Selasa, 11 Maret 2008

[psikologi_transformatif] Re: INTERSTANDING HUMAN BEING

stigma negatif di keluarkan suatu kelompok /pribadi , saya pikir
karena kelompok/pribadi tersebut menganggap yang diberi cap /stigma/
label itu tidak sesuai dengan "kepentingan " atau visi atau tujuan
dari kelompok/pribadi tersebut.

salah satu hukum pergaulan manusia yaitu " saling pengaruh dan
mempengaruhi pikiran " akan berjalan. dan tentunya yang kuat akan
mengalahkan yang lemah.

hanya individu yang sudah belajar memandang dari sudut pandang yang
bersebrangan , dan individu yang melatih banyak sudut pandang ataupun
individu yang terbiasa tidak menilai sesuatu dengan mencampurkan
rasa suka atau benci . mereka itulah menurut saya yang kecenderungan
memiliki toleransi yang tinggi dan tidak mudah terpengaruh dengan
"perang pemikiran" di antara manusia.

sekarang ,anda mau dijajah pemikiran siapa ?
kalau saya ikut suatu pemikiran karena saya sukarela ikut pemikiran
tersebut ,jadi saya tidak merasa dijajah.

kalau sudah tidak cocok ya ganti saja pemikiran itu atau bikin
sendiri kalau sudah mampu.

itulah enaknya jadi manusia merdeka, punya otak dan bebas menggunakan
otaknya .

salam,
edy
pekalongan

--- In psikologi_transformatif@yahoogroups.com, "tuhantu_hantuhan"
<tuhantu_hantuhan@...> wrote:
>
>
> Saya fikir, cikal-bakal stigma dan labelling itu, disebabkan cara
kerja
> otak manusia itu sendiri. Kadar besar kecilnya kecendrungan
labeling,
> stigma, dsb disebabkan oleh struktur *hormon* tertentu, dimana
hormon
> ini banyak terdapat dalam otak komunitas para bebek... :-)
>
> Stigma, tidak hanya diproduksi oleh ideologi tertentu, dan tidak
> terbentuk begitu saja. Serta bisa terjadi diberbagai sudut kehidupan
> kita.
>
> Misalkan dalam kadar *ringan* ( cikal-bakal stigma-labelling)
sebagai
> contoh: Sekelompok A (katakanlah kelompok A ini citizen jurnalist)
> memberi label kepada sekelompok B (let say, kelompok blogger)
sebagai
> *narsis*. Apakah blog yg sejak awal memang difungsikan sebagai
*diary*
> lalu karena kemudian banyak orang menuliskan
> pengalaman-feeling-observasi pribadinya lalu -minjam term dari Audi-
> disederhanakan sebagai *narsis*? Tanpa menjelaskan secara detail,
apa
> dan dimana batas yg fixed antara kebebasan mengekspressikan diri
secara
> *sehat*, dengan yh *tidak sehat*? Ada sohib Psikolog yg bisa
jelaskan
> point-point baku tentang hal ini?
>
> Pelabelan *narsis* ini terjadi tentu karena kelompok A mengukur
segala
> sesuatu berdasarkan *standard*-nya sendiri (dalam hal ini standard
> profesi dan/atau background akademiknya). So, dalam dunia maya-pun
> kalau kita tidak hati-hati, kita bisa dengan mudah menciptakan -some
> kind of- new model of facism...
>
> Be fun
>
> TuHanTu
>
> http://hole-spirit.blogspot.com <http://hole-spirit.blogspot.com>
>
>
>
>
>
>
> --- In psikologi_transformatif@yahoogroups.com, "Merkurius Adhi
Purwono"
> <adhi_p@> wrote:
> >
> > Good...
> >
> > Manteb Bro Audifax...! Tulisan anda kali ini sangatlah jelas.
Memang
> > banyak sekali secara kolektif, simbol-simbol yang bisa dijadikan
bahan
> > sebagai stigma. Kita hidup di masyarakat Indonesia ini sepertinya
> > telah terberi sangkar-sangkar stigma.
> >
> > Pengawasan (dari) masyarakat melekat...begitulah saya
> mengistilahkannya.
> >
> > Salam,
> > Adhi Purwono.
> >
> > --- In psikologi_transformatif@yahoogroups.com, audifax -
> > audivacx@ wrote:
> > >
> > > Interstanding Human Being
> > >
> > >
> > >
> > >
> > > Oleh:
> > > Audifax
> > > Staf Peneliti di SMART Human Re-Search & Psychological
Development
> > >
> > >
> > >
> > >
> > > Stigma adalah penyederhanaan terhadap proses pengenalan
> > terus-menerus terhadap Liyan (Yang-Lain). Proses itu
disederhanakan
> > ke dalam suatu finalitas definisi. Kebaruan yang terus-menerus
dari
> > Liyan bukan diapresiasi sebagai keindahan melainkan ancaman yang
harus
> > dihentikan. Hambatan dinamika persentuhan sosial terjadi lewat
stigma.
> > Ketika kita mencoba mengenal Orang-Lain [Liyan] dengan pertama-
tama
> > mengategorikan sebagai anggota kelompok dengan stigma, seperti:
> > Muslim, Kristen. Keturunan Cina, Bonek dan sebagainya, maka
seperti
> > dianalisis oleh Elias Canetti, selalu ada rasa takut untuk
bersentuhan
> > [Berührungsangst] yang mewarnai setiap fase pengenalan.
> > > Sebelum saya bicara lebih jauh, ada sebuah contoh kasus menarik
> > yang saya ambil dari sebuah milis alumni milik sebuah Fakultas
> > Psikologi ternama di Surabaya. Bermula dari perdebatan yang saya
rasa
> > banyak terjadi di sejumlah fakultas dengan disiplin tertentu,
yaitu
> > soal marka berpakaian [menggunakan krah, bersepatu dan sejenisnya]
> > lalu muncul sebuah argumen menarik dari Hari K. Lasmono, satu-
satunya
> > profesor di Fakultas Psikologi tersebut. Bagi saya, perdebatan
tentang
> > marka berpakaian itu hal yang biasa, tetapi cara Sang Profesor
> > mengargumentasikan pentingnya berpakaian menggunakan krah dan
sepatu
> > bisa kita jadikan renungan lebih jauh untuk kita membahas mengenai
> > keterbukaan terhadap pluralitas atau keterbukaan terhadap Yang-
Lain.
> > Simak pernyataan beliau (bold saya lakukan pada bagian penting):
> > > Ruuuuaaar biasa, ini baru buah pendapat yang segar dan
akomodatif,
> > dan sangat bijak!!!!!!!! Apalagi keluar dari pikiran-pikiran yang
> > masih muda belia! Bravooooo! Saluuuuut setinggi-tingginya kepada
kaum
> > muda tetapi berpikiran bijak dan tidak larut dan hanyut dengan
> > pendapat yang sok hueeebat, sok paling tahu memaknai ekspresi cara
> > berpakaian orang, sok pejuang HAM, apalagi mengandung fitnah
> > seolah-olah ada aturan di UBAYA yang mengaitkan intelektualitas
atau
> > kualitas seseorang atau apalah namanya dengan cara berpakaian dan
> > bersepatu. Saya cari-cari di peraturan-peraturan UBAYA sampai
> > berlama-lama, koq nggak menemukan ada pimpinan UBAYA yang
> > mengait-ngaitkan kedua masalah itu, lhaaa koq ada pendapat yang
> > menuduh begitu? Apa itu bukan tergolong fitnah?????? Saya
sebenarnya
> > pengen tanya pada "pakar kemanusiaan ---entah siapa yang
> > berkualifikasi atau merasa begitu:
> > >
> > >
> > > 01.kalau ada sdr kita dari Papua sekolah di Fapsi lalu pengan
> > pakai pakaian adatnya dengan koteka dan yang perempuan no-bra,
apa ya
> > kita biarkan???????? Apa tidak kita ajak untuk sementara memakai
> > busana seperti yang lain selama di UBAYA, kemudian kalau kembali
> > mengabdi di daerahnya baru memakai pakaian adatnya kembali?????
> > >
> > >
> > > 02. Bila kita diundang makan bersama seorang sahabat yang
> > menyediakan sendok dan garpu, pada hal kita biasa muluk (menyuap
> > makanan ke mulut dengan telapak tangan) di rumah, apa kita ya
> > demonstratif memaksa muluk di rumah sahabat itu? Demikian
sebaliknya,
> > kita diundang keluarga yang tak pernah memakai sendok, apa kita
> > menuntut sendok dan garpu yang tak dimiliki keluarga tersebut
karena
> > kita "tak biasa" makan dengan muluk???????????etc.etc.
> > >
> > >
> > > Masalahnya sebenarnya sederhana saja (seperti telah diungkapkan
> > teman-teman muda di bawah): "menghormati tuan/nyonya rumah" Apa
> > sesulit itukah????? Apa ilmu psikologi mengajarkan: Harus selalu
> > berani menentang? Harus menunjukkan kebebasan ekspresi diri dengan
> > segala cara???? Rasanya koq tidak. Tentu ada saja nanti yang
bertanya:
> > kalau tamu diminta menghormati aturan tuan rumah, kenapa tuan
rumah
> > tidak menghormati tamu, yang pakai koteka keq, yang pamer pusar
keq,
> > yang pakai sandal keq, yang pamer lutut keq, yang pamer ini , pamr
> > itu, pokoknya yang pamer ke-aku-annya itu, itu 'kan hak asasinya,
apa
> > kaitannya dengan ilmu, apa kaitannya dengan nilai-nilai
kemanusiaan,
> > yang penting kan batinnya, pakaian sejelek apapun yang penting
'kan
> > hatinya yang putih bersih? Apa pakaian rapi berdasi menjamin hati
yang
> > bersih, buktinya para penjahat, para koruptor berpakaian bersih
tetapi
> > hatinya justru busuk dsb dsb dsb.
> > >
> > >
> > > Kita tunggu aja, pasti akan hujan makian, olok-olok, sindiran en
> > sebagainya. Demi FPsi dan UBAYA tercinta (karena aturan itu bukan
dari
> > dekanat tetapi dari UBAYA) saya rela koq dihujani "sampah"
> > pendapat-pendapat yang (sok) pinter-pinter dan sok menggurui itu.
> > >
> > >
> > > Maaf adik-adik bijak, agak ngalor ngidul, en saya belum mampu
> > mewarisi kebijakan dan kematangan sikap dan kata-kata kalian,
maklum,
> > udah pikun, hehehe.i
> > >
> > >
> > >
> > > Di situ ada sesuatu yang menarik, yaitu bagaimana Hari Lasmono
> > mengekstrimkan situasi dengan menghadirkan contoh yang tak ada di
> > komunitas yang tengah berdebat soal marka berpakaian itu, yaitu
`Orang
> > Papua'. Apa salahnya orang Papua hingga ia perlu dihadirkan
sebagai
> > contoh yang perlu `dinormalkan' dalam masalah yang bukan urusan
> mereka?
> > > Saya sendiri ragu jika profesor Hari K Lasmono dengan kejernihan
> > etis `Cogito Ergo Sum'-nya, mau berinisiatif menggunakan koteka
jika
> > suatu ketika datang ke Papua. Tapi terlepas dari itu, cara
> > berargumentasi dengan menghadirkan contoh `Orang Papua' [yang
tentu
> > saja menjadi Yang-Lain dari Kami-Yang-Sama di UBAYA] adalah sebuah
> > penghadiran hirarki penampilan yang menempatkan Orang Papua pada
> > posisi Yang-Lain yang tak pantas menampilkan kelainannya di
hadapan
> `Aku'.
> > > Melalui contoh kasus di atas, kita akan mencoba memahami lebih
> > jauh bagaimana Yang-Sama tak memiliki keberanian untuk menyelami
> > Liyan. Dalam Kami-Yang-Sama, Aku tak mengenali Liyan dalam
> > singularitas sebagai Sari, Diaz, Regy, melainkan sebagai sesuatu
yang
> > telah Aku totalisasi dalam kesamaannya melalui stigma: Papua,
Muslim,
> > Kristen, Cina, dan lain-lain.
> > > Stigma menghalangi singularitas untuk meng-Ada bersama dalam
> > paradigma "Kita" karena dalam pengenalan berdasar stigma ada rasa
> > takut bersentuhan yang diawetkan dan diperbesar hingga mencapai
titik
> > implikasi untuk mengekslusi Yang-Lain dari "Kami" dengan cara
> > menjadikannya "Mereka". Yang terstigma lantas dianggap bukan orang
> > normal karena berbeda dari `Kami yang sama'. "Mereka" memang ada
di
> > antara "Kami", tetapi "Mereka" bukan "Kami" dan tak akan pernah
> > menjadi "Kita".
> > > Goffman menjelaskan "Seorang pribadi dengan sebuah stigma, tidak
> > sepenuhnya manusiawi. Dalam kondisi ini kita membuat banyak
> > diskriminasi untuk mengurangi peluang hidupnya secara efektif,
> > termasuk ketika kita tidak sengaja melakukan itu. Ketika kita
menyusun
> > sebuah teori tentang stigma, maka saat itu ada sebuah ideologi
yang
> > menjelaskan inferioritasnya dan yang membuktikan bahaya orang yang
> > distigmatisasi itu". Lalu, Yang-Terstigma akan dilecehkan di
jalan,
> > menjadi objek kebencian, dianggap sebagai sumber kesalahan dan
> > seterusnya. Di dalam stigma tidak hanya ditanamkan undangan untuk
> > menghina, tetapi juga phobia, karena yang terstigma dipersepsi
sebagai
> > ancamanii.
> > > Menyentuh Yang-Terstigma, bisa dianggap menodai kemurnian. Suara
> > mereka tidak hanya diabaikan dan dianggap non-sense, melainkan
juga
> > dipandang mengancam keutuhan kolektif. Tentu saja aliran-aliran
> > politis, haluan fundamentalisme agama, rasisme dan berbagai
kelompok
> > yang tak menghargai pluralitas, tahu persis bagaimana menggunakan
> > stigma untuk menjatuhkan orang atau kelompok tertentu. Stigma lalu
> > dapat menjelaskan mengapa manusia mampu membunuh sesamanya tanpa
rasa
> > salah, bahkan dengan rasa bangga dan ekstasis.
> > > Kita sering bicara pluralitas dengan mengedepankan hal-hal besar
> > dalam jargon seperti: `Bhinneka Tunggal Ika', `Bersatu kita teguh
> > bercerai kita runtuh', 'Dari Sabang sampai Merauke berjajar
> > pulau-pulau sambung menyambung menjadi satu itulah Indonesia' dan
> > sejenisnya. Namun, melalui contoh kasus yang saya angkat di atas,
> > tidakkah dalam sesuatu yang lebih sederhana dan keseharian
sebenarnya
> > banyak orang yang masih sulit memandang perbedaan yang merentang
dari
> > Sabang sampai Merauke? Bahkan tidakkah ironis ketika saya hadirkan
> > contoh yang justru terjadi di Fakultas yang mengajarkan
understanding
> > human being?
> > > Tidakkah di dalam kondisi ini kita perlu sebuah ruang di mana
kita
> > tahu sama tahu perbedaan tapi tetap bisa merasa sebagai sesama
warga?
> > > Tidakkah kita perlu mentransformasi psikologi yang understanding
> > human being agar tidak semena meletakkan human being pada posisi
under
> > dari titik di mana aku standing?
> > > Tidakkah pada situasi ini justru bukan understanding melainkan
> > interstanding human being?
> > >
> > >
> > >
> > > Bagaimana cermatan anda?
> > >
> > >
> > >
> > >
> > >
> > >
> > > iCATATAN-CATATAN
> > >
> > >
> > >  Hari K. Lasmono; (2005); RE: [alumni_psiubaya] Sharing
> > pengalaman; retrieved 10 November 2006 pukul 16.45 WIB; available
at:
> > http://groups.yahoo.com/group/alumni_psiubaya/message/646
> > >
> > > ii Frans Budi Hardiman; (2005); Memahami Negativitas—Diskursus
> > tentang Massa, Teror, dan Trauma; Jakarta: Kompas; hal. 12-13
> > >
> > >
> > >
> > >
> > >
> > >
> > >
> > >
> > > Tentang Penulis
> > > Audifax adalah penulis dan peneliti. Dua hasil penelitiannya
> > diterbitkan oleh penerbit Jalasutra, yaitu Mite Harry Potter
(2005,
> > Jalasutra) dan Imagining Lara Croft (2006, Jalasutra). Bukunya
yang
> > lain adalah Semiotika Tuhan (2007, Pinus Book Publisher).
> > >
> > >
> > > Pada April 2008 ini akan terbit buku Psikologi Tarot yang
> > ditulisnya bersama Leonardo Rimba. Buku ini akan diterbitkan oleh
> > Pinus Book Publisher.
> > >
> > >
> > > Saat ini Audifax menjabat research director di SMART Human
> > Re-Search & Psychological Development. Sebuah lembaga yang
memiliki
> > concern pada riset dan pengembangan psikologi yang mengajarkan
> > pluralitas sejak usia dini. Informasi lebih lanjut, hubungi: SMART
> > Human Re-Search & Psychological Development, Jl. Taman Gapura G-20
> > (kompleks G-Walk) Citraland – Surabaya. Telp. (031) 7410121, Fax
> > (031) 7452572, e-mail: smart.hrpd@
> > >
> > >
> > > Audifax mengundang anda untuk mendiskusikan esei ini di milis
> > Psikologi Transformatif. Jika anda memiliki concern terhadap tema
> > yang ada pada esei ini, mari bergabung dengan kita yang ada di
milis
> > Psikologi Transformatif
> > >
> > >
> > > Sekilas Mailing List Psikologi Transformatif
> > > Mailing List Psikologi Transformatif adalah ruang diskusi yang
> > didirikan oleh Audifax dan beberapa rekan yang dulunya tergabung
> > dalam Komunitas Psikologi Sosial Fakultas Psikologi Universitas
> > Surabaya. Saat ini milis ini telah berkembang sedemikian pesat
> > sehingga menjadi milis psikologi terbesar di Indonesia. Total
member
> > telah melebihi 2000, sehingga wacana-wacana yang didiskusikan di
> > milis inipun memiliki kekuatan diseminasi yang tak bisa dipandang
> > sebelah mata. Tak ada moderasi di milis ini dan anda bebas masuk
atau
> > keluar sekehendak anda. Arus posting sangat deras dan berbagai
wacana
> > muncul di sini. Seperti sebuah jargon terkenal di psikologi "Di
mana
> > ada manusia, di situ psikologi bisa diterapkan" di sinilah jargon
> > itu tak sekedar jargon melainkan menemukan konteksnya. Ada
berbagai
> > sudut pandang dalam membahas manusia, bahkan yang tak diajarkan di
> > Fakultas Psikologi Indonesia.
> > >
> > >
> > > Mailing List ini merupakan ajang berdiskusi bagi siapa saja yang
> > berminat mendalami psikologi. Mailing list ini dibuka sebagai
upaya
> > untuk mentransformasi pemahaman psikologi dari sifatnya selama ini
> > yang tekstual menuju ke sifat yang kontekstual. Anda tidak harus
> > berasal dari kalangan disiplin ilmu psikologi untuk bergabung
sebagai
> > member dalam mailing list ini. Mailing List ini merupakan tindak
> > lanjut dari simposium psikologi transformatif, melalui mailing
list
> > ini, diharapkan diskusi dan gagasan mengenai transformasi
psikologi
> > dapat terus dilanjutkan. Anggota yang telah terdaftar dalam milis
ini
> > antara lain adalah para pembicara dari simposium Psikologi
> > Transformatif : Edy Suhardono, Cahyo Suryanto, Herry Tjahjono,
Abdul
> > Malik, Oka Rusmini, Jangkung Karyantoro,. Beberapa rekan lain yang
> > aktif dalam milis ini adalah: Audifax, Leonardo Rimba, Nuruddin
> > Asyhadie, Mang Ucup, Goenardjoadi Goenawan, Ratih Ibrahim, Sinaga
> > Harez Posma, Prastowo, Prof Soehartono
> > > Taat Putra, Bagus Takwin, Amalia "Lia" Ramananda, Himawijaya,
Rudi
> > Murtomo, Felix Lengkong, Hudoyo Hupudio, Kartono Muhammad, Helga
> > Noviari, Ridwan Handoyo, Dewi Sartika, Jeni Sudarwati, FX Rudy
> > Gunawan, Arie Saptaji, Radityo Djajoeri, Tengku Muhammad Dhani
Iqbal,
> > Anwar Holid, Elisa Koorag, Lan Fang, Lulu Syahputri, Kidyoti,
> > Alexnader Gunawan, Priatna Ahmad, J. Sumardianta, Jusuf Sutanto,
> > Stephanie Iriana, Yunis Kartika dan masih banyak lagi
> > >
> > >
> > > Perhatian: Milis ini tak ada moderator yang mengatur keluar
masuk
> > member. Setiap member diharap bisa masuk atau keluar atas
keputusan
> > dan kemampuan sendiri.
> > >
> > >
> > > Jika anda berminat untuk bergabung dengan milis Psikologi
> > Transformatif, klik:
> > >
> > >
> > > www.groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif
> > >
> > >
> > >
> > > ---------------------------------
> > > Never miss a thing. Make Yahoo your homepage.
> > >
> >
>

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Find great recruits

for your company.

Y! Messenger

Instant smiles

Share photos while

you IM friends.

10 Day Club

on Yahoo! Groups

Share the benefits

of a high fiber diet.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar: