Senin, 07 Januari 2008

[psikologi_transformatif] Re: Menyiapkan masa depan si kecil dan kaitannya dengan kelekatan emosional

Bude Tih,

Lebih akan baik bude Tih nulis tulisan yang seperti ini saja. Bisa
bermanfaat buat orang lain dan bude Tih sendiri. Cuma harus konsisten
jangan coba-coba nekat jadi orang iseng lagi yach :). Hidup itu nga
selamanya bisa buat main-main, ada limitnya...

Good Luck

e-link:
http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif/message/37430
--- In psikologi_transformatif@yahoogroups.com, "ratih ibrahim"
<personalgrowth@...> wrote:
>
> Hai,
> Saya hanya ingin membagi tulisan atas wawancara dengan sebuah majalah
> perempuan Indonesia.
> Mudah-mudahan membantu mencerahkan...
>
> Best,
> Ratih Ibrahim
> **
> *Menyiapkan Masa Depan Si Kecil dan Kaitannya dengan Kelekatan
Emosional*
>
>
>
>
>
> *1. **Jelaskan yang dimaksud dengan Kelekatan Emosional (Emotional
> Attachment)? *
>
>
>
> Emotional attachment adalah sebagaimana yang diterjemahkan di sini
sebagai
> kelekatan emosional. Apakah itu? Intinya, emotional attachment yang
positif
> mengandung unsur kasih sayang, hormat, keakraban, perasaan dekat,
perasaan
> bahwa ia didukung, serta semua emosi positif lain yang saling dimiliki,
> saling mengait dan melekat satu sama lain secara utuh, menyeluruh antara
> mereka yang saling berhubungan. Dan memang hubungan antara ibu dan
anak yang
> sehat adalah contoh konkretnya. Sejak ada terbentuk dan lalu tumbuh
dalam
> rahim ibu, sampai ia dilahirkan dan dirawat dalam pengasuhan ibu,
selama itu
> pulalah terjalin sebuah ikatan *biopsikologis* yang menjadi dasar
emotional
> attachment yang luar biasa antara anak dengan ibunya, dan sebaliknya.
>
>
>
> Para ahli perkembangan meyakini kelekatan emosional yang positif ini
> memiliki nilai yang luar biasa pentingnya sebagai dasar perkembangan
anak
> menjadi pribadi yang sehat dan utuh. Tentu saja modal yang begini
baik ini
> harus senantiasa dibina dalam sebuah lingkungan yang kondusif dan penuh
> kasih sayang.
>
>
>
>
>
> *2. Apakah Kelekatan Emosional terbesar terdapat dalam hubungan
antara ibu
> dengan anak kandungnya? Atau antara suami-istri? Atau dalam hubungan
> lainnya?*
>
>
>
> Contoh kelekatan emosi yang paling kelihatan, memang terutama bisa kita
> lihat pada hubungan anak dengan ibunya. Namun pada dasarnya hal ini bisa
> terjadi antara siapa saja. Terutama mereka yang signifikan, penting
dengan
> diri kita. Semakin penting orang tersebut, semakin besar peran yang
> bersangkutan terhadap hidup kita dan semakin besar kenyamanan
emosional yang
> diperoleh dengan hadirnya orang tersebut, semakin besar kelekatan
emosional
> yang ada. Itu sebabnya kelekatan ini terutama terjalin antara anak
dengan
> ibunya. Dan mengapa begitu besar, karena ada sebuah ikatan biopsikis
yang
> sudah terjalin secara naluriah sejak kehadiran sang anak dalam kehidupan
> ibunya, sejak ia tumbuh sebagai janin dalam kandungan ibunya.
>
>
>
> Bagaimana dengan suami dan istri? Apakah ada kelekatan emosional
juga? Jelas
> ya. Ketika sepasang sejoli menikah, umumnya pernikahan tersebut
didasarkan
> pada cinta, harapan, keyakinan bahwa dengan bersama-sama mereka akan
mampu
> membangun kehidupan yang lebih baik, lebih bahagia. Umumnya juga
mendasarkan
> kecocokan satu sama lain sebagai dasar mengapa mereka memilih
pasangannya.
> Kecocokan itu memberikan rasa nyaman besama-sama. Ada rasa selalu ingin
> bersama-samaAda rasa bahwa pasangannya mendukung dirinya, begitupun
> sebaliknya. Ada rasa lebih aman dengan bersama-sama, lebih mantap
dan lebih
> lengkap ketika bersama-sama. Termasuk juga ada rasa kehilangan, rasa
kuatir,
> kekosoangan ketika tidak bersama-sama. Sehingga timbul juga rasa kuatir,
> ketakutan ditinggal pasangannya.
>
>
>
> Nah semua ini adalah bentuk adanya kelekatan emosional yang ada
antara suami
> istri. Dalam bentuk yang mirip namun dengan perwujudan maupun intensitas
> yang berbeda, kelekatan emosi ini juga ada pada hubungan-hubungan yang
> lain.
>
>
>
> *2.* *Mengapa Kelekatan Emosional antara ibu dan anak kandungnya
> begitu besar? *
>
>
>
> Sudah dijawab di soal no 1 dan 2. karena ada sebuah ikatan biopsikis
yang
> sudah terjalin secara naluriah sejak kehadiran sang anak dalam kehidupan
> ibunya, sejak ia tumbuh sebagai janin dalam kandungan ibunya.
Semakin ibunya
> siap menerima sang anak, semakin besar ikatan yang terjalin. Dan adanya
> naluri keibuan, *to nurture* mendukung tumbuhnya kelekatan emosional
> tersebut.
>
>
>
> * *
>
> *3. **Sejak kapan hubungan emosional antara ibu dan anak
kandungnya
> itu terbentuk?*
>
> * *
>
> Sejak sang anak hadir dalam kehidupan ibunya. Sejak sang ibu menyadari
> kehadiran anaknya, selama anak tersebut tumbuh dalam kandungan ibunya,
> sampai ia dilahirkan, lalu dirawat, diasuh, dibesarkan oleh ibu.
>
>
>
> Bahkan bukan hanya oleh ibunya saja, tetapi juga pada sang ayah.
Juga mereka
> yang memiliki hubungan dengan ibu dan ayah (kakek, nenek, paman,
bibi, kaka,
> adik, dll) , serta mereka yang turut terlibat dalam pengasuhan anak
> (pengasuh bayi, pembantu, dll)
>
>
>
> *4. **Karena begitu besar hubungan emosional antara ibu dan anak
> kandungnya, berarti sang ibu punya tanggung jawab yang besar dalam
> membesarkan anaknya. Kalau begitu bagaimana caranya agar sang ibu bisa
> menjalankan tanggung jawab yang besar itu, tapi ia tetap disayangi
> anak-anaknya?*
>
>
>
> Peran pengasuhan , tanggung jawab terhadap anak, tidak semata-mata hanya
> pada ibu lho. Saya sangat tidak setuju jika tanggungjawab itu dikatakan
> sebagai hanya milik ibunya. Kalau dikatakan peran pengasuhan anak
terutama
> pada ibu, menurut saya adalah lantaran masyarakat kita masih sangat
terpaku
> kepada konsep *ibuisme*. Sehingga seolah-olah semuanya adalah
tanggung jawab
> ibu, harus ibu yang melakukannya, atau bahkan hanya ibu yang bisa
> melakukannya. Konsep ini juga potensial menghantui si ibu, sehingga ia
> termotivasi untuk melakukan segala-galanya sendiri demi menjadi ibu yang
> baik, ibu yang sempurna. Padahal, jujur saja, setiap orang, termasuk
> perempuan, memiliki keterbatasannya sendiri-sendiri. Itu sebabnya tidak
> cukup hanya sang perempuan sendirian, sang ibu, yang harus menjalankan
> seluruh tanggung jawab atas keluarganya, atas anak-anaknya sendirian.
>
>
>
> Kalau sendirian, si ibu bisa kecapaian. Tidak hanya secara fisik, tetapi
> juga secara emosional dan psikologis lantaran harus menanggung segala
> sesuatunya sendirian. Seorang yang kecapaian, terlalu lelah, tidak akan
> mampu lagi untuk memberikan dirinya lagi. Dan hal ini bisa menjadi
pemicu
> ketidak bahagiaan dirinya. Ketidak bahagiaan akan mempengaruhi
> munculnyaberbagai emosi negatif lainnya. Dan semuanya itu tercermin
dalam
> perilakunya. Sehingga bukan tidak mungkin dia akan menjadi tidak
sabaran,
> pemarah, dan mungkin malahan jadi si pelaku kekerasan di rumah. Baik
> terhadap anaknya sendiri, maupun kepada anggota keluarga lainnya.
Belum lagi
> jika ia dilanda kekuatiran yang besar, ketidak yakinan bahwa ia akan
mampu
> berperan sebagai ibu yang baik. Atau kekuatiran akan masa depan anaknya
> bersama dia. Hal ini juga bisa mempengaruhi perilaku ibu dalam
pengasuhan
> anaknya.
>
>
>
> Itu sebabnya ibu harus dibantu. Minimal untuk merasa yakin bahwa hal-hal
> yang utama untuk anak dan keluarganya sudah terjamin. Dan biasanya yang
> menjadi kekuatiran terbesar pada ibu untuk keluarganya terutama yang
> berkaitan dengan kebutuhan sandang-pangan-papan, kesehatan dan
pendidikan
> anak. Selain itu adanya oang-orang lain yang turut membantu ibu mengurus
> keluarga dan anak-anaknya. Jika untuk urusan domestik lebih beres,
ibu bisa
> punya waktu lebih banyak , tenaga lebih segar dan lebih tenang mengasuh
> anak-anaknya. Karenanya semuanya membutuhkan juga pendanaan, maka
dari itu
> perencanaan dan jaminan finansial yang baik dibutuhkan.**
>
> * *
>
> *5. **Bagaimana caranya agar sang ibu bisa selalu merasa bahagia
> menjalankan tanggung jawabnya sebagai seorang ibu? Mengingat tugas
menjadi
> ibu itu tidaklah mudah.*
>
> * *
>
> Yang pertama-tama harus disadari semua orang adalah bagaimanapun
dibutuhkan
> adanya sebuah panggilan untuk menjadi orangtua. Serta kesadaran bahwa
> menjadi orangtua melibatkan sebuah tanggungjawab, komitmen seumur hidup.
> Jadi bukan semata-mata lantaran nasib, atau karena sesuatu yang otomatis
> terjadi ketika sepasang suami istri menikah. Begitupun dengan menjadi
> seorang ibu. Dengan demikian, sang calon ibu memang semestinya
menginginkan
> untuk jadi ibu. Dan idealnya ia juga siap untuk menjadi ibu. Dengan
demikian
> ketika pada suatu ketika ia sungguh-sungguh jadi ibu, hamil,
mempunyai anak,
> ia akan menyambutnya dengan penuh suka cita.
>
>
>
> Yang kedua adalah peran ayah. Bicara tentang orangtua, berarti tidak
hanya
> oleh sang ibu saja. Orangtua selalu melibatkan dua orang : ayah dan ibu.
> Sehingga ketika kita bicara tentang peran sebagai ibu, peran sebagai
> orangtua, idealnya kita juga melibatkan peran sang ayah.
>
> Dalam sebuah keluarga, peran ayah, keterlibatan sang ayah, sebagai
pasangan
> ibu luar biasa besar. Ayah memang harus juga ikut terlibat bersama
ibu dalam
> menjalankan peran dan tanggung jawab sebagai orang tua. Tanpa
keterlibatan
> ayah, akan luar biasa sulit bagi ibu untuk menjalankan seluruh peran dan
> tanggungjawabnya dengan suka cita.
>
>
>
> Ketiga. Kesiapan untuk menjadi orangtua memang mutlak penting. Apa saja
> yang yang harus dipersiapkan? Kesiapan mental, emosional, sosial dan
> finansial adalah penting. Bagaimanapun menjadi orangtua bukan sebuah
peran
> main-main. Menjadi orangtua adalah sebuah peran serius seumur hidup.
>
> * *
>
> *6. **Selain mempersiapkan dana (uang) untuk kebutuhan si
kecil, apa
> lagi yang harus dipersiapkan seorang ibu agar sang anak tumbuh menjadi
> pribadi yang utuh dan kokoh? *
>
> * *
>
> Mempersiapkan dana untuk kebutuhan si kecil, adalah bagian dari
persiapan
> menjadi orangtua. Nah persiapan menjadi orangtua, idealnya sudah
dilakukan
> *bahkan* sejak sebelum orangtua menikah. Tentu saja sejauh keduanya
yakin
> bahwa masing-masing adalah pasangan sejatinya dan merencanakan
pernikahan
> bersama. Dan perencanaan, persiapan yang baik sebetulnya adalah
bagian dari
> perwujudandari komitmen serta tanggungjawab untuk menjadi orangtua.
>
>
>
> Mengapa persiapan finansial penting? Karena untuk kesejahteraan hidup
> dibutuhkan sejumlah dana yang tidak sedikit. Kesejahteraan hidup akan
> memberikan jaminan akan sandang-pangan-papan. Ketiga hal ini adalah hal
> dasar yang dibutuhkan setiap rumah tangga dan keluarga untuk bisa
berjalan.
> Begitupun dengan kesehatan dan pendidikan. Dan setiap keluarga biasanya
> mendambakan standard ideal yang minimal bagi keluarganya juga
anak-anaknya.
> Sekali lagi untuk itu semua dibutuhkan pendanaan.
>
>
>
> Selain itu kesiapan mental, emosional dan sosial orangtua juga sangat
> penting. Dengan terpenuhinya ke empat aspek kesiapan tersebut
mudah-mudahan
> orangtua, sang ibu dan ayah bisa menyediakan sebuah lingkungan yang
sangat
> kondusif bagi anak-anaknya, baik dirumah, maupun lingkungan lain
yang lebih
> luas, yang dapat membantu si anak tumbuh secara sehat dan utuh.
>
>
>
>
>
> *7. **Di usia berapakah yang terbaik untuk mulai menyekolahkan
anak?*
>
> * *
>
> Usia berapa sebaiknya kita mulai menyekolahkan anak?
>
> Jujur saja, ini sangat terpulang kepada kebutuhan masing-masing anak dan
> tujuan orangtua menyekolahkan anaknya. Ada mereka yang menyekolahkan
anaknya
> sejak usia yang sangat dini. Ada yang di usia lebih besar. Saya
percaya, di
> usia berapapun baik untuk menyekolahkan anak, asal orangtua sungguh
> mendasarkannya kepada kebutuhan anak, dan memilihkan sekolah yang
> betul-betul cocok untuk anaknya. Dengan demikian, bukan di dasarkan pada
> ambisi orangtuanya semata.
>
>
>
> Yang jelas usia wajib bersekolah dimulai pada usia 6 tahun. Pada
saat itu
> anak siap masuk ke pendidikan sekolah dasar, di kelas 1 SD. Memasuki
> sekolah dasar, sifat penyelenggaraan pendidikannya cenderung formal.
Untuk
> itu dibutuhkan kematangan dan kesiapan anak untuk mampu menjalaninya.
> Kesiapan dan kematangan ini meliputi berbagai aspek pada anak, termasuk
> kematangan kognitif, kematangan psikomotor, kematangan sosial dan
kematangan
> emosional.Itu sebabnya, saya tidak menganjurkan orangtua untuk
memasukkan
> anak ke SD di bawah usia 6 tahun.
>
>
>
> Nah di jaman sekarang ini ada sangat banyak sekolah dengan berbagai
variasi
> layanan yang ditonjolkannya, bahkan ada yang dimulai sejak usia
bayi. Tentu
> saja fokus layanan pendidikan yang disediakan masing-masing sekolah
tersebut
> juga berbeda. Untuk anak-anak usia bayi, apa yang diberikan lebih berupa
> stimulasi motorik kasar (melalui kegiatan merangkak, berguling, dll)
dan
> stimulasi ketrampilan kognitif dasar (pengenalan warna, pengenalan
bentuk,
> dll). Dan pada saat itu pendampingan dari orang dewasa mutlak harus. Itu
> sebabnya satu anak harus didampingi satu orang dewasa, biasanya oleh
> orangtuanya atau pengasuhnya.
>
> Mengikuti perkembangan tahapan usia anak, tingkat kesulitan tugas yang
> diberikan kepada anak juga berubah. Semakin anak dewasa, semakin
dituntut
> kemandirian pada anak untuk mengerjakan tugas yang diminta.
>
>
>
> Tadi saya bicara tentang kebutuhan anak dan tujuan orangtua
menyekolahkan
> anak-anaknya. Saya sendiri mulai menyekolahkan kedua anak saya sejak
mereka
> berusia sekitar 18 bulan. Kelasnya di sebut kelas Toddler, di sebuah
sekolah
> yang sangat dekat dengan rumah. Dan kelas itu betul-betul kelas
untuk bayi.
> Setiap anak harus didampingi oleh orangtua atau pengasuhnya. Satu
anak, satu
> orang pendamping – orang dewasa. Mengapa saya menyekolahkan anak2
saya di
> usia dini mereka? Tujuan saya pada saat itu adalah supaya kedua
bocah saya
> itu berkesempatan bertemu dan bergaul dengan banyak anak lain seusianya,
> dalam sebuah lingkungan dan suasana yang kondusif, terstruktur dan
> sistematis. Hal ini jelas tidak mudah untuk diterapkan di rumah.
>
>
>
> Nah, menurut saya, yang penting adalah bagaimana orangtua bisa tetap
> konsisten, berkomitmen kepada tujuannya mengapa dia menyekolahkan
anaknya.
> Mengapa? Karena sesungguhnya dengan keluar dari rumah, di usianya yang
> sangat dini, dan harus berinteraksi dengan anak-anak lain, dengan orang
> dewasa lain sudah memberikan tantangan yang besar kepada anak.
Tentunya hal
> ini tidak perlu ditambah dengan beban lain yang tidak relevan, yang
muncul
> lantaran setelah bertemu dengan para orang tua lain, sang orangtua jadi
> berubah. Lantaran orang tua jadi terusik egonya untuk membuat anaknya
> menjadi sehebat-hebatnya, supaya tidak kalah dengan anak-anak
lain.Dalam hal
> ini, anak yang potensial menjadi korban. Korban ego si orangtuanya.
>

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Reconnect with

college alumni.

Y! Messenger

Instant hello

Chat over IM with

group members.

Yahoo! Groups

Find Green Groups

Share with others

Help the Planet.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar: