Senin, 26 November 2007

[psikologi_transformatif] Peranan IQ dalam MUSIK

Ini sebuah kado buat bu de Tih, mudah2an bisa membantu tugasnya
sebagai moderator dalam ceramah Djohan Salim, agar supaya ke-salah-
kaprah-annya tidak semakin ber-larut2 menyesatkan khalayak ramai,
bahkan lebih menyesatkan lagi ketimbang bukunya Don Campbell. Jika
bude Tih tidak bersedia mendengarkan, apalagi menuruti, nasihat, yah
terserah. Akibatnya nanti kan bude Tih dan Djohan Salaim yang malu
sendiri, jika berhadapan dengan pakar2 musik yang benar2 mengerti
musik. Kebenaran komentar dibawah ini silahkan di-check dengan
pakar musik siapa saja, juga bisa diverifikasi di Internet pakai
Google, atau bahkan bisa didengar lewat YouTube dan dari on-line
sample iklan2 penjualan CD.

Lantaran tidak ada harganya buat membeli bukunya Djohan Salim,
seperti halnya dengan komentar yang duluan (Erie Setiawan, Kompas 25
Maret 2007) komentar kali ini diambil dari sebuah ulasan dalam
majalah Tempo oleh Afthonul Afif yang bisa di-akses di:

http://www.ruangbaca.com/ruangbaca/?
doky=MjAwNw==&dokm=MDQ=&dokd=Mjk=&dig=YXJjaGl2ZXM=&on=VUxT&uniq=NDY5

Untuk jelasnya, artikel Tempo yang lengkap di reproduksi dibawah
komentar ini.

KOMENTAR:
Ulasan AA sama sekali tidak mangacu pada musiknya Mozart. melainkan
menjelaskan efek musik secara UMUM, bahkan semua jenis musik
termasuk musik pop(uler), Jazz, Rap, dan segala macam bunyi2an yang
paling primitif sekalipun. Musik Mozart memang benar memiliki ke-
unikan yang ada hubungannya dengan IQ, tetapi di-besar2kan oleh Don
Campbell dan luput dibahas, diperhatikan, ataupun diketahui oleh
Djohan Salim. Artinya, si pengulas (Afthonul Afif, Mahasiwa
Psikologi Klinis Sekolah Pascasarjana UGM Yogyakarta) tidak mengerti
musiknya Mozart (mengkali juga belon pernah mendenger). Lha kok
brani2nya kasi komentar? Tapi ya bisa dimaafkan deh, sebab si Afif
ini masih tingkat mahasiswa. Tapi jeleknya, kok dimuat di TEMPO
yang dibaca oleh khalayak ramai, hingga akibatnya masyarakat
Indonesia ikut tertipu, kebudayaannya tidak maju2, sebab semakin
tersesat salah-jalan dalam perkembangannya.

Misalnya, Afthonul Afif keliru besar bahwa musiknya Mozart dicirikan
dengan oleh *in nominee domini* (in the name of the Lord)
[persisnya `Benedictus qui venit in nominee Domini' (`Blessed is he
that comes in the name of the Lord') yakni salah satu aria dalam
oratorio Mozart yang terkenal, REQUIEM]. Ciri keagamaan demikian
barangkali boleh diberikan kepada Johann Sebastian Bach (tetapi
tidak kepada Antonio Vivaldi yang lebih penuh gairah hidup,
sekalipun sama2 jaman Barok), tetapi sama sekali jauh buat seorang
Mozart. Sebagai komponis dari jaman Pencerahan (Aufklaerung), musik
Mozart mengungkapkan KEINDAHAN DUNIA serta GAIRAH HIDUP dalam bentuk
yang paling murni, tanpa di ganggu, di nodai atau di warnai oleh
perasaan2 pribadi. Perasaan2 pribadi adalah ciri utama dari musik
ROMANTIK. Sedangkan musik dari jaman KLASIK (Mozart, Haydn, J.C.
Bach, Johann Heinichen, dsbnya) keindahannya universal, objektif,
spontan dan murni. Disini jelas komentar Afthonul Afif bahwa
*seharusnya yang menjadi efek Mozart sesungguhnya* adalah salah-
kaprah dan membuktikan bahwa Afthonul Afif tidak mengerti musik
Mozart. Salah-mengertinya dilanjutkan lagi dengan *gemuruh yang
menakutkan dari Don Giovanni*. Opera Don Giovanni (Don Juan) lebih
bersifat LUCU ketimbang *gemuruh menakutkan* (Afthonul Afif), hal
mana jelas dengan sendirinya dari katalogisasi oleh Mozart sendiri
sebagai *opera buffa* (opera lucu). Bahkan adegan terakhir, waktu
Don Giovanni diseret masuk kedalam bumi yang terbelah oleh patung
batu yang datang memenuhi undangan makan-malam oleh si Don Giovanni,
lebih bersifat lucu ketimbang dramatis, apalagi *menakutkan* (AA).
Juga komentar Afthonul Afif akan *gempita kebahagiaan* dalam opera
*The Magic Flute* (die Zauberflöte) meleset sama sekali, sebab
sekali lagi opera ini lebih bersifat menakjubkan (bezaubernd) dan
lucu (komische Oper). Dan kalo orang mo bilang ada adegan2 yang
*menakutkan*, maka opera ini mengandung lebih banyak aria2 dan
bagian2 musik yang demikian, seperti misalnya aria *Koenigin der
Nacht* (Queen of the Night) yang nadanya sangat *powerful* serta
memerlukan teknik vokal yang amat canggih (aria "Der Hölle Rache
kocht in meinem Herzen" = "The vengeance of Hell boils in my heart").

Ulasan AA tentang *keruwetan harmoni simfoninya* Mozart itu
menyesatkan, sebab terbalik seratus-delapan-puluh derajat! Boleh
dicheck dengan pakar musik siapapun juga, harmoni dalam musik
instrumental Mozart adalah yang paling sederhana, jernih dan
transparent, samasekali terbalik daripada *ruwet*. Justru berkat
kesederhanaan dan transparensi itulah maka musik Mozart bisa di-
asosiasi-kan dengan kemampuan melatih dan merangsang IQ ketaraf yang
lebih tinggi. Singkatnya, musik Mozart itu seperti musik kanak2
yang innocent; samasekali tidak ruwet, melainkan spontan dan
langsung. Contoh yang terbaik disini adalah *Eine Kleine
Nachtmusik* (musik malam kecil) yang digubah dalam struktur simfoni
(empat bagian: cepat-lambat-berirama-amat cepat). Jenis2 musik
sebelum maupun sesudah Mozart kurang mermenuhi kriteria asosiatif
ini. Musik Barok terlalu religius dan bersifat *stylish*, hingga
orang harus lebih dulu membiasakan diri dengan musik gaya Barok,
sebelum bisa mengerti dan menikmati musiknya Bach dan Vivaldi.
Demikian juga musik romantik (Beethoven dan komponis2 sesudahnya),
musiknya dicampuri oleh semrawutnya emosi2 pribadi yang kuat dan
amat beraneka ragam, hingga seringkali membikin bingung seorang
novice yang masih me-raba2. Musik modern (misalnya Richard Strauss
atu Shostakovich) lebih2 lagi tidak memenuhi kriteria, sebab buat
bisa menikmati keindahannya saja, orang yang IQ nya biasa2 saja
mesti banyak belajar dan banyak mendengarkan.

Unsur2 lain yang membuat musik klasik (bukan hanya Mozart) berkaitan
dengan IQ yang canggih terutama adalah komposisinya yang dinamis
(cepat-lambat), teknik permainan instrumen/vokal yang paling
canggih, pergantian tangga nada yang terus menerus, teknik2
komposisi yang canggih, seperti a.l. teknik fuga (2-3 tema yang
dimainkan ber-sama2 dan saling berkejar2an) dan teknik *counter
point* (2 tema yang saling kontras dimainkan sekaligus ber-sama2.
Setiap komponis adalah seorang master, yang karyanya demikian
sempurnanya hingga tidak mungkin di perbaiki atau ubah barang satu
not pun tanpa mengubah isinya. Satu2nya perkecualian disini adalah
komponis Chopin, yang memang ahli dalam teknik instrumental piano,
tetapi tidak begitu mahir dalam teknik orkestrasi: kedua konserto
pianonya yang kita dengar hari ini orkestrasinya telah diperbaiki
oleh rekannya.

Tapi se-sederhana2nya musik orkes, musik instrumen-tunggal tentunya
lebih spontan dan langsung. Mungkin oleh sebab itulah Don Campbell
mengambil contoh Sonata (piano) dalam D major, meskipun barangkali
Sonata dalam C major lebih gemilang (brilian) dan lebih spontan.
Jadi, memang bisa dimengerti bahwa Sonata2 piano dari Mozart adalah
yang paling tepat buah menggugah minat dan merangsang IQ anak2.
Yang pasti benar adalah, mendengarkan dan menikmati musik klasik
membutuhkan IQ yang tinggi.

Jadi, adalah keliru besar memberikan predikat *ruwet* pada musik
atau harmoni musiknya Mozart. Ruwet adalah simfoni2 Romantik,
misalnya Beethoven dan Brahms. Lebih ruwet lagi simfoni2 nya
Tschaikovsky dan komponis2 Romantik akhir, dan yang paling ruwet
adalah musik modern (Shostakovich, Strauss). Kalau yang dimaksud
oleh AA dengan *harmoni* adalah akkoord (chord, korda), maka AA juga
sekali lagi salah-kaprah. Harmoni atau korda2 yang digunakan oleh
Mozart adalah harmoni yang basic dan standard. Kejeniusan Mozart
bukan pada pemakaian tangga-nada/kunci, melainkan pada pergantian
tangga-nada. Ini pun bukan monopoli Mozart, melainkan ciri2 dari
SEMUA musik klasik (disini *klasik* sebagai istilah generic yang
mencakup seluruh jenis musik seni yang canggih, mulai dari Vivaldi
sampai dengan hari ini. Pergantian tangga-nada atau kunci ini
adalah salah satu unsur yang membuat musik klasik tidak mudah
difahami dan dinikmati oleh orang2 yang IQ nya rendah, karena mereka
pada umumnya cuma bisa mengerti *do-re-mi-fa-sol-la-si* saja. Musik
klasik TIDAK BISA dinyanyikan dengan *do-re-mi-fa-sol-la-si*,
melainkan selalu berganti2 tangga nada atau kunci, misalnya mulai
dalam G major, kemudian dalam tema yang berikutnya berubah menjadi
D major, kemudian berubah lagi menjadi D minor, F major, dan
demikian seterusnya. Contoh yang khas misalnya adalah aria
Cherubino *Voi Che Sapete* dari operanya Mozart *Le Nozze di Figaro*
(the Marriage of Figaro), yang berganti tangga nada hampir pada
setiap langkahnya. Pergantian tangga nada atau kunci ini adalah
salah satu ciri yang khas dari ke-jenius-annya para komponis musik
klasik (istilah klasik disini mencakup seluruh genre musik seni,
dari Vivaldi sampai musik kontemporer). Dinamika dalam tempo,
pergantian tangga nada, teknik komposisi yang canggih seperti fuga
dan *coiunter point*, serta teknik permainan instrument atau vokal
yang paling canggih, ini semua adalah unsur2 yang berkaitan dengan
IQ, karena pada umumnya hanya bisa ditanggapi, dipahami dan
dinikmati oleh otak2 yang memiliki daya analisa yang canggih, atau
dengan perkataan lain, punya IQ tinggi.

Musik Mozart memiliki keunikan lain, yaitu sebagai wakil dari jaman
Pencerahan (Enlightenment). Musiknya bersifat membebaskan pikiran
dan perasaaan manusia dari segala belenggu, termasuk belenggu
kefantikan agama dari jaman sebelumnya (musik Barok), maupun
belenggu kefanatikan emosi pribadi (musik Romantik) dari jaman
sesudahnya. Disini rupanya Don Campbell terutama di-ilhami oleh
pendapat umum di Eropa maupun Amerika, bahwa manusia2 yang IQ nya
canggih pada umumnya akan menggemari musik klasik (Hati2! sebaliknya
TIDAK benar, yaitu bahwa orang2 yang menggemari musik klasik itu IQ
nya tinggi). Dari pengamatan pribadi, baik di Indonesia, Eropa
maupun Amerika, orang2 yang punya IQ canggih pada umumnya akan
segera tertarik oleh musik klasik, sekalipun sebelumnya belum pernah
ter-ekspos (exposed) kepada musik jenis demikian. Oleh karena itu
maka Don Campbell mencoba mengkaitkannya dengan efek yang diduga
olehnya boleh jadi bisa meningkatkan IQ jabang bayi. Data2
statistiknya Don Campbell samasekali tidak ada artinya. Statistik
itu mudah sekali di selewengkan untuk membenarkan hasil riset
seseorang, apalagi dalam bidang Non-Sains (non IPA), yang umumnya
tidak memiliki landasan yang cukup dalam matematika statistik.

Tentang ke-universil-an musik Mozart, Afthonul Afif keblinger
sedangkan Djohan Salim lebih benar. Musik Mozart memang bersifat
universal, sebab keindahannya objektif, tidak memerlukan
interpretasi atau fantasi apa2 guna menikmati keindahan musiknya.
Ulasan AA tentang periodisasi musik Mozart yang ditarafkan sama
dengan Jazz dan Rock sudah saya bahas dalam tulisan sebelum ini,
yaitu Afthonul Afif telah melakukan BLUNDER yang fatal dan tidak
tertolong lagi. Pendapat ini boleh diverifikasi dengan Google
ataupun ahli musik yang punya kredibilitas. Kalau tidak sama, boleh
dirujuk kembali dimilis ini, nanti akan terbukti bahwa yang tidak
sama itu yang salah-kaprah. Bukti2 nya banyak sekali dan juga mudah
dicari didunia Internet. Sedangkan pendapat yang berlawanan,
silahkan cari buktinya, baik dalam Internet maupun buku, bisa
dipastikan pasti gagal. Sekalipun demikian, dua2 Afthonul Afif dan
Djohan Salim keblinger tak tertolong lagi, karena telah salah-
mengenali keunikan musik Mozart.

Ucapan Djohan Salim menyindir kecerobohan orang Indonesia yang
selalu menganggap produk pengetahuan apa pun yang dihasilkan oleh
bangsa Jerman seolah-olah tidak patut dipertanyakan, adalah pendapat
seekor katak-dibawah-tempurung, sebab salah-mengenali musik Eropa
sebagai standard musik dunia dan sebagai seni musik yang telah
dikembangkan beratus2 tahun lamanya secara konitnu dan tidak pernah
terputus (dari Vivaldi s/d hari ini). Sarannya untuk meneliti karya
empu musik Jawa: Martopangrawit, Ki Tjokrowasito, Narto Sabdo, atau
Ismail Marzuki, Amir Pasaribu, adalah *kegede rumongso* hingga
benar2 seperti katak-dibawah-tempurung yang tidak tahu diri.
Setiap pakar musik tentu maklum bahwa musik2 daerah itu tidak ada
apa2nya dibandingkan dengan musik *klasik*. Apalagi ulasan Djohan
Salim bahwa musik regional yang disebutkannya itu *tentu memiliki
keunggulan dan kecerdasan lokal yang jauh lebih realistis*, adalah
pendapat yang tekebur dan tidak-tahu-diri.

Kecorobohan? Bangsa Jerman? Jerman/Austria (=Austro-Hungarian
empire) memang adalah pusat kebudayaan dunia s/d abad ke-19! Bukan
saja seni musik, tetapi juga seni lukis dan cabang2 seni lainnya.
Di Eropa sampai hari ini orang baru bisa diakui sebagai seorang
intelek (cendekiawan), hanya dan hanya jika ia sanggup ikut bicara
dan mengemukakan pendapat yang berbobot (bukannya yang amburadul
kayak Djohan Salim) dalam diskusi2 (bebas maupun resmi) tentang
soal seni, terutama sekali seni musik. Seni musik (Eropa) adalah
yang satu2nya musik yang telah berkembang paling tinggi sedunia
(secara kontinu mulai dari tahun 1700 sampai dengan hari ini),
lagipula bersifat universal, hingga dengan mudah meng-absorbsi dan
meng-integrasi musik bangsa2 lain dengan hati yang lapang dan tangan
terbuka, sudah barang tentu asal nilai seninya cukup tinggi. Musik
instrumentalnya bisa difahami dan dinikmati oleh seluruh bangsa2
didunia (sudah tentu ada syarat IQ), terlepas dari kebidayaan lokal
maupun bahasa. Contoh yang paling jelas adalah, opera paling bagus
untuk dinikmati dalam bahasa aslinya, sebab secara tidak sadar sang
komponis telah mengintegrasikan lafal (bunyi khas) dari bahasanya
kedalam musiknya. Misalnya, opera2 Italia akan berkurang banyak
keindahannya maupun ekspresi perasaannya jika dinyanyikan dalam
bahasa Inggris. Demikian juga opera Perancis dan operetta Jerman
akan kehilangan paling sedikit separo dari keindahannya jika
dinyanyikan dalam bahasa lain. Oleh karena itu opera hampir selalu
disajikan dalam bahasa aslinya, sekalipun sebagian besar para
penonton tidak mengerti. Terjemahan libretto nya bisa dibaca
sebagai text dibelakang kursi dihadapan masing2 penonton.

Dewasa ini musik internasional tidak hanya diwakili oleh Jerman,
tetapi juga Perancis, Eropa Timur (yang disebut dengan istilah
Bohemia), Rusia, Amerika Selatan, dan sejak baru2 ini juga Tiongkok,
yang telah membebaskan diri dari tangganada tradisionil yang
pentatonis. Musik Asia, termasuk musik Jawa, adalah musik eksotik
yang pentatonis (lima nada), kekurangan dua nada dibandingkan
tangganada diatonis, sama juga seperti musik tradisionil Tiongkok
dan Jepang. Karena kekurangan dua nada, akibatnya kurang bisa
mengekspresi perasaan/emosi manusia secara lengkap, atau ekspresinya
menjadi aneh dan tidak wajar (eksotik). Kecuali itu juga otomatis
tidak memungkinkan perubahan tangga nada dengan menggunakan cross
dan flat (kunci C major, G-major (satu cross), F-major (satu flat)
dsbnya. Tangganada diatonis masih diperluas lagi dengan tangganada
MINOR, yang nada dasarnya adalah LA, bukannya DO. Sejak Vivaldi,
musik klasik sudah biasa (bahkan harus! demi keindahan) menggunakan
perpindahan tangga nada, juga dari Major ke Minor, dan sebaliknya,
secara plastis dan kontinu. Bakat seorang komponis ditetapkan
antara lain (syarat mutlak) oleh kesanggupannya berpindah2 tangga
nada secara wajar dan plastis. Ke-jenius-annya Mozart terulang lagi
pada komponis modern Richard Strauss, dikembangkan menjadi suatu
*aliran* tangganada yang kontinu (dengarkan misalnya The Four Last
Songs), yang kemudian diteruskan dengan musik a-tonal (bebas tangga
nada, bukannya 7 nada diatonis, tetapi seluruh 12 nada kromatis
digunakan secara sama rata dan sama tingkat), contohnya Arnold
Schoenberg dan hampir semua komponis2 modern dan kontemporer (bukan
Jazz dan Rock nya si Afthonul). Aneka ragam ini tidak mungkin
eksis dalam musik Jawa, atau musik Tiongkok/Jepang yang tradisionil,
hingga para pemusik nasional yang sadar akan kekurangan atau
kelemahan ini pasti berusaha memperbaikinya, seperti yang telah
terjadi dengan Tiongkok modern (misalnya beberapa dari komponis2
maupun soloist2 Tiongkok dewasa ini mulai terkenal di Eropa dan
Amerika).

Sebaliknya, jika orang keras kepala seperti Djohan Salim dan tidak
mau kalah (padahal kalah jauh tidak kira2), yah akibatnya akan
semakin terpuruk dan terpencil saja dari pergaulan masyarakat
dunia. Apresiasi musik barat ini samasekali tidak berarti harus
memandang rendah musik rakyat bangsa sendiri. Seperti haknya dengan
musik tradisonil Tiongkok dan Opera Peking, musik Jawa dan Bali
memiliki keindahannya sendiri. Juga musik Kroncong dan musik Dangdut
(dua2nya diatonis) memiliki nilai artistik yang cukup canggih, yaitu
sebagai musik rakyat, disini bisa dibandingkan dengan musik Gypsy,
yang telah menjadi inspirasi bagi banyak sekali komponis2 Eropa.
Jelas disini, yang perlu adalah perkembangan musik dengan hati yang
terbuka tanpa prasangka, bukannya dengan keras kepala yang Chauvinis.

KESIMPULAN:
Djohan Salim maksudnya mau meluruskan khalayak ramai dari bukunya
Don Campbell. Nggak taunya, lantaran ilmunya (atau IQ nya) masih
terlalu rendah, Djohan Salim salah-kaprah, menyesatkan khalayak
ramai, lebih menyesatkan lagi ketimbang bukunya Don Campbell.

Memang betul, mendengarkan musik klasik TIDAK membuat orang/bayi
menjadi lebih intelligent. IQ orang adalah pembawaan atau bakat,
tidak gampang2 bisa dipertinggi dengan musik therapy macam apapun
juga.

Tetapi kemampuan mengerti dan menikmati musik klasik sedikit banyak
menunjukkan taraf IQ si pendengar, menjadi semacam IQ TEST.

Pendapat ini adalah pendapat umum di Eropa, baik Eropa Timur maupun
Barat, termasuk Rusia dan negara2 Kaukasia.

Bahkan di Amerika, yang justru wadahnya musik pop berasal dan
berkembang, sebagian besar dari masyarakat (yang ber-IQ tinggi
tentunya) juga berpendapat demikian, hal mana bisa dibaca dari
pendapat2 para pembaca dibawah ini:

http://answers.yahoo.com/question/index?qid=20070925025945AAav9oI
QUESTION: Does classical music makes you intelligent? why?

RDENIG_M: No, I don't think it does. But, and dare I say this, only
those who are more intelligent to begin with listen to classical
music. I'm not saying that anybody who doesn't listen is not
intelligent, but that it does take a certain amount of intelligence
to begin to comprehend classical music.

NASATIAN: To understand classical music you already have to be
intelligent

MALCOLM D: No, it does not make you more intelligent. If that were
the case we could use it to upgrade people. However, if you examine
the classical music audience, I think you would find an IQ above
average. It simply attracts more intelligent people. So the question
is really backwards.

Ruang Baca TEMPO Edisi 29 April 2007
Ulasan bukunya Djohan Salim yang berjudul *Matinya Efek Mozart*,
edisi I, 2007, oleh Afthonul Afif (AA), Mahasiwa Psikologi Klinis
Sekolah Pascasarjana UGM Yogyakarta

Meskipun secara empiris efek Mozart tidak sebombastis promosi produk-
produknya, bukan berarti musik Mozart tidak bermanfaat sama sekali
bagi kehidupan manusia. Sebagaimana jenis musik lainnya, pengaruh
musik Mozart pada dasarnya lebih bersifat afektif, yaitu mampu
memicu timbulnya perasaan senang, gembira, tenang, dan nyaman.
Namun, musik juga dapat mengaduk-aduk perasaan manusia menjadi kian
tak menentu, sehingga muncul perasaan cemas, sedih, dan takut.
Apakah respon musik itu kemudian menimbulkan efek yang menyenangkan
atau menyedihkan, hal itu tergantung banyak faktor: kepribadian,
kondisi, memori, persepsi ruang-waktu, dan sebagainya.

Sekali lagi, karya besar musik Mozart sama sekali tidak berkaitan
dengan hal menjadi cerdas, atau mendatangkan kekuatan. Musiknya
berbicara tentang bagaimana menjadi manusia dan hidup, seperti salah
satu lirik dalam musiknya, in nominee domini. Itu seharusnya yang
menjadi efek Mozart sesungguhnya. Impresi seni dalam musik Mozart
sangat bagus, gemuruh yang menakutkan dari Don Giovanni, gempita
kebahagiaan The Magic Flute, keruwetan harmoni simfoninya, dan
akhirnya yang transenden Ave Verum Corpus, La Clemenza di Tito, dan
Requiem--di mana semua ini seolah hilang oleh seorang penulis buku
bernama Don Campbell (hlm. 128).

Satu hal menarik yang dikemukakan penulis buku ini adalah anggapan
yang mengatakan bahwa musik Mozart itu seolah-olah bersifat
universal. Padahal, sebuah karya musik--apa pun bentuknya, akan
selalu tertawan oleh keterbatasan-keterbatasan faktor sosio-historis
tertentu. Dan hal ini sebenarnya ditunjukkan melalui adanya
periodesasi dalam perkembangan musik dunia. Musik Mozart
dikategorikan sebagai musik klasik abad ke-18, yang berbeda
bentuknya dengan musik Jazz atau pun Rock misalnya, yang berkembang
pada abad ke-20.

Penulis juga menyindir kecerobohan kita yang selalu menganggap
produk pengetahuan apa pun yang dihasilkan oleh bangsa Jerman seolah-
olah tidak patut dipertanyakan. Mengapa kita tidak meneliti karya
empu musik Jawa: Martopangrawit, Ki Tjokrowasito, Narto Sabdo, atau
Ismail Marzuki, Amir Pasaribu misalnya, yang tentu memiliki
keunggulan dan kecerdasan lokal yang jauh lebih realistis. Jikalau
hasil penelitian dan analisis musiknya secara pedagogis, sosiologis,
antropologis, dan psikologis terbukti bermanfaat, mungkin akan jauh
lebih tepat bila digunakan oleh orang Indonesia daripada bersikeras
menggunakan musik Barat yang tidak semua anak bangsa ini
berkesempatan mengapresiasinya dengan baik dan benar.

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

new professional

network from Yahoo!.

Y! Messenger

Quick file sharing

Send up to 1GB of

files in an IM.

Yahoo! Groups

Real Food Group

Share recipes

and favorite meals.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar: