Minggu, 06 Januari 2008

[psikologi_transformatif] PRAMOEDYA SASTRAWAN TANPA PANGLIMA

analisa yg menarik. sastra berpolitik itu bisa aja terjadi sebagai refleksi dari situasi kehidupan sehari-hari, tapi jika politik mau ikut main sebagai komandan "sastra" ternyata gak bakalan bisa, kerna manusia yg bersastra itu ada yg gayanya nyentrik dan suka punya cara hidup "di luar orbit kekuasaan".

salam, heri latief

--- In sastra-pembebasan@yahoogroups.com, "BISAI" <annakarenina@...> wrote:

PRAMOEDYA SASTRAWAN TANPA PANGLIMA

Realisme Sosialis

Agam Wispi pernah mengatakan bahwa Realisme Sosialis dalam kesusasteraan Indonesia, khususnya LEKRA (Lekra) tidak pernah didiskusikan dalam  lekra. Karnanya Realisme Sosialis (RS) terbatas cuma sebuah imbauan dan belum sebuah politik sastra atau seni untuk Lekra yang tulisan yang telah terpateri dalam anggaran dasar organsisasi Lekra.

Tapi sebagai imbauan atau sugesti atau harapan, RS telah dijadikan "Panglima" bagi setiap seniman Lekra maupun simpatisannya. Dan Pram (Pramoedya Ananta Toer: PAT/PRAM) Sebagai salah satu tokoh Lekra terbesar, adalah juga propagandistnya yang paling antusias meskipun dalam karya-karya literaturnya tidak tampak jelas atau bahkan tak terlihat sama sekali dimana elemen Realisme Sosialis yang bisa dibaca atau ditafsirkan dengan jelas. Pram menulis tentang banyak soal: keluarga, pengalaman dalam revolusi fisik, sejarah hingga otobiografinya termasuk kisah-kisah Pulau Buru yang tentang dirinya dan teman-temannya. Sebagai pengarang realis, itu sangat mudah terasa, tapi dengan sambungan Sosialis, juga terasa putus tak bersambung. Tapi elemen sejarah dalam karya-karya Pram sangat jelas bahkan cukup bisa diakui bahwa Pram juga seorang sejarawan, pelaku sejarah, dan penulis sejararah melalaui karya-karya fiksi, setengah fiksi dan non fiksi.

Tapi pandangan politik Pram sebagai pengarang yang pro Sosialisme dalam berbagai tulisan yang non fiksinya, sangat jelas. Namun itu belum bisa dikatakan bahwa Pram adalah sastrawan yang beraliran Realisme Sosialis karena hal itu tidak terdapat dalam karya-karya sastranya. Bahwa seorang apa saja yang menganut paham Sosialisme atau pro Sosialisme itu bisa saja yang belum tentu atau belum otomatis karya-karya seninya bermuatan aliran Realisme Sosialis bila hal itu ternyata tidak terdapat. Pandangan politik bisa saja pro Sosialisme, tapi bila melahirkan karya seni, hal itu masih harus dibuktikan, dimana elemen Sosialisme atau sifat realis sebuah karya seni.

Seniman Lekra

Pada sebagian seniman Lekra, terutama pada para sastrawan, elemen Realisme Sosialis sangat tampak jelas, seperti umpamanya pada penyair Hr. Bandaharo, Agam Wispi, Klara Akustia dan yang lain-lain. Dan terutama pada para seniman dan sastrawan yang sempat mengunjungi negeri-negeri Sosialis pada zamannya, maka kesan-kesan mereka yang dituangkan dalam bentuk syair ataupun cerpen, kekaguman mereka terhadap Sosialisme dan pembangunan Sosialisme bukan saja sangat jelas tapi juga sangat antusias. Tapi umpamanya para pengarang atau penyair seperti Ajip Rosidi dan W.S.Rendra yang juga sempat mengunjungi negeri-negeri Sosialis, karya-karya sastra mereka tidak otomatis dan bahkan tidak lalu menjadi sastrawa penganut Realisme Sosialis. Jadi aliran Realisme Sosialis lebih banyak menampakkan dirinya sebagai aliran politik daripada aliran sastra itu sendiri. Dan sekali lagi, sebagai aliran politik, dia tidak selalu otomatis terdapat dalam karya seni para penganutnya menjadi aliran yang kita sebut Realisme Sosialis.

Hubungan antara Lekra dan PKI adalah hubungan pandangan politik yang sama atau hampir bersamaan atau paling tidak, tidak bertentangan satu sama lain. Hubungan itu dari luar memang tampak erat dan bahkan bagi sementara orang, Lekra adalah juga PKI di bidang seni. Tapi dari dalam, tidak seperti hasil yang ditunjukkan sebuah microskop dari dua belahan satu benda yang sama. Tapi kalau dikatakan hubungan antara Lekra dan PKI ada hubungan politik yang antusias, itu sangat bisa dimengerti karena mereka punya pandangan yang sama atau hampir bersamaan dalam cita-cita politik maupun orientasi mereka kepada rakyat pekerja Indonesia. Ke antusiasan itu bahkan hingga mencapai super antusias. Umpamanya semboyan, <Politik adalah panglima> adalah semboyan yang dikibarkan tinggi-tingi oleh Lekra sendiri dan bukan tuntutan atau perintah maupun instruksi dari PKI. Demikian antusiasnya hingga Lekra seolah ingin lebih revolusioner dari PKI sendiri dan itu bisa dipahami karena Lekra bekerja dengan ekspressi seni terutamanya, yang itu memungkinkan lebih banyak untuk mengekspresikan pandangan politik secara lebih menghunjam dalam ke hati nurani manusia. Dan PKI tentu saja tidak menolak dan mengapa harus menolak. Tapi dalam kenyataan, PKI bukannya terlena begitu saja akan sokongan  dan simpati besar dari para seniman dan penulis Lekra. Seorang yang terlalu banyak menerima pujian atau kekaguman tentu akan tersipu sipu apalagi bagi mereka yang rasa tahu dirinya cukup tinggi. Begitu pula PKI. Tidak semua pujian dan kekaguman yang telah dituangkan dalam karya seni Lekra, mempunyai nilai seni atau nilai sastra yang benar-benar bisa terasa tinggi bahkan cukup memadai dan sering-sering sebaliknya, terlalu banyak reklame, terlalu banyak semboyan dan seruan, terlalu banyak politik daripada seni atau sastranya dan mulailah timbul ejekan dan celaan dari para penentang Realisme Sosialis maupun dari pihak musuh-musuh Lekra sebagai seni dan sastra bermutu rendah. PKI merasakan hal itu yang jangan lupa salah seorang pembesar PKI, Nyoto yang juga tokoh Kebudayaan itu adalah juga anggota Lekra. PKI tahu bagaimana menghadapi para seniman, mengerti perasaan mereka, atau yang ketika itu terkenal sebagai "garis massa"yang harus diberikan cocok dengan sifat massa atau golongan sosial seseorang, sangat disedari oleh PKI. Dengan pertolongan pendekatan "garis massa" inilah PKI mulai berani "mengkritik" para seniman dan sastrawan "super antusiasme"yang kebanjiran inflasi semboyan  dan seruan dalam karya-karya seni dan sastra mereka dengan apa yang pernah terkenal sebagai dua tuntutan tinggi: "tinggi mutu seninya, dan juga tinggi mutu politiknya". Tapi banjir memang sudah sulit untuk dibendung dan dua tuntutan dari PKI yang juga disetujui Lekra itu, dalam kenyataan selanjutnya tidak banyak menolong karena Lekra juga kebanjiran penyair, kebanjiran sastrawan, kebanjiran seniman yang pandangan di waktu itu adalah semua orang bisa jadi sastrawan, semua orang bisa jadi seniman, semua orang bisa jadi pengarang. Dan istilah "penyair". "sastrawan"."seniman" diganti dengan "PEKERJA SENI" untuk mengesankan "sama rata sama rasa"di bidang seni: tidak ada seniman, tidak ada sastrawan, tidak ada penyair, yang ada "PEKERJA SENI" hingga Sudisman-pun harus dianggap juga penyair meskipun sudah dengan nama baru sebagai "PEKERJA SENI" yang sampai Agam Wispi menolak sajaknya dimuat dalam "Harian Rakyat"karena menurut Agam, sajaknya baru setahap anak-anak baru belajar bikin sajak. Lahirnya istilah "PEKERJA SENI" sebagai pengganti "gelar" yang diangggap diskriminatif dan bahkan dianggap mulia yang dimonopoli  hanya oleh golongan seniman itu, pada hakekaktnya adalah kecemburuan para politikus dalam PKI dan Lekra sendiri yang ingin semuanya jadi "seniman"meskipun bukan bidang dan bakat mereka. Tapi dengan gelar pengganti "PEKERJA SENI" seniman sungguh dan "seniman politik"jadi satu derajat, sama tinggi bakat dan kemampuan seninya. Itu agaknya semacam "demokratisasi"dalam seni dan dalam kenyataan cukup banyak anggota pimpinan PKI jadi naik syur ingin jadi "PEKERJA SENI" yang pada hakekatnya ingin diakui jadi seniman sungguh meskipun tanpa bakat dan karyanya tidak bagus (kecuali politiknya yang cukup"tinggi").

Hingga PKI dihancurkan Suharto, anjuran "dua tinggi" tidak pernah terpenuhi secara memadai karena sang "Panglima" kebanyakan otoriter yang itu juga bikinan sendiri, sukarela, dan bukan pesanan siapapun kecuali dorongan antusiasme yang berlebih lebihan dari setiap orang itu sendiri. Penyakit kelebihan "politik" dan a vitaminose estetika tetap saja belum bisa disembuhkan hingga sekarang ini sebagai peninggalan semboyan Lekra "politik adalah panglima".

PRAMOEDYA YANG TANPA PANGLIMA

Sebagai panglima besar dari aliran sastra "Politik adalah panglima", dalam kenyataan ,Pram tidak mempunyai seorang panglima yang manapun kecuali dirinya sendiri sebagai panglima. Dan dia berhasil menjadi sastrawan satu-satunya yang terbesar dari semua pengarang-pengarang Lekra yang punya panglima. Orang telah tidak bisa membedakan antara pandangaan politik seorang sastrawan dengan karya-karyanya yang bisa tidak persis dengan paham sastra yang dianutnya. Karna sastra secara alamiah adalah pelahiran ekspressi bebas tanpa ikatan apapun termasuk politik. Tapi sastra itu sendiri bisa campur tangan ke segala bidang yang dikehendaki sang seniman termasuk bidang politik atas keinginan dirinya sendiri yang  bukan pesanan, bukan instruksi, bukan disiplin dan juga mashab yang semua ini dilakukan oleh Pramoedya. Bukan kebetulan, apa yang dituntut oleh Yoesoef Isak terhadpa jaksa yang menuduh Pram seorang penyebar Marxisme, tidak bisa ditunjukkan atau dibuktikan sang Jaksa pada kalimat mana Pram telah menulis yang bisa dikatakan dia penyebar Marxisme. Dan bukan hanya jaksa yang tidak bisa membuktikan dan menemukan, semua orang pemerhati sastra yang paling kritispun tidak akan bisa menemukan dalam karya-karya sastra Pramoedya ada penyebaran Marxisme dan juga ada elemen Realisme Sosialis. Dan justru Pram menjadi besar tanpa panglima dan dia berhasil gemilang go International dengan mempanglimai dirinya sendiri. Sedangkan mereka yang mempertahankan terus "Politik adalah panglima" tetap tersendat sendat antara ekspressi yang harus bermuatan politik dengan selera pembaca yang semakin jauh meninggalkan diri mereka dan terjadilah kesepian, keterpencilan dan selalu diluar arena kompetisi sastra. Satu satunya obat yang bisa menyembuhkan mereka adalah membebaskan diri dari kungkungan semboyan lama yang ternyata memang tak pernah produktif, lemah daya kompetisinya, rentan terhadap super antusiasme dan juga bukannya tidak arogan. Sastra mencampuri politik, itu bisa meskipun tidak harus. Tapi politik mencampuri sastra apalagi akan mempanglimainya, sastra akan kehilangan kebebasannya baik mutu maupun penyebarannya. Yang terpenting dalam sastra bukanlah ketinggian antusiasmenya melaiankan ketinggian mutu ekspressinya dan presentasinya. Soal berhasil atau tidaknya, itu adalah soal lain.

Asahan Aidit.
Hoofddorp 612008.





sastra-pembebasan@yahoogroups.com
milisgrup opini alternatif

http://geocities.com/lembaga_sastrapembebasan/
penerbit buku sejarah alternatif

http://progind.net/
kolektif info coup d'etat 65: kebenaran untuk keadilan


Looking for last minute shopping deals? Find them fast with Yahoo! Search.

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Be a career mentor

for undergrads.

Y! Messenger

PC-to-PC calls

Call your friends

worldwide - free!

Wellness Spot

on Yahoo! Groups

A resource for living

the Curves lifestyle.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar: