Minggu, 06 Januari 2008

[psikologi_transformatif] Psikologis Pro Status Quo? (Masalah Revisi UU Kesehatan)

Profesi Psikologis perlu belajar juga dari Profesi Farmasis.


Pertanyaan lagi:


Psikologis Pro Status Quo?


Salam,

Juneman




27 Nov 07 21:50

Pemerintah dan DPR Didesak Selesaikan Revisi UU Kesehatan


Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah dan DPR RI didesak segera menyelesaikan revisi Undang-undang Nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan dan mengesahkannya.


"Bila pemerintah benar-benar peduli terhadap permasalahan kesehatan, undang-undang yang baru harus segera disahkan," kata Tini Hadad dari Yayasan Kesehatan Perempuan dalam sebuah diskusi publik di Jakarta, Selasa.


Kehadiran undang-undang kesehatan baru yang mencakup semua kebutuhan, menurut dia, diperlukan untuk membenahi sistem kesehatan dan mengatasi masalah kesehatan yang ada.


Undang-undang tersebut diperlukan sebagai dasar untuk menyusun peraturan perundangan lain dibidang kesehatan termasuk peraturan tentang perumahsakitan, obat, dan pengendalian penyakit menular.


Berkenaan dengan hal itu anggota Komisi IX DPR RI Hakim Sorimuda Pohan mengatakan bahwa pekan lalu DPR telah menyelesaikan pembahasan mengenai Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) rancangan perubahan undang-undang kesehatan.


"Pleno di Pansus sudah selesai, selanjutnya akan dibahas di Panja DPR," katanya.


Hal yang akan dibahas dalam Panitia Kerja (Panja) DPR, menurut dia, antara lain mengenai masalah aborsi, pemenuhan hak reproduksi, kependudukan, dan pengawasan penyelenggaraan pelayanan kesehatan.


Meski tidak menetapkan target namun pembahasan revisi undang-undang kesehatan, kata Hakim, diharapkan selesai sebelum tahun 2009.


"Kami berharap bisa segera diselesaikan, sebab rancangan perubahan undang-undang ini sudah berlangsung selama hampir tujuh tahun," demikian Titi Hadad.(*)



---

Pembahasan Revisi Undang-Undang Kesehatan Mandek

Tanggal :        24 Oct 2007

Sumber :        Koran Tempo


Prakarsa Rakyat,


Saat ini alokasi anggaran kesehatan hanya 3,12 persen.


JAKARTA -- Pembahasan revisi Undang-Undang Kesehatan macet di tengah jalan. Sudah tujuh tahun rancangan perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 itu dibahas oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, tapi hingga kini belum ada kemajuan yang berarti.


Revisi yang sedang dibahas Panitia Khusus ini bahkan belum menyentuh pembahasan bab dan pasal. Pemerintah dan DPR baru menyelesaikan sekitar 30 persen dari 483 daftar inventarisasi masalah atau sebanyak 153 poin.


"Ada tarik-menarik kepentingan antara pemerintah dan DPR. Itulah mengapa pembahasan draf revisi sangat alot," ujar Ketua Jaringan Pemerhati Perubahan Undang-Undang Kesehatan Zumrotin dalam sebuah diskusi di Jakarta kemarin.


Menurut Zumrotin, pemerintah dan Dewan tidak lagi berfokus pada pembahasan substansial revisi undang-undang, tapi malah mengedepankan egoisme lembaga.


Sementara itu, Aisyah Hamid Baidlowi, Ketua Indonesian Forum of Parliamentary on Population and Development, yang juga mantan anggota Pansus RUU Kesehatan dari Fraksi Partai Golkar, mengatakan usul daftar inventarisasi masalah yang diajukan pemerintah justru mengalami kemunduran.


"Usul revisi dari pemerintah justru kembali pada undang-undang yang lama. Nyaris tidak ada perubahan," kata dia. Menurut Aisyah, lambatnya revisi karena Dewan harus melakukan pembahasan daftar inventarisasi masalah dari awal karena adanya pergantian anggota DPR pada 2004.


Terkatung-katungnya pembahasan perubahan undang-undang ini membuat kalangan pemerhati kesehatan khawatir. Sebab, Dewan tidak memprioritaskan revisi Undang-Undang Kesehatan dalam daftar prioritas undang-undang pada 2007 dan 2008. Padahal, menurut Zumrotin, bila hingga 2008 revisi tidak segera disahkan, pembahasan undang-undang dikhawatirkan terganjal pergantian anggota DPR periode selanjutnya.


Revisi terhadap undang-undang ini dinilai sangat penting. Sebab, Undang-Undang Kesehatan yang ada saat ini belum memberikan jaminan terhadap hak kesehatan masyarakat, terutama masyarakat miskin.


Bila undang-undang ini jadi direvisi, negara harus bertanggung jawab penuh menjamin kemudahan akses kesehatan yang murah dan layak melalui program kesehatan. Perincian yang akan diatur antara lain pelayanan kesehatan penduduk miskin, peningkatan kualitas puskesmas, pengadaan obat generik esensial, serta peningkatan pelayanan kesehatan ibu dan anak.


Untuk mendukung hal itu, pemerintah wajib mengalokasikan minimal 5 persen dari anggarannya (anggaran pendapatan dan belanja negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah) untuk program kesehatan di luar gaji petugas kesehatan. Saat ini negara hanya mengalokasikan anggaran kesehatan sebesar 3,12 persen. NININ DAMAYANTI


---


Mei 2007

Perlunya PERUBAHAN

UU no. 23 Tahun 1992 tentang KESEHATAN

Undang-undang No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan telah menggantikan UU No. 9 Tahun 1962 tentang

Pokok-Pokok Kesehatan. Namun beragam perubahan dan dinamika telah terjadi sejak disahkannya UU

tersebut, sehingga diperlukan perubahan (amandemen) UU No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.


Kelemahan UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan

1. Dari 29 PP yang diamanatkan, hanya

enam yang berhasil diterbitkan.

2. Tidak mengantisipasi perkembangan

teknologi dan perubahan sosial

sehingga kehadiran teknologi baru

yang berdampak pada kebijakan dan

kesehatan masyarakat (teknologi

informasi, teknologi pertanian,

rekayasa genetik kloning, pemanfaatan

sel bakal/stem cell) belum

terakomodasi.

3. Belum mengakomodasi beberapa

komitmen global yang terjadi setelah

tahun 1992, seperti Tujuan

Pembangunan Milenium (Millennium

Develoment Goals/MDGs).

4. Ada pasal-pasal yang tidak sinkron

dengan undang-undang lain.

5. Belum mengakomodasi perubahan

ketatanegaraan yang terjadi setelah

tahun 1992. Misalnya, perkembangan

ketatanegaraan bergeser dari

sentralisasi menuju desentralisasi

dengan ditetapkannya UU no. 22

Tahun 1999 tentang otonomi Daerah.

6. Beberapa pasal tentang peran serta

masyarakat belum menunjukkan pinsip

partisipatif dan masih dilihat dari

sudut pandang Pemerintah.

7. Pasal-pasal yang yang ada belum

secara proposional mencerminkan UU

yang berwawasan sehat, dan lebih

menitikberatkan pada pengobatan

(kuratif). Padahal, diperlukan UU yang

dapat mengakomodir paradigma

kesehatan yang mengutamakan upaya

promotif dan preventif, tanpa

mengabaikan upaya kuratif dan

rehabilitatif.

8. Pasal-pasal yang yang ada belum

secara optimal mengakomodasi

beberapa aspek dalam kesehatan,

seperti peraturan tentang kesehatan

reproduksi, obat, zat adiktif, dan

sebagainya.

9. Kurang antisipatif terhadap perubahan

sosial dan lingkungan hidup akibat

pertambahan penduduk dan

perubahan demand masyarakat.

3 ALASAN PERUBAHAN UU NO.23 TAHUN 1992

TENTANG KESEHATAN PERLU SEGERA DISAHKAN

Diperlukan adanya pegangan hukum pemerintah pusat dan daerah untuk

menjamin kesejahteraan rakyat

Menjadi referensi semua sektor dalam menyusun peraturan yang berwawasan

kesehatan

Sebagai dasar untuk menyusun peraturan perundang-undangan lain di bidang

kesehatan (misalnya: tentang Rumah Sakit, Pengobatan Alternatif, Penyakit

Menular, Obat dan sebagainya).

Page 2

Status dan Perkembangan Perubahan UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan

• Semua Fraksi dalam DPR-RI periode 1999-2004 telah menggunakan hak inisiatifnya

dan mengusulkan Rancangan Perubahan UU No. 23/1992 tentang Kesehatan.

• Ketua DPR RI Periode 1999-2000 Ir. Akbar Tandjung telah menyampaikan surat

kepada Presiden Megawati Soekarnoputri untuk mendapatkan persetujuan

Pemerintah atas Rancangan Perubahan UU No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

• Dengan berakhirnya masa jabatan Presiden dan DPR-RI Periode 1999-2004 di bulan

Oktober 2004, proses pembahasan Perubahan UU Kesehatan ditunda untuk

selanjutnya dibahas pada sidang DPR RI Periode 2004-2009 (sesuai dengan UU

No.10/2004 tentang Tata Tertib Pembuatan Undang-Undang).

• Tanggal 27 Juni 2005, Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi IX (Kesehatan)

DPR – RI periode 2004 - 2009, mengumumkan bahwa Perubahan UU No. 23 Tahun

1992 tentang Kesehatan termasuk dalam agenda prioritas pada tahun 2005.

• Tanggal 28 Juni 2005 semua fraksi DPR RI menyetujui menggunakan hak inisiatif

anggota DPR RI dan mengusulkan Rancangan Perubahan UU No. 23 Tahun 1992

tentang Kesehatan. pembahasan lebih lanjut diserahkan kepada Komisi IX DPR RI.

• Tanggal 18 Oktober 2006 semua fraksi DPR menyepakati rancangan perubahan UU no.

23 tahun 1992 yang akan diserahkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

• Tanggal 14 November 2006, Ketua DPR - RI Agung Laksono menyampaikan surat

kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mendapatkan persetujuan

Pemerintah atas Rancangan Perubahan UU No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan yang

diajukan ole DPR.

• Surat Presiden tanggal 4 Januari 2007, Presiden RI (Susilo Bambang Yudhoyono) telah

mengamanatkan Departemen Kesehatan dan Departemen Hukum dan HAM untuk

menindaklanjuti inisiatif DPR.

• Tanggal 15 Maret 2007, Departemen Kesehatan RI menyerahkan Daftar Inventaris

Masalah (DIM) atas Rancangan Perubahan UU No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan

kepada DPR–RI.

JARINGAN PEMERHATI PERUBAHAN UNDANG-UNDANG KESEHATAN



---


Quo Vadis Farmasis Indonesia?

 

(07/12/2005)

Berawal pada proses dialektika yang tak terlihat ujung dan pangkalnya, bahwa dunia farmasis saat ini masih berada dalam lingkaran abu-abu (belum jelas arahnya). Semenjak Firaun masih bujang sampai sekarang, kita terus disibukkan dengan diskusi tentang eksistensi farmasis Indonesia. Pertanyaan yang sangat mendasar sekarang ini sebenarnya "perlu gak sih" farmasis di Indonesia? Kalau memang perlu kenapa sampai sekarang farmasis hanya sekedar simbol tanpa peran? Di mana sebenarnya nilai strategis dari peran seorang farmasis? Apakah hanya sebagai penjual obat? Atau kita sebenarnya memiliki peran yang lebih dari itu? Tapi kenapa selama ini kita hanya diam melihat realitas kondisi dunia kefarmasian, khusunya posisi apoteker yang semakin kabur dalam melakukan peran penyembuhan pasien


Farmasis atau apoteker merupakan salah satu dari 5 profesi kesehatan yang diakui dalam UU Kesehatan No.23 tahun 1992. Kontras dengan fakta tersebut, pernah terjadi suatu kasus, yaitu ketika ada seorang apoteker lulusan salah satu perguruan tinggi farmasi terkemuka di tanah air ,yang ingin melanjutkan studi S2 ke Fakultas Kedokteran Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat di Universitas yang sama, mengalami kegagalan dalam menempuh usahanya tersebut. Setelah beberapa saat, ternyata diketahui penyebab kegagalannya adalah bahwa beliau tidak diakui sebagai profesi kesehatan, di mana untuk dapat kuliah S2 di program studi terebut, persyaratan utamanya adalah lulusan profesi kesehatan. Sungguh suatu kenyataan yang sangat menyudutkan posisi profesi farmasis di antara profesi kesehatan yang lain.


Selain studi kasus di atas, terdapat beberapa kejanggalan pada perangkat peraturan-perundangan kita yang menyangkut pelayanan kefarmasian. Salah satunya adalah definisi resep berdasarkan UU yang sama, di mana resep didefinisikan sebagai permintaan tertulis dari seorang dokter kepada apoteker. Dari redaksional yang digunakan tampak secara kasat mata bahwa peran apoteker dalam melayani pasien hanya sebatas memenuhi permintaan dokter untuk dispensing obat kepada pasien. Di sini tampak seolah-olah dokter lah yang paling tahu tentang pemilihan jenis obat yang digunakan, dosis yang harus diberikan, adverse reaction&drugs interaction yang mungkin terjadi, lama terapi, efek samping yang mungkin timbul, dan sebagainya. Padahal farmasis selama menempuh masa studinya selalu bergelut dengan hal-hal tentang obat-obatan tersebut. Ditambah lagi jika kita menilik UU Perlindungan Konsumen, di situ disebut-sebut tentang perlunya second opinion dari profesi kesehatan lainnya selain dokter dalam pemberian pelayanan kesehatan kepada pasien. Di sini jelas bahwa farmasis seharusnya memiliki peran yang sejajar dengan dokter dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien.


Jika mencermati realita yang ada tentang peran, fungsi, dan posisi farmasis sebagai profesi kesehatan yang kini tampak belum menunjukkan tajinya di masyarakat, maka dapat ditarik suatu benang merah tentang penyebab terjadinya hal ini, yaitu lack of self confidence. Kelemahan terbesar profesi farmasis adalah bahwasanya farmasis masih belum pe-de dalam berinteraksi dengan profesi kesehatan lainnya. Sumber ketidak pe-de an ini ditengarai dari maha luasnya ilmu farmasis yang jika tidak dimonovalenkan maka akan mengakibatkan farmasis hanya akan menguasai outer skin dari multi disiplin ilmu kefarmasian yang mencakup ilmu kimia, fisika, sistematika tumbuhan, anatomi dan fisiologi manusia, farmakologi, interaksi obat, bioavailabilitas dan bioekivalensi, toksikologi, bioteknologi, teknologi formulasi, sampai ilmu psikologi dan sosial tentang komunikasi massa, farmakoekonomi, dan manajemen, yang seharusnya dikuasai. Hal ini ditambah lagi heterogennya stake holders lulusan profesi farmasis, yaitu dari bidang industri, farmasi komunitas dan klinik, pemerintahan, dan lain-lain, yang dirasa makin menyulitkan penyusunan Competence Based Curriculum sebagai dasar profesionalisme profesi farmasis. Kenyataan tentang luasnya bidang pekerjaan farmasis ini menjadikan para farmasis merasa sudah berada di zona nyaman (baca: farmasis pro status quo), tanpa menyadari bahwa sebenarnya kita bisa berada pada keadaan yang jauh lebih baik daripada yang ada saat ini. Maraknya fenomena Apoteker TeKab (Teken Kabur-red), makin mengkerdilkan peran, fungsi dan posisi profesi apoteker di masyarakat


ISFI (Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia) kini telah merekomendasikan konsep No Pharmacist No Service (No and No) di apotek-apotek sebagai solusi untuk merevitalisasi peran farmasis sebagai profesi kesehatan. Artinya APA (Apoteker Pengelola Apotek) harus stand by di Apotek selama jam buka apotek. Dalam suatu kesempatan, saya berhasil mendapatkan informasi dari rekan mahasiswa farmasi di salah satu perguruan tinggi farmasi di DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta) tentang hasil konferensi daerah BPD ISFI DIY. Ada beberapa hal yang patut kita ketahui tentang kebijakan yang dikeluarkan dalam komperda ISFI DIY, yaitu :

1. Implementasi standar kompetensi Farmasis Indonesia, melalui ;

a. pelatihan kontinu terhadap anggota

b. menjalin komunikasi dengan APTFI untuk mempersiapkan farmasis

sesuai dengan kompetensinya

c. Sosialisasi standar kompetensi keseluruh farmasis indonesia melalui media

d. melakukan uji kompetensi terhadap farmasis, uji kompetensi akan

diujicobakan bulan oktober 2005 dan akan diberlakukan awal tahun 2006

2. Menegakkan PP 25 tahun 1980 tentang pengelolaan apotek, "apabila

apoteker berhalangan hadir pada jam buka apotek maka apoteker harus

menunjuk apoteker pendamping"

3. Dalam wilayah No Farmasis No Service, apoteker harus melakukan

konseling selama apotek buka, jumlah apoteker tiap apotek minimal 2

untuk 12 jam buka/hari, untuk 24 jam buka/hari minimal ada 4 orang

apoteker

4. Sanksi pelanggaran ditegakkan oleh Majelis Pembina Etika Apoteker

Daerah berupa teguran lisan, teguran tertulis, mengusulkan dilakukan

penutupan sementara, dicabut rekomendasinya.

5. Untuk kesejahteraan apoteker, maka standar jasa profesi APA minimal

1 juta dan standar jasa Apoteker pendamping 750 ribu


Konsep No Pharmacist No Service (baca: No and No) adalah suatu keharusan jika farmasis ingin lebih eksis sebagai profesi kesehatan. Dalam rangka mendukung hal ini maka diperlukan Law Enforcement yang tegas dari pemerintah dan ISFI, selain peraturannya sendiri yang harus proporsional, yang tidak hanya mewajibkan No&No kepada farmasis beserta sanksi2nya jika ada pelanggaran , tapi juga memperhatikan kesejahteraan farmasis. Kerangka Competence Based Curriculum yang homogen dari APTFI dan diterapkan oleh PTF negeri maupun swasta juga sangat diperlukan, karena nantinya ilmu farmasis akan lebih termonovalen-kan, salah satunya dalam bidang Pharmaceutical care, sehingga tidak canggung lagi dalam memberikan counselling terhadap pasien. Patut diperhatikan pula kampanye Konsep No&No terhadap masyarakat yang bertujuan agar timbul kesadaran bahwa dokter bukanlah decision maker tunggal dalam diagnosa pasien, tapi juga memerlukan second opinion dari profesi kesehatan lainnya, dalam hal ini farmasis (berdasarkan UU perlindungan Konsumen). Dengan adanya kampanye Konsep No&No kepada masyarakat, maka diharapkan masyarakat akan enggan dilayani di apotek jika sang farmasis/apoteker berhalangan hadir. Kampanye ini juga harus dilakukan kepada mahasiswa-mahasiswa farmasi program profesi pada khususnya dan program S-1 pada umumnya. Agar apa? Agar muncul kesadaran sejak dini bahwa farmasis, meskipun notabene merupakan broad spectrum occupation, namun juga merupakan profesi kesehatan yang harus melayani masyarakat, terutama di apotek.


Oleh karena itu, mahasiswa farmasi Indonesia sebagai calon-calon farmasis masa depan dan sebagai agent of change harus bergerak secara nyata dalam merevitalisasi peran, fungsi, dan posisi farmasis sebagai profesi kesehatan. Mahasiswa secara nyata mengambil langkah yang tepat dengan mendukung konsep No Pharmacist No Service (No and No) di apotek-apotek. Mahasiswa dapat melakukan langkah konkret dalam inisiasi awal, sosialisasi, dan pemantauan pelaksanaan konsep No and No ini di masyarakat. Para akademisi (baca: dosen) bersama-sama dengan ISFI harus melakukan public warning kepada mahasiswa farmasi yang notabene merupakan farmasis masa depan, para praktisi kefarmasian di apotek, rumah sakit dan klinik-klinik.


Satu hal yang pasti adalah farmasis di bumi Indonesia ini sedang berevolusi menuju suatu gerbang transformasi ke arah perbaikan. Dan pemikiran akan perubahan tidak akan terwujud tanpa ada usaha dan kerja riil. Dengan dasar komitmen yang kuat dari ISFI dan seluruh farmasis se-tanah air, didukung kontribusi dari berbagai stakeholders kefarmasian (pemerintah, APTFI, masyarakat, dan lain-lain), serta dibingkai dalam keyakinan akan keridhoan Tuhan Yang Maha Esa, semoga profesi farmasis dapat sejajar dengan profesi kesehatan lainnya dan memberikan sumbangsih yang nyata dalam memberikan pelayanan kesehatan pada umumnya, dan pelayanan kefarmasian pada khususnya…semoga..!!




[Ary Wibowo (Ketua Badan Eksekutif Himpunan Mahasiswa Farmasi Unpad 2004-2005), Sumedang]





Bung Revo,


terimakasih atas tanggapannya mengenai Dewan Psikologi Indonesia sebagai termaktub dalam draft RUU Psikologi.


Di bawah ini saya sertakan sejumlah lampiran. 


Yang saya tangkap adalah, sbb:


1. Pada Februari 2005, sudah terjadi Rapat Dengar Pendapat Umum antara HIMPSI dengan DPR Komisi X mengenai "Perlunya RUU Psikologi" (Jadi, belum "RUU Psikologi" itu sendiri yang diajukan).


2. Pada Februari 2007, sudah terjadi Rapat Dengar Pendapat Umum antara HIMPSI dengan DPR Komisi IX mengenai "Penyempurnaan RUU Kesehatan (UU No. 23/1992)", dalam rangka memasukkan Psikolog ke dalam daftar Profesi Pelayanan Kesehatan.


3. Sejak 1995, telah terdapat KepPres RI No. 56 Th 1995 tentang MDTK (Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan) sebagai salah satu peraturan pelaksanaan dari UU No. 23/1992.


- Namun, HIMPSI dalam RDPU Februari 2007 berpendapat bahwa, "Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan diinterprestasikan oleh Profesi Kedokteran sebagai Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran seperti yang tercantum dalam UU No. 29/2004 mengenai Praktik Kedokteran".


- Sebagai catatan: Dalam Bab IV Pasal 6 dari KepPres No. 56 Th 1995, MDTK telah memasukkan "Ahli Psikologi" sebagai unsur keanggotaan MDTK. 


4. Menarik bahwa HIMPSI Wilayah Kalimantan Timur memiliki divisi/bidang khusus yang bernama "Bidang RUU Psikologi" dalam Kepengurusan Periode 2004-2007.


Juneman





__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Your school could

win a $25K donation.

Y! Messenger

Send pics quick

Share photos while

you IM friends.

Official Samsung

Yahoo! Group for

supporting your

HDTVs and devices.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar: