Sabtu, 23 Februari 2008

[psikologi_transformatif] Re: Pendidikan Berbasis Pluralitas

Ha..ha...iki yo lakon temenan....kabare lagi ngakak-ngakak nang
nggurine manneke bung hahaha.....Ya udah terusin aja dulu nulisnya!!
kite2 lagi belajar karo sampeyan kog. hehe.....salam special kanggo
Budiman Manneke yo....dudu manneke budiman lho! hahha.....

--- In psikologi_transformatif@yahoogroups.com, audifax -
<audivacx@...> wrote:
>
> Lha ya itu Oom Ayaz...ditunggu garamnya sampeyan.
> Piye kabar sampeyan mas? Sudah balik ke tempatnya Cleopatra lagi?
>
> ayaz <hellaz1001@...> wrote: Tulisan
yang memikat. Tapi lagi-lagi solusi yang ditawarkan kog
> terasa masih jauh ya...masih....maaf sedikit hambar. tp ya gak
papa
> lah mungkin masih harus ditambah sedikit garam biar ada yang baru
> gitu lho bung
>
> --- In psikologi_transformatif@yahoogroups.com, audifax -
> <audivacx@> wrote:
> >
> > Pendidikan Berbasis Pluralitas
> >
> >
> > Oleh:
> > Audifax
> > Staf Peneliti di SMART Human Re-Search & Psychological
Development
> >
> >
> >
> >
> > People living without rights
> > Without their dignity
> > How loud does one man have to shout
> > To earn his right to be free
> >
> >
> > You can keep your toy soldiers
> > To segregate the black and white
> > But when the dust settles
> > And the blood stops running
> > How do you sleep at night?
> >
> >
> > Phil Collins
> > Colours
> >
> >
> >
> >
> > Thinking outside the line. Kalimat itu sering digunakan untuk
> menggambarkan kreativitas. Manusia pada dasarnya menggunakan garis-
> garis konstruksi tertentu ketika berpikir dan mengolah realita di
> hadapannya. Garis konstruksi ini tak lepas dari apa yang telah
> dibudayakan pada diri kita. Asal mula garis itu bisa dari agama,
> norma, kebiasaan, nilai atau hal-hal yang sifatnya (di)wajar(kan)
> secara kultural. Maka itulah, kreativitas sering digambarkan
> sebagai `sebuah penciptaan' yang sifatnya menembus atau melampaui
> garis konstruksi yang telah kita anggap wajar.
> >
> >
> > Dengan demikian, sebenarnya kreativitas terkait dengan apa
yang
> dijelaskan Derrida sebagai `dekonstruksi'. Suatu kreativitas
adalah
> sebuah proses dekonstruksi terhadap konstruksi yang telah dianggap
> jamak atau biasa. Kreativitas adalah sebuah cara berpikir yang
> melampaui konstruksi pemikiran. Pada titik ini, kita perlu
mencermati
> bahwa kemampuan untuk `melampaui' itu bukan dengan menafikan
> konstruksi yang telah ada melainkan dengan mengafirmasi konstruksi
> itu, menyadari keberadaan konstruksi itu dan melibatinya secara
lebih
> luwes ketimbang mereka yang terpaku pada alur-alur garis atau
> thinking inside the line.
> >
> >
> > Perkembangan jaman saat ini, memerlukan cara berpikir kreatif
> atau dekonstruktif. Kenapa? Karena perkembangan jaman saat ini
> menunjukkan bahwa masyarakat bukan lagi terbagi dalam kelompok-
> kelompok besar melainkan kelompok-kelompok kecil. Ada sekian
banyak
> partai. Ada sekian banyak suporter sepakbola. Ada sekian banyak
suku.
> Masih banyak lagi bisa kita contohkan bagaimana masyarakat
Indonesia
> menjadi semakin terfragmentasi dalam kelompok kecil dengan ciri
> khasnya masing-masing.
> >
> >
> > Jaman sudah berubah, kita bukan lagi sebuah bangsa dengan
narasi
> besar yang menyatukan semuanya. Saat ini justru muncul begitu
banyak
> narasi kecil yang tak jarang satu sama lain bertentangan. Di
sinilah
> kreativitas atau cara berpikir dekonstruktif diperlukan. Penanaman
> hal ini, mesti dilakukan sejak usia dini atau sejak anak-anak.
Jika
> tidak, dalam beberapa dekade ke depan, terdapat potensi meledaknya
> berbagai pertentangan cara pandang.
> >
> >
> > Pendidikan Berbasis Pluralitas
> > Pendidikan di jaman ini, tak bisa semata berbasis kompetensi
> (atau kompetisi) melainkan juga mesti menyertakan bagaimana anak
> dibekali kecerdasan untuk hidup di tengah pluralitas. Kecerdasan
> inilah yang akan membantunya thinking outside the line.
Bagaimanapun,
> sejak lahir manusia telah terjerat oleh jejaring struktur budaya
yang
> dibuatnya sendiri. Agar dapat direkognisi sebagai `seseorang',
masing-
> masing dari kita mesti menyandang konstruksi tertentu. Konstruksi
ini
> membuat kita direkognisi sebagai seseorang, entah itu seorang
Muslim,
> Katolik, Cina, Sunda, Pelajar, Insinyur, Psikolog, Ustad, Laki-
laki,
> Perempuan atau apa saja.
> >
> >
> > Tanpa konstruksi itu, anda tak akan bisa hidup di tengah
> masyarakat. Namun, konstruksi itu kerap menjerat kita untuk hanya
> berpikir sebatas garis-garis konstruksi. Ini membuat orang
melupakan
> adanya sesuatu yang lain di luar garis konstruksi itu yang juga
hidup
> bersamanya. Inilah yang oleh para postrukturalis diidentifikasi
> sebagai Liyan atau the Other. Kesulitan memahami Liyan atau Yang-
Lain
> ini tampak pada mereka yang seringkali merespon tulisan saya
dengan
> menyebut Liyan/Yang-Lain ini sebagai "Yang Lain-lain".
> >
> >
> > Jelas beda antara Liyan dan Yang Lain-lain. Ketika kita
> menyebut `Yang Lain-lain', masih tersirat adanya sesuatu yang
menjadi
> pusat dan hal-hal lain yang diidentifikasi pusat sebagai Yang Lain-
> lain. Sedangkan Liyan, justru merupakan sesuatu yang tak mampu
kita
> identifikasi namun mesti disadari bahwa ia ada. Inilah sulitnya.
> Orang yang terbelenggu dalam thinking inside the line akan
> bertanya: "bagaimana kita menyadari jika kita tidak tahu?".
> Pertanyaan ini pun masih menyiratkan adanya pusat karena
menganggap
> bahwa yang perlu disadari ada adalah sesuatu yang telah diketahui.
> >
> >
> > Term `mengetahui' tak akan lepas dari bagaimana kita berpikir
> hingga mencapai proses tahu. Masalahnya, Liyan ini adalah sesuatu
> yang sama sekali berada di luar pikiran. Jika orang tidak
menyadari
> selalu ada sesuatu yang lain di luar pikirannya, maka diapun akan
> sulit menerima pluralitas.
> >
> >
> > Lalu apa hubungannya dengan kreativitas dan pendidikan di usia
> dini? Konstruksi kultural, sebenarnya terutama tertanam sejak anak
> menginjakkan kaki di bangku pendidikan. Agar mudah, guru kerap
> melatih anak dengan cara-cara yang membuat anak berpikir di alur
yang
> telah ditetapkan. Cara ini membantu anak menguasai pelajaran,
namun
> juga berpotensi membuat cara berpikir mereka linier atau hanya
> thinking inside the line.
> >
> >
> > Kebiasaan berpikir linier ini tak terlalu menimbulkan masalah
> ketika masyarakat ditertibkan oleh sebuah narasi besar yang
> menyeragamkan semuanya, entah itu dengan jalan kekerasan
sekalipun.
> Namun, ketika orang mulai mendengung-dengungkan demokrasi,
kebebasan,
> hak asasi, maka cara berpikir linier ini berpotensi menimbulkan
> tabrakan antara satu konstruksi sosial dengan konstruksi sosial
lain.
> >
> >
> > Persoalan inilah yang mesti menjadi pemikiran bangsa Indonesia
> yang berslogan "Bhinneka Tunggal Ika" ini. Ke-Bhinneka-an itu
sendiri
> menyiratkan sebuah pluralitas yang hidup dalam sebuah ruang yang
> sama. Keberbedaan yang satu sama lain memiliki hak hidup yang sama
> dan tak bisa diseragamkan. Salah satu jalur yang bisa digunakan
untuk
> mengajarkan hidup dalam ke-Bhinneka-an adalah sekolah. Melalui
> sekolah anak membentuk dan mengasah kecerdasannya. Di sinilah
> diperlukan bagaimana mengajarkan sebuah kecerdasan dalam
menghadapi
> pluralitas.
> >
> >
> > Ada cermatan lain?
> >
> >
> >
> >
> > 17 Februari 2008
> >
> >
> >
> > Tentang Penulis
> > Audifax adalah penulis dan peneliti. Dua hasil penelitiannya
> diterbitkan oleh penerbit Jalasutra, yaitu Mite Harry Potter
(2005,
> Jalasutra) dan Imagining Lara Croft (2006, Jalasutra). Bukunya
yang
> lain adalah Semiotika Tuhan (2007, Pinus Book Publisher).
> >
> >
> > Pada April 2008 ini akan terbit buku Psikologi Tarot yang
> ditulisnya bersama Leonardo Rimba. Buku ini akan diterbitkan oleh
> Pinus Book Publisher.
> >
> >
> > Saat ini Audifax menjabat research director di SMART Human Re-
> Search & Psychological Development. Sebuah lembaga yang memiliki
> concern pada riset dan pengembangan psikologi yang mengajarkan
> pluralitas sejak usia dini. Informasi lebih lanjut, hubungi: SMART
> Human Re-Search & Psychological Development, Jl. Taman Gapura G-20
> (kompleks G-Walk) Citraland – Surabaya. Telp. (031) 7410121, Fax
> (031) 7452572, e-mail: smart.hrpd@
> >
> >
> > Audifax mengundang anda untuk mendiskusikan esei ini di milis
> Psikologi Transformatif. Jika anda memiliki concern terhadap tema
> yang ada pada esei ini, mari bergabung dengan kita yang ada di
milis
> Psikologi Transformatif
> >
> >
> > Sekilas Mailing List Psikologi Transformatif
> > Mailing List Psikologi Transformatif adalah ruang diskusi yang
> didirikan oleh Audifax dan beberapa rekan yang dulunya tergabung
> dalam Komunitas Psikologi Sosial Fakultas Psikologi Universitas
> Surabaya. Saat ini milis ini telah berkembang sedemikian pesat
> sehingga menjadi milis psikologi terbesar di Indonesia. Total
member
> telah melebihi 2000, sehingga wacana-wacana yang didiskusikan di
> milis inipun memiliki kekuatan diseminasi yang tak bisa dipandang
> sebelah mata. Tak ada moderasi di milis ini dan anda bebas masuk
atau
> keluar sekehendak anda. Arus posting sangat deras dan berbagai
wacana
> muncul di sini. Seperti sebuah jargon terkenal di psikologi "Di
mana
> ada manusia, di situ psikologi bisa diterapkan" di sinilah jargon
itu
> tak sekedar jargon melainkan menemukan konteksnya. Ada berbagai
sudut
> pandang dalam membahas manusia, bahkan yang tak diajarkan di
Fakultas
> Psikologi Indonesia.
> >
> >
> > Mailing List ini merupakan ajang berdiskusi bagi siapa saja
yang
> berminat mendalami psikologi. Mailing list ini dibuka sebagai
upaya
> untuk mentransformasi pemahaman psikologi dari sifatnya selama ini
> yang tekstual menuju ke sifat yang kontekstual. Anda tidak harus
> berasal dari kalangan disiplin ilmu psikologi untuk bergabung
sebagai
> member dalam mailing list ini. Mailing List ini merupakan tindak
> lanjut dari simposium psikologi transformatif, melalui mailing
list
> ini, diharapkan diskusi dan gagasan mengenai transformasi
psikologi
> dapat terus dilanjutkan. Anggota yang telah terdaftar dalam milis
ini
> antara lain adalah para pembicara dari simposium Psikologi
> Transformatif : Edy Suhardono, Cahyo Suryanto, Herry Tjahjono,
Abdul
> Malik, Oka Rusmini, Jangkung Karyantoro,. Beberapa rekan lain yang
> aktif dalam milis ini adalah: Audifax, Leonardo Rimba, Nuruddin
> Asyhadie, Mang Ucup, Goenardjoadi Goenawan, Ratih Ibrahim, Sinaga
> Harez Posma, Prastowo, Prof Soehartono Taat Putra,
> > Bagus Takwin, Amalia "Lia" Ramananda, Himawijaya, Rudi Murtomo,
> Felix Lengkong, Hudoyo Hupudio, Kartono Muhammad, Helga Noviari,
> Ridwan Handoyo, Dewi Sartika, Jeni Sudarwati, FX Rudy Gunawan,
Arie
> Saptaji, Radityo Djajoeri, Tengku Muhammad Dhani Iqbal, Anwar
Holid,
> Elisa Koorag, Lan Fang, Lulu Syahputri, Kidyoti, Alexnader
Gunawan,
> Priatna Ahmad, J. Sumardianta, Jusuf Sutanto, Stephanie Iriana,
Yunis
> Kartika dan masih banyak lagi
> >
> >
> > Perhatian: Milis ini tak ada moderator yang mengatur keluar
masuk
> member. Setiap member diharap bisa masuk atau keluar atas
keputusan
> dan kemampuan sendiri.
> >
> >
> > Jika anda berminat untuk bergabung dengan milis Psikologi
> Transformatif, klik:
> >
> >
> > www.groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif
> >
> >
> > ---------------------------------
> > Looking for last minute shopping deals? Find them fast with
Yahoo!
> Search.
> >
>
>
>
>
>
>
> ---------------------------------
> Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile.
Try it now.
>

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Your school could

win a $25K donation.

Curves on Yahoo!

A group for women

to share & discuss

food & weight loss.

Y! Groups blog

the best source

for the latest

scoop on Groups.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar: