Senin, 13 Agustus 2007

[psikologi_transformatif] Sepucuk Surat untuk Presiden Bush

Kantor Berita Common Ground
Mitra Kemanusiaan (CGNews-MK)
Bagi Hubungan Muslim-Barat yang Saling Asah, Asih, Asuh
 
11 - 17 Agustus 2007
 

Kantor Berita Common Ground - Mitra Kemanusiaan (CGNews - MK) bertujuan mendorong perspektif dan dialog konstruktif yang berkaitan dengan hubungan Muslim-Barat. Layanan ini juga tersedia dalam bahasa Arab, bahasa Inggris dan bahasa Perancis. Untuk berlangganan, klik di sini.

Untuk arsip artikel CGNews dan informasi lainnya, silahkan kunjungi website kami: www.commongroundnews.org.

Kecuali jika ditentukan khusus, ijin hak cipta telah diperoleh dan semua artikel bisa dipublikasikan kembali oleh media massa atau surat kabar. Silahkan memberitahukan kepada sumber artikel asli dan Kantor Berita Common Ground (CGNews).
 
Dalam edisi ini
 
1) Lebanon, Sebuah Pelajaran Manajemen Konflik? oleh Abbas Barzegar
Abbas Barzegar, kandidat Ph.D. dalam sejarah agama-agama dari Emory University di Atlanta, Georgia, adakah yang bisa dijadikan contoh dari Lebanon daripada "perang teritorial antar gang yang saling bersaing atau perang boneka antara Washington dan Teheran". Terlepas dari keadaannya yang tidak stabil, atau mungkin karena hal itu, ia menjelaskan bagaimana kekhasan "politik berhati-hati" Lebanon memberikan beberapa pelajaran tentang pengelolaan konflik "tanpa kekerasan dan demokratis".
(Sumber: Common Ground News Service, 7 Agustus 2007)
    
2) ~Pandangan Kaum Muda~ Dwikebangsaan: Rahmat atau Kutukan? oleh Hanane El Hadi dan Menna Taher
Menna Taher, mahasiswa jurnalisme pada American University di Kairo, dan Hanane El Hadi, mahasiswa pasca sarjana dalam Kajian Internasional dan Diplomasi Al Akhawayn University di Ifrane, Maroko, mempertimbangkan berbagai tantangan dan peluang bersama bagi mereka hidup di Eropa maupun dunia Muslim dan memiliki "dwikebangsaan".
(Sumber: Common Ground News Service (CGNews), 7 Agustus 2007)
    
3) Jihad, Perang Salib, dan Toleransi: Pandangan Para Ahli Kristen oleh Marty Martin
Marty Martin, Guru Besar Kehormatan Fairfax M. Cone University of Chicago dan ko-direktur "Proyek Fundamentalisme", menarik pelajaran dari pengalamannya untuk memperlihatkan bahwa, ketika menyangkut hubungan Muslim-Kristen, "komunikasi sama pentingnya dengan cara kita mengkomunikasikannya" dan membuat kerangka pendekatan langkah demi langkah bagi umat Muslim dan Kristen untuk dapat melihat satu sama lain dengan lebih baik.
(Sumber: On Faith, 25 Juli 2007)
    
4) Sepucuk Surat untuk Presiden Bush oleh Para Pemimpin Kristen Evangelis
Tiga puluh empat pemimpin Kristen evangelis Amerika Serikat menyuarakan dukungan mereka bagi upaya-upaya Presiden George W. Bush untuk membangkitkan kembali perundingan-perundingan antara bangsa Israel dan Palestina. Mereka juga bertujuan untuk memperbaiki kesalahan persepsi bahwa umat evangelis Amerika menentang penyelesaian dua negara.
(Sumber: New York Times, 29 Juli 2007)
    
5) Memerangi Ekstremisme lewat Media Muslim Independen oleh Firas Ahmad & al-Husein N. Madhany
Firas Ahmad, wakil editor, dan al-Husein N. Madhany, editor eksekutif majalah Islamica Magazine yang bermarkas di AS dan Yordania, mengusulkan sebuah cara untuk memberantas pengaruh ideologi al-Qaeda melalui "pengembangan wacana Muslim otentik yang menggali gagasan-gagasan dan mempromosikan secara luas pandangan dunia lintas batas".
(Sumber: On Faith, 24 Juli 2007)
    
 
1)Lebanon, Sebuah Pelajaran Manajemen Konflik?
Abbas Barzegar
 
Atlanta, Georgia - Dengan jumlah penduduk empat juta yang terbagi dalam delapan belas sekte keagamaan, sungguh sebuah kejutan bahwa sistem politik Lebanon berhasil bertahan selama ini. Sekarang, masyarakat yang telah terpecah dan terbebani ini sedang menuju apa yang kelihatannya akan menjadi sebuah pemilihan presiden yang penuh gejolak. Tetapi perjuangan-perjuangan Lebanon seharusnya dipahami sebagai lebih dari sekedar perang teritorial antara gang yang saling bersaing atau perang boneka antara Washington dan Teheran. Sebaliknya, berbagai permasalahan dan kemungkinannya merupakan kristalisasi mikrokosmos dari serangkaian ketegangan dan permasalahan yang dihadapi Timur Tengah dan Barat.

Ciri paling menentukan dari keadaan politik Lebanon, yang juga kerentanannya yang paling berbahaya, adalah kenyataan tak adanya wewenang terpusat yang mampu menegakkan aturan hukum. Dengan kepergian Suriah yang selama ini menjadi penutup kekosongan tersebut, banyak orang mempertanyakan apakah pulihnya Lebanon dari perang saudara lebih daripada sekedar sebuah peralihan?

Tidak adanya letusan dalam kekerasan internal antara faksi-faksi politik dan sektarian negara tersebut — terlepas dari meningkatnya ketegangan setelah tak terpecahkannya pembunuhan atas Perdana Menteri Rafik Hariri dan serangan Israel musim panas lalu — seharusnya menjadi sebuah kesaksian bahwa masyarakat Lebanon telah siap menghadapi tantangan-tantangan politik yang luar biasa tanpa jatuh ke dalam godaan kekerasan. Boleh dibilang bahwa dimensi dari pengalaman Lebanon inilah yang telah menciptakan sebuah lingkungan unik bagi keberadaan sebuah pragmatisme yang berbagai kalangan lain akan memperoleh manfaat lebih banyak dengan berdiam memperhatikannya.

Misalnya, pecahnya kekerasan musim panas di kamp pengungsi Nahr al-Bared telah dipandang oleh banyak ahli secara terburu-buru sebagai pertanda bahwa negara tersebut sedang bergerak menuju sebuah perang saudara baru, tetapi bagi mereka yang lebih terbiasa dengan keadaan tersebut, masalah di Tripoli merupakan sebuah persamaan landasan antara pemerintah Sinora dan gerakan oposisi yang dipimpin oleh Hizbullah.

Ini tidak berarti bahwa Hizbullah cenderung ke arah agenda pan-Islam dengan mendukung para pejuang di kamp tersebut, ia jelas-jelas telah mengutuk Fatah al-Islam dan mendukung upaya-upaya pemerintah Lebanon untuk mengamankan kewenangan sebagai satu-satunya entitas pembuat kebijakan di negara tersebut.

Lebih jauh, mengingat pendekatan pragmatis Hizbullah mengenai berbagai hal, beberapa kalangan di Lebanon takut partai Shiah tengah berusaha mewujudkan sebuah negara Islam di Lebanon. Mungkin manuver Hizbullah selama setahun terakhir hanya sekedar bagian dari sebuah rencana politik yang cerdas pada saat kepopulerannya masih tinggi tetapi peranannya dalam pemerintahan tidak dapat dipastikan.

Kecaman seperti itu mengabaikan sebuah kenyataan yang lebih penting bahwa justru kerentanan Lebanon itulah yang memberikan sebuah peluang bagi sistem politik penuh kehati-hatian dan pengendalian diri tersebut, yang mungkin dapat menjadi model manajemen konflik bagi seluruh Timur Tengah. Kehati-hatian dan pengendalian diri tersebut, jika dilakukan dengan tepat, dapat membuahkan hasil jangka panjang yang dahsyat.

Misalnya, sejak serangan Israel atas Lebanon tahun lalu, runtuhan Dahiyeh (wilayah Syi'ah di Beirut) boleh dibilang telah dibersihkan, membuat bangunan-bangunan yang telah dibom seperti sedang dalam konstruksi pembangunannya. Hizbullah tidak membangun kembali rumah-rumah itu, bukan karena ia tidak bisa melakukannya, tetapi karena pemerintah pusat tidak mengeluarkan ijin pembangunan kembali.

Yang mengejutkan, Hizbullah sungguh-sungguh mengakui kewenangan pemerintah dalam hal ini. Padahal, dengan pembiayaan dari Iran, mereka pasti sangat mudah membangun kembali beberapa lusin bangunan apartemen dalam setahun ini dan memotong wewenang pemerintah pusat Lebanon. Kepemimpinan Hizbullah, terlepas dari apa yang dikatakan orang tentang ideologinya, telah mengalah pada prinsip dasar demokrasi – kompromi politik dan bukan penggunaan kekerasan.

Sikap politik penuh kehati-hatian ini juga dapat dilihat di pihak pemerintah Sinora-Hariri.

Kamp pihak oposisi, yang dimulai pada bulan Januari dan menekan kantor-kantor parlemen, sesungguhnya sekarang telah menjadi kota hantu dengan hanya beberapa lusin orang yang mengawasi wilayah tersebut setiap saat. Terletak di jantung kota Beirut, sebenarnya mudah bagi pemerintah Sinora memesan beberapa buldoser untuk menghancurkan tenda-tenda yang kosong dan menahan beberapa penjaga Hizbullah yang sedang bertugas. Skenario seperti itu kelihatannya tidak akan terjadi karena hal tersebut pasti menciptakan eskalasi di masa depan dan menjerumuskan masyarakat ke dalam kekerasan yang saling menghancurkan.

Berada di ambang kekacauan mengubah banyak rumus persamaan politik.

Di negara tetangga Palestina orang berharap bahwa Hamas dan Fatah dapat memetik intisari pelajaran dalam manajemen konflik dari contoh Lebanon tersebut: hanya karena perolehan jangka pendek bisa diwujudkan, tidak berarti orang harus melakukannya. Ironisnya, Lebanon, negara yang dipecah-belah oleh perang saudara, campur tangan eksternal dan pendudukan asing, serta rumah bagi kelompok yang berada pada daftar teroris, ditempatkan sebagai teladan dari demokrasi bagi dunia Arab, bukannya Mesir, yang hanya dikalahkan Israel dalam hal penerimaan bantuan luar negeri AS dan yang sebagian besar oposisinya terdiri atas Ikhwanul Muslimin yang pragmatis secara politik, memilih menggunakan selang-selang air dan perubahan konstitusional sebagai sarana untuk berurusan dengan demonstrasi-demonstrasi bebas dan pihak-pihak yang beroposisi.

Sementara, sekutu-sekutu AS di wilayah tersebut—para calon penerima paket bantuan militer luar negeri $20 miliar—tetap merupakan kerajaan-kerajaan monarki.

Bulan-bulan mendatang tidak diragukan lagi akan penuh dengan cobaan bagi masyarakat Lebanon, tetapi mengingat catatan negara tersebut selama beberapa tahun terakhir, menghadapi hambatan-hambatan yang begitu besar, orang tidak seharusnya berharap bahwa para pemimpin politik Lebanon akan menyerah menghadapi tantangan. Pemilihan umum pada tanggal 5 Agustus, yang dipenuhi ketegangan luar biasa, berlangsung lebih lancar daripada yang diperkirakan dan tanpa kekerasan—indikasi lain bahwa banyak hal yang tidak serta-merta merosot keadaannya di Lebanon. Sebaliknya, di sini tampaknya para pengamat yang tertarik dapat belajar sesuatu tentang manajemen konflik tanpa kekerasan, dengan cara yang demokratis.

###

* Abbas Barzegar adalah kandidat Ph.D. dalam sejarah agama-agama dari Emory University di Atlanta di mana ia belajar tentang sejarah awal dan pembentukan sektarianisme Muslim dalam sejarah politik Islam. Artikel ini disebarluaskan oleh Layanan Berita Common Ground (CGNews) dan dapat dibaca di www.commongroundnews.org.

Sumber: Common Ground News Service (CGNews), 7 Agustus 2007, www.commongroundnews.org
Telah memperoleh hak cipta.
 
 
2)~Pandangan Kaum Muda~ Dwikebangsaan: Rahmat atau Kutukan?
Hanane El Hadi dan Menna Taher
 
Ifrane/Kairo – Dalam sebuah dunia yang semakin terglobalisasi, orang-orang berpindah dari satu negara ke negara lain karena seribu satu alasan, seperti mengejar pendidikan atau peluang kerja tertentu, pengalaman baru, atau bahkan melarikan diri dari keadaan negaranya yang sedang terkoyak perang. Ada pergerakan tetap warga Muslim dari Timur Tengah dan Afrika Utara ke Eropa, dan sebaliknya, ada sejumlah signifikan orang Eropa yang memilih untuk tinggal di Timur Tengah. Dihadapkan dengan identitas yang beragam dan terkadang saling bersaing di lingkungan baru mereka, orang-orang "berdwikebangsaan" ini berbagi tantangan-tantangan dan peluang-peluang yang khas di negara baru mereka.

Pada pasca Perang Dunia II, dengan hati-hati Eropa semakin memberikan arti penting bagi kebebasan beragama, yang membuat negara-negara di benua tersebut sebagai tujuan yang menarik bagi bangsa imigran Muslim Timur Tengah dan Afrika Utara. Namun, dalam tahun-tahun belakangan ini, ada peningkatan ketegangan antara para imigran dan bangsa-bangsa tersebut dan peraturan perundang-undangan yang mengungkung, seperti larangan pemakaian simbol-simbol keagamaan yang mencolok dalam sistem pendidikan di Prancis, telah muncul.

Prancis dan Inggris merupakan dua tujuan teratas bagi para imigran Arab; namun, kebijakan-kebijakan integrasi mereka berbeda satu sama lain. Model integrasi Prancis sebagian besar didasarkan pada prinsip asimilasi, sementara model Inggris menganjurkan multikulturalisme.

Ketika para imigran berlatar belakang Afrika Utara di Prancis ditanya tentang rasa kepemilikan mereka terhadap masyarakat Prancis, banyak yang memberikan jawaban sama, "Walaupun kami memiliki kewarganegaraan Prancis, kami tetap dianggap sebagai imigran; masyarakat Prancis menginginkan kami melepaskan budaya yang telah membentuk jati diri kami, agar dapat sesuai dengan model Prancis". Terlepas dari sentimen ini, sebagian Muslim Afrika Utara di Prancis, seperti Menteri Kehakiman yang baru, Rachida Dati, telah menemukan cara untuk membaktikan diri sepenuhnya dalam masyarakat Prancis. Ia dapat menjadi sebuah contoh sekaligus berperan sebagai perantara antara mereka yang merasakan tekanan pemerintah Prancis untuk melepaskan jati diri mereka melalui asimilasi.

Pengalaman di Inggris agak sedikit berbeda. Satu contoh dapat ditemukan dalam bentuk tanggapan dari seseorang yang berlatar belakang India yang tinggal di sisi lain Selat Inggris, yang ketika ditanya cenderung berkata, "Kami adalah orang Inggris sekaligus orang India."

Ruang tempat kedua jati diri tersebut dapat dirangkul pada saat bersamaan memungkinkan orang-orang yang berdwikebangsaan memetik manfaat dari segala yang terbaik dari kedua dunia tersebut, dan menawarkan hal terbaik yang mereka miliki bagi lingkungan mereka.

Orang-orang dengan dwikebangsaan yang tinggal di dunia Arab juga merasakan jati diri mereka dengan cara-cara yang berbeda dan menghadapi tantangan-tantangan tersendiri.

Ahmed Rashed adalah seorang mahasiswa American University di Kairo yang sepanjang umurnya hidup di Paris dan Amsterdam dan baru saja pindah ke Mesir tahun lalu. Ia menemukan kesulitan dalam memahami sebagian perwujudan fisik budaya, seperti perbedaan etiket dalam cara menyapa. "Di Prancis seorang laki-laki boleh mencium seorang perempuan di pipi ketika menyapanya; namun, ia akan menyapa seorang laki-laki dengan berjabat tangan. Di sini justru sebaliknya," ia menjelaskan.

Terlepas dari berbagai frustrasi yang dirasakan oleh para pendatang baru, banyak yang juga mengungkapkan rasa syukur terhadap apa yang dapat ditawarkan oleh perpaduan kebudayaan tersebut.

Mariam Ghorbannejad, seorang perempuan berusia 25 tahun yang setengah berkebangsaan Inggris dan setengah lagi Iran, merupakan contoh orang seperti itu. Ia saat ini tinggal di Mesir untuk belajar bahasa Arab dan bekerja sebagai editor Daily Star. Ghorbannejad tidak mengalami banyak kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan budayanya. Karena sering berpergian, ia telah melihat berbagai budaya dan tidak terlalu mengalami "kejutan budaya" ketika pindah ke Mesir. "Orang Inggris lebih menahan diri dan mereka mungkin menganggap perilaku orang Mesir agresif, tetapi saya tidak punya masalah dengan hal itu," katanya. Ia kelihatannya dapat menyesuaikan diri dengan segala perbedaan antara Kairo dan London, sambil berkata: "Di sini tidak pernah terasa sunyi, selalu ada tukang jualan yang meneriakkan dagangannya, dan tukang roti yang berteriak 'roti' setiap saat. Dan Anda tidak dapat berjalan jauh karena aspal jalanannya bergelombang; tetapi di sini lebih mudah memperoleh taksi daripada di London."

Walaupun banyak orang yang telah menganggap lebih dari satu bagian dunia sebagai "rumah", pada suatu saat harus berhadapan dengan krisis identitas, tanpa mengetahui dengan pasti di mana mereka sesungguhnya berada, cerita-cerita ini juga menunjukkan berbagai keuntungan dari dwikebangsaan: kemampuan untuk merasa nyaman – rasa memiliki – dalam masyarakat tempat mereka yang tidak merasakan dwidentitas ini akan berjuang untuk merasa seperti berada di rumah, dan peluang untuk membagi pandangan unik dengan orang lain.

###

* Menna Taher adalah mahasiswa tahun kedua American University di Kairo yang mengambil jurusan jurnalisme. Hanane El Hadi saat ini sedang menyelesaikan gelar MA-nya dalam Kajian Internasional dan Diplomasi Al Akhawayn University di Ifrane, Maroko. Mereka bersama-sama menuliskan artikel ini sebagai bagian dari program dialog antarkebudayaan Barat-Dunia Muslim, Soliya Connect Program. Artikel ini disebarluaskan oleh Layanan Berita Common Ground (CGNews) dan dapat dibaca di www.commongroundnews.org.

Sumber: Common Ground News Service (CGNews), 7 Agustus 2007, www.commongroundnews.org
Telah memperoleh hak cipta.
 
 
3)Jihad, Perang Salib, dan Toleransi: Pandangan Para Ahli Kristen
Marty Martin
 
Chicago, Illinois – Lebih dari lima tahun terakhir, sebagai bagian dari proyek mengenai fundamentalisme keagamaan, saya telah mengkaji dan berbicara dengan umat Muslim dari Houston hingga Auschwitz. Sementara saya semakin memahami bagaimana cara umat Kristen dan Muslim melihat satu sama lain, saya telah belajar bahwa cara kita berkomunikasi sama pentingnya dengan apa yang kita komunikasikan.

Ambillah istilah "jihad", sebagai contoh awal. Kata itu sering digunakan oleh mereka yang ingin menaikkan suhu dan membangkitkan kebencian terhadap umat Muslim. Mereka cenderung mengartikannya sebagai kampanye pembunuhan terhadap non-Muslim. Tetapi para ahli dan Muslim moderat akan mengatakan kepada Anda bahwa konsep akar kata tersebut adalah "perjuangan" – dan bahwa perjuangan sering kali merujuk pada kemampuan kita melawan kelemahan-kelemahan kita sendiri.

Kata "perang salib" juga menimbulkan kesalahpahaman yang sama. Bagi banyak umat Kristen, hal tersebut merupakan sebuah usaha yang terhormat. Billy Graham dengan naif menjelaskan pertemuan-pertemuannya sebagai Perang Salib, dengan memetik manfaat dari konotasi positif penyebaran ajaran-ajaran Kristus. Di kalangan umat Muslim (sesungguhnya juga kebanyakan umat Kristen Ortodoks Timur), "perang salib" membangkitkan gambaran-gambaran tentang para pejuang yang dengan bengis memeras lahan dan rakyat dalam perjalanan mereka ke Tanah Suci – tanah yang tidak hanya suci bagi mereka tetapi juga bagi musuh-musuh mereka.

Ada beberapa contoh yang tidak terlalu nyata dari kata-kata yang tidak diterjemahkan dengan baik. Toleransi selalu memiliki niat baik tetapi tidak selalu dapat membantu dan terkadang malah merupakan konsep yang ofensif. Sebelum umat Kristen menyerukan "toleransi" terhadap umat Muslim, mereka seharusnya menanyakan diri mereka sendiri: Apakah mereka benar-benar hanya ingin "ditoleransi"? Jika tidak, mengapa umat Muslim harus melakukannya? Meminta "toleransi" dapat berarti penghinaan, seolah-oleh pembicaranya ingin mengatakan, "Saya telah paham, dan saya mentoleransi Anda dengan sebagian besar kekurangan-kekurangan Anda." Dalam banyak kejadian, seruan bertoleransi mungkin sekedar berarti sebuah upaya untuk memperlakukan agama mereka seadanya.

Dialog-dialog saya dengan umat Muslim selama beberapa tahun terakhir tidak semuanya berupa kesalahpahaman dan penjelasan. Kami semua membuat kemajuan nyata. Terkadang kemajuan itu kecil dan khas – seperti penggunaan keramahtamahan dan bukannya toleransi, untuk menyampaikan terbukanya rumah spiritual dan jiwa seseorang bagi orang lain, khususnya bagi mereka yang mempunyai keyakinan yang kuat dan jelas. Secara umum, kemajuan itu berasal dari serangkaian pendekatan umum.

Langkah pertama adalah bercermin. Menguji agama yang dianut masyarakat Anda (dalam kasus saya, Kristen) dan bagaimana mereka menganutnya. Sisi positifnya, Anda akan cenderung menemukan beberapa keistimewaan di sana yang dapat memperbaiki berbagai hubungan. Umat Muslim yang memiliki ilmu dan empati juga dapat berbicara dengan baik tentang berbagai elemen agama Kristen. Sisi negatifnya, cermin akan menampilkan kekurangan-kekurangan, dan menyadarinya — tanpa merendahkan diri atau membangkitkan semangat penuh kebencian diri yang dapat dirasakan secara alami bagi umat Kristen yang sedang memerangi warisan mereka sendiri — akan memperkaya pembahasan yang ada. Ketika tak satu pihak pun dalam sebuah dialog yang harus menjaga penampilan dan keduanya dapat bertemu satu dengan yang lain dalam kejujuran, justru itulah kemenangan bagi keduanya.

Sebuah langkah penting lainnya adalah mendidik diri Anda sendiri tentang agama lain, khususnya dengan membaca kitab-kitab suci mereka. Pada saat penuh ketegangan dan terorisme ini, para penghasut cenderung menyoroti ayat-ayat yang keras dan mengerikan dalam kitab-kitab suci agama lain — Al Qur'an, kitab-kitab suci Yahudi, maupun Perjanjian Baru. Menyatakan bahwa kekerasan adalah intisari ajaran agama lain adalah kebohongan dan hasutan. Saya tidak pernah bertemu seorang Yahudi atau Kristen pun yang berpikir bahwa ayat-ayat "Perang Suci" dalam mazmur Yoshua dan Para Hakim (atau coba I Samuel 15) — yang mengizinkan dan bahkan memerintahkan genosida — adalah intisari ajaran Yudaisme atau agama Kristen. Sebaliknya, ayat-ayat itu berpuncak pada pesan-pesan damai dan penyembuhan. Begitu juga Al Qur'an.

Akhir kata, penting artinya untuk tidak terlalu banyak berharap. Jika dialog-dialog antar agama diiklankan sebagai langkah-langkah utopis, mereka tidak hanya akan membawa kekecewaan. Perbincangan kreatif dan tindakan bersama tidak akan berarti bahwa terorisme atas nama Allah atau serangan balik melawan terorisme atas nama Tuhan akan menghilang (lihat, misalnya, Nigeria.). Di manapun ada upaya-upaya tulus untuk membangun sesuatu yang mengandalkan masa lalu Islam dan Kristen yang lebih baik, dan mengandalkan upaya-upaya empatik dari para pemimpin hari ini, maka kita dapat mengambil keuntungan dari sumbangan bagi iklim yang akan memperlambat kemajuan ekstremisme tersebut. Upaya-upaya tersebut memberikan mayoritas utama umat Muslim dan Kristen yang cinta damai sebentuk harapan, selain kesempatan bagi pendekatan-pendekatan lebih baik mengenai isu-isu yang memisahkan masyarakat-masyarakat mereka.

###

* Martin E. Marty merupakan Guru Besar Kehormatan Fairfax M. Cone, University of Chicago, ko-direktur "Proyek Fundamentalisme" dan seorang panelis "On Faith". Artikel ini disebarluaskan oleh Layanan Berita Common Ground (CGNews) dan dapat dibaca di www.commongroundnews.org.

Sumber: On Faith, 25 Juli 2007, www.newsweek.washingtonpost.com/onfaith/
Dicetak kembali atas seijin On Faith (www.washingtonpost.com/onfaith/), sebuah percakapan online tentang agama di washingtonpost.com dan Newsweek.com.
© Hak cipta 2007, Washingtonpost.Newsweek Interactive. All rights Reserved.
 
 
4)Sepucuk Surat untuk Presiden Bush
Para Pemimpin Kristen Evangelis
 
Presiden George W. Bush
Gedung Putih
1600 Pennsylvania Ave NW
Washington DC 20500

Yang Terhormat Bapak Presiden:

Kami, para pemimpin Kristen evangelis di Amerika Serikat, menulis untuk berterima kasih atas upaya-upaya Anda (termasuk pidato penting pada 16 Juli) membangkitkan kembali perundingan-perundingan Israel-Palestina demi tercapainya perdamaian abadi di wilayah tersebut. Kami menekankan kepada Anda seruan tegas bagi penyelesaian dua negara. Kami mendesak agar pemerintah Anda tidak kelelahan saat akan mengakhiri masa jabatan dengan memanfaatkan pengaruh besar Amerika, serta memperlihatkan kepemimpinan AS yang kreatif, konsisten, dan penuh kepastian dalam menciptakan masa depan yang baru bagi bangsa Israel dan Palestina. Kami berdoa demi tujuan itu, Bapak Presiden.

Kami juga menulis untuk memperbaiki kesalahan persepsi yang serius di sebagian kalangan termasuk beberapa pembuat kebijakan AS bahwa semua umat evangelis Amerika menentang penyelesaian dua negara dan pembentukan negara Palestina baru yang termasuk di antaranya sebagian besar Tepi Barat. Hal itu merupakan kebohongan. Kami, yang menandatangani surat ini, mewakili jumlah umat evangelis yang besar di seluruh AS, yang mendukung keadilan, baik bagi rakyat Israel maupun Palestina. Kami berharap dukungan ini akan mendorong Anda dan pemerintahan Anda untuk melanjutkannya dengan percaya diri dan secara langsung ikut dalam perundingan-perundiangan dengan kedua pihak di wilayah tersebut.

Sebagai umat Kristen evangelis, kami meyakini janji Injil kepada Ibrahim: "Aku akan memberkati orang yang memberkati engkau" (Genesis 12:3). Dan karena hal itulah sebagai umat Kristen evangelis yang berkomitmen penuh pada ajaran Injil, kami tahu bahwa merahmati dan mencintai rakyat (termasuk bangsa Yahudi dan negara Israel yang sekarang berdiri) bukan berarti tidak memberikan kritik ketika dibutuhkan. Cinta sejati dan rahmat yang sejati berarti bertindak dengan cara-cara yang mendorong kesejahteraan sejati dan berjangka panjang dari tetangga-tetangga kita. Mungkin cara terbaik kita merahmati Israel adalah mendorongnya untuk mengingat, sementara ia berhubungan dengan tetangganya bangsa Palestina, ajaran mulia tentang keadilan yang diserukan oleh para nabi Yahudi dengan penuh keteguhan sebagai sebuah hadiah yang tidak ternilai bagi seluruh dunia.

Kejujuran kepada sejarah mengharuskan kita mengakui bahwa baik bangsa Israel maupun bangsa Palestina memiliki hak-hak yang sah hingga jauh ke ribuan tahun lalu atas tanah-tanah Israel/Palestina. Baik bangsa Israel maupun Palestina telah melakukan kekerasan dan ketidakadilan terhadap satu sama lain. Satu-satunya cara untuk menghilangkan lingkaran kekerasan yang tragis ini adalah jika bangsa Israel dan Palestina merundingkan perjanjian yang adil dan abadi yang menjamin kedua belah pihak mewujudkan negara-negara yang memiliki kelangsungan hidup, merdeka, dan aman. Untuk mencapai sasaran itu, kedua pihak harus menyerahkan sebagian tuntutan mereka yang saling bersaing dan tidak bersesuaian. Bangsa Israel dan Palestina harus menerima hak satu sama lain untuk hidup. Untuk mencapai sasaran itu, AS harus memberikan kepemimpinan yang kuat dalam Kuartet untuk menyusun kembali peta Timur Tengah sehingga pelaksanaannya secara penuh akan menjamin keamanan negara Israel dan berdirinya negara Palestina. Kami menegaskan peran baru mantan Perdana Menteri Tony Blair dan berdoa bahwa konferensi yang Anda rencanakan musim gugur ini akan berhasil.

Bapak Presiden, kami memperbarui doa kami dan mendukung kepemimpinan Anda untuk membantu membawa perdamaian bagi Yerusalem, serta keadilan dan kedamaian bagi semua orang di Tanah Suci.

Akhirnya, kami akan meminta bertemu dengan Anda secara pribadi untuk menyampaikan dukungan kami dan membahas cara-cara lain dalam mana kami dapat membantu pemerintah Anda dalam isu yang penting sekali ini.

Hormat kami,

Ronald J. Sider, Presiden
Evangelicals for Social Action

Don Argue, Presiden
Northwest University

Raymond J. Bakke, Kanselor
Bakke Graduate University

Gary M. Benedict, Presiden
The Christian & Missionary Alliance

George K. Brushaber, Presiden
Bethel University

Gary M. Burge, Profesor
Wheaton College & Graduate School

Tony Campolo, Presiden/Pendiri
Evangelical Association for the Promotion of Education

Christopher J. Doyle, CEO
American Leprosy Mission

Leighton Ford, Presiden
Leighton Ford Ministries

Daniel Grothe, Staf Pastoral
Gereja New Life (Colorado Springs)

Vernon Grounds, Kanselor
Denver Seminary

Stephen Hayner, mantan Presiden
InterVarsity Kristen Fellowship

Joel Hunter, Pastor Senior
Gereja Northland
Anggota, Executive Committee of the NAE

Jo Anne Lyon, Pendiri/CEO
World Hope International

Gordon MacDonald, Ketua Dewan
World Relief

Albert G. Miller, Profesor
Oberlin College

Richard Mouw, Presiden
Fuller Theological Seminary

David Neff, Editor
Chrisitianity Today

Glenn R. Palmberg, Presiden
Gereja Evangelical Covenant

Earl Palmer, Pastor Senior
University Presbyterian Church Seattle

Victor D. Pentz, Pastor
Gereja Presbyterian Peachtree, Atlanta

John Perkins, Presiden
John M. Perkins Foundation for Reconciliation & Development

Bob Roberts, Jr., Pastor Senior
Gereja Northwood, Dallas

Leonard Rogers, Direktur Eksekutif
Evangelicals for Middle East Understanding

Andrew Ryskamp, Direktur Eksekutif
Christian Reformed World Relief Committee

Chris Seiple, Presiden
Institute for Global Engagement

Robert . Seiple, Mantan Duta Besar Berkuasa Penuh,
International Religious Freedom
U.S. State Department

Luci N. Shaw, Author, Lecturer
Regent College, Vancouver

Jim Skillen, Eksecutif Director
Center for Public Justice

Glen Harold Stasen, Profesor
Fuller Theological Seminary

Richard Stearns, President
World Vision

Clyde D. Taylor, Former Chair of Board
World Relief

Harold Vogelaar, Direktur
Center of Christian-Muslim Engagement for Peace and Justice

Berten Waggoner, Direktur Nasional
Vineyard USA

###

* Surat ini ditandatangani oleh 34 pemuka evangelis yang bekerja di Amerika Serikat. Artikel ini disebarluaskan oleh Layanan Berita Common Ground (CGNews) dan dapat dibaca di www.commongroundnews.org.

Sumber: New York Times, 29 Juli 2007, www.nytimes.com
Telah memperoleh hak cipta.
 
 
5)Memerangi Ekstremisme lewat Media Muslim Independen
Firas Ahmad & al-Husein N. Madhany
 
Cambridge, Masachusetts – Robert Baer, mantan intelijen Timur Tengah CIA, belum lama ini mewawancarai calon pembom berusia 17 tahun dari Afghanistan yang tertangkap sebelum serangannya. Sebuah artikel berdasarkan wawancara Baer tampil pada situs web TIME. Di dalamnya Baer menemukan pemuda itu jauh dari seorang fanatik anti Amerika, ia sekedar tercuci otaknya oleh ideologi al-Qaeda. Di antara keanehan-keanehannya adalah si pemuda percaya bahwa Presiden Pakistan, Pervaiz Musharaff, seorang Yahudi.

Ideologi seperti ini adalah rumah bagi para penjahat. Pengaruhnya berasal dari pembatasan informasi yang tersedia hingga memanipulasi cara orang memandang dunia. Ia tumbuh subur di dalam sebuah lingkungan tempat kenyataan terlalu disederhanakan menjadi sebuah pandangan dunia yang hambar, monokromatik, dan hitam-putih. "Jika tidak mendukung kami, berarti anda melawan kami" atau sebaliknya.

Satu cara untuk meredakan pengaruh ideologi seperti ini adalah memperluas pandangan dunia mereka yang paling rentan terhadap cengkeramannya. Walaupun tugas ini harus diakui sulit dilakukan di negara seperti Afghanistan, tempat berbagai lembaga dan infrastruktur telah hancur akibat 30 tahun perang boneka yang didukung asing, hal yang sama sulitnya juga terjadi di pusat-pusat metropolitan utama seperti New York City, London, dan Paris. Ini karena para ideolog yang mengatur bom bunuh diri dan memvideokan pemenggalan kepala orang menyadari bahwa mengendalikan dan memanipulasi aliran informasi lebih penting artinya daripada mencetak kemenangan militer. Kenyataannya, dan ini malah lebih berbahaya daripada ancaman militer, ancaman yang lebih besar dari al-Qaeda adalah jika ia berhasil meyakinkan masyarakat umum—baik Muslim maupun non Muslim—bahwa Islam merupakan sebuah ideologi yang terpaku pada suatu jaman dan tidak dapat berubah yang bertujuan ke arah konfrontasi dengan apa pun yang berbau "Barat." Jika ia berhasil, mereka yang menerima dasar pemikiran yang salah ini akan melakukan perang yang tak mampu dilakukan oleh al-Qaeda sendirian.

Penting artinya bahwa kita semua memastikan agar perang ini tidak pernah terwujud secara penuh. Untuk mencapainya, banyak kalangan dalam media arus utama yang menyerukan masyarakat Muslim moderat untuk berbicara dan mengecam ekstremisme atas nama Islam. Walaupun kecaman tersebut penting artinya sebagai sebuah simbol, ia tidak berbuat banyak mengubah masalah yang mendasarinya. Sebagai tambahan bagi kecaman tersebut, apa yang dibutuhkan adalah perluasan perspektif, pendalaman wacana, dan penguatan pemikiran bebas dan masuk akal.

Tanpa mengecilkan artinya, sekedar kecaman terhadap teror atau pengulangan kalimat-kalimat yang telah diulang-ulang seperti "Islam berarti damai" memiliki dampak terbatas. Apa yang akan memperkuat tangan kalangan arus utama, dan memperlemah pengaruh ideologi seperti al-Qaeda, adalah pengembangan wacana Muslim otentik yang menggali gagasan-gagasan dan memajukan pandangan dunia yang lebih luas dan lintas batas. Islam bukanlah sebuah ideologi; ia memiliki tradisi diskusi dan debat yang luas dan kaya. Wacana ini, yang sama sekali bukan hal baru bagi dunia Muslim, dalam berbagai cara merepresentasikan sebuah nostalgia terhadap nilai-nilai yang telah menyumbangkan abad-abad penuh koeksistensi damai antara umat Muslim, Kristen, Yahudi, Hindu, dan yang lainnya di tempat-tempat seperti Spanyol, Yerusalem, dan India.

Nilai-nilai yang mendorong diskusi dan dialog secara khusus berkembang baik di Amerika Utara dan Eropa. Di sini kita melembagakannya menjadi prinsip-prinsip inti yang telah menghasilkan sejumlah lembaga penting, termasuk media yang bebas. Kebebasan untuk menginfomasikan pada masyarakat tentang penyalahgunaan kekuasaan dan memberikan kekuatan yang dapat menyerang balik mereka yang memanipulasi informasi bagi keuntungan politik merupakan aspek fundamental dari demokrasi bangsa Amerika dan Eropa. Sayangnya, akibat beberapa dekade merasakan kekuasaan diktatoral, banyak bagian-bagian dari dunia Muslim yang tidak memiliki kebebasan-kebebasan dasar ini. Karena alasan ini para ideolog tersebut dapat begitu berpengaruh dalam mengendalikan sentimen masyarakat luar negeri.

Karena itu kebutuhan akan golongan wartawan Muslim—media Muslim yang benar-benar bebas— tidak dapat dielakkan. Di Amerika Utara tanda-tanda kemunculan media cetak dan online dapat ditemukan dalam upaya-upaya seperti majalah Islamica Magazine dan altmuslim.com. Berakar dalam masyarakat, penerbitan-penerbitan ini memberikan sebuah forum tempat perdebatan mengenai budaya, sejarah, politik, dan masyarakat dapat berlangsung lebih luas daripada cerita politik atau retorika kotak sabun. Mereka dapat melibatkan diri penuh makna dalam perancangan dan pengembangan gagasan-gagasan yang mempengaruhi masyarakat Muslim. Memotong hubungan orang dengan dunia luar merupakan satu hal, namun merupakan hal yang sama sekali berbeda ketika masyarakat melibatkan dirinya sendiri, menarik pelajaran dari masa lalunya dan secara kolektif memandang ke masa depan.

Dalam setiap agama ada kelompok-kelompok yang mengecilkan agama menjadi sebuah ideologi untuk mewujudkan agenda-agenda politik mereka sendiri. Jika tidak melalui karisma, kekerasan, penipuan, atau jika tidak, mereka membajak agama sebagai sarana untuk mengumpulkan massa. Jika orang dihadapkan pada kenyataan-kenyataan dari proses ini dan tipuan dasar yang mewadahinya, maka kekuasaan ideolog atas orang banyak akan sangat berkurang. Keberhasilan jangka panjang Al-Qaeda tidak didasarkan pada kekerasan yang dilakukannya, tetapi lebih pada mengendalikan apa yang kita pikir, rasakan, dan lakukan terhadap orang-orang lain yang berbeda dengan kita. Keberhasilan jangka panjang kita terletak pada kemampuan kita membuat pesan al-Qaeda tidak berarti. Satu cara untuk mencapai hal ini adalah dengan menciptakan ruang-ruang intelektual dan artistik dalam masyarakat Muslim tempat pandangan dunia lebih luas dimungkinkan untuk tumbuh subur. Melakukan kurang dari ini akan membuat kita jatuh ke tangan para penjahat tersebut.

###

* Firas Ahmad adalah wakil editor dan al-Husein N. Madhany adalah editor eksekutif dari Islamica, sebuah majalah internasional bermarkas di Amerika Serikat dan Yordan. Majalah tersebut bertujuan untuk memperluas perspektif-perspektif tentang Islam dan memberikan sebuah forum bagi umat Muslim untuk menyuarakan keprihatinan-keprihatinan mereka sambil membentuk hubungan lintas budaya antara umat Muslim dan para tetangga mereka, serta sesama umat beragama. Artikel ini disebarluaskan oleh Layanan Berita Common Ground (CGNews) dan dapat dibaca di www.commongroundnews.org.

Sumber: On Faith, 24 Juli 2007, www.newsweek.washingtonpost.com/onfaith/
Telah memperleh izin penerbitan kembali dari On Faith (www.washingtonpost.com/onfaith/), sebuah perbincangan online tentang agama pada washingtonpost.com dan Newsweek.com.
© Hak cipta 2007, Washingtonpost.Newsweek Interactive. Telah memperoleh hak cipta.
 
 
Pandangan Kaum Muda

CGNews-MK juga secara berkala mempublikasikan tulisan-tulisan para mahasiswa jurnalis yang memperkuat pemahaman antar budaya dan mendorong perspektif dan dialog konstruktif di lingkungan mereka sendiri. Mahasiswa jurnalis dan para penulis di bawah usia 27 tahun dianjurkan untuk menulis kepada Chris Binkley (cbinkley@sfcg.org) untuk informasi lebih lanjut tentang pengiriman tulisan.
 
Tentang CGNews-MK

Kantor Berita Common Ground - Mitra Kemanusiaan (CGNews-MK) mempublikasikan berita, opini, feature dan analisis oleh para ahli baik lokal maupun internasional mengenai berbagai masalah yang berkaitan dengan hubungan Muslim-Barat. CGNews-MK mengumpulkan artikel-artikel yang berimbang dan berorientasi-solusi dari media massa di seluruh dunia. Dengan dukungan dari pemerintah Inggris, Norwegia dan Amerika Serikat, United States Institute of Peace, serta para donatur pribadi, layanan ini merupakan inisiatif nir-laba dari Search for Common Ground, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) internasional yang bergerak di bidang transformasi konflik.

Layanan ini merupakan salah satu hasil dari serangkaian pertemuan kerja yang diadakan dengan kemitraan bersama Pangeran HRH El Hassan bin Talal di Jordania, pada bulan Juni 2003.

Kantor Berita Common Ground juga membuat dan menyebarluaskan artikel-artikel berorientasi-penyelesaian masalah yang ditulis oleh para ahli baik lokal maupun internasional demi memajukan perspektif yang membangun dan mendorong dialog mengenai masalah-masalah Timur Tengah dewasa ini. Layanan ini, Kantor Berita Common Ground - Timur Tengah (CGNews-TT), juga tersedia dalam bahasa Arab, bahasa Inggris dan bahasa Hebrew. Untuk berlangganan, klik di sini.

Pandangan yang disampaikan dalam artikel-artikel ini merupakan pandangan para pengarangnya, dan bukan pandangan CGNews-MK atau afiliasinya.

Kantor Berita Common Ground
1601 Connecticut Avenue, NW Suite #200
Washington, DC 20009 USA
Ph: +1(202) 265-4300
Fax: +1(202) 232-6718

Rue Belliard 205 Bte 13 B-1040
Brussels, Belgia
Ph: +32(02) 736-7262
Fax: +32(02) 732-3033

Email : cgnewspih@sfcg.org
Website : www.commongroundnews.org

Editor
Leena El-Ali (Washington)
Juliette Schmidt (Canada)
Rami Assali (Jerusalem)
Chris Binkley (Dakar)
Emmanuelle Hazan (Geneva)
Nuruddin Asyhadie (Jakarta)
Andrew Kessinger (Washington)

Penerjemah
Françoise Globa (Geneva)
Rio Rinaldo (Jakarta)
Sireen Hashweh (Jerusalem)


CGNews adalah kantor berita nir-laba.

 

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
SPONSORED LINKS
Yahoo! Avatars

Express Yourself

Show your style &

mood in Messenger.

Y! Messenger

PC-to-PC calls

Call your friends

worldwide - free!

Yahoo! Groups

Find Green Groups

Share with others

Help the Planet.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar: