Sabtu, 15 Maret 2008

Re: [psikologi_transformatif] Re: INTERSTANDING HUMAN BEING

Hormon membebek....hehehe..iso ae
 
Ada kutipan menarik dari Batman 'The Dark Knight'. Diucapkan oleh Joker:
 
"Saya percaya apapun yang tak bisa membunuhmu, itu akan membuatmu menjadi yang asing"
 


tuhantu_hantuhan <tuhantu_hantuhan@yahoo.com> wrote:
Saya fikir, cikal-bakal stigma dan labelling itu, disebabkan cara kerja otak manusia itu sendiri. Kadar besar kecilnya kecendrungan labeling, stigma, dsb disebabkan oleh struktur *hormon* tertentu, dimana hormon ini banyak terdapat dalam otak komunitas para bebek... :-)
Stigma, tidak hanya diproduksi oleh ideologi tertentu, dan tidak terbentuk begitu saja. Serta bisa terjadi diberbagai sudut kehidupan kita.
Misalkan dalam kadar *ringan* ( cikal-bakal stigma-labelling) sebagai contoh: Sekelompok A (katakanlah kelompok A ini citizen jurnalist) memberi label kepada sekelompok B (let say, kelompok blogger) sebagai *narsis*.  Apakah blog yg sejak awal memang difungsikan sebagai *diary* lalu karena kemudian banyak orang menuliskan pengalaman-feeling-observasi pribadinya lalu -minjam term dari Audi- disederhanakan sebagai *narsis*? Tanpa menjelaskan secara detail, apa dan dimana batas yg fixed antara kebebasan mengekspressikan diri secara *sehat*, dengan yh *tidak sehat*? Ada sohib Psikolog yg bisa jelaskan point-point baku tentang hal ini?
Pelabelan *narsis* ini terjadi tentu karena kelompok A mengukur segala sesuatu berdasarkan *standard*-nya sendiri (dalam hal ini standard profesi dan/atau background akademiknya).  So, dalam dunia maya-pun kalau kita tidak hati-hati, kita bisa dengan mudah menciptakan -some kind of- new model of facism...
Be fun
TuHanTu
 
 

--- In psikologi_transformatif@yahoogroups.com, "Merkurius Adhi Purwono" <adhi_p@...> wrote:
>
> Good...
>
> Manteb Bro Audifax...! Tulisan anda kali ini sangatlah jelas. Memang
> banyak sekali secara kolektif, simbol-simbol yang bisa dijadikan bahan
> sebagai stigma. Kita hidup di masyarakat Indonesia ini sepertinya
> telah terberi sangkar-sangkar stigma.
>
> Pengawasan (dari) masyarakat melekat...begitulah saya mengistilahkannya.
>
> Salam,
> Adhi Purwono.
>
> --- In psikologi_transformatif@yahoogroups.com, audifax -
> audivacx@ wrote:
> >
> > Interstanding Human Being
> >
> >
> >
> >
> > Oleh:
> > Audifax
> > Staf Peneliti di SMART Human Re-Search & Psychological Development
> >
> >
> >
> >
> > Stigma adalah penyederhanaan terhadap proses pengenalan
> terus-menerus terhadap Liyan (Yang-Lain). Proses itu disederhanakan
> ke dalam suatu finalitas definisi. Kebaruan yang terus-menerus dari
> Liyan bukan diapresiasi sebagai keindahan melainkan ancaman yang harus
> dihentikan. Hambatan dinamika persentuhan sosial terjadi lewat stigma.
> Ketika kita mencoba mengenal Orang-Lain [Liyan] dengan pertama-tama
> mengategorikan sebagai anggota kelompok dengan stigma, seperti:
> Muslim, Kristen. Keturunan Cina, Bonek dan sebagainya, maka seperti
> dianalisis oleh Elias Canetti, selalu ada rasa takut untuk bersentuhan
> [Berührungsangst] yang mewarnai setiap fase pengenalan.
> > Sebelum saya bicara lebih jauh, ada sebuah contoh kasus menarik
> yang saya ambil dari sebuah milis alumni milik sebuah Fakultas
> Psikologi ternama di Surabaya. Bermula dari perdebatan yang saya rasa
> banyak terjadi di sejumlah fakultas dengan disiplin tertentu, yaitu
> soal marka berpakaian [menggunakan krah, bersepatu dan sejenisnya]
> lalu muncul sebuah argumen menarik dari Hari K. Lasmono, satu-satunya
> profesor di Fakultas Psikologi tersebut. Bagi saya, perdebatan tentang
> marka berpakaian itu hal yang biasa, tetapi cara Sang Profesor
> mengargumentasikan pentingnya berpakaian menggunakan krah dan sepatu
> bisa kita jadikan renungan lebih jauh untuk kita membahas mengenai
> keterbukaan terhadap pluralitas atau keterbukaan terhadap Yang-Lain.
> Simak pernyataan beliau (bold saya lakukan pada bagian penting):
> > Ruuuuaaar biasa, ini baru buah pendapat yang segar dan akomodatif,
> dan sangat bijak!!!!!!!! Apalagi keluar dari pikiran-pikiran yang
> masih muda belia! Bravooooo! Saluuuuut setinggi-tingginya kepada kaum
> muda tetapi berpikiran bijak dan tidak larut dan hanyut dengan
> pendapat yang sok hueeebat, sok paling tahu memaknai ekspresi cara
> berpakaian orang, sok pejuang HAM, apalagi mengandung fitnah
> seolah-olah ada aturan di UBAYA yang mengaitkan intelektualitas atau
> kualitas seseorang atau apalah namanya dengan cara berpakaian dan
> bersepatu. Saya cari-cari di peraturan-peraturan UBAYA sampai
> berlama-lama, koq nggak menemukan ada pimpinan UBAYA yang
> mengait-ngaitkan kedua masalah itu, lhaaa koq ada pendapat yang
> menuduh begitu? Apa itu bukan tergolong fitnah?????? Saya sebenarnya
> pengen tanya pada "pakar kemanusiaan ---entah siapa yang
> berkualifikasi atau merasa begitu:
> >
> >
> > 01.kalau ada sdr kita dari Papua sekolah di Fapsi lalu pengan
> pakai pakaian adatnya dengan koteka dan yang perempuan no-bra, apa ya
> kita biarkan???????? Apa tidak kita ajak untuk sementara memakai
> busana seperti yang lain selama di UBAYA, kemudian kalau kembali
> mengabdi di daerahnya baru memakai pakaian adatnya kembali?????
> >
> >
> > 02. Bila kita diundang makan bersama seorang sahabat yang
> menyediakan sendok dan garpu, pada hal kita biasa muluk (menyuap
> makanan ke mulut dengan telapak tangan) di rumah, apa kita ya
> demonstratif memaksa muluk di rumah sahabat itu? Demikian sebaliknya,
> kita diundang keluarga yang tak pernah memakai sendok, apa kita
> menuntut sendok dan garpu yang tak dimiliki keluarga tersebut karena
> kita "tak biasa" makan dengan muluk???????????etc.etc.
> >
> >
> > Masalahnya sebenarnya sederhana saja (seperti telah diungkapkan
> teman-teman muda di bawah): "menghormati tuan/nyonya rumah" Apa
> sesulit itukah????? Apa ilmu psikologi mengajarkan: Harus selalu
> berani menentang? Harus menunjukkan kebebasan ekspresi diri dengan
> segala cara???? Rasanya koq tidak. Tentu ada saja nanti yang bertanya:
> kalau tamu diminta menghormati aturan tuan rumah, kenapa tuan rumah
> tidak menghormati tamu, yang pakai koteka keq, yang pamer pusar keq,
> yang pakai sandal keq, yang pamer lutut keq, yang pamer ini , pamr
> itu, pokoknya yang pamer ke-aku-annya itu, itu 'kan hak asasinya, apa
> kaitannya dengan ilmu, apa kaitannya dengan nilai-nilai kemanusiaan,
> yang penting kan batinnya, pakaian sejelek apapun yang penting 'kan
> hatinya yang putih bersih? Apa pakaian rapi berdasi menjamin hati yang
> bersih, buktinya para penjahat, para koruptor berpakaian bersih tetapi
> hatinya justru busuk dsb dsb dsb.
> >
> >
> > Kita tunggu aja, pasti akan hujan makian, olok-olok, sindiran en
> sebagainya. Demi FPsi dan UBAYA tercinta (karena aturan itu bukan dari
> dekanat tetapi dari UBAYA) saya rela koq dihujani "sampah"
> pendapat-pendapat yang (sok) pinter-pinter dan sok menggurui itu.
> >
> >
> > Maaf adik-adik bijak, agak ngalor ngidul, en saya belum mampu
> mewarisi kebijakan dan kematangan sikap dan kata-kata kalian, maklum,
> udah pikun, hehehe.i
> >
> >
> >
> > Di situ ada sesuatu yang menarik, yaitu bagaimana Hari Lasmono
> mengekstrimkan situasi dengan menghadirkan contoh yang tak ada di
> komunitas yang tengah berdebat soal marka berpakaian itu, yaitu `Orang
> Papua'. Apa salahnya orang Papua hingga ia perlu dihadirkan sebagai
> contoh yang perlu `dinormalkan' dalam masalah yang bukan urusan mereka?
> > Saya sendiri ragu jika profesor Hari K Lasmono dengan kejernihan
> etis `Cogito Ergo Sum'-nya, mau berinisiatif menggunakan koteka jika
> suatu ketika datang ke Papua. Tapi terlepas dari itu, cara
> berargumentasi dengan menghadirkan contoh `Orang Papua' [yang tentu
> saja menjadi Yang-Lain dari Kami-Yang-Sama di UBAYA] adalah sebuah
> penghadiran hirarki penampilan yang menempatkan Orang Papua pada
> posisi Yang-Lain yang tak pantas menampilkan kelainannya di hadapan `Aku'.
> > Melalui contoh kasus di atas, kita akan mencoba memahami lebih
> jauh bagaimana Yang-Sama tak memiliki keberanian untuk menyelami
> Liyan. Dalam Kami-Yang-Sama, Aku tak mengenali Liyan dalam
> singularitas sebagai Sari, Diaz, Regy, melainkan sebagai sesuatu yang
> telah Aku totalisasi dalam kesamaannya melalui stigma: Papua, Muslim,
> Kristen, Cina, dan lain-lain.
> > Stigma menghalangi singularitas untuk meng-Ada bersama dalam
> paradigma "Kita" karena dalam pengenalan berdasar stigma ada rasa
> takut bersentuhan yang diawetkan dan diperbesar hingga mencapai titik
> implikasi untuk mengekslusi Yang-Lain dari "Kami" dengan cara
> menjadikannya "Mereka". Yang terstigma lantas dianggap bukan orang
> normal karena berbeda dari `Kami yang sama'. "Mereka" memang ada di
> antara "Kami", tetapi "Mereka" bukan "Kami" dan tak akan pernah
> menjadi "Kita".
> > Goffman menjelaskan "Seorang pribadi dengan sebuah stigma, tidak
> sepenuhnya manusiawi. Dalam kondisi ini kita membuat banyak
> diskriminasi untuk mengurangi peluang hidupnya secara efektif,
> termasuk ketika kita tidak sengaja melakukan itu. Ketika kita menyusun
> sebuah teori tentang stigma, maka saat itu ada sebuah ideologi yang
> menjelaskan inferioritasnya dan yang membuktikan bahaya orang yang
> distigmatisasi itu". Lalu, Yang-Terstigma akan dilecehkan di jalan,
> menjadi objek kebencian, dianggap sebagai sumber kesalahan dan
> seterusnya. Di dalam stigma tidak hanya ditanamkan undangan untuk
> menghina, tetapi juga phobia, karena yang terstigma dipersepsi sebagai
> ancamanii.
> > Menyentuh Yang-Terstigma, bisa dianggap menodai kemurnian. Suara
> mereka tidak hanya diabaikan dan dianggap non-sense, melainkan juga
> dipandang mengancam keutuhan kolektif. Tentu saja aliran-aliran
> politis, haluan fundamentalisme agama, rasisme dan berbagai kelompok
> yang tak menghargai pluralitas, tahu persis bagaimana menggunakan
> stigma untuk menjatuhkan orang atau kelompok tertentu. Stigma lalu
> dapat menjelaskan mengapa manusia mampu membunuh sesamanya tanpa rasa
> salah, bahkan dengan rasa bangga dan ekstasis.
> > Kita sering bicara pluralitas dengan mengedepankan hal-hal besar
> dalam jargon seperti: `Bhinneka Tunggal Ika', `Bersatu kita teguh
> bercerai kita runtuh', 'Dari Sabang sampai Merauke berjajar
> pulau-pulau sambung menyambung menjadi satu itulah Indonesia' dan
> sejenisnya. Namun, melalui contoh kasus yang saya angkat di atas,
> tidakkah dalam sesuatu yang lebih sederhana dan keseharian sebenarnya
> banyak orang yang masih sulit memandang perbedaan yang merentang dari
> Sabang sampai Merauke? Bahkan tidakkah ironis ketika saya hadirkan
> contoh yang justru terjadi di Fakultas yang mengajarkan understanding
> human being?
> > Tidakkah di dalam kondisi ini kita perlu sebuah ruang di mana kita
> tahu sama tahu perbedaan tapi tetap bisa merasa sebagai sesama warga?
> > Tidakkah kita perlu mentransformasi psikologi yang understanding
> human being agar tidak semena meletakkan human being pada posisi under
> dari titik di mana aku standing?
> > Tidakkah pada situasi ini justru bukan understanding melainkan
> interstanding human being?
> >
> >
> >
> > Bagaimana cermatan anda?
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> > iCATATAN-CATATAN
> >
> >
> >  Hari K. Lasmono; (2005); RE: [alumni_psiubaya] Sharing
> pengalaman; retrieved 10 November 2006 pukul 16.45 WIB; available at:
> http://groups.yahoo.com/group/alumni_psiubaya/message/646
> >
> > ii Frans Budi Hardiman; (2005); Memahami Negativitas—Diskursus
> tentang Massa, Teror, dan Trauma; Jakarta: Kompas; hal. 12-13
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> > Tentang Penulis
> > Audifax adalah penulis dan peneliti. Dua hasil penelitiannya
> diterbitkan oleh penerbit Jalasutra, yaitu Mite Harry Potter (2005,
> Jalasutra) dan Imagining Lara Croft (2006, Jalasutra). Bukunya yang
> lain adalah Semiotika Tuhan (2007, Pinus Book Publisher).
> >
> >
> > Pada April 2008 ini akan terbit buku Psikologi Tarot yang
> ditulisnya bersama Leonardo Rimba. Buku ini akan diterbitkan oleh
> Pinus Book Publisher.
> >
> >
> > Saat ini Audifax menjabat research director di SMART Human
> Re-Search & Psychological Development. Sebuah lembaga yang memiliki
> concern pada riset dan pengembangan psikologi yang mengajarkan
> pluralitas sejak usia dini. Informasi lebih lanjut, hubungi: SMART
> Human Re-Search & Psychological Development, Jl. Taman Gapura G-20
> (kompleks G-Walk) Citraland – Surabaya. Telp. (031) 7410121, Fax
> (031) 7452572, e-mail: smart.hrpd@
> >
> >
> > Audifax mengundang anda untuk mendiskusikan esei ini di milis
> Psikologi Transformatif. Jika anda memiliki concern terhadap tema
> yang ada pada esei ini, mari bergabung dengan kita yang ada di milis
> Psikologi Transformatif
> >
> >
> > Sekilas Mailing List Psikologi Transformatif
> > Mailing List Psikologi Transformatif adalah ruang diskusi yang
> didirikan oleh Audifax dan beberapa rekan yang dulunya tergabung
> dalam Komunitas Psikologi Sosial Fakultas Psikologi Universitas
> Surabaya. Saat ini milis ini telah berkembang sedemikian pesat
> sehingga menjadi milis psikologi terbesar di Indonesia. Total member
> telah melebihi 2000, sehingga wacana-wacana yang didiskusikan di
> milis inipun memiliki kekuatan diseminasi yang tak bisa dipandang
> sebelah mata. Tak ada moderasi di milis ini dan anda bebas masuk atau
> keluar sekehendak anda. Arus posting sangat deras dan berbagai wacana
> muncul di sini. Seperti sebuah jargon terkenal di psikologi "Di mana
> ada manusia, di situ psikologi bisa diterapkan" di sinilah jargon
> itu tak sekedar jargon melainkan menemukan konteksnya. Ada berbagai
> sudut pandang dalam membahas manusia, bahkan yang tak diajarkan di
> Fakultas Psikologi Indonesia.
> >
> >
> > Mailing List ini merupakan ajang berdiskusi bagi siapa saja yang
> berminat mendalami psikologi. Mailing list ini dibuka sebagai upaya
> untuk mentransformasi pemahaman psikologi dari sifatnya selama ini
> yang tekstual menuju ke sifat yang kontekstual. Anda tidak harus
> berasal dari kalangan disiplin ilmu psikologi untuk bergabung sebagai
> member dalam mailing list ini. Mailing List ini merupakan tindak
> lanjut dari simposium psikologi transformatif, melalui mailing list
> ini, diharapkan diskusi dan gagasan mengenai transformasi psikologi
> dapat terus dilanjutkan. Anggota yang telah terdaftar dalam milis ini
> antara lain adalah para pembicara dari simposium Psikologi
> Transformatif : Edy Suhardono, Cahyo Suryanto, Herry Tjahjono, Abdul
> Malik, Oka Rusmini, Jangkung Karyantoro,. Beberapa rekan lain yang
> aktif dalam milis ini adalah: Audifax, Leonardo Rimba, Nuruddin
> Asyhadie, Mang Ucup, Goenardjoadi Goenawan, Ratih Ibrahim, Sinaga
> Harez Posma, Prastowo, Prof Soehartono
> > Taat Putra, Bagus Takwin, Amalia "Lia" Ramananda, Himawijaya, Rudi
> Murtomo, Felix Lengkong, Hudoyo Hupudio, Kartono Muhammad, Helga
> Noviari, Ridwan Handoyo, Dewi Sartika, Jeni Sudarwati, FX Rudy
> Gunawan, Arie Saptaji, Radityo Djajoeri, Tengku Muhammad Dhani Iqbal,
> Anwar Holid, Elisa Koorag, Lan Fang, Lulu Syahputri, Kidyoti,
> Alexnader Gunawan, Priatna Ahmad, J. Sumardianta, Jusuf Sutanto,
> Stephanie Iriana, Yunis Kartika dan masih banyak lagi
> >
> >
> > Perhatian: Milis ini tak ada moderator yang mengatur keluar masuk
> member. Setiap member diharap bisa masuk atau keluar atas keputusan
> dan kemampuan sendiri.
> >
> >
> > Jika anda berminat untuk bergabung dengan milis Psikologi
> Transformatif, klik:
> >
> >
> > www.groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif
> >
> >
> >
> > ---------------------------------
> > Never miss a thing. Make Yahoo your homepage.
> >
>


Never miss a thing. Make Yahoo your homepage.

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Your school could

win a $25K donation.

Best of Y! Groups

Check it out

and nominate your

group to be featured.

How-To Zone

on Yahoo! Groups

Find garden, home

& auto groups.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar: