Minggu, 13 Januari 2008

Re: Bls: [psikologi_transformatif] re: Organisasi Profesi: Sebuah harapan

Menarik sekali Mas Juneman dan Pak Jusuf,
 
Jika organisasi profesi psikologi memang terbentuk, saya pikir apa itu profesi dan profesionalisme mesti lebih dulu didefinsikan. Profesi, berbeda dengan Job atau Occupation. Dalam profesi ada semacam declare publickly mengenai kemampuan yang dimiliki dan tanggung jawab yang dimiliki. Kalau kata Spiderman: With the great power there must also come great responsibility". Itulah saya pikir salah satu esensi penting profesi.
 
Profesionalisme juga bukanlah paguyuban tempat orang kurang kerjaan ngumpul dan bikin aturan ini itu. Profesionalisme, menyiratkan selain aku memiliki kemampuan, juga sekaligus karakter kemampuanku mengundang datangnya kemampuan yang lain untuk bekerja bersamaku.
 
Di sinilah mestinya psikologi menyadari bagaimana ia mesti mampu mengakomodasi beragam karakteristik kemampuan dengan standar kualitas tertentu. Saya setuju dengan standar kualifikasi, tapi tak setuju dengan keragaman kemampuan.
 
Nah, inilah yang coba saya kritik dari Magister Profesi. Coba lihat, apa syarat dari seseorang yang mau mengajukan tema atau proposal untuk tesis? Pertanyaan prinsip yang diajukan selalu "Ini bagaimana melakukan treatment-nya?" atau "Ini bagaimana bentuk treatment-nya?".
 
Seolah-olah mastery kemampuan itu ukurannya selalu ke treatment. Ini menyiratkan semacam penyeragaman, bahwa mastery yang diakui adalah mastery yang bisa dikaitkan dengan treatment.
 
Padahal, dalam keluasan psike, treatment bukanlah segalanya. Masih banyak sisi atau karakter kemampuan yang bisa dikatakan memenuhi kualifikasi 'mastery' walau tidak ada hubungannya dengan treatment.
 
Kegenitan dengan 'treatment' inipun merupakan suatu bentuk kejumawaan. Bahwa seolah kita memang memiliki hak untuk mentreatment (at least 'merubah') psike seseorang. Di sini ada suatu ketakmawasan bahwa sejak Plato hingga kini, sejatinya belum ada satupun teori atau konsep psikologi yang bisa diletakkan sebagai paling baik dari yang lain. Artinya, sejak 2500 tahun lalu, pemahaman manusia tentang psike sebenarnya hanya berputar-putar di kedalaman yang itu-itu saja.
 
Lacan pernah mengkritik pemikiran ini ketika ia menyerang Psikologi Ego yang banyak berkembang di Amerika (dan banyak diadopsi di sini). Kritik tajam juga pernah dikemukakan oleh Canguilhem dan Foucault berkaitan hal yang sama.
 
Jadi, jika organisasi profesi memang ada. Hal-hal seperti itulah yang bagi saya penting untuk diperhatikan. Mungkin segini dulu, urun pendapat saya
 
 
Salam,
 
 
Audifax

Jusuf Sutanto <jusuf_sw@yahoo.co.id> wrote:
Mas Juneman,

Dalam rangka memenuhi harapan masyarakat psikologi, saya ingin sharing pendapat dan pengalaman sbb. :
Saya bukan psikolog tapi pemerhati Kearifan Timur yang inti ajarannya adalah bagaimana seorang manusia bisa menjalani kehidupannya dengan baik dalam tingkatannya yang setinggi mungkin bagi dirinya, masyarakat dan alam sekitarnya, maka sudah pasti akan ketemu dengan apa yang dibicarakan dalam ilmu psikologi.
Namun setelah saya diminta sharing mengajar di fakultas psikologi, segera saya menemukan kendala besar sbb. :
Kualitas SMU  (termasuk SMU unggulan, apalagi yang belum) yang sudah terbiasa dengan cara belajar
" mendengar-mencatat-menghafal supaya lulus ujian "

Lalu mereka mendapatkan masukan ilmu eksperimental bidang mikro seperti Freud, Pavlov, Konrand Lorenz, perilaku seksual (yang umurnya belum sampai 100 tahun), dan semuanya berdasarkan insting sehingga Erich Fromm bertanya : lalu apa bedanya antara manusia dengan binatang ? Setelah itu masih ditambah lagi dengan statistik dsb
Dari sini saja sudah ketahuan bakal bagaimana hasilnya !
Meski berasal dari SMU unggulan, dengan kondisi seperti ini paling banter akan menghasilkan orang buta yang setelah memegang satu bagian dari tubuh gajah, mencoba mendiskripsikan gajah itu.
Ilmu eksperimental tersebut pasti mengandung pengetahuan yang positif dan konstruktif, tapi juga perlu dikritisi.
Kalau kemudian dibakukan menjadi satu-satunya yang bisa disebut ilmiah (closed ended knowledge), maka disinilah mulai terjadi masalah. Psike, bukan physic yang bisa diukur besarannya, dan selalu berkembang.
Untuk memahaminya memerlukan " open ended atau augmentative, bukan reductive-knowledge.
Inilah pelajaran utama bagi orang yang mau memahami ilmu psikologi.
Setelah itu baru boleh mulai mempelajari ilmu eksperimental.

Itulah sebabnya F.Capra dalam buku The Turning Point, juga mengatakan tentang  perubahan paradigma yang sedang terjadi dalam ilmu psikologi  Buku-bukunya membuka peluang untuk memperkenalkan ilmu augmentative, melalui fisika dan kearifan timur sehingga tidak bisa begitu saja diberikan stigma ' tidak ilmiah '.

Sekian dulu dan nanti disambung lagi dengan pengalaman menggosok mahasiswa baru supaya dalam waktu singkat bisa keluar dari kerangkeng cara belajar dari SMU sehingga lebih bisa memahami esensi  bidang ilmu yang akan digelutinya sepanjang hidupnya.

Salam,
Jusuf Sutanto





----- Pesan Asli ----
Dari: Juneman <juneman@gmail.com>
Kepada: Juneman <juneman@gmail.com>
Terkirim: Jumat, 11 Januari, 2008 2:14:45
Topik: [psikologi_transformatif] re: Organisasi Profesi: Sebuah harapan

Dear Mbak Tiwin, Mbak Kasandra, Mbak Reni, Mbak Kania, & rekans,

terimakasih atas tanggapannya.

Saat ini kita memiliki tak kurang dari 11 ikatan/asosiasi minat di bawah organisasi profesi [Ikatan Psikologi Sosial (IPS), Ikatan Psikologi Olah Raga (IPO), Asosiasi Psikologi Industri dan Organisasi (APIO), Ikatan Psikologi Klinis (IPK), Asosiasi Psikologi Pendidikan Indonesia (APPI), Ikatan Psikologi Perkembangan Indonesia (IPPI), Asosiasi Psikologi Islami (API), Ikatan Psikoterapis Indonesia (IPI), Asosiasi Psikologi Sekolah (APS), Asosiasi Psikologi Kesehatan Indonesia (APKI), Asosiasi Psikologi Kristen (APK)]. 

Bersama-sama dengan Pengurus Pusat & Pengurus Wilayah, Ikatan/Asosiasi Minat, beserta seluruh anggotanya memiliki tak kurang dari 28 (duapuluh delapan) Program Kerja yang dihasilkan dari Rapat Kerja Pertama HIMPSI. Mohon dicermati data terlampir (tiga buah file attachment). 

Beberapa Program Kerja dimaksud berkait dengan Persepsi komunitas psikologi. [Di paling bawah dari email ini, saya lampirkan sejumlah komentar dari mereka yang sedikit banyak berhubungan dengan pandangan mereka mengenai kinerja organisasi profesi selama ini. FYI, sebagian di antaranya adalah Psikolog. Catatan: Mohon berhati teduh dalam membacanya.] Maka, mari kita refleksikan: Apa yang kita maui; kita ada di mana; dan kita hendak kemana?


Barangkali kita mohonkan pula kepada Pengurus Pusat, Pengurus Wilayah, Pengurus Ikatan Minat terkait, yang tergabung di milis ini, untuk mencerahkan kita semua mengenai perkembangan realisasi program kerja bidang-bidang sebagaimana terlampir dalam attachment email ini. Ini menjadi penting, karena, sebagaimana Mbak Kania katakan, "Bukankah kita jalan di tempat, selain karena banyak ketidaksepakatan dan politik, juga karena bahan yg tidak terkumpul dan tidak terdistribusi?". Demikianlah, boleh, dong, kita mengetahui progress-nya, tanpa harus menunggu periode LPJ (Laporan PertanggungJawaban) yang formalistis itu? Mau? [ini bukan iklan "3" ya: Mau? Shalalab dum balab...]


............ ......... ..

Iya, saya setuju dengan Ibu Reni. Bahwa Persepsi tentang Dewan Psikologi Indonesia masih beragam. Kita belum tahu benar mengenai baik atau buruknya. Untuk itu, maka perlu kita komunikasikan persepsi & "imajinasi" kita masing2. Dan, sebenarnya, diskusi seperti yang dilontarkan oleh Mbak Kania yang kita tunggu dari seluruh anggota Organisasi Profesi. Itu yang saya sebut dalam email terdahulu, bahwa kita perlu mengesampingkan terlebih dahulu "pernyataan sikap" (yang dapat bermuara kepada, seperti disebut Ibu Reni, "prasangka") kita untuk menerima atau menolak Dewan ini, dan perlu dibuat kajian akademisnya, which is perlu kerangka kerja yang pasti, komitmen, dan proses yang cukup panjang. Dalam hal tersebut, alasan-alasan yang pernah kita miliki dulu, baik alasan penerimaan atau alasan penolakan terhadap Dewan ini, menjadi bahan pertimbangan namun mungkin kurang memadai saat ini, atau dengan perkataan lain: perlu dikaji ulang. Oleh karena zaman sudah berubah sejak pembahasan RUU & Dewan tersebut [Wah saya kok ngomongin "zaman" melulu nih?] beberapa tahun yang lampau. Sebagai contoh, dahulu, kita mungkin benar-benar "buta" mengenai "makhluk macam apakah" Dewan Psikologi Indonesia itu. Kita masih diliputi pertanyaan, apakah kita benar ingin bersama dengan HIMPSI ... eh salah... [itu kan isi artikel di http://himpsijaya. org/doc/bersama_ himpsi.doc  ] ..... memikirkan sesuatu yang belum dimiliki profesi lain. Kita tidak yakin, apakah dengan memikirkan Dewan ini, sesungguhnya kita sedang bergerak maju ataukah malahan bergerak mundur. Apakah memang baik memikirkannya. Ada yang jatuh cinta dengan Dewan (imajiner) ini sampai "ngotot" memperjuangkannya, ada yang jatuh cinta tapi nggak berani ngomong, ada yang dari awal "chemistry"- nya memang sudah tidak cocok dan langsung mengerem, ada yang ingin mengkaji sungguh2, ada yang wait & see, status quo, terancam, dan seterusnya; dan ... lagi-lagi, tertelan perut bumi, jalan di tempat (atau duduk di tempat? atau tidur?). Namun, sekarang ini, kita memiliki tempat berefleksi, "tempat berkaca". Apakah itu? Yaitu Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Itu yang saya sebut sebagai perlunya kita mengambil hikmah dari pengalaman sahabat-sahabat kita dari profesi kedokteran, untuk kita lihat kemungkinan- kemungkinannya, simetri & asimetrinya dengan organisasi profesi kita. Maka, saya lampirkan sejumlah hal yang berkenaan dengan story mengenai Konsil, dan Bapak Irwanto bahkan sampai mengirimkan 3 buah file mengenai: 1) Hukum di California State yang berkait dengan Praktek Psikologi, 2) Undang Undang Praktek Kedokteran, dan 3) ALBERTA REGULATION 72/87 - Psychology Profession Act. [Sudah saya attach ke milis]. Demikian hal-hal mengenai DPSI, meskipun sebenarnya keseluruhan RUU Psikologi itu sendiri yang mau kita perhatikan.

Nah, sekarang siapakah yang mau menjadi moderator? 

Juga, mohon tanggapan teman2 terhadap pertanyaan Mbak Kania mengenai Majelis Psikologi:

1. prosedur pelaporan pelanggaran kode etik, 
2. siapa yg menjadi anggota majelis (plus foto dan identitas), 
3. bagaimana mereka bekerja dg hub wilayah dan pusat, 
4. bagaimana sanksi yg mereka beri, 
5. bagaimana prosedur pengambilan keputusan, 
6. berapa jumlah kasus yg mereka selesaikan, 
7. apa tanggapan mereka atas pertanyaan2 tentang kode etik, dll.

Biar tidak meng-awan, tidak mengawang, sebagai kes (bahasa Malaysia untuk "case"; benar ya, Mas Sarlito?), mungkin masih ada yang ingat dengan kes ini (Sempat diperbincangkan di milis ini, di mana foto kegiatan "Tes Wartegg" muncul di KOMPAS dan menjadi "buah bibir") [Nama Fakultas Psikologi-nya harus saya samarkan]:


------------ --------- --------

PARTISIPASI ........... DALAM PAMERAN BURSA KERJA
DALAM RANGKA PROGRAM PROMOSI S-2
DI GEDUNG BALAI PUSTAKA AUDITORIUM LODJIMAS, 26- 28 JUNI 2007


Sebagai salah satu upaya proaktif  untuk meningkatkan jumlah mahasiswa program S2, maka pada tanggal 26-28 Juni 2007 tim promosi program S2 berpartisipasi dalam acara Pameran Bursa Kerja yang diselengkaran di Gedung Balai Pustaka, Auditorium Lodjimas. Selain berpartisipasi dalam pameran, ........... turut mendapat kepercayaan dari panitia penyelenggara untuk memberikan workshop singkat terkait dengan persipan menuju profesionalisme kerja.

Untuk itu dengan dukungan penuh dari tim Fakultas Psikologi, ...........  memberikan workshop dan simulasi psikotes terhadap para peserta yang hadir. Tidak kurang dari 100 orang peserta, sangat antusias mengikuti kegiatan tsb, dan terlibat secara aktif dalam tanya jawab  yang disampaikankan oleh Ibu. ........... , Ketua ........... .......... . Kegiatan ini mendapat perhatian dari salah satu jurnalis KOMPAS, dan menjadi salah satu foto yang ditampilkan pada Harian Nasional tsb pada tanggal 27 Juni 2007.

Melalui kegiatan tsb pula, tim promosi S2 berhasil mendapatkan database perusahaan yang cukup potensial untuk pengembangan kerjasama dalam bentuk memberikan penawaran melanjutkan studi bagi para karyawan.

------------ --------- ---

Ada yang tahu mengenai kes ini dan mau share, serta relevansinya dengan ketujuh butir di atas? 


Juga, mohon tanggapan teman2 terhadap pertanyaan Mbak Kasandra mengenai:
1. Ketentuan tentang malpraktek
2. Enggak tau kenapa ide RUU ini hilang ditelan bumi. Tapi kemungkinan besar karena upaya menggolkan sebuah UU juga berhubungan dengan UUD alias Ujung-ujungnya duit.

Apakah bahan2 ini mendesak untuk dikaji secara simultan?
1. Kode Etik Psikologi
2. AD/ART Himpunan Psikologi Indonesia
3. RUU Psikologi


Oh iya, jangan dilupakan juga, bahwa Mbak Tyas Suci pernah bersusah payah membuatkan kuesioner buat kita semua, khususnya komunitas psikologi di Wilayah HIMPSI Jakarta Raya, yang bertujuan untuk mengidentifikasi kebutuhan kita semua. Kuesioner ini seringkali dibagikan dalam kegiatan2 HIMPSI Jaya. Berapa yang terdistribusi dan berapa yang kembali?


Demikian, sampai disini dulu, terimakasih. 

Mohon maaf sebelumnya.

Salam takzim,
Juneman









Kania Hasan wrote:

Salam takzim mas Jun. Izinkan saya memberi penghargaan tulus atas semangatnya
yang mudah2an tidak akan luntur. Tapi ada beberapa pertanyaan saya. Pertama, di
HIMPSI ada Majelis Psikologi. Apakah fungsi Dewan Psikologi tidak akan overlap
dgn Majelis? Apakah mengoptimalkan atau memperjelas fungsi Majelis tidak
menjawab kebutuhan yg kita harap dari Dewan? Artinya, kita harus memperjelas
Majelis dulu, sebelum menentukan penting atau tidak Dewan. Misalnya, tidak ada
di situs kita halaman prosedur pelaporan pelanggaran kode etik, dan siapa yg
menjadi anggota majelis (plus foto dan identitas), bagaimana mereka bekerja dg
hub wilayah dan pusat, bagaimana sanksi yg mereka beri, bagaimana prosedur
pengambilan keputusan, berapa jumlah kasus yg mereka selesaikan, apa tanggapan
mereka atas pertanyaan2 tentang kode etik, dll. Dari sini kita bisa lihat
objektivitasnya. Bisa jadi Dewan juga nanti tidak punya taring atau dipakai
pihak luar menyalahgunakan profesi
psikologi. 

Kedua, sepertinya diferensiasi sertifikasi tidak bisa dihindari jika
psikolog semakin banyak nantinya. Tapi menurut saya belum saat ini. Lagipula,
ada kemungkinan sso dapat masuk lebih dari satu peminatan. Bagaimana? Saya tetap
berharap psikologi maju, dan itu artinya kita meningkatkan kompetensi,
memperkuat organisasi, melakukan advokasi, dan lain2. 

Ketiga, tulisan mas Jun, apalagi jika terkumpul dan terdistribusi pasti bermanfaat. 
Bukankah kita jalan di tempat, selain karena banyak ketidaksepakatan dan politik, 
juga karena bahan yg tidak terkumpul dan tidak terdistribusi? Wasalam. Mohon maaf. Kania




---
tiwin herman wrote:

Halo mas Juneman,
 
Aku cuman bisa berdoa, semoga dirimu tetap kuat dan tabah serta tidak pernah bosan untuk selalu mengusung ide bagi perbaikan organisasi ini. Menurutku, pada masanya nanti...ntah kapan, pada akhirnya yang namanya organisasi profesi 'harus punya gigi'. Mau tidak mau. Beruntunglah yang sudah 'bergerak' (bahasanya pak Renald Khasali) sekarang. 
 
Bahwa untuk mendapat pengakuan itu harus 'nge-link' (atau ada dasarnya atau apalah) dengan pemerintah, aku melihat sedang diupayakan oleh teman2 dari psikolog rumah sakit. Mudah2an segera berhasil. Harapannya, satu bisa masuk, maka yang lain bisa punya dasar untuk bisa mendapat pengakuan juga. 
 
Yang aku khawatirkan, ketika suatu masa tiba2 bahwa semua profesi harus mendapat sertifikasi dari masing-masing organisasinya bila harus berpaktek, aku cuman berdoa bahwa mudah2an itu cukup dengan HIMPSI saja seperti sekarang. Jadi tidak harus bahwa yang di PIO harus melalui APIO, yang rumah sakit harus melalui organisasi profesi di klinis, yang di sosial juga harus melalui organisasi psikolog sosial dan sebagainya dan sebagainya.   
 
Oleh karena itu mas Juneman, harapanku besar supaya dirimu tidak patah arang untuk selalu mendorong dan membantu mengingatkan (maklum umur kan udah beda banget kan, jadi daya ingat, daya gerak dan daya tahan dan beda) agar organisasi ini bisa 'bergerak'. 
 
Salam hangat,
TH

---
2a. Re: Organisasi Profesi: Sebuah harapan
    Posted by: "A. Kasandra Putranto" 
    Date: Wed Jan 9, 2008 7:40 pm ((PST))

Iya ya ? He he, ketularan lupa ingatan nih.. Saya jadi pembicara ya ?  
 
Mohon maaf, rasanya sih bukan jadi pembicara tapi kebetulan ditodong
untuk mempresentasikan apa yang saya ketahui tentang RUU Psikologi yang
waktu pertama kali saya pelajari sudah memasuki draft IV. Kebetulan juga
mas Rahmat Ismail (waktu itu masih menjadi ketua PP) memberikan
kesempatan kepada saya untuk memberikan sumbang saran terhadap draft RUU
tersebut. Kebetulan saya punya sedikit pengalaman di bidang hukum jadi
saya coba untuk mengambil kesempatan tersebut. Jadi saya bukan cuma
membahas RUU dengan kasih komentar bagus atau jelek atau kurang, tapi
ikutan memberikan masukan untuk perbaikan (bukan untuk menghentikan,
tapi justru maunya ikut memperjuangkan) . Dan masukan itu juga sudah
diterima oleh mas Rahmat Ismail, bersama-sama dengan masukan dari
rekan-rekan yang lain, makanya draft RUU udah bergerak dari draft 4 ke 5
bahkan sekarang (katanya) sudah ke 6. 
 
Kemudian untuk mensosialisasikan RUU ini, maka saya diminta untuk
mempresentasikannya kepada komunitas psikologi di Jakarta. Tentu saja
yang saya presentasikan adalah sisi sisi keuntungan dan kerugian dengan
adanya RUU ini, dengan harapan agar diolah lebih matang lagi untuk tentu
saja memberikan keuntungan daripada kerugian bagi komunitas psikologi.
Sebagai contoh : salah satu topic yang saya anggap penting adalah
ketentuan tentang malpraktek, bahwa penyelenggaraan praktek psikologi
oleh orang-orang yang tidak memiliki kelayakan pendidikan, pengalaman
dan kewenangan profesi psikologi. Maksudnya tentu saja mengarah kepada
kenyataan bahwa ada beberapa biro yang justru dimiliki oleh lulusan
MIPA, malah mereka berani menanda tangani sebuah laporan psikologi.
Tetapi ternyata topic ini malah menjadi kontroversi antara profesi
psikolog dan ilmuwan psikolog (walaupun sebenarnya tidak perlu, sudah
jelas ilmuwan psikolog tidak berhak menanda tangani laporan psikologi),
atau antara psikolog lulusan 'orde lama' dan 'orde baru' hanya karena
psikolog lulusan orde lama menolak untuk punya ijin praktek.
Sampai-sampai muncul ide ya udah ijin praktek dibagikan begitu saja,
nanti kalau ada yang mau perpanjang baru diseleksi. Wah, gimana ya.. Kok
jadi njelimet..
 
Terus saya ikut juga menghadap hakim Agung, Bp. Artijo Alkostar (semoga
spelling namanya gak salah). Beliau juga memberikan masukan-masukan yang
sangat berharga. Tetapi sekali lagi enggak tau kenapa ide RUU ini hilang
ditelan bumi. Tapi kemungkinan besar karena upaya menggolkan sebuah UU
juga berhubungan dengan UUD alias Ujung-ujungnya duit. Naaaaah, ini yang
masih sulit. Kalau mau dilihat lagi, mungkin arsip pertemuan dengan bp.
Artijo bisa dibuka kembali.
 
Kalaupun mau, mungkin kita bisa minta bantuan rekan psikolog yang malah
tidak menjadi psikolog, punya kantor konsultan hukum. Misalnya Eva
Handayani dll.
 
Mohon maaf, bila ada yang tersinggung, sama sekali bukan maksud
menyinggung siapa-siapa. ..

---
"A. Kasandra Putranto" wrote:

Salute buat mas Juneman ini, saya setuju banget….

Setidaknya dari tulisan anda sebenanya inti permasalahan kita sudah terjawab. Saya coba ambil pointers dari tulisan anda sbb :

1. komunitas psikologi, yang telah bertahun-tahun mengeluh mengenai kinerja organisasi profesi kita sendiri.

2. ketika muncul gagasan antara lain mengenai perlunya Dewan Psikologi Indonesia ---yang maksudnya tidak lain adalah untuk mengendalikan kinerja (kualitas kerja) organisasi profesi (catatan: secara prinsip yang ingin dikendalikan adalah kualitas kinerjanya, bukan yang lain-lain)-- -, terus kita curiga, resisten, bahkan marah.
3. "Ya organisasi profesi kita aja kayak gitu! Mau berharap apa?"
4. ada saja orang-orang yang menggagas & ingin melakukan transformasi organisasi profesi (yang disebut Ibu Kasandra sebagai "tokoh-tokoh yang maju dan mencoba mengambil inisiatif-inisiatif kreatif"), dibuatlah analisis ini dan itu, dan tibalah kita pada suatu kesimpulan, "Kita belum memerlukan orang yang begitu itu dgn ide-ide yg begitu itu! Pasti ada orang lain dgn ide-ide yang lebih sreg buat kita." 
5. "Kalau kita yakin bahwa kita tidak memerlukan sebuah lembaga superbodi semacam Dewan Psikologi Indonesia, ya, terus apa, dong, langkah2 strategis yang ingin & dapat kita lakukan? Apa yang kita sebagai organisasi profesi janjikan terhadap kita sendiri & komunitas psikologi?"
6. “Kok Psikolog belum masuk Depkes? Ini sebuah persoalan!"  
7. kesimpulannya, kita kayaknya senang berada di dalam vicious circle

Kalau kita mau coba analisa yang paling sederhana, tampaknya memang ada sekelompok rekan psikolog yang cenderung bertahan / konsisten tidak mau berubah pada kondisi saat ini karena berbagai motif. Mungkin karena sudah merasa nyaman, mungkin karena merasa tidak aman bila berubah, mungkin karena tidak percaya pada perubahan, mungkin karena ada pengalaman masa lalu yang membuat trauma, mungkin karena …, karena …

Mestinya memang seperti kata mas June, kalau tidak mau Dewan Psikologi Indonesia, ya terus apa dong ? Jangan Cuma ngerem doang, RUU ogah, masuk Dep Kes buat apa ?, ide ini itu payah !, organisasi kita amburadul…. Lah ibarat mobil kalo udah digas, masih ngerem terus lah kan ya nggak jalan-jalan mobilnya…. Apalagi kalo ngeremnya pakek hand brake, ya mubeng-mubeng lah kita. Seperti organisasi kita mubeng-mubeng (muter-muter) gak karuan. Terus jadi kata mas June Ya, cocoklah tulisan Emmanuel Subangun di Jurnal Kesehatan Jiwa "Ataraxis" Edisi Perdana November 2007: "Bangsa yang lupa ingatan". Abis mubeng-mubeng, ya lupa ingatan…. Lah wong pusing….

Sampai saya pernah mendengar komentar seorang rekan, pedas rasanya tapi jika dicerna lebih baik mungkin ada benarnya. Katanya, mereka yang tidak ingin ada perubahan mohon minggir saja, biarkan yang lain yang ingin berubah maju dan berupaya melakukan perubahan. Karena organisasi kita ini milik bersama. Ada yang ingin berubah, ada yang tidak ingin berubah. Mestinya harus ada win win solution, perubahan yang mufakat dan musyawarah. Tapi bagaimana mau mufakat kalau inti sebenarnya adalah yabng tidak mau berubah memang tidak mau berubah, lalu memonopoli organisasi.

Akhirnya seperti kata mas June lagi, Jangan pula kita lagi-lagi harus komplain dan mengeluh di antara sesama, koq saya diperlakukan seperti ini oleh klien, seperti itu oleh rekan sendiri, dan kenapa koq kita tidak bisa berkiprah disitu?
At the end, What can we do and what do we want to do ?

Salam takzim juga, (he he, ikut2 an)

Kasandra

---
Reni Kusumawardhani wrote:

Ada yang bosan, ada yang capek, ada yang punya semangat, ada yang
punya pengharapan, ada yang belum tahu sehingga mencari tahu, ada yang baru mau
mulai, ada yang... dan ada yang....dan semua masih mau berdiskusi disini, semoga
bisa dimoderatori untuk menghasilkan point2 yang juga ditangkap oleh
organisasi sebagai itikad baik.   Persepsi tentang Dewan Psi Indonesia masih
beragam karena memang belum betul-betul jelas bagi kita semua. Kalaupun dulu ada
yang tidak setuju, pasti ada alasannya. Sebaliknya yang setujupun punya
alasan. Mungkin ada yang tahu detilnya dan bisa diinformasikan secara obyektif
supaya diskusi tidak mengarah ke arah prasangka?   Aku pribadi senang dengan
keaktifan tanpa lelahnya mas June. Kasandra...udah beneran mau turun gunung nih?
apa kabar si kecil? Dulu Kasandra pernah juga ikut sebagai pembicara saat
pembahasan draft RUU di Untar bersama Himpsi Jaya kan? Mungkin masih
inget?...... ......Aku sendiri hanya inget samar-samar. ..ihiks masih untung
gak lupa ingatan yaa... 




____________ _________ _________ _________ _________ _________ _________ ______







Re: Quo Vadis RUU Psikologi? - (was: Dewan Psikologi Indonesia)

Menurut saya, kode etik profesi itu dibuat oleh asosiasi profesi
bersangkutan dan BUKAN oleh dewan legistatif.

Setahu saya, tiap asosiasi profesi itu BERHAK membuat KODE ETIK
TERSENDIRI. Dan bahkan, kalau asosiasi profesi itu mau pecah karena
perbedaan pendapat diantara anggotanya, ya pecahlah. Dan tiap pecahan
itu berhak membuat KODE ETIK yang berlaku bagi anggota masing2.

Masa PROFESI PSIKOLOG harus pakai UU ???? Itu TIDAK MASUK AKAL.
Setahu saya, bahkan di AS itu TIDAK ADA UU PSIKOLOGI.

Pendapat saya: Kalau benar ada RUU Psikologi, itu terlalu mboten2,
begitu lho. FYI (untuk yang belom tahu), yang namanya RUU itu digodok
bersama dan disetujui bersama oleh DPR dan Presiden.

Lha, apa hubungannya DPR dan Presiden ngurusin profesi psikolog?
Apakah profesi psikolog itu begitu luar biasanya (mempengaruhi
kehidupan orang banyak) sehingga harus diatur oleh UNDANG2 ???

The answer is NO. So, yang namanya "RUU PSIKOLOGI" is NONSENSE.

Wis, gitu aja.

Leo
---

1e. Re: Quo Vadis RUU Psikologi? -
    Posted by: "Nur Agustinus" 
    Date: Sun Jan 6, 2008 4:06 pm ((PST))


Benar sekali, dan sedihnya adalah kebutuhan power terhadap sesama psikolog
(atau yang mereka bedakan sebagai sarjana atau ahli psikologi) yang lain.

Itu sebabnya saya sudah banting setir dari psikolog jadi ufolog. Saya sudah
menganggap psikologi sebagai bidang yang saya minati aja, bukan untuk
karier. Sudah sejak saya kuliah di tahun 1983, urusan seperti ini tidak
selesai. Bayangkan... ., lebih dari 20 tahun! Kalaupun itu dianggap
perjuangan, maka benar-benar perjuangan yang panjang (serta tidak ada
gunanya).

Salam,
nur agustinus
---


1f. Re: Quo Vadis RUU Psikologi? -
    Posted by: "Koechink Garoenk"
    Date: Sun Jan 6, 2008 4:06 pm ((PST))

Aku bantu mas/mbak juneman memberikan penjelasan,

salah satu contoh yang praktis dan kongkrit alasan perlunya undang-undang psi di lingkungan indonesia adalah masalah penyalah
gunaan pemakaian tes psikologi. Anda bisa bayangkan jika yang menggunakan tes psikologi adalah orang  yang tidak kompeten maka yang
dirugikan adalah  klien atau  pengguna jasa psikologi tersebut maka laporannya akan melantur. Parahnya, laporan yang ngelantur itu
dipercaya (karena tidak berpikir). Akibatnya malah merugikan klien itu. Makanya dengan adanya UU diharapkan klien lebih dilindungi
hak-hak nya. Jadi tidak ada power-power an.

Yang lain mungkin bisa menambahkan, monggo....

Salam 
---

1g. Re: Quo Vadis RUU Psikologi? -
    Posted by: "Nur Agustinus" 
    Date: Sun Jan 6, 2008 4:12 pm ((PST))

From: "Koechink Garoenk"
> salah satu contoh yang praktis dan kongkrit alasan perlunya undang-undang
psi di lingkungan indonesia adalah masalah penyalah gunaan pemakaian tes
psikologi. Anda bisa bayangkan jika yang menggunakan tes psikologi adalah
orang  yang tidak kompeten maka yang dirugikan adalah  klien atau  pengguna
jasa psikologi tersebut maka laporannya akan melantur. Parahnya, laporan
yang ngelantur itu dipercaya (karena tidak berpikir). Akibatnya malah
merugikan klien itu. Makanya dengan adanya UU diharapkan klien lebih
dilindungi hak-hak nya. Jadi tidak ada power-power an.


Justru itu! Dengan intrik busuknya, pendidikan psikologi dikebiri sehingga
lulusan sarjana psikologi jadi dibuat tidak kompeten. Benar-benar
menyedihkan!

Generasi yang senior, merasa dirinya kompeten sebab mereka belajar ilmunya
sulit. Yang lulusan sekarang, karena kurikulumnya dipangkas, jadi mereka
dianggap tidak kompeten. Dulu untuk bisa dianggap kompeten harus ikut
pelatihan psikodiagnostik. Kemudian diubah menjadi program profesi, lalu
diubah lagi menjadi harus ikut s2 program profesi.

Buat saya, beruntung saya sudah lulus sejak dulu sebelum hal ini ribut.

Konyol. Saya setuju Bang JH, bahwa ini masalah power dan juga ekonomi alias
persoalan cari rejeki.

salam,
nur agustinus

---


1a. Re: Quo Vadis RUU Psikologi? -
    Posted by: "toge aprilianto"
    Date: Mon Jan 7, 2008 1:19 am ((PST))

Sepertinya, pokok persoalannya ada di integritas diri.

Kalo saya sebagai individu sangat paham bahwa diri saya tidak memiliki
kompetensi, maka, bila saya punya integritas diri yang cukup, saya tidak
akan melakukan tindakan yang berkaitan dengan bidang yang tidak saya kuasai
itu. 

Dengan demikian, kalo kita masing-masing memiliki integritas diri, maka ya
tidak ada yang perlu dikuatirin. Soalnya, ga akan ada orang nipu ato njebak
ato malah ngrasa tau. 

Lebih jauh, sekali lagi, teori itu kan soal kesepakatan. contoh: skor IQ
yang disebut rata-rata, sekarang juga uda bergeser normanya. Salah satunya
ya karena perbaikan gizi sehingga tingkat kecerdasan orang pada umumnya juga
meningkat, dibanding rata-rata orang jaman dulu.

Demikian halnya dengan undang-undang, itu perkara kesepakatan aja. masalah
yang perlu diperhatikan, tiap kita punya kepentingan, makanya walopun uda
berpuluh taun ya tetep ga bisa jadi sepakat. ;) 

Usulku, wilayah kesepakatannya dibatesin aja. pokok antara psikolog dan
klien tercapai kesepakatan, ya semua tindakan psikologis yang dilakukan bisa
disebut "beres". Seperti penjual dan pembeli, asal sepakat ya semua beres.
Kalo ga sepakat ya ga jadi transaksi. Hehe.. hehe..

Salam,
ge


---

1b. Re: Quo Vadis RUU Psikologi? -
    Posted by: "diantini viatrie"
    Date: Mon Jan 7, 2008 1:33 am ((PST))

hahahaha...bener juga nih. pola pikir praktis ala pedagang begini memang layak dipertimbangkan. jadi ingat, bukankah utk tiap
tindakan psikologis perlu 
  ada informed consent? 
   
  diane.
   
  ============ ==

toge aprilianto wrote:
          


Usulku, wilayah kesepakatannya dibatesin aja. pokok antara psikolog dan
klien tercapai kesepakatan, ya semua tindakan psikologis yang dilakukan bisa
disebut "beres". Seperti penjual dan pembeli, asal sepakat ya semua beres.
Kalo ga sepakat ya ga jadi transaksi. Hehe.. hehe..

Salam,
ge


---

1c. Re: Quo Vadis RUU Psikologi? -
    Posted by: "Nur Agustinus" 
    Date: Mon Jan 7, 2008 2:06 am ((PST))

Sebenarnya sih...

...

Dari dulu, puluhan tahun, ribut sendiri....  Kalau emang
nggak bisa kompak, kan lebih baik jalan sendiri-sendiri aja.

Salam,
nur agustinus


---

1d. Re: Quo Vadis RUU Psikologi? -
    Posted by: "chEetHa" 
    Date: Mon Jan 7, 2008 2:44 am ((PST))



Nur Agustinus wrote:                               
 Justru itu! Dengan intrik busuknya, pendidikan psikologi dikebiri sehingga
 lulusan sarjana psikologi jadi dibuat tidak kompeten. Benar-benar
 menyedihkan!

Iya...  Saya sendiri sebenarnya sebentar lagi menyandang sarjana. Tapi seringkali malah merasa takut kalau harus cepat2 lulus
karena merasa ilmu yang saya punya masih belum cukup. Masalahnya, kalau terus2an disitu pun memang tidak akan dicukupi. Jadi ya
paling pilihannya memang lulus jd sarajana dulu, baru terus lanjut ke S2 - kalau mau dianggap kompeten untuk bisa terjun ke bidang
psikologi -.

---

1e. Re: Quo Vadis RUU Psikologi? -
    Posted by: "Jusni Hilwan" 
    Date: Mon Jan 7, 2008 3:01 am ((PST))

diantini viatrie wrote:
> hahahaha...bener juga nih. pola pikir praktis ala pedagang begini memang layak dipertimbangkan. jadi ingat, bukankah utk tiap
> tindakan psikologis perlu 
>   ada informed consent? 
> toge aprilianto wrote:
> Usulku, wilayah kesepakatannya dibatesin aja. pokok antara psikolog dan
> klien tercapai kesepakatan, ya semua tindakan psikologis yang dilakukan bisa
> disebut "beres". Seperti penjual dan pembeli, asal sepakat ya semua beres.
> Kalo ga sepakat ya ga jadi transaksi. Hehe.. hehe..
> Salam,
> ge

Yup, begitulah keadaannya di Amerika Utara sini, mau ikut psikotest sama siapa 
keg, terserah si client dan si psikolog. Mau ikut dengan tukang ramal ahli nujum 
atau UFOist juga dipersilahkan :-) :-).

Jusni Hilwan








____________ _________ _________ _________ _________ _________ _________ ______


athanasius sumardi wrote:

Maaf, kalau boleh saya ikut menyampaikan opini tentang psikotest.

.....

Kita kan tidak harus 'tunduk' pada kesimpulan para pakar psikologi 
yang melakukan psikotest. Psikologi adalah psiko + logi, berarti ilmu 
tentang 'psiko' yang bisa dipelajari, dan berhak dipelajari dan 
dikuasai setiap orang. Kenapa psikotest harus menjadi begitu 
eksklusif seakan hanya orang berlatar belakang psikologi saja yang 
berhak menggunakannya ? (Maaf, bukannya bermaksud kasar kepada rekan 
yang berlatar belakang psikologi).Ibaratny a kalau kita pusing dan 
kita obati dengan obat bebas yang kita beli di toko obat apakah kita 
akan dituntut oleh para dokter dan pakar medis (karena yang berhak 
menentukan jenis obat adalah para dokter dan pakar medis)? Psikotest 
tidak untuk mem-vonis seseorang, karena moral dasar dari psikologi 
adalah "bahwa setiap pribadi adalah unik". Saya justru ingin mengajak 
rekan-rekan yang bukan berlatar belakang psikologi untuk tidak 
terpaku (dan terpesona) oleh hasil psikotest.

Okey, rekans, apappun latar belakang pendidikannya, jangan takut 
untuk mempelajari dan menggunakan metode psikotest yang baru, karena 
ilmu terus berkembang. Siapa tahu hasilnya malah lebih valid dan 
komprehensif dibanding metode psikotest konvensional. Who knows ?? 
So, go for it !!

Best Regards,
UC

--- ahmad atori wrote:

 tetapi saya jutru lebih tertarik jika merekrut pegawai sesuai 
dengan kemampuan yang perusaahaan yang diinginkan dan kita pula 
gunakan. Terkadang jika intrument -alat- yang digunkan dan itu telah 
diketahui publik dan tahu bocorannya, maka mungkin substansi untuk 
mencari karyawan yang sesuai dengan keinginan akan menjadi sia.
 
 So, substasni jika legal dan ilegal, Sarjana Psikologi ok kompeten, 
tetapi apa itu menjamin ???????????
 
 Olivia.Rivera@ ... wrote: 
 Dear all, 
 Proses seleksi dan rekrutmen bisa dilakukan oleh mereka yang bukan 
berlatar belakang pendidikan psikologi ? 
 Mungkin bisa saja, namun beberapa bulan lalu saya pernah mengikuti 
perkulihan pembuka yang dibawakan oleh Prof. Soetarlinah (salah satu 
pakar kognitif di Indonesia) yang menginformasikan bahwa mereka yg 
berlatar belakang psikolog (bukan hanya sekedar sarjana psikologi) 
yang berhak menggunakan alat-2 test, termasuk menentukan metode 
pengukuran untuk melakukan proses seleksi. 
 Terlepas dari mereka yang bukan psikolog tapi bisa menggunakan alat-
2 test dll. tsb. yang menjadi penekanannya adalah legal atau tidak 
hasil yang diperoleh. 
 
 salam 




Bergabunglah dengan orang-orang yang berwawasan, di bidang Anda di Yahoo! Answers


Never miss a thing. Make Yahoo your homepage.

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Find great recruits

for your company.

Y! Messenger

All together now

Host a free online

conference on IM.

Best of Y! Groups

Discover groups

that are the best

of their class.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar: