Jumat, 16 November 2007

Re: [psikologi_transformatif] Pada Sebuah Asumsi

Ho oh tuh... Michelangelo bangun dari kubur... bagus tuh buat judul sinetron Indonesia wkwkwkwk.

as as <as2004as_as@yahoo.com> wrote:

Misalnya aja pertanyaanmu itu.

Apa seni itu telah mati ?


Hihihi
Michelangelo bakal terbahak terkekeh ampe keluar airmatanya.

abusurd mufakhir <abusurd_13@yahoo.com> wrote:
ya, betul... saya tidak punya konsep... tak bisa saya buat konsep...

----- Original Message ----
From: as as <as2004as_as@yahoo.com>
To: psikologi_transformatif@yahoogroups.com
Sent: Wednesday, November 14, 2007 10:37:41 PM
Subject: Re: [psikologi_transformatif] Pada Sebuah Asumsi

kok seperti gak punya konsep, sih, to, bu ? responsmu itu, loh

selain itu

nulis kok tidak terstruktur dengan baik, sih, bu
di semua tulisanmu itu
di semua milis yang kau ikuti, bu

abusurd mufakhir <abusurd_13@yahoo. com> wrote:
Bebaskan!!! hehehe... ini juga asumsi...

----- Original Message ----
From: as as <as2004as_as@ yahoo.com>
To: psikologi_transform atif@yahoogroups .com
Sent: Wednesday, November 14, 2007 10:28:42 PM
Subject: Re: [psikologi_transfor matif] Pada Sebuah Asumsi

ini definisi postulat :

A basic assumption that is accepted without proof


Bagaimana kalau nulis tulisan itu, yang wajar aja, bu, seperti orang lain nulis.
Maksudnya, wah, dibuat mbulet, mungkin dimaksudkan agar keren, tapi,
hasilnya lucu banget, bu.
Gak enak dibacanya.

Sok nyeni ?
Hihihi

abusurd mufakhir <abusurd_13@yahoo. com> wrote:
jadi mirip postulat, hihihi, ini juga asumsi... maaf...


----- Original Message ----
From: as as <as2004as_as@ yahoo.com>
To: psikologi_transform atif@yahoogroups .com
Sent: Wednesday, November 14, 2007 9:51:04 PM
Subject: Re: [psikologi_transfor matif] Pada Sebuah Asumsi

Mas Yoga,

Hihihi
kalau belum faham maksud asumsi, ya gitu itu, Mas.
Asumsi adalah :
a hypothesis that is taken for granted

nah

taken for granted

Yoga Prio <yogaprio@yahoo. com> wrote:
Asumsi. Samakah asumsi dengan "pengalaman secara subjektif"? Apakah sesuatu yang subjekti dapat dianggap "benar" atau "sesuai" atau bahkan layak minimum untuk "dipertimbangkan" ? Dapatkah asumsi secara saat itu juga berisikan hal yang objektif? Jika dan hanya jika asumsi hanya berkaitan dengan sesuatu yang subjektif, bukankah asumsi sebaiknya ditinggalkan? :D. Objectivity is the real thing, so get objective... :D salam

abusurd mufakhir <abusurd_13@yahoo. com> wrote:
Pada Sebuah Asumsi
: untuk sebuah asumsi
 
Pada Sebuah Asumsi, Seni Terletak di Materi(al).
 
Seni pada perkembangan yang bisa saya ikuti, artinya saya mengerti, tentu saja dengan mengukur suatu karya (karya itu sendiri atau asumsinya), sepertinya telah dijejali sekian banyak asumsi-asumsi, yang memperkarakan medium representasinya sendiri. Ketika saya memandang seni sebagai sebuah kemauan yang tak disadari, ketika saya sadar saya telah berasumsi, ketidaksadaran saya mati. Lalu ukuran apa yang saya pakai, entah, yang pasti sangat subjektif. Sebelum diteruskan, saya hanya ingin katakan subjektif bukan berarti tanpa dasar. Hanya sebuah keberanian. Tapi juga bukan untuk menghadapkan diri secara bertentangan dengan logika formal. Logika formal yang mana? Yang mana saja yang kamu anggap formal, walau belum tentu berkesesuaian dengan apa yang saya maksudkan. Jadi, bebaskan, lalu mari kita teruskan.
 
Tidak semua asumsi berdampak. Tapi saya memfokuskannya hanya pada asumsi yang berdampak. Buat apa saya menulis sesuatu yang tidak berdampak? Bukan itu pertanyaannya, tapi seperti apa dampaknya, bagaimana dampak itu dihasilkan, dari proses seperti apa?
 
Perdebatan, dimana seharusnya lukisan di mediakan, kan vas, tembok, kaos, monitor komputer, atau media lainnya. Selesai. Semuanya boleh. Tidak ada seharusnya. Walau kemudian istilah gambar di anggap lebih relevan jika di luar kan vas. Keterikatan dengan kan vas yang semakin lemah membuat para seniman lebih bebas mengungkapkan segala gagasannya lewat semua media yang mungkin. Di saat kematian seniman sebagai pembentuk maksud, seni justru kian menjadi pernyataan pribadi. Sebuah ironikah? Seolah ironi, mungkin itu jawaban saya.
 
Terjadinya pergeseran dari representasi 'logika formal' (saya tidak suka menyebutnya objektif) menuju gagasan dan ungkapan pribadi serta cara dan sarana yang kian sesukanya, telah melahirkan lebih banyak lagi bentuk karya seni, batasannya menjadi semakin kendur, antara mana yang karya seni dan bukan. Seni visual adalah contohnya, segala kian bisa di jadikan materi, apa saja bisa dijadikan media, gas sekalipun. Sehingga identitas, karakter, struktur khas seni, dan apa artinya seni juga seniman menjadi sebuah seni. Alias gak jelas. Apa yang membuatnya menjadi demikian, bukan hanya sekedar materi dan media, tapi asumsi. Saya tidak ingin menyimpulkannya sekarang dengan mengatakan bahwa asumsi sendiri terkadang adalah sebuah seni. Dematerialisasi seni, apakah iya sebuah bentuk dematerialisasi, bukankah seni sendiri pada awal dan dasarnya berasal dari inspirasi, ide, pikiran, dan semua yang bersifat unmateriil?
 
Kamu Pasti Bilang, Paradok (ini adalah sub judul selanjutnya)
 
Asumsi yang meletakkan seni sebagai material, ikut serta mendematerialisasi seni itu sendiri. Paradok Inheren. Bagaimana itu terjadi?
Munculnya paradok: di satu pihak segala teori dan sejarah seni dicurigai dan didekonstruksi, di satu pihak alat untuk mencurigai dan mendekonstruksi itu adalah teori. Lalu hasil dari kecurigaan dan dekonstruksi itu sendiri menjadi teori. Kemudian saya simpulkan, teori itu penting. Teori itu penting, walau tidak mempengaruhi kualitas suatu karya secara objektif, tapi teori itu tadi menjadi landasan pertanggungjawaban atas karya-karya yang bentuknya tidak jelas atau bahkan 'immaterial'. Sehingga teori tadi menegaskan ke tidakjelasan karya itu sebagai sesuatu yang jelas. Disini saya tulis teori, padahal sebelumnya asumsi. Karena banyak seniman-seniman yang menampakkan dirinya sebagai seorang yang cukup teoritis. Padahal apa yang dia katakan bisa jadi hanya sekedar asumsi pribadi. Konsep dan aliran dulu dianggap tidak relevan, maka dibangunlah ke-relevanan dalam ketidak jelasan kaitan, atau dikait-kaitin. Lalu ketidak jelasan kaitan itu, mendapat banyak dukungan dan kemudian menjadi amat konseptual. Gene Youngblood menyebutnya dengan istilah eksperimental, tanpa 'isme', sebagai sebutan tendensi diatas. "All art is experimental, or it isn't art", katanya.
 
Apa konsekuensi dari dunia seni yang kini serba tidak jelas, apa kaitannya dengan situasi problematik sosio-kultural lebih luas? Lalu apa sebenarnya peranan seni dalam situasi serba modern seperti ini?
 
Apakah Seni Telah Mati?
 
Apakah seni telah mati? Apakah pertanyaan itu terlalu hiperbolik?
 
Perkataan tentang berakhirnya seni, rasanya tidak pernah bermakna secara harfiah tentang hilangnya seni sama sekali, melainkan semacam asumsi bahwa hakikat dan makna seni bagi kehidupan pada umumnya perlu dipikirkan ulang, melihat kondisi sosio-kultural seperti hari ini. Asumsi tadi membawa kita pada kesadaran filosofis, sekaligus dematerialisasi seni. Asumsi tentang 'Seni' (dengan S capital) sebagai filsafat. Tapi di lain pihak ada yang berasumsi, bahwa untuk memikirkan ulang mengenai hakikat dan makna seni bagi kehidupan pada umumnya, kita justru harus melepaskan seni sama sekali dari segala penekanan filosofis. Biarkan seni menjadi apa saja, bentuknya pluralistik, praktiknya pragmatik, dan ruangannya multikultural.
Kemudian, ada ke tidak-jelasan antara seni dan representasi, bahkan sejarah serta teori seni sekalipun merupakan bagian dari 'teori representasi' . Sehingga hampir segalanya ditinjau dari aspek produksi dan resepsi psikologis pasar. Bila dalam kerangka realisme, hilangnya kenya taan real berarti sekaligus hilangnya konsep representasi, maka dalam kerangka poststrukturalisme, kenya taan real hilang karena pada dasarnya segala hal hanyalah siasat representasi. Dalam bahasa Marxis, seni tenggelam dalam dominasi praksis "imaji," terperangkap jaringan raksasa komoditi dari ind ustri tontonan, dimana seni kehilangan jati dirinya.
 
Lalu apa ukurannya sebuah karya seni di anggap tidak jelas atau jelas. Justru karena semua pembahasan di atas, ukuran menjadi tidak penting, paradoksial adalah ukuran yang tidak penting itu. Apabila paradok, itulah karya seni yang jelas dimana didalamnya terkandung ketidakjelasan, atau sebaliknya, apabila paradok, itulah karya seni yang tidak jelas dimana didalamnya mengandung kejelasan. Dampaknya adalah, seni semakin diwarnai ketidakpedulian. Seni bukan lagi objek kontemplasi, melainkan sekedar siasat komunikasi dan presentasi diri yang unik, atau presentasi produk yang unik, seni adalah iklan; atau baiklah, seni adalah sebuah proses yang senantiasa berjalan. Dan satu lagi, siapapun bisa menjadi seniman, asal bisa memproduksi asumsi yang unik dan selektif tentang diri dan kenya taan, mengubah objek menjadi karya seni, menggunakan komputer, kamera foto, video, multimedia dlsbnya. Lalu apa uk uran kesuksesannya? Distribusi! Itu uk uran kesuksesannya! Selama dia bisa menyebarkan hasil karyanya seluas mungkin, atau lebih luas dari oran g lain, maka bisa dikatakan dia telah atau lebih sukses. Karena ukuran kesuksesannya seperti demikian, maka orang berlomba-lomba menciptakan karya seni secepat mungkin, seunik mungkin, tidak reflektif bukan masalah, lalu sebarkan seluas-luasnya. 
 
nyambung




Never miss a thing. Make Yahoo your homepage.



Get easy, one-click access to your favorites. Make Yahoo! your homepage.


Never miss a thing. Make Yahoo your homepage.



Never miss a thing. Make Yahoo your homepage.


Be a better sports nut! Let your teams follow you with Yahoo Mobile. Try it now.




Yahoo! Answers - Get better answers from someone who knows. Try it now.

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

new professional

network from Yahoo!.

Endurance Zone

on Yahoo! Groups

Groups about

better endurance.

Real Food Group

Share recipes

and favorite meals

w/ Real Food lovers.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar: