. Tapi, ada persoalan lain, ketika (karena memang) emosi-emosi itu tidak bisa dimusnahkan, kita kemudian mengharuskan diri mempunyai eksistensi yang merupakan wujud dari kepribadian dan intelektualitas yang ingin dicirikan oleh peserta komunikasi lainnya, sebagai lawan atau orang yang hanya numpang baca/dengar/lihat. Dan kita sudah tahu arahnya, apalagi kalo bukan sentimentalitas yang ciri-cirinya lagi-lagi menyerupai apa yang laku dijual dipasar sebagai informasi yang sifatnya hiburan bagi semua pelanggan yang emosinya dibatasi. 

 

Tman2, kenapa? Dikalangan yang dekat dengan filsafat sekalipun, individu2nya menutupi kesadaran akan sesuatu yang hanya akan menghadapkan dia secara satu lawan satu dengan tragedi. Doktrin belajar secara metodologis dan sistematiskah yang membuat mereka otomatis seperti itu, atau pemisahan antara kronologis dan tematik yang membuat mereka terhindar dari itu. Lalu apakah itu sesuatu yang harus dihindari. Kesadaran bahwa kita memang sedang melakukan hal yang 'memalukan' dan kita tidak perlu merasa malu karena itu.

 

Dan, salah satu teman ada yang mencoba membongkar itu secara halus. Dibalik setiap komunikasi selalu ada tujuan, termasuk disetiap karya selalu ada tujuan, itu yang harus lebih kita lihat. Sebagai ujung dari proses bukan awal. Dan tujuannya tidak harus selalu tersurat dalam apa yang tertulis. Bisa jadi tujuannya adalah respon, yang bentuknya sebuah tuduhan. Tentu saja tuduhan yang memang benar- tentang isi karya itu seperti apa terlihatnya.       

 

Lalu, apakah benar makna dalam kata akan mati kalau kita cari?

Lalu, bisa dibenarkankah politisasi dalam filsafat?

Entahlah, yang pasti apapun itu dibuat dengan tujuan, dan mungkin saja tujuan tersebut baru diketahui setelah pembuatnya sendiri baru benar2 mengerti mengenai keseluruhan karya buatannya (proses dan wujud pemadatannya). Atau apakah kita akan berkata, itu bukan tujuan namanya. Itu tujuan!, saat itu dianggap sebagai strategi. Awalnya kita tulis 1 dengan tujuan A tapi setelah 1 jadi tujuannya menjadi B. Bisa saja….

Hah, sudahlah ini cuma pembelaan dari sidang yang dibuka samara-samar. (filsafat tidak seharusnya mengajari tapi mengajak semua untuk belajar)

 

 

Salam Bingung selalu, Abu



Be a better sports nut! Let your teams follow you with Yahoo Mobile. Try it now.

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Find great recruits

for your company.

Y! Messenger

Want a quick chat?

Chat over IM with

group members.

Yahoo! Groups

Women of Curves

Discuss food, fitness

and weight loss.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar: