Senin, 24 Desember 2007

[psikologi_transformatif] Sepatu Natal

Ketika kami masih kecil ayah saya ditahan oleh Kempeitai Jepang,
sehingga Ibu harus berjuang sendiri mencari nafkah untuk membesarkan
kami anak-anaknya, satu hal yang tidak mudah mengingat pada jaman
perang banyak sekali orang kelaparan, karena tidak ada penghasilan.

Tempat tidur yang kami milikipun hanya satu saja dimana Ibu dengan
seluruh anak-anaknya berbaring diatas satu tempat tidur. Dan kalau
salah satu dari kami menderita sakit, Ibu selalu tidur di atas
lantai untuk memberikan lebih banyak tempat kepada anaknya yang
sedang menderita sakit.

Ibu bekerja sebagai pencuci pakaian. Pagi-pagi sebelum matahari
terbit ia sudah bangun untuk mencuci pakaian. Satu pekerjaan yang
berat, karena semuanya harus di cuci dengan tangan. Ia bekerja tujuh
hari seminggu dengan tiada mengenal lelah.

Uang yang Ibu dapatkan hanya cukup untuk makan sehari-hari, bahkan
kadang-kadang inipun masih kurang, sehingga seringkali kami tidur
dengan tanpa makan malam. Walaupun kami telah tidur ibu masih tetap
bekerja terus, dibawah remang-remang lampu cempor minyak, karena
tidak ada listrik dirumah kami. Ia harus menggosok pakaian s/d jauh
malam. Tetapi walaupun Ibu harus kerja berat, ia tidak pernah
mengeluh.

Kami anak-anaknya tidak pernah memiliki sepatu dan kakak saya pada
bln berikutnya harus masuk sekolah. Ibu berusaha ingin membelikan
sepasang sepatu untuk kakak saya. Kebenaran tetangga kami seorang
penjual barang rombengan (tukang loak), kepada dia Ibu memesan
sepasang sepatu, walaupun sepatu bekas dan juga agak kebesaran,
tetapi daripada tidak punya sepatu sama sekali. Harganyapun telah
ditetapkan, tetapi karena Ibu belum punya uang, ia diberi kesempatan
untuk mengumpulkannya terlebih dahulu, setelah jumlah uangnya
lengkap ia boleh menembus sepatu bekas tsb.

Ibu ingin uang itu cepat terkumpul sehingga ia bekerja lebih banyak
dan lebih berat lagi. Ia harus menggosok pakaian kadang-kadang
hingga jam dua pagi sedangkan jam lima pagi ia sudah harus bangun
lagi untuk mencuci pakaian. Bahkan untuk bisa menabung ini Ibu telah
beberapa kali melakukan puasa agar uangnya bisa lebih cepat
terkumpul.

Akhirnya Ibu jatuh sakit, karena pekerjaannya yang terlalu berat dan
juga karena seringnya berpuasa, walaupun ia sakit, ia tetap bekerja
terus, sehingga pada saat ia menggosok pakaian, karena kelelahan ia
lelap sejenak. Akibatnya sangat fatal bagi Ibu, pakaian langganan
yang sedang ia gosok menjadi hangus oleh strikaan panas.

Ibu menangis, ia bukan menangis karena sakit, ia bukan menangis
karena harus bekerja berat, ia menangis, karena uang celengan yang
tidak seberapa jumlahnya yang seyogiyanya untuk membeli sepatu
anaknya harus digunakan untuk mengganti pakaian yang hangus kena
strikaan. Sehingga terpaksa, pada saat kakak saya mengikuti perayaan
Natal di sekolah, dimana hampir semua murid memakai pakaian maupun
sepatu baru, kakak saya sebagai anak satu-satunya yang tidak memakai
sepatu dan kemeja tambalan.

Ketika pulang sekolah kakak saya menangis ia tidak mau pergi ke
sekolah lagi, karena ia telah menjadi ejekan dari kawan2 sekolahnya
sebagai satu-satunya anak yang tidak pakai sepatu. Masih ingat oleh
saya wajah Ibu, sambil memeluk anaknya ia membelai kepala kakak
saya, mengalir butir air matanya keluar, tak sepatah katapun yang ia
ucapkan, tetapi terbayang diwajahnya betapa pedih dan betapa
sakitnya perasaan Ibu saya pada saat tsb.

Apakah Anda bisa membayangkan berapa banyak orangtua menjelang Natal
maupun Tahun Baru ini yang mungkin mengalami perasaan dan nasib yang
sama seperti Ibu saya, karena mereka tidak mampu membelikan pakaian
maupun sepatu untuk anaknya?

Mang Ucup
Email: mang.ucup@gmail.com
Homepage: www.mangucup.net

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Reconnect with

college alumni.

Parenting Zone

on Yahoo! Groups

Your one stop for

parenting groups.

Wellness Spot

Embrace Change

Break the Yo-Yo

weight loss cycle.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar: