Sabtu, 01 Maret 2008

[psikologi_transformatif] RUNAWAY UNIVERSITY

 

RUNAWAY UNIVERSITY
Telaah Posmodern pada kasus Kontroversi Pemalsuan Tanda Tangan di FP US

Oleh:
Audifax
Peneliti di SMART Center for Human Re-Search & Psychological Development


Banyak Perguruan Tinggi telah kehilangan esensinya sebagai institusi pendidikan. Perguruan Tinggi semacam ini mengubah diri menjadi mesin pencetak ijazah dan turut membangun merkantilisme dunia pendidikan. Pada titik ini, individu-individu yang berada pada posisi mahasiswa, tak lebih dari konsumen. Di satu sisi mereka ditempatkan sebagai sumber pendapatan bagi perguruan tinggi, di sisi lain mereka juga makhluk yang dapat dikorbankan untuk kepentingan lebih besar. Perguruan tinggi-perguruan tinggi ini, hanya berpacu mengejar berbagai hal yang dapat meningkatkan kehandalan dalam mengeruk uang. Hal-hal seperti gengsi, akreditasi, angka kelulusan, dan simbol-simbol sejenis lebih dikejar ketimbang menempatkan diri sebagai institusi pendidikan yang mendidik, mengayomi, dan membimbing peserta didiknya

Saya teringat sebuah kasus yang terjadi di tahun 2004. Kasus yang menimpa Sdr. R.C.W.A, seorang mahasiswa FP di US. Kasus ini adalah salah satu contoh bagaimana Perguruan Tinggi kehilangan esensinya sebagai institusi pendidikan. Di satu sisi, R.C.W.A adalah mahasiswa yang ditempatkan sebagai sumber pendapatan, namun di sisi lain, dia juga menjadi korban untuk kepentingan lebih besar, yaitu: gengsi institusi. Wacana Posmodern (posmo), tampaknya mengimbas ke dunia pendidikan.

Jean Baudrillard, salah satu tokoh dalam wacana posmoderen menyebutkan bahwa dalam budaya konsumsi posmoderen, objek tidak lagi terikat pada logika utilitas, fungsi dan kebutuhan, namun melalui tanda (sign). Ini make-sense dengan perguruan tinggi tempat Sdr. R.C.W.A bernaung, yang memang di satu sisi lebih mengejar tanda-tanda seperti: angka kelulusan (yang tentunya juga memberi kontribusi pada akreditasi dan nilai jual) dan menafikan esensinya sebagai institusi pendidikan yang semestinya mengayomi dan membimbing Sdr. R.C.W.A.

Tanda dalam konsep semiotika dan neo-psikoanalisa, merujuk pada adanya dua konsep yaitu: penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda adalah komponen material (berbentuk phonic atau graphic) dan Petanda adalah komponen konseptual (makna, pemaknaan, kebermaknaan). Keduanya adalah basis dari semua bahasa, komunikasi, serta sistem representasi. Penanda dan Petanda selanjutnya akan menjadi pisau analisis pada tulisan saya ini.

THE ANSWER IS…BLOWING IN THE WIND!

Agar anda semua lebih jelas dengan kasus Sdr. R.c.W.A. saya akan ceritakan lebih dulu gambaran singkatnya. Alkisah, pada hari diwisudanya sejumlah lulusan perguruan tinggi US, salah satu karya skripsi, di antara sekian ribu lulusan, dimuat pada harian Jawa Pos dan Radar Surabaya (tanggal 27 November 2004). Karya skripsi itu adalah milik R.C.W.A, yang berjudul: "Studi Kasus tentang Kepuasan Seks di Luar Nikah dengan Waria pada Pasangan Berkeluarga". Ironisnya, mahasiswa yang karya skripsinya di bawah bimbingan Dr. E.S. itu, ternyata dianulir kelulusannya oleh Dekan FP US, Ibu Dra. H.(dekan yang menjabat waktu itu), karena ditengarai memalsu tanda tangan dosen pembimbingnya. Dalam kasus ini, Sdr. R.C.W.A, ternyata tidak kembali menandatangankan revisi skripsi (setelah sidang skripsi) kepada dosen pembimbingnya, namun memilih untuk memalsu tanda tangan dosen pembimbing dan salah satu penguji.

Persoalan etika akademik ini, sebenarnya dapat diselesaikan jika Dra. H. sebagai Dekan tidak melakukan kesalahan etika pula dalam penyelesaiannya. Kasus etis ini justru berkembang, ketika Dekan menganulir kelulusan tersebut hanya dengan memanggil R.C.W.A via telepon dan meminta ijazah serta transkrip dari tangan yang bersangkutan. Ini ditindaklanjuti Dekan dengan mengirim surat kepada Dr. E.S. selaku pembimbing; yang isinya mengultimatum Dr. E.S. untuk memberikan tanda tangan asli dalam jangka waktu tak lebih dari dua bulan sejak tanggal penulisan surat tersebut. Surat itu hanya ditujukan pada Dr. E.S. seorang, tanpa tembusan kepada pihak-pihak lain, termasuk para penguji skripsi Sdr. R.C.W.A.. Kutipan dari surat tersebut adalah sebagai berikut:

"Untuk itu kami mohon kepada Bapak dapat mengoreksi revisi skripsi yang akan dilakukannya sesuai dengan berita acara dengan batas waktu maksimal 2 (dua) bulan dari tanggal surat ini".

Apa yang dilakukan Dekan dra. H jelas merupakan hal yang sama sekali tidak etis. Ada sejumlah ketidakberesan pada langkah yang diambil oleh Dra. H. Sebagai Dekan FP US. Kita dapat mencematinya pada pertimbangan berikut:

  • Pertama, Dr. E.S. adalah pihak yang dirugikan dengan pemalsuan tanda tangan oleh mahasiswa dari institusi yang dipimpin oleh Dra. H.. Dr. E.S. seharusnya justru menjadi pihak yang dapat menuntut atas tindak kriminal yang dilakukan oleh mahasiswa dari institusi Dra. H. tersebut. Adalah mengherankan bahwa Dra. H. bukannya meminta maaf secara resmi atas perlakuan kriminal mahasiswanya kepada Dr. E.S sebagai dosen luar, tapi justru mengultimatumnya melalui sebuah surat resmi untuk mengoreksi skripsi Sdr. R.C.W.A. dalam waktu dua bulan.

  • Kedua, ada kenyataan yang sesuai dengan kesepakatan saat sidang skripsi Sdr. R.C.W.A, bahwa setelah Sdr. R.C.W.A. memberikan hasil revisinya, nilai akan disepakatkan kembali oleh keempat penguji. Koordinasi penyepakatan tidak dilakukan oleh ketua penguji, yaitu: A.Y, S. Sos, M.Si, sehingga Dr. E.S tidak pernah mengetahui kelulusan yang bersangkutan dan nilai yang didapatkan. Dalam hal ini patut dipertanyakan pula pertanggungjawaban dari ketua penguji atas kelalaian yang ternyata berakibat fatal.

  • Ketiga, apapun alasannya, institusi yang dipimpin Dra. H. telah melakukan kesalahan sistemik dengan meluluskan seorang mahasiswa yang belum memperoleh pengesahan dari dosen pembimbing. Kesalahan ini makin diperparah Dra. H. dengan memberikan surat langsung kepada Dr. E.S tanpa memberikan tembusan pada pihak terkait yaitu: Sdr.R.C.W.A., Sdr Drs. B.W., M.Si (anggota tim penguji), Sdr. Drs. C.S. (Sekretaris), Sdr. A.Y., S.Sos, M.Si (Ketua tim Penguji); Kepala Laboratorium (jurusan) PS; Pembantu Dekan I, Wakil Rektor I U.S., Rektor U. S., dan Ketua Yayasan U.S.. Bahkan, mengingat skripsi Sdr.R.C.W.A. juga telah dipublikasikan di surat kabar Jawa Pos tertanggal 27 November 2004, semestinya Dra. H. juga melakukan pertanggungjawaban publik. Melihat begitu banyaknya pihak yang terkait dengan kasus Sdr. R.C.W.A, patut dipertanyakan kenapa Dra. H. justru memberikan surat yang ditujukan hanya kepada Dr. E.S secara personal?
  • Keempat, kita dapat mempertanyakan logika hukum kasus ini. Bagaimana Dra. H. bisa mengultimatum Dr. E.S untuk mengoreksi skripsi dari mahasiswa yang telah diluluskan Dra. H. secara resmi. Bagaiaman mungkin mahasiswa yang telah lulus masih harus dikoreksi skripsinya?. Pada surat tertanggal 13 Desember 2004, bernomor 392/UL/GAS/DEK/FP/XII/2004, Dra. H. hanya memberitahukan pada Dr. E.S. bahwa Sdr. R.C.W.A. telah dicabut kewenangannya sebagai lulusan semester genap 2003-2004, tanpa menuliskan berdasarkan surat nomor berapa pencabutan tersebut. Apakah sebuah surat kelulusan resmi dapat dibatalkan secara semena-mena?
  • Kelima; Berdasarkan poin ketiga dan keempat, kita dapat menangkap indikasi bahwa Dra. H.berusaha menyelesaikan persoalan ini secara tertutup dengan cara menekan Dr. E.S secara personal sembari menyembunyikan kesalahan yang semestinya dipertanggungjawabkan oleh Dra. H. Pada titik ini, Dra. H. tidak menyadari bahwa peristiwa ini adalah sebuah penipuan besar di depan Dr. E.S sebagai dosen pembimbing, segenap tim penguji, Sidang terbuka wisudawan; bahkan para pembaca Jawa Pos; di mana diakui atau tidak, dalam konteks tanggungjawab sebagai pimpinan, Dra. H terlibat di dalamnya. Pada titik ini pula Dra. H. Cenderung untuk mengabaikan keharusannya untuk meminta maaf pada semua pihak yang tertipu tersebut.

Sampai di sini, saya sampai pada suatu kesimpulan bahwa Dra. H. Adalah pemimpin sebuah institusi pendidikan yang tengah mengkreasi suatu panggung besar kebohongan melalui permainan tanda. Tanda, dalam kasus Sdr. R.C.W.A menjadi elemen yang menyusun suatu sistem yang bisa menyembunyikan kebohongan.

Mari kita simak dulu Pierre Bourdieu yang pernah menjelaskan bahwa setiap masyarakat memiliki caranya sendiri untuk menutupi, menyembunyikan, atau menciptakan sistem yang menyediakan topeng-topengnya sendiri agar struktur dan praktik penindasan tidak dapat dikenali (méconnaissance). Di sini dapat ditunjuk salah satu fungsi ideologi, yakni sebagai topeng-topeng bagi praktik-praktik sosial yang melawan atau mempertahankan suatu penindasan atau dominasi. Seorang yang memegang modal otoritas tertentu melakukan konstruksi terhadap pemikiran masyarakat agar ia dihormati, disegani, dan dipatuhi oleh kalangan yang terdominasi. Untuk menutupi motivasi sesungguhnya maka diperlukan topeng dengan mengatakan apa yang dilakukan adalah untuk kebaikan bersama.

Kontekstualisasi dari penjelasan Bourdieu ini ada pada apa yang dilakukan Dra. H yang saat itu menjabat sebagai dekan FP US. Dengan modal otoritas tertentu ia menutupi, menyembunyikan atau menciptakan sistem yang membuat penindasan yang dilakukannya tidak dikenali.

Lalu apa yang dilakukan Dr. E.S atas penindasan yang coba dilakukan Dra. H? Dr. E.S pun mempertanyakan kembali dan meminta pertanggungjawaban dari Dra. H. selaku Dekan. Kisaran hal yang diminta pertanggungjawabannya kurang lebih adalah:

  • Membuat surat permintaan maaf resmi dari Dra. H. selaku pimpinan institusi tempat Sdr. R.C.W.A. bernaung kepada Dr. E.S, atas perilaku memalsu tanda tangan. Pada pemikiran ini ada suatu asumsi bahwa jika Dra. H. mengajarkan pada Sdr. R.C.W.A. untuk meminta maaf, Dra. H. sendiri juga harus memberi contoh yang sesuai. Dra. H. pernah meminta Dr. E.S dengan hormat untuk menjadi dosen pembimbing, disusul dengan permintaan sebagai dosen penguji yang juga dilakukan dengan hormat; sudah selayaknya Dra. H. juga menyelesaikan persoalan pemalsuan tanda tangan ini dengan kehormatan.
  • Membuat surat permintaan maaf resmi atas surat Dra.H. tertanggal 13 Desember 2004, bernomor 392/UL/GAS/DEK/FP/XII/2004 kepada Dr. E.S, yang menurut Dr. E.S sama sekali tidak etis.
  • Membuat surat permintaan maaf resmi atas penipuan yang dilakukan oleh Sdr. R.C.W.A kepada Dr. E.S selaku dosen pembimbing dan penguji, Sdr Drs. B.W., M.Si (anggota tim penguji), Sdr. Drs. C.S. (Sekretaris), Sdr. A.Y., S.Sos, M.Si (Ketua tim Penguji); Kepala Laboratorium PS; Pembantu Dekan I, Wakil Rektor I US, Rektor US, Ketua Yayasan US, dan surat kabar di mana skripsi itu dimuat.
Dua bulan berlalu, pihak Dra. H. juga tampaknya enggan untuk meminta maaf. Sementara Dr. E.S juga masih berpegang pada prinsip etika yang semestinya dipenuhi. Lalu bagaimana dengan Sdr. R.C.W.A? Dra. H. justru menawarkan 'persoalan baru' yaitu mengulang satu semester (yang berarti dia harus membayar lagi, bukan?); sungguh suatu penyelesaian yang "manis". Satu bukti bahwa mahasiswa di Perguruan Tinggi semacam ini tak lebih dari mesin uang yang selain bisa diperas juga bisa dikorbankan untuk kepentingan-kepentingan yang lebih besar.

BENEATH THE LIES
Pada kasus ini, kita dapat mencermati bahwa permintaan maaf telah kehilangan esensi, berubah menjadi penanda yang merujuk pada petanda yang bermakna: menurunnya gengsi serta kemampuan mempersaingkan komoditas. Permintaan maaf atas kesalahan = menurunnya gengsi serta kemampuan mempersaingkan komdoitas. Gengsi untuk mengakui kesalahan adalah bagian dari tanda-tanda yang dimobilisir ke dalam bentuk komoditi yang mendasarkan logika perbedaan untuk terbangunnya suatu nilai jual. Permintaan maaf adalah penanda yang dapat membuat banyak orang ragu untuk masuk ke FP US, karena melekat pada terbukanya sebuah kesalahan sistemik yang fatal.

Kesalahan fatal dalam kasus Sdr. R.C.W.A adalah sebuah penanda yang akan merujuk pada konsep mengenai kurang qualified-nya sebuah institusi. Oleh karena itu kesalahan ini harus ditutupi. Ini make-sense ketika Dekan Dra.H. bukannya menyelesaikan pada pihak-pihak yang tertipu sesuai prosedur, namun justru melakukan tekanan pada Dr. E.S.

Seiring perkembangan jaman yang memasuki era posmoderen, orang lebih mengonsumsi penanda ketimbang makna. Penanda-penanda pun telah banyak yang berubah sebagai alat kebohongan. Akreditasi A ataupun jumlah kelulusan dikejar dengan mengabaikan kualitas dan esensi pendidikan.

Kondisi ini membawa konsekuensi pada adanya kebutuhan akan pendidikan yang tidak lagi berorientasi mencerdaskan, namun lebih pada menghadirkan perbedaan, baik makna sosial, status, simbol, atau prestise. Universitas A lebih baik dari B karena akreditasinya lebih tinggi, bukan pada kualitas karya. Begitu pula dengan anggapa bahwa universitas C lebih baik dari universitas D hanya dengan ukuran jumlah lulusan yang lebih banyak. Di satu sisi, ini juga membuat gelar dan ijazah tak lebih dari komoditas. Berbagai gelar kesarjanaan disandang oleh berbagai orang, namun semuanya samasekali tidak mencerminkan adanya kualitas berpikir saintis. Bisa dihitung lulusan perguruan tinggi yang menguasai benar kelimuannya dan siap masuk dalam dunia kerja. Sementara di sisi lain, layaknya hukum demand-supply, perguruan tinggi juga mengubah dirinya sebagai penjaja ijazah. Agar dapat menjadi penjaja ijazah yang handal, maka diperlukan penanda-penanda seperti angka kelulusan.

Kehandalan sebagai penjaja ijazah, akan membawa konsekuensi pada semakin bertambahnya penghasilan. Dengan demikian, sekolah tak lebih dari upaya mengonsumsi suatu permainan tanda (free play of sign), tanpa perlu terikat pada sebuah makna dan identitas yang tetap. Pada titik inilah pendidikan telah kehilangan esensinya. Mahasiswa-mahasiswa itu hanya larut dan mempercayai begitu saja, bahwa Fakultas/perguruan tinggi favorit memiliki kualitas pendidikan yang berkualitas. Tak pernah ada yang melihat secara kritis bahwa perguruan tinggi semacam ini bisa jadi tak lebih dari mesin pencetak ijazah yang menempatkan mahasiswa sebagai sosok yang bisa dieksploitasi.

Tanda-tanda dalam dunia pendidikan terus bergerak, berlari, berpacu sembari merelatifkan suatu stabilitas makna. Baik perguruan tinggi, maupun mahasiswa bukan mengejar ilmu yang akan mengembangkan kemanusiaannya, melainkan berusaha mengejar tanda, makna dan identitas. Mereka mencari dalam arus pergerakan yang tiada henti. Sdr. R.C.W.A pun terlarut dalam arus ini (yang kemudian justru memelantingkannya) ketika memilih untuk memalsu tanda tangan demi tercapainya sebuah gelar dan ijazah.

Dengan demikian dapat dikatakan pendidikan tinggi telah terseret dalam arus konsumsi posmoderen, konsumsi yang selalu dahaga, dan tak terpuaskan. Suatu pola konsumsi yang dengan cerdik dibangkitkan oleh perguruan tinggi sebagai produsen ijazah, melalui pencitraan yang dibangun dengan pelekatan penanda-penanda akreditasi, jumlah kelulusan, serta berbagai ritual yang sifatnya tontonan (spectacle). Semua ini akhirnya berkembang menjadi titik sentral yang berperan sebagai perumus hubungan sosial pendidik-peserta didik yang telah kehilangan esensinya. Berpacunya perguruan tinggi dalam mengejar berbagai penanda komoditas itu membuat ada pihak-pihak yang tercecer, bahkan tergilas kemanusiaannya, kasus Sdr. R.C.W.A adalah salah satu contoh. Etika dan pendidikan telah kehilangan esensinya, diambil alih oleh penanda-penanda yang maknanya jauh dari esensi pendidikan.

Bagaimana cermatan anda?






Audifax mengundang anda untuk mendiskusikan esei ini di milis Psikologi Transformatif. Jika anda memiliki concern terhadap tema yang ada pada esei ini, mari bergabung dengan kita yang ada di milis Psikologi Transformatif

Sekilas Mailing List Psikologi Transformatif
Mailing List Psikologi Transformatif adalah ruang diskusi yang didirikan oleh Audifax dan beberapa rekan yang dulunya tergabung dalam Komunitas Psikologi Sosial Fakultas Psikologi Universitas Surabaya. Saat ini milis ini telah berkembang sedemikian pesat sehingga menjadi milis psikologi terbesar di Indonesia. Total member telah melebihi 2000, sehingga wacana-wacana yang didiskusikan di milis inipun memiliki kekuatan diseminasi yang tak bisa dipandang sebelah mata. Tak ada moderasi di milis ini dan anda bebas masuk atau keluar sekehendak anda. Arus posting sangat deras dan berbagai wacana muncul di sini. Seperti sebuah jargon terkenal di psikologi "Di mana ada manusia, di situ psikologi bisa diterapkan" di sinilah jargon itu tak sekedar jargon melainkan menemukan konteksnya. Ada berbagai sudut pandang dalam membahas manusia, bahkan yang tak diajarkan di Fakultas Psikologi Indonesia.

Mailing List ini merupakan ajang berdiskusi bagi siapa saja yang berminat mendalami psikologi. Mailing list ini dibuka sebagai upaya untuk mentransformasi pemahaman psikologi dari sifatnya selama ini yang tekstual menuju ke sifat yang kontekstual. Anda tidak harus berasal dari kalangan disiplin ilmu psikologi untuk bergabung sebagai member dalam mailing list ini. Mailing List ini merupakan tindak lanjut dari simposium psikologi transformatif, melalui mailing list ini, diharapkan diskusi dan gagasan mengenai transformasi psikologi dapat terus dilanjutkan. Anggota yang telah terdaftar dalam milis ini antara lain adalah para pembicara dari simposium Psikologi Transformatif : Edy Suhardono, Cahyo Suryanto, Herry Tjahjono, Abdul Malik, Oka Rusmini, Jangkung Karyantoro,. Beberapa rekan lain yang aktif dalam milis ini adalah: Audifax, Leonardo Rimba, Nuruddin Asyhadie, Mang Ucup, Goenardjoadi Goenawan, Ratih Ibrahim, Sinaga Harez Posma, Prastowo, Prof Soehartono Taat Putra, Bagus Takwin, Amalia "Lia" Ramananda, Himawijaya, Rudi Murtomo, Felix Lengkong, Hudoyo Hupudio, Kartono Muhammad, Helga Noviari, Ridwan Handoyo, Dewi Sartika, Jeni Sudarwati, FX Rudy Gunawan, Arie Saptaji, Radityo Djajoeri, Tengku Muhammad Dhani Iqbal, Anwar Holid, Elisa Koorag, Lan Fang, Lulu Syahputri, Kidyoti, Alexnader Gunawan, Priatna Ahmad, J. Sumardianta, Jusuf Sutanto, Stephanie Iriana, Yunis Kartika dan masih banyak lagi

Perhatian: Milis ini tak ada moderator yang mengatur keluar masuk member. Setiap member diharap bisa masuk atau keluar atas keputusan dan kemampuan sendiri.

Jika anda berminat untuk bergabung dengan milis Psikologi Transformatif, klik:


Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Reconnect with

college alumni.

Y! Messenger

Send pics quick

Share photos while

you IM friends.

Women of Curves

on Yahoo! Groups

see how women are

changing their lives.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar: