Jumat, 11 Januari 2008

[psikologi_transformatif] Terorisme dan Politik (3)

Terorisme dan Politik (3)

Praktek terror sudah lama dikenal di Indonesia. Para pahlawan kita
dulu juga dicap sebagai teroris dan ektrimis oleh Belanda, karena
mereka melakukan terror kepada penjajah, bukan terror yang mengerikan
(horrific terrorism ) tetapi terror yang bernuansa perjuangan dan
kepahlawanan (heroic terrorism). Setelah merdeka , bersamaan dengan
pencarian system kenegaraan Republik Indonesia, radikalisme tak bisa
dihindarkan. Pertama karena adanya perbedaan konsep Negara, misalnya
lahir DI/TII (Jawa),Daud Bereuh (Aceh) dan kahar Muzakkar (Sulawesi).
Kedua karena tekanan politik (political pressure) yang dilakukan oleh
rezim orde Baru. Ketiga karena adanya mainan inteljen seperti KOMJI
nya Imran, Keempat pengaruh dinamika global;seperti perang Timur
Tengah, Revolusi Iran, Arqam malaysia, perang Afgan dan pendudukan
Amerika terhadap Afgan dan Irak. Tetapi yang paling berperan dalam
menstigmakan atau membumikan terorisme di Indonesia adalah Sidney Jones.

Sidney Jones ,Direktur Indonesia International Crisis Group yang
berpusat di Australia menghabiskan waktu 20 tahun untuk merekam
berbagai konflik di Indonesia dalam kapasitasnya sebagai aktifis LSM
sekaligus "kaki tangan" Amerika. Laporan berkala Sidney Jones menjadi
masukan resmi Kongres Amerika,FBI dan CIA, Banyak hal yang dilaporkan
Sidney Jones mengejutkan orang Indonesia, bahkan mengejutkan orang
yang namanya disebut dalam laporan itu,karena ia terkesan sangat
menguasai hingga ke detail peristiwa radikalisme bahkan sampai ke
"celana dalam" pelaku, seperti dalam laporan The Case of The Ngruki
Network in Indonesia. .

Tak jelas apakah terorisme di Indonesia itu karya orang Indonesia atau
mainan inteljen Barat, apakah terrorist itu pelaku terror atau korban
dari permainan politik global. Kiprah Sidney Jones nampak sekali
standar gandanya, tetapi yang jelas hasilnya adalah menciptakan image
negatip Indonesia dimata international. Pers Indonesia pun larut ke
dalam tesis Sidney Jones karena memang tidak ada laporan lain yang
bisa menandinginya sehingga wacana terorisme di Indonesia hanya
melalui satu corong, yakni corong Sidney Jones. Sementara itu
organisasi non profit multinasional yang berpusat di Belgia,
International Crisis Group (ICG) yang dipimpin oleh mantan Presiden
Finlandia Martti Ahtisaari, meski juga ber"warna" Amerika tetapi tidak
seberani Sidney Jones dalam menyimpulkan wacana radikalisme di Indonesia.

Sosok Amrozi dan Imam Samudera
Senyum Amrozi ketika menerima vonis hukuman mati sungguh menggemaskan
hati keluarga korban bom Bali dan membingungkan psikolog Barat, oleh
karena itu Barat hanya menyebutnya sebagai teroris murah senyum.
Sementara Imam Samudera justeru menulis buku Aku Seorang Teroris,
Hingga hari ini tidak ada keinginan keduanya untuk meminta grasi dan
tetap dengan senyum menyongsong hari kematiannya. Senyum politik kah
atau senyum ideology ? Sesungguhnya Amrozi dan Imam Samdera hanya
sekedar sample dari limbah politik global, limbah dari politik
standarganda Amerika.

Amerika, dalam hal ini CIA kurang cermat ketika memutuskan melatih
mujahidin di Peshawar untuk memerangi Uni Sovyet di Afganistan. Jika
CIA berfikir teknis lawan dari lawan adalah kawan, mujahidin non Afgan
yang datang ke Afgan lebih didorong oleh semangat mengusir tentara
kafir dari bumi Afgan. Mereka siap mati bukan demi tugas dinas, tetapi
karena adanya panggilan jiwa. Di Afgan, Imam Samudera tidak merasa
sebagai orang Indonesia tetapi sebagai penduduk bumi yang sedang
bekerja membasmi kezaliman tentara kafir. Suasana batin seperti itu
dirasakan oleh mujahidin dari seluruh dunia,baik yang sempat berlaga
di Afgan maupun yang barus bersiap-siap menuju kesana.

Amrozi termasuk kategori yang terakhir ini karena ia hanya sampai ke
Malaisia. Ketika Amerika menunjukkan standargandanya secara telanjang
dengan menciptakan image building yang menghubungkan terorisme dengan
kelompok Islam ,mujahidin alumnus Peshawar berbalik melawan Amerika
yang dulu melatihnya. Jika Bush berkata Now for all nations of the
world, there only two choice; join America or join the terorisme,maka
veteran mujahidin tak mungkin memilih Amerika. Mereka dipaksa oleh
Amerika untuk menjadi lawan. Sikap arogansi Amerika yang hanya
memberikan dua pilihan persis sama ketika perang dingin 1950 an, John
Foster Dulles berkata; "to all the Asian and African countries that
there are only two alternative either they going to join Washington,
or they join Moscow.

Jika Bush dalam perang melawan teroris bertekad mengejar mereka
dimanapun mereka berada,maka respond alumni Peshawar juga tidak kalah
galaknya,yaitu killing Americans Civilian and military any where and
any time,membunuh orang Amerika, sipil maupun tentara kapan dan
dimanapun. Amrozi dan Imam Samudera tidak sedang memusuhi Indonesia,
tetapi sedang terlibat dalam perang global dengan Amerika. Psikologi
prajurit dalam perang itu sering kacau. Jika pesawat Amerika yang
super canggih di Basrah Irak menembak mobil bak yang membawa tiang
listrik karena dikira tank, itu karena suasana psikologis dalam
perang. Begitupun Imam Samudera dan Amrozi, dalam kasus bom Bali dia
tidak bisa membedakan antara orang Amerika dengan orang Australia.
Jadi terorisme global kini lebih sebagai alat politik dan ekonomi
serta rekayasa inteljen dibanding sebagai ideology, dan biasanya orang
bodoh dan orang yang sempit wawasan yang dapat dijebak untuk menjadi
pelaku lapangan terorisme, sementara actor intelektualnya tetap duduk
ongkang-ongkang sambil menghitung keuntungan proyeknya.

Wassalam,
agussyafii

==============================================
Sekiranya berkenan mohon kirimkan komentar anda melalui
achmad.mubarok@... atau http://mubarok-institute.blogspot.com
==============================================

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Find great recruits

for your company.

Y! Messenger

Quick file sharing

Send up to 1GB of

files in an IM.

Special K Group

on Yahoo! Groups

Join the challenge

and lose weight.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar: