Selasa, 27 November 2007

Re: [psikologi_transformatif] Re: PSYCHÉ, EROS DAN PSIKOLOGI TRANSFORMATIF

ah pak goennnnnnnnnnnnnnnnn.............
saya kalau deket2 kambing, bawaannya pingin manggil tukang sate....
*sate kambing kim tek itu = enak benerrrrrrrrrrr*

 
On 11/27/07, goenardjoadi <goenardjoadi@yahoo.com> wrote:


Kalau saya mencoba untuk memahami maksud dari Audifax dan
Swastinika, masing-masing memiliki point yang benar. Swastinika
sendiri sebagai sesama Muslim sangat terganggu dengan pemahaman Bung
Hendrik yang sangat bersemangat untuk menyerang gama lain, dan orang
lain yang beda agamanya.

namun kalau saya coba mengerti Audifax, kadang-kadang sosok Hendrik
ini ada pada EGO kita, kadang kita baca tulisan yang sudah bener,
dari Swastika, Fankuang Tzu atau Audifax, kita cenderung NGEYEL,
cenderung berkata SALAH. inilah sosok Hendrik dalam diri kita
semua, yang walaupun mau dimarahi, dikuliahi, dimoderatori, sosok
Hendrik dalam hati kita amsing-masing itu ada.

Orang pintar seperti Fankuang Tzu, Swastinika dan Audifax saja bisa
eyel-eyelan gara-gara Hendrik.

saya usul, bagaimana menyikapi sosok hendrik dalam hati kita masing-
masing:

1. sosok tersebut akan selalu ada, makanya kita memiliki nafsu, jadi
harus kita terima

2. tidak mungkin kita marah, atau mengusir sosok tersebut, karena
itu merupakan bagian dari tubuh kita (masak mau potong tangan
sendiri).

3. nah, oleh karena itu kita harus mengerti bahwa di dunia ini
memang penuh dengan sosok hendrik, yang ngeyel, menyerang, tegang
terus (hanya laki-laki yang bisa tegang). biarkan sosok itu kita
ayomi, kita temani, kita simpan anggaplah kambing di samping kita.

salam,
Goenardjoadi Goenawan
--- In psikologi_transformatif@yahoogroups.com, "goenardjoadi"
<goenardjoadi@...> wrote:
>
> Pendapat Swastinika ini benar,
>
> Buat bung Hendrik Bakrie, mohon maaf, sebagai sesama Muslim saya
> malu dengan pernyataan2 yang Anda tuliskan di milis ini. IMHO,
> dengan pernyataan2 Anda yang kasar, Anda justru menempatkan Islam
> dan Muslim pada posisi yang lebih sulit. Alih2 orang akan
> mendengarkan Anda dan memikirkan argumen Anda, yang ada orang
malah
> antipati terhadap cara Anda yang kurang simpatik dan blame it all
to
> Islam. Itukah yang Anda mau? Jangan lupa, kewajiban Anda sebagai
> muslim adalah berjihad. Dan berjihad bukan berarti
> berperang/berkelahi, melainkan membela prinsip (baca: membela
Islam,
> bukannya malah bikin Islam dimusuhi ;))
>
> Buat MODERATOR, hmm.. saya tahu Anda menganut paham kebebasan
> diskusi, sehingga tidak mau menyetop diskusi. Tapi.. mungkin Anda
> juga harus ingat bahwa kebebasan bukan berarti tidak ada batasnya
> sama sekali. Ada saat2nya dimana Anda harus menjalankan fungsi
> moderasi dengan menghentikan diskusi yang sudah melebar kemana2.
> Dengan membebaskan diskusi, Anda memang memuaskan pihak yg ngotot
> gak mau berhenti, tapi.. bagaimana dengan kenyamanan orang2 yang
> ingin membaca debat sehat, bukan debat kusir? Mereka juga member
> milis ini, mereka juga berhak mendapatkan kenyamanan di milis,
> mereka juga berhak mendapatkan milis yg bersih dari junk post.
>
> Kalau saya mencoba untuk memahami maksud dari Audifax dan
> Swastinika, masing-masing memiliki point yang benar. Swastinika
> sendiri sebagai sesama Muslim sangat terganggu dengan pemahaman
Bung
> Hendrik yang sangat bersemangat untuk menyerang gama lain, dan
orang
> lain yang beda agamanya.
>
> namun kalau saya coba mengerti Audifax, kadang-kadang sosok
Hendrik
> ini ada pada EGO kita, kadang kita baca tulisan yang sudah bener,
> dari Swastika, Fankuang Tzu atau Audifax, kita cenderung NGEYEL,
> cenderung berkata SALAH. inilah sosok Hendrik dalam diri kita
> semua, yang walaupun mau dimarahi, dikuliahi, dimoderatori, sosok
> Hendrik dalam hati kita amsing-masing itu ada.
>
> Orang pintar seperti Fankuang Tzu, Swastinika dan Audifax saja
bisa
> eyel-eyelan gara-gara Hendrik.
>
> saya usul, bagaimana menyikapi sosok hendrik dalam hati kita
masing-
> masing:
>
> 1. sosok tersebut akan selalu ada, makanya kita memiliki nafsu,
jadi
> harus kita terima
>
> 2. tidak mungkin kita marah, atau mengusir sosok tersebut, karena
> itu merupakan bagian dari tubuh kita (masak mau potong tangan
> sendiri).
>
> 3. nah, oleh karena itu kita harus mengerti bahwa di dunia ini
> memang penuh dengan sosok hendrik, yang ngeyel, menyerang, tegang
> terus (hanya laki-laki yang bisa tegang). biarkan sosok itu kita
> ayomi, kita temani, kita simpan anggaplah kambing di samping kita.
>
>
> salam,
> Goenardjoadi Goenawan
>
>
> --- In psikologi_transformatif@yahoogroups.com, audifax -
> <audivacx@> wrote:
> >
> > Saya tak akan membedakan apakah penting banget atau tidak apa
yang
> anda katakan "Cuma pingin saja". Karena di sinipun saya tetap
punya
> kemungkinan untuk belajar apa itu Psyche. Nah, karena alasan saya
> mau belajar itulah maka saya tanggapi dengan sebagian besar
berupa
> pertanyaan.
> >
> > Swastinika:
> > Yang namanya belajar biasanya dibagi dua: teori dan praktek.
> Kalau udah ngerti teorinya, lantas praktek. Mengamati fenomena
> adalah sebuah praktek. Lha, kalau sekumpulan orang di milis ini
gak
> ngerti teorinya, lantas dilepas disuruh mengobservasi fenomena, ke
> arah mana berkembangnya? Bisa2 makin jauh dari esensinya.
> >
> > Audifax:
> > Sebelum menjawab argumen anda yang salah satunya
> mengatakan: "Lha, kalau sekumpulan orang di milis ini gak ngerti
> teorinya". Bisakah anda menjelaskan dulu:
> >
> > Berdasarkan parameter apa atau darimana anda bisa
> mengatakan "orang-orangtersebut gak ngerti teorinya".
> > Teori yang mana yang anda maksudkan untuk mengerti?
> > Darimana anda bisa mengambil kesimpulan "lantas dilepas
disuruh
> mengobservasi fenomena? Pertama yakinkah anda bahwa memang ada
yang
> menyuruh atau melepas? Kedua yakinkah anda bahwa dari tulisan saya
> itu memang saya menganjurkan "MENGOBSERVASI"? Anda paham apa itu
> observasi? Paham observasi itu selalu merupakan pengamatan
berjarak?
> Nah, sekali lagi silahkan anda menjelaskan.
> > Pada bagian di mana anda katakan: "Bisa-bisa makin jauh dari
> esensinya". Sebelum bicara jauh atau dekat, bisakah anda jelaskan
> dulu apa, bagaimana, di mana yang namanya esensi itu?
> >
> >
> >
> >
> > Swastinika:
> > Psike memang selalu berkembang. Tapi.. sebuah perkembangan pun
> harus diamati dan diperbaiki di sana-sini. Ibarat menanam pohon
> merambat, harus selalu diarahkan ke tempat yg tepat supaya nggak
> kemana2. Kalau dibiarkan, bisa jadi tanaman liar dong ;).
> >
> > Audifax:
> > Oh ya..?
> > Pertama; anda yakin analogi psike dengan "pohon merambat yang
> bisa jadi tanaman liar" itu tepat? Bisakah anda kemukakan argumen
> ketepatannya?
> >
> > Kedua; anda menulis "harus selalu diarahkan ke tempat yang
tepat
> supaya enggak kemana2". Pertanyaannya: Diarahkan kemana? Jika
> diarahkan dan tidak bisa kemana-mana, apakah kemudian bisa
dikatakan
> berkembang? Apa argumen anda?
> >
> >
> >
> > Swastinika:
> > Anda mencontohkan moderasi seperti psiindonesia, yang bisa nge-
> banned orang out-of-topic. Padahal, yang namanya moderasi nggak
> perlu seperti itu. Anda bisa mengembangkan gaya moderasi sendiri,
> menetapkan batas2 yg berbeda, menetapkan koridor pembicaraan yg
> lebih luas.
> >
> > Setahu saya, tidak ada yang benar2 tekstual dalam aspek
> kehidupan manusia. Semua kontekstual. Demikian juga dengan
> moderasi.. ;) Tidak ada all-or-none dalam moderasi. Kontekstual ;)
> Bukankah psike selalu berkembang, eh?
> >
> > Audifax:
> > Seperti pernah saya jelaskan, moderasi hanya dilakukan pada
> kasus-kasus yang pernah terjadi seperti: memposting promo sama
> berturut-turut, bahkan hingga 7 sampai 9 kali dengan maksud supaya
> postingannya terbaca. Orang-orang ini sudah dimoderasi. Lalu
pernah
> ada kasus yang memasukkan alamat milis ini pada sejumlah milis
> tempat dorward gambar porno, sehingga sejumlah fwd gbr porno
sempat
> masuk ke e-mail member, itupun sudah dimoderasi.
> >
> >
> >
> >
> > Swastinika:
> > Sayang sekali, Anda membuat tulisan yang bagus tentang psike
> yang senantiasa berkembang. Namun Anda justru melupakan esensinya:
> gaya moderasi, seperti psike, pun selalu berkembang. Ketika Anda
> menerima kritik dari Kintil, Wolikertajiwa, dan Mulyono Jalil (dan
> apakah perlu saya tambahkan: swastinika ;)?), Anda lantas
melupakan
> dalil Anda sendiri tentang sesuatu yang berkembang. Anda
melihatnya
> menjadi sesuatu yang hitam-putih, all or none, tanpa kemungkinan
> lain ;)
> >
> > Audifax:
> > Justru andalah yang patut disayangkan. Anda memposting kritik,
> usulan, tanggapan tapi tidak ada yang jelas maksudnya apa dari
term-
> term yang anda gunakan seperti: "kenyamanan
> bersama", "diarahkan", "bukankah psike selalu berubah", "gaya
> moderasi" dan kali ini anda mengatakan saya melihat sesuatu secara
> hitam-putih, sementara jelas yang anda inginkan adalah saya
> memoderasi Yang-Hitam: yaitu posting-posting macam hendrik bakrie
> dan meloloskan Yang-Putih, yang tak membicarakan agama, terutama
> mungkin agama anda.
> >
> > Lalu, yang ingin saya tanyakan berkaitan dengan kalimat anda:
> Anda melihatnya menjadi sesuatu yang hitam-putih, all or none,
tanpa
> kemungkinan lain ;). Kenapa anda tidak mencoba terlebih dulu untuk
> menerima "kemungkinan lain" dari cara orang membaca agama anda?
> Bisakah anda menerima cara membaca agama anda dalam kemungkinan
lain
> seperti dilakukan hendrik bakrie atau charlie?
> >
> > Apakah pembacaan yang dilakukan hendrik ataupun charlie
terhadap
> agama anda bukan pula suatu kemungkinan? Apakah yang bisa
> dikatakan "kemungkinan" hanyalah cara pembacaan seperti anda
> jelaskan panjang lebar denga kutipan-kutipan ayat itu? Jika anda
> jawab YA, saya mau tanya lagi: lantas apakah memang yang seperti
itu
> masih bisa dibilang kemungkinan?
> >
> >
> >
> >
> >
> > swastinika <swastinika@> wrote: Saya merasa ingin
> menanggapi statement [salah satu] moderator ini ;) Cuma pingin
aja,
> penting sih enggak kali yeee.. ;)
> > --- In psikologi_transformatif@yahoogroups.com , audifax -
> <audivacx@> wrote:
> > > PSIKOLOGI [YANG] TRANSFORMATIF [DAN MILISNYA]
> > > Saya merasa perlu membuat tulisan mengenai Psyché ini, salah
> satunya karena posting dari Wolikertajiwa, Mulyono Jalil dan
Kintil
> yang memberi usulan mengenai perlunya moderasi di milis Psikologi
> Transformatif. Woli misalnya mengatakan bahwa milis ini perlu
> dimoderasi agar `hanya' berbicara tentang perilaku, mental,
pikiran,
> perasaan, jiwa, dan yang sejenisnya; yang mungkin dipahaminya
> sebagai apa itu `Psikologi'.
> > > Melalui tulisan ini, yang saya awali dengan penjelasan
> mengenai `Psyché', saya mau mengatakan bahwa mereka yang mau
belajar
> apa itu `psikologi' justru mesti melihat dan melibati apa yang ada
> di milis Psikologi Transformatif dengan segala fenomenanya.
Termasuk
> fenomena eyel-eyelan agama, eyel-eyelan meditasi, fenomena Vincent
> Liong, fenomena Hendrik Bakrie, Kompatiologi, Meditasi, hingga
yang
> teoritis-impor macam Appreciative Inquiry, dan jangan kaget, di
> waktu mendatang mungkin akan muncul lagi ragam fenomena yang lain.
> Inilah kenyataan dari apa itu Psike-psike. Milis Psikologi
> Transformatif bukan milis yang orang-orangnya [misalnya] bicara
> tentang anak [yang dilabelnya] indigo tetapi ketika anak [yang
> dilabel] indigo itu betul-betul hadir di tengah-tengah mereka
dengan
> segala pemikiran dan tindak-tanduknya, [bahkan hadir sebagai
> mahasiswa psikologi] malah justru di-banning dan dianggap `tidak
> normal' atau `tidak mengikuti NORMA yang me-NORMAL-kan sebuah
milis
> psikologi.
> > >
> > > Lantas apa saya di sini mau menyalahkan milis psikologi yang
> memoderasi milisnya dan mencegah orang-orang yang tak normal
menjadi
> anggotanya? Oh. Sama sekali tidak. Saya Cuma mau tunjukan pada
teman-
> teman di milis Psikologi Transformatif atau siapapun yang
kebetulan
> membaca tulisan ini, bahwa dalam sebuah "Siaran Langsung
> Pertandingan Sepakbola" ada beda antara pemain sepakbola yang
> bermain dalam pertandingan itu dan komentator sepakbola.
Komentator
> sepakbola, belum tentu orang yang bisa bermain sepakbola, kadang
> mereka adalah selebriti, wartawan, tokoh politik, anak mantan
> presiden, atau bahkan mungkin orang-orang yang pegang bola saja
> tidak pernah. Itupun kemudian mereka mengomentari pertandingan
> sepakbola yang disiarkan langsung, melalui `studio' yang jaraknya
> bisa ratusan atau ribuan kilometer dari tenpat pertandingan
> sesungguhnya. Tetapi, pemain sepakbola jelas adalah mereka yang
> menghadapi dan melibati bola itu dalam permainan. Merasakan malu,
> sakit hati, bangga,
> > > cemas, tegang, lelah dalam permainan itu. Nah, menjadi pemain
> sepakbola itulah yang ditawarkan di milis Psikologi Transformatif.
> > >
> > > Itu pula sebabnya milis ini dinamakan "Psikologi
Transformatif",
> karena memang `psike' itu akan selalu bertransformasi. Kenapa?
> Karena ia kontekstual, bukan tekstual.
> > Hmm.. jadi melalui tulisan panjang ini, Audivax menampik
> usulan/permintaan teman2 agar milis dimoderasi ;)? Dengan alasan
> bahwa semua yang mau belajar psikologi harus mau melihat fenomena,
> termasuk eyel2an? Dan analoginya adalah komentator sepakbola yang
> BUKAN pemain sepakbola?
> > Hehehe.. sekedar mengingatkan saja. Dalam tayangan Piala Dunia
> lalu, publik rame2 minta Mbak Titiek Soeharto dilengserkan dari
> posisi komentator sepakbola. Salah satu alasannya: nama pemain
> sekelas David Beckham aja belepotan, kebalik2 nama negaranya ;).
> Well.. komentator memang bukan bagian penting dari sebuah
> pertandingan sepakbola. Salah ngomongnya komentator cuma bikin
> kuping kita gatel, nggak bikin keputusan salah.
> > Tapi.. pernahkah Anda bayangkan, jika si Tole yang nggak
ngerti
> sepakbola lantas mendengarkan Mbak Titiek yang juga nggak ngerti
> sepakbola menjadi komentator? Bisa2 si Tole salah mengerti mana yg
> disebut corner kick mana yg disebut goal kick, kapan dapat corner
> kick kapan dapat lemparan ke dalam.
> > Yang namanya belajar biasanya dibagi dua: teori dan praktek.
> Kalau udah ngerti teorinya, lantas praktek. Mengamati fenomena
> adalah sebuah praktek. Lha, kalau sekumpulan orang di milis ini
gak
> ngerti teorinya, lantas dilepas disuruh mengobservasi fenomena, ke
> arah mana berkembangnya? Bisa2 makin jauh dari esensinya.
> > Psike memang selalu berkembang. Tapi.. sebuah perkembangan pun
> harus diamati dan diperbaiki di sana-sini. Ibarat menanam pohon
> merambat, harus selalu diarahkan ke tempat yg tepat supaya nggak
> kemana2. Kalau dibiarkan, bisa jadi tanaman liar dong ;).
> > Anda mencontohkan moderasi seperti psiindonesia, yang bisa nge-
> banned orang out-of-topic. Padahal, yang namanya moderasi nggak
> perlu seperti itu. Anda bisa mengembangkan gaya moderasi sendiri,
> menetapkan batas2 yg berbeda, menetapkan koridor pembicaraan yg
> lebih luas.
> > Setahu saya, tidak ada yang benar2 tekstual dalam aspek
> kehidupan manusia. Semua kontekstual. Demikian juga dengan
> moderasi.. ;) Tidak ada all-or-none dalam moderasi. Kontekstual ;)
> Bukankah psike selalu berkembang, eh?
> > Sayang sekali, Anda membuat tulisan yang bagus tentang psike
> yang senantiasa berkembang. Namun Anda justru melupakan esensinya:
> gaya moderasi, seperti psike, pun selalu berkembang. Ketika Anda
> menerima kritik dari Kintil, Wolikertajiwa, dan Mulyono Jalil (dan
> apakah perlu saya tambahkan: swastinika ;)?), Anda lantas
melupakan
> dalil Anda sendiri tentang sesuatu yang berkembang. Anda
melihatnya
> menjadi sesuatu yang hitam-putih, all or none, tanpa kemungkinan
> lain ;)
> >
> >
> >
> >
> >
> > ---------------------------------
> > Everyone is raving about the all-new Yahoo! Mail beta.
> >
>


__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Be a career mentor

for undergrads.

Parenting Zone

Your home for

parenting information

on Yahoo! Groups.

Y! Messenger

Instant smiles

Share photos while

you IM friends.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar: