Minggu, 30 September 2007

[psikologi_transformatif] FWD: Tanya: Payudara saya ada benjolan

At 03:52 PM 9/27/2007, Ibu N. wrote:
>Yth. Bapak Hudoyo,
>
>Dengan Hormat,
>
>Saya mendapatkan e-mail Bapak dari Bapak Waluyo. Mohon maaf sebelumnya jika saya akan banyak mengganggu Bapak. Saya simpatisan meditasi semenjak kuliah dan menjadi lebih intensif belajar meditasi sendiri selama 4 bulan terakir terutama dari internet. Bukan hal yang mudah untuk rutin dan berproses, tapi saya berusaha untuk lebih bersungguh-sungguh. Saya masih sangat bayi sekali dalam hal ini.
>
>Seminggu yang lalu hasil mamografi pada kedua payudara menunjukkan jaringan yang bermasalah terutama pada payudara kiri. Kekawatiran baru bagi tukang takut seperti saya. Memang saya bukan pribadi yang positif, namun sedang mengusahakannya, walau kadang saya ragu kalau menjadi positif bukan bawaan saya.
>
>Saya memutuskan untuk tidak menjalani rangkaian tes yang membayangkan saja sudah begitu sakit. Saya memilih untuk melakukan pendekatan yang lain: reiki, alternatif, herbal dan meditasi. Saya mengkonsumsi rebusan segenggam mahkota dewa pagi dan malam hari.
>
>Tapi rasanya saya berpacu dengan hantu, dan sering merasa tidak berdaya denganpiciknya kenegativan pikiran saya.
>Bapak Hudoyo, mohon bantuan, saran, penguatan.
>
>Terimakasih, Bapak.
>N.
=========================
HUDOYO:

Ibu N. yg baik,

Anda baru belajar meditasi sejak 4 bulan terakhir; Anda belajar sendiri dari internet. Meditasi metode mana yang Anda pakai? Tahukah Anda, bahwa pada garis besarnya ada dua jenis meditasi: (1) konsentrasi dg hasil ketenangan/ekstase, dan (2) meditasi pencerahan (insight) dengan hasi kearifan & pembebasan.

Kemudian hasil mamografi Anda menunjukkan ada benjolan pada payudara kiri. Anda takut berobat ke dokter lebih lanjut, dan memilih pengobatan alternatif, dalam hal ini mengkonsumsi mahkota dewa. Memang obat-obat herbal tidak ada bahayanya, tapi khasiatnya juga tidak diketahui dengan pasti; belum ada penelitian ilmiah yang membuktikan khasiatnya. Semua laporan tentang khasiat mahkota dewa bersifat anekdotal, testimoni individual yang merasa sembuh; yang tidak terungkap adalah berapa banyak orang yang juga makan mahkota dewa tapi tidak sembuh? -- Jadi silakan saja Anda mengkonsumsinya, siapa tahu berkhasiat ...

Tapi di lain pihak, Anda menghindari penanganan secara medis penyakit Anda. Itu cuma karena rasa takut. Ini sangat merugikan, apa lagi kalau ternyata Mahkota Dewa tidak berkhasiat apa-apa; artinya Anda tidak berbuat apa-apa untuk menangani penyakit Anda.

Benjolan pada payudara bisa ganas, bisa pula jinak. Ini hanya bisa diketahui dengan melakukan biopsi. Kalau jinak, tidak perlu khawatir. Kalau ganas, bisa dioperasi. Keberhasilan operasi (dalam arti, persentase masih hidup setelah 5 tahun) bergantung pada stadium penyakit. Kalau masih dini, ini mendekati 100 persen. Kalau sudah lanjut, ada kemungkinan sel-sel kanker sudah menyebar keluar payudara, sehingga kemungkinan sembuh menjadi lebih kecil. Ini Anda bisa bicarakan dengan dokter Anda. Kapan mamografi yang terakhir? Kapan mamografi sebelumnya? -- Di sini terlihat bahwa faktor kecepatan diagnosis menjadi sangat penting. Kalau ditunda-tunda, makin lama makin besar kemungkinan sel-sel kanker--kalau itu betul kanker ganas--menyebar ke jaringan di sekitar payudara, atau terbawa darah ke otak, paru, hati dsb, sehingga tidak bisa sembuh lagi..

Oleh karena itu saya sarankan, di samping mengkonsumsi mahkota dewa, periksakan diri lebih lanjut ke dokter. Lakukan itu dengan segera, jangan menunda-nunda lagi. Jangan karena cuma rasa takut, malah tidak pergi ke dokter.

***

Sekarang tentang rasa takut. Takut itu wajar; semua orang takut mati. Tapi takut itu disebabkan karena pikiran; pikiran bergerak ke masa depan, membayangkan kematian, timbul rasa takut. (Bukan takut terhadap apa yang ada di balik kematian itu, melainkan takut kehilangan apa yang kita miliki sekarang.) Kalau pikiran tidak bergerak, maka takut itu pun tidak ada.

Saya tidak berteori. Saya mengalami sendiri munculnya rasa takut menghadapi kematian, dan lenyapnya rasa takut itu. Kira-kira dua tahun lalu, saya bertugas di Dili, Timor Leste. Saya berada sendirian di hotel, jauh dari sanak keluarga dan orang yang saya kenal baik. Pada suatu malam, ketika makan malam, tiba-tiba saya mengalami 'aritmia jantung'. Kelainan ini disebabkan karena hantaran listrik melalui syaraf yang membuat jantung berdenyut, terhambat di antara serambi dan bilik jantung; penyebab dari hambatan itu pada umumnya tidak diketahui. Denyut jantung melambat sampai 40/menit dan sangat tidak teratur. Keringat dingin bercucuran, dan penglihatan berkunang-kunang, badan terasa lemas, mau pingsan rasanya. Sebagai dokter saya tahu, ada dua kemungkinan: (1) kemungkinan terbesar keadaan ini akan pulih dengan sendirinya tanpa diobati, dan (2) ada kemungkinan kecil terjadi 'cardiac arrest' (jantung berhenti berdenyut, dan kalau tidak diberi kejutan dengan listrik, tentu orang akan mati). Terhuyung-huyung saya pergi ke kamar, lalu berbaring di tempat tidur. Saya berbaring, tidak bergerak, dan dengan sendirinya masuk dalam kesadaran meditatif yang mendalam. Kesadaran menjadi jernih sekali, mengamati tubuh saya (napas, denyut jantung yang sangat tidak teratur, sensasi-sensasi lain yang ada pada tubuh atau yang masuk melalui pancaindra) dari saat ke saat, TANPA PIKIRAN APA PUN MUNCUL, tidak memikir ke masa depan, apa lagi ke masa lampau. Dengan berhentinya pikiran, maka rasa takut--yang sempat muncul sebentar ketika saya baru menyadari apa yang terjadi--pun lenyap. Suasana batin terasa (secara retrospektif, ketika diingat kembali) sangat tenang, ringan, tidak ada pikiran, tidak ada emosi, yang ada hanya kesadaran yang menyadari tubuh ini dari saat ke saat. Saya tidak tahu berapa lama keadaan itu berlangsung--mungkin 5 menit, mungkin 10 menit, atau lebih lama--sampai akhirnya pikiran pun mulai bermunculan kembali. Di situ, secara retrospektif saya menyadari bahwa itulah kesadaran ketika saya menghadapi kemungkinan kematian, sekalipun kemudian kematian itu ternyata tidak terjadi. Tetapi sekaligus saya tahu pula, bahwa kalau kelak tiba waktunya saya akan mati, saya bisa masuk lagi ke dalam kesadaran seperti itu, artinya tidak ada lagi rasa takut sama sekali, sadar akan saat sekarang dari saat ke saat. Sejak itu saya tahu secara aktual--bukan cuma secara teoretis--bahwa rasa takut itu bersumber dari pikiran yang bergerak.

Ibu N., semua ini saya ceritakan kepada Anda dengan maksud untuk menekankan bahwa Anda pun sebenanya tidak perlu takut akan kematian, kalau saja Anda terbiasa untuk menyadari gerak-gerik pikiran Anda sendiri. Menyadari gerak-gerik pikiran itulah meditasi (MMD), meditasi yang bukan sekadar konsentrasi, baca mantra, memvisualisasikan sesuatu dsb. Saya tidak tahu meditasi apa yang Anda lakukan selama 4 bulan ini, tetapi saya sarankan, berkaitan dengan ketakutan Anda menghadapi "penyakit" Anda (belum tentu itu ganas), agar Anda mulai sekarang belajar meditasi vipassana/MMD.

Salam,
Hudoyo

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Y! Messenger

Instant smiles

Share photos while

you IM friends.

Real Food Group

Share recipes

and favorite meals

w/ Real Food lovers.

Endurance Zone

A Fitness Group

about overall

better endurance.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar: