Sabtu, 15 Maret 2008

Re: Bls: [psikologi_transformatif] INTERSTANDING HUMAN BEING (Jusuf Sutanto)

Maka itu kita perlu selalu mempersoalkan kembali hal-hal seperti ini.
Socrates pernah mengatakan, Hidup yang sudah tak dipersoalkan, adalah hidup yang tak layak dijalani. (Seperti juga hidup yang tak dijalani juga tak layak untuk dipersoalkan).
 
Jadi ketika saya memposting tema ini dan kita mendiskusikannya, fokusnya bukan apakah hal itu bakal terhapus sepenuhnya dari Indonsia atau dari psikologi. Tapi lebih pada bagaimana orang masih bisa melihat dan mempersoalkan hal-hal seperti itu.
 
Saya percaya ketika masih ada orang yang bisa melihat dan mempersoalkan hal-hal seperti ini, tidak mengamini seperti terjadi di milis yang kutipannya saya forward (mengamini karena yang ngomong profesor alias guru besar satu-satunya), maka peluang untuk memahami pluralitas masih ada.
 
 
 
Salam
 
 
Audifax
 
 


Jusuf Sutanto <jusuf_sw@yahoo.co.id> wrote:
Apakah ilmu psikologi akan membawa manfaat atau mudharat bagi manusia ?
Kasus yang dimunculkan artificial !
Skenarionya mengajak membahas sebuah fatamorgana ekstrem, yang tidak akan pernah terjadi dalam keseharian spt orang memaksa pakai koteka ketika bertamu dan orang yang muluk ketika diajak makan, dan diharapkan bisa merubah pandangan ke-kami-an yang tidak mampu menghargai perbedaan dengan model dekonstruksi, sebagai cara satu-satunya untuk memperkenalkan perlunya pluralisme.
Mind setnya seperti sebuah sepatu yang minta dipakai oleh obyek dengan kaki yang berbeda-beda :
kalau kakinya kebesaran, supaya obyek mau menserut kakinya ; kalau kekecilan supaya diganjel !
Lalu hasilnya ibarat orang yang tidak sabar menunggu ulat keluar dari kepompong menjadi kupu-kupu, dan meniupnya sehingga akhirnya akan lahir kupu-kupu yang sayapnya cacat !
Pemahaman pluralisme yang dihasilkan dengan proses ini akan jauh berbeda dengan konsep Anthropocosmic worldview yang melihat perbedaan sebagai saling melengkapi.

Kalau ini yang disebut psikologi, maka orang akan ragu-ragu menggunakan jasa konsultasinya :
alih-alih mendapatkan clear understanding mengenai masalah yang dihadapinya, malahan membuat semakin keruh, karena client direduksi untuk membenarkan sebuah teori.

Mengenai hal ini, Zen master Seng Tsan (606) menulis syair singkat sbb. :
" When you see everything through your personal bias,
Your view of reality is clouded ;
Truth simply as it is, but the clouded mind cannot grasp it "

Kasus ini membuat jelas latar belakang mengapa Zen semakin mendapatkan tempat dalam pendidikan psikologi !

Salam,
Jusuf Sutanto

----- Pesan Asli ----
Dari: audifax - <audivacx@yahoo.com>
Kepada: psikologi transformatif <psikologi_transformatif@yahoogroups.com>; Komunitas Labsos <r-mania@yahoogroups.com>
Terkirim: Minggu, 9 Maret, 2008 15:35:40
Topik: [psikologi_transformatif] INTERSTANDING HUMAN BEING

Interstanding Human Being


Oleh:
Audifax
Staf Peneliti di SMART Human Re-Search & Psychological Development


Stigma adalah penyederhanaan terhadap proses pengenalan terus-menerus terhadap Liyan (Yang-Lain). Proses itu disederhanakan ke dalam suatu finalitas definisi. Kebaruan yang terus-menerus dari Liyan bukan diapresiasi sebagai keindahan melainkan ancaman yang harus dihentikan. Hambatan dinamika persentuhan sosial terjadi lewat stigma. Ketika kita mencoba mengenal Orang-Lain [Liyan] dengan pertama-tama mengategorikan sebagai anggota kelompok dengan stigma, seperti: Muslim, Kristen. Keturunan Cina, Bonek dan sebagainya, maka seperti dianalisis oleh Elias Canetti, selalu ada rasa takut untuk bersentuhan [Berührungsangst] yang mewarnai setiap fase pengenalan.
Sebelum saya bicara lebih jauh, ada sebuah contoh kasus menarik yang saya ambil dari sebuah milis alumni milik sebuah Fakultas Psikologi ternama di Surabaya. Bermula dari perdebatan yang saya rasa banyak terjadi di sejumlah fakultas dengan disiplin tertentu, yaitu soal marka berpakaian [menggunakan krah, bersepatu dan sejenisnya] lalu muncul sebuah argumen menarik dari Hari K. Lasmono, satu-satunya profesor di Fakultas Psikologi tersebut. Bagi saya, perdebatan tentang marka berpakaian itu hal yang biasa, tetapi cara Sang Profesor mengargumentasikan pentingnya berpakaian menggunakan krah dan sepatu bisa kita jadikan renungan lebih jauh untuk kita membahas mengenai keterbukaan terhadap pluralitas atau keterbukaan terhadap Yang-Lain. Simak pernyataan beliau (bold saya lakukan pada bagian penting):
Ruuuuaaar biasa, ini baru buah pendapat yang segar dan akomodatif, dan sangat bijak!!!!!!! ! Apalagi keluar dari pikiran-pikiran yang masih muda belia! Bravooooo! Saluuuuut setinggi-tingginya kepada kaum muda tetapi berpikiran bijak dan tidak larut dan hanyut dengan pendapat yang sok hueeebat, sok paling tahu memaknai ekspresi cara berpakaian orang, sok pejuang HAM, apalagi mengandung fitnah seolah-olah ada aturan di UBAYA yang mengaitkan intelektualitas atau kualitas seseorang atau apalah namanya dengan cara berpakaian dan bersepatu. Saya cari-cari di peraturan-peraturan UBAYA sampai berlama-lama, koq nggak menemukan ada pimpinan UBAYA yang mengait-ngaitkan kedua masalah itu, lhaaa koq ada pendapat yang menuduh begitu? Apa itu bukan tergolong fitnah?????? Saya sebenarnya pengen tanya pada "pakar kemanusiaan ---entah siapa yang berkualifikasi atau merasa begitu:

01.kalau ada sdr kita dari Papua sekolah di Fapsi lalu pengan pakai pakaian adatnya dengan koteka dan yang perempuan no-bra, apa ya kita biarkan????? ??? Apa tidak kita ajak untuk sementara memakai busana seperti yang lain selama di UBAYA, kemudian kalau kembali mengabdi di daerahnya baru memakai pakaian adatnya kembali?????

02. Bila kita diundang makan bersama seorang sahabat yang menyediakan sendok dan garpu, pada hal kita biasa muluk (menyuap makanan ke mulut dengan telapak tangan) di rumah, apa kita ya demonstratif memaksa muluk di rumah sahabat itu? Demikian sebaliknya, kita diundang keluarga yang tak pernah memakai sendok, apa kita menuntut sendok dan garpu yang tak dimiliki keluarga tersebut karena kita "tak biasa" makan dengan muluk??????? ????etc.etc.

Masalahnya sebenarnya sederhana saja (seperti telah diungkapkan teman-teman muda di bawah): "menghormati tuan/nyonya rumah" Apa sesulit itukah????? Apa ilmu psikologi mengajarkan: Harus selalu berani menentang? Harus menunjukkan kebebasan ekspresi diri dengan segala cara???? Rasanya koq tidak. Tentu ada saja nanti yang bertanya: kalau tamu diminta menghormati aturan tuan rumah, kenapa tuan rumah tidak menghormati tamu, yang pakai koteka keq, yang pamer pusar keq, yang pakai sandal keq, yang pamer lutut keq, yang pamer ini , pamr itu, pokoknya yang pamer ke-aku-annya itu, itu 'kan hak asasinya, apa kaitannya dengan ilmu, apa kaitannya dengan nilai-nilai kemanusiaan, yang penting kan batinnya, pakaian sejelek apapun yang penting 'kan hatinya yang putih bersih? Apa pakaian rapi berdasi menjamin hati yang bersih, buktinya para penjahat, para koruptor berpakaian bersih tetapi hatinya justru busuk dsb dsb dsb.

Kita tunggu aja, pasti akan hujan makian, olok-olok, sindiran en sebagainya. Demi FPsi dan UBAYA tercinta (karena aturan itu bukan dari dekanat tetapi dari UBAYA) saya rela koq dihujani "sampah" pendapat-pendapat yang (sok) pinter-pinter dan sok menggurui itu.

Maaf adik-adik bijak, agak ngalor ngidul, en saya belum mampu mewarisi kebijakan dan kematangan sikap dan kata-kata kalian, maklum, udah pikun, hehehe.i


Di situ ada sesuatu yang menarik, yaitu bagaimana Hari Lasmono mengekstrimkan situasi dengan menghadirkan contoh yang tak ada di komunitas yang tengah berdebat soal marka berpakaian itu, yaitu ‘Orang Papua’. Apa salahnya orang Papua hingga ia perlu dihadirkan sebagai contoh yang perlu ‘dinormalkan’ dalam masalah yang bukan urusan mereka?
Saya sendiri ragu jika profesor Hari K Lasmono dengan kejernihan etis ‘Cogito Ergo Sum’-nya, mau berinisiatif menggunakan koteka jika suatu ketika datang ke Papua. Tapi terlepas dari itu, cara berargumentasi dengan menghadirkan contoh ‘Orang Papua’ [yang tentu saja menjadi Yang-Lain dari Kami-Yang-Sama di UBAYA] adalah sebuah penghadiran hirarki penampilan yang menempatkan Orang Papua pada posisi Yang-Lain yang tak pantas menampilkan kelainannya di hadapan ‘Aku’.
Melalui contoh kasus di atas, kita akan mencoba memahami lebih jauh bagaimana Yang-Sama tak memiliki keberanian untuk menyelami Liyan. Dalam Kami-Yang-Sama, Aku tak mengenali Liyan dalam singularitas sebagai Sari, Diaz, Regy, melainkan sebagai sesuatu yang telah Aku totalisasi dalam kesamaannya melalui stigma: Papua, Muslim, Kristen, Cina, dan lain-lain.
Stigma menghalangi singularitas untuk meng-Ada bersama dalam paradigma “Kita” karena dalam pengenalan berdasar stigma ada rasa takut bersentuhan yang diawetkan dan diperbesar hingga mencapai titik implikasi untuk mengekslusi Yang-Lain dari “Kami” dengan cara menjadikannya “Mereka”. Yang terstigma lantas dianggap bukan orang normal karena berbeda dari ‘Kami yang sama’. “Mereka” memang ada di antara “Kami”, tetapi “Mereka” bukan “Kami” dan tak akan pernah menjadi “Kita”.
Goffman menjelaskan “Seorang pribadi dengan sebuah stigma, tidak sepenuhnya manusiawi. Dalam kondisi ini kita membuat banyak diskriminasi untuk mengurangi peluang hidupnya secara efektif, termasuk ketika kita tidak sengaja melakukan itu. Ketika kita menyusun sebuah teori tentang stigma, maka saat itu ada sebuah ideologi yang menjelaskan inferioritasnya dan yang membuktikan bahaya orang yang distigmatisasi itu”. Lalu, Yang-Terstigma akan dilecehkan di jalan, menjadi objek kebencian, dianggap sebagai sumber kesalahan dan seterusnya. Di dalam stigma tidak hanya ditanamkan undangan untuk menghina, tetapi juga phobia, karena yang terstigma dipersepsi sebagai ancamanii.
Menyentuh Yang-Terstigma, bisa dianggap menodai kemurnian. Suara mereka tidak hanya diabaikan dan dianggap non-sense, melainkan juga dipandang mengancam keutuhan kolektif. Tentu saja aliran-aliran politis, haluan fundamentalisme agama, rasisme dan berbagai kelompok yang tak menghargai pluralitas, tahu persis bagaimana menggunakan stigma untuk menjatuhkan orang atau kelompok tertentu. Stigma lalu dapat menjelaskan mengapa manusia mampu membunuh sesamanya tanpa rasa salah, bahkan dengan rasa bangga dan ekstasis.
Kita sering bicara pluralitas dengan mengedepankan hal-hal besar dalam jargon seperti: ‘Bhinneka Tunggal Ika’, ‘Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh’, ’Dari Sabang sampai Merauke berjajar pulau-pulau sambung menyambung menjadi satu itulah Indonesia’ dan sejenisnya. Namun, melalui contoh kasus yang saya angkat di atas, tidakkah dalam sesuatu yang lebih sederhana dan keseharian sebenarnya banyak orang yang masih sulit memandang perbedaan yang merentang dari Sabang sampai Merauke? Bahkan tidakkah ironis ketika saya hadirkan contoh yang justru terjadi di Fakultas yang mengajarkan understanding human being?
Tidakkah di dalam kondisi ini kita perlu sebuah ruang di mana kita tahu sama tahu perbedaan tapi tetap bisa merasa sebagai sesama warga?
Tidakkah kita perlu mentransformasi psikologi yang understanding human being agar tidak semena meletakkan human being pada posisi under dari titik di mana aku standing?
Tidakkah pada situasi ini justru bukan understanding melainkan interstanding human being?


Bagaimana cermatan anda?




iCATATAN-CATATAN

Hari K. Lasmono; (2005); RE: [alumni_psiubaya] Sharing pengalaman; retrieved 10 November 2006 pukul 16.45 WIB; available at: http://groups. yahoo.com/ group/alumni_ psiubaya/ message/646
ii Frans Budi Hardiman; (2005); Memahami Negativitasâ€"Diskursu s tentang Massa, Teror, dan Trauma; Jakarta: Kompas; hal. 12-13




Tentang Penulis
Audifax adalah penulis dan peneliti. Dua hasil penelitiannya diterbitkan oleh penerbit Jalasutra, yaitu Mite Harry Potter (2005, Jalasutra) dan Imagining Lara Croft (2006, Jalasutra). Bukunya yang lain adalah Semiotika Tuhan (2007, Pinus Book Publisher).

Pada April 2008 ini akan terbit buku Psikologi Tarot yang ditulisnya bersama Leonardo Rimba. Buku ini akan diterbitkan oleh Pinus Book Publisher.

Saat ini Audifax menjabat research director di SMART Human Re-Search & Psychological Development. Sebuah lembaga yang memiliki concern pada riset dan pengembangan psikologi yang mengajarkan pluralitas sejak usia dini. Informasi lebih lanjut, hubungi: SMART Human Re-Search & Psychological Development, Jl. Taman Gapura G-20 (kompleks G-Walk) Citraland â€" Surabaya. Telp. (031) 7410121, Fax (031) 7452572, e-mail: smart.hrpd@gmail. com

Audifax mengundang anda untuk mendiskusikan esei ini di milis Psikologi Transformatif. Jika anda memiliki concern terhadap tema yang ada pada esei ini, mari bergabung dengan kita yang ada di milis Psikologi Transformatif

Sekilas Mailing List Psikologi Transformatif
Mailing List Psikologi Transformatif adalah ruang diskusi yang didirikan oleh Audifax dan beberapa rekan yang dulunya tergabung dalam Komunitas Psikologi Sosial Fakultas Psikologi Universitas Surabaya. Saat ini milis ini telah berkembang sedemikian pesat sehingga menjadi milis psikologi terbesar di Indonesia. Total member telah melebihi 2000, sehingga wacana-wacana yang didiskusikan di milis inipun memiliki kekuatan diseminasi yang tak bisa dipandang sebelah mata. Tak ada moderasi di milis ini dan anda bebas masuk atau keluar sekehendak anda. Arus posting sangat deras dan berbagai wacana muncul di sini. Seperti sebuah jargon terkenal di psikologi ”Di mana ada manusia, di situ psikologi bisa diterapkan” di sinilah jargon itu tak sekedar jargon melainkan menemukan konteksnya. Ada berbagai sudut pandang dalam membahas manusia, bahkan yang tak diajarkan di Fakultas Psikologi Indonesia.

Mailing List ini merupakan ajang berdiskusi bagi siapa saja yang berminat mendalami psikologi. Mailing list ini dibuka sebagai upaya untuk mentransformasi pemahaman psikologi dari sifatnya selama ini yang tekstual menuju ke sifat yang kontekstual. Anda tidak harus berasal dari kalangan disiplin ilmu psikologi untuk bergabung sebagai member dalam mailing list ini. Mailing List ini merupakan tindak lanjut dari simposium psikologi transformatif, melalui mailing list ini, diharapkan diskusi dan gagasan mengenai transformasi psikologi dapat terus dilanjutkan. Anggota yang telah terdaftar dalam milis ini antara lain adalah para pembicara dari simposium Psikologi Transformatif : Edy Suhardono, Cahyo Suryanto, Herry Tjahjono, Abdul Malik, Oka Rusmini, Jangkung Karyantoro,. Beberapa rekan lain yang aktif dalam milis ini adalah: Audifax, Leonardo Rimba, Nuruddin Asyhadie, Mang Ucup, Goenardjoadi Goenawan, Ratih Ibrahim, Sinaga Harez Posma, Prastowo, Prof Soehartono Taat Putra, Bagus Takwin, Amalia “Lia” Ramananda, Himawijaya, Rudi Murtomo, Felix Lengkong, Hudoyo Hupudio, Kartono Muhammad, Helga Noviari, Ridwan Handoyo, Dewi Sartika, Jeni Sudarwati, FX Rudy Gunawan, Arie Saptaji, Radityo Djajoeri, Tengku Muhammad Dhani Iqbal, Anwar Holid, Elisa Koorag, Lan Fang, Lulu Syahputri, Kidyoti, Alexnader Gunawan, Priatna Ahmad, J. Sumardianta, Jusuf Sutanto, Stephanie Iriana, Yunis Kartika dan masih banyak lagi

Perhatian: Milis ini tak ada moderator yang mengatur keluar masuk member. Setiap member diharap bisa masuk atau keluar atas keputusan dan kemampuan sendiri.

Jika anda berminat untuk bergabung dengan milis Psikologi Transformatif, klik:


Never miss a thing. Make Yahoo your homepage.



Bergabunglah dengan orang-orang yang berwawasan, di bidang Anda di Yahoo! Answers


Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

new professional

network from Yahoo!.

Special K Group

on Yahoo! Groups

Join the challenge

and lose weight.

All-Bran

10 Day Challenge

Join the club and

feel the benefits.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar: